"Laporan ini, benar kan Dokter?""Tentu saja, Tuan Liam. Angel memang benar anak kandung Anda," jelas Dokter.Liam tersenyum bahagia, memegang erat laporan tes DNA milik Stuart itu. Kini dia akan fokus menjaga Angel di sisinya. Liam tak sabar memberitahukan hal ini pada Bella. Baru saja beberapa langkah, Liam terhenti saat melihat seorang lelaki di depannya. "Ayah!"Ya, Marco sengaja datang ke Rumah Sakit, menjenguk Bella dan juga cucunya. Meski di dalam hati, Marco menyalahkan Bella atas kematian Alesya, naluri seorang Ayah tak bisa untuk membenci anaknya sendiri."Kamu terlihat bahagia sekali nak," ucap Marco mendekat."Itu …, em, cucu Ayah telah lahir, malaikat kecil yang cantik bagai bidadari. Apakah Ayah sudah melihatnya?"Marco menunduk sekilas. Dia memang menjenguk sebentar tadi lewat pintu yang sedikit terbuka. Ada Bella yang penuh perhatian memberikan susu pada Angel. Bayi itu terlihat sangat rakus mengenyot dot di bibirnya."Ya, aku baru saja melihatnya. Aku juga sudah meliha
"Mana ada hantu di siang bolong seperti ini." Liam menggeleng tak percaya atas ucapan Bella. Berniat memastikan apa yang terjadi, Liam membuka pintu mobil."Mau kemana kamu Liam?""Melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kamu disini saja."Liam pergi menjauh dari mobil, mengamati keadaan sekitar. Bella yang melihatnya tiba tiba saja dirinya merinding.Tadi, mobil melaju dengan kecepatan sedang, namun Bella merasa ada yang aneh. Ia merasa ada sosok yang mengikutinya, seolah-olah mengintip dari kegelapan malam. Dia merasa takut, seakan-akan sosok itu ingin menghampirinya. Bella semakin ketakutan, dia yakin sosok itu adalah arwah adiknya, Alesya, yang meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Dia merasa seolah-olah Alesya ingin memberinya pesan atau bahkan menuntut balas.Di dalam mobil, Bella merasa cemas dan gelisah. Ia menggenggam erat bayi perempuannya, dan berbisik pelan, "Alesya, apakah itu kamu? Apa yang kamu inginkan dariku?" Tak ada jawaban, hanya suara angin yang berhemb
Diam-diam Bella mengintip dari balik pintu kamar Angel, bayi mereka yang baru berusia belum ada satu minggu. Ia melihat Liam yang sedang menggendong dan mengelus lembut rambut bayi kecil itu sambil berbicara lembut padanya. Liam tersenyum pada Angel, penuh kasih sayang yang tulus. Bella merasa perasaannya teraduk-aduk, menyaksikan seolah Liam benar-benar mencintai Angel, tapi tidak untuk dirinya. Kesalahan yang Bella lakukan memang berat, tapi dia berharap Liam bisa melupakan semuanya dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun, Liam belum bisa memaafkannya. Hati Bella terasa sakit dan sesak, tak bisa menahan rasa sedih yang memenuhi pikirannya. Mata mulai berkaca-kaca, menggigit bibirnya untuk menahan isak tangis yang hendak pecah. Bella berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi kenyataan bahwa suaminya masih menjaga jarak darinya, meski masih bersama dalam satu rumah. Dengan langkah gontai, Bella berjalan pelan menjauhi kamar Angel, menuju kamarnya send
"Alesya."Seberapa kuatnya cinta Liam untuk Alesya, tak akan mampu menghadirkan kembali seorang Alesya. Hal ini membuat Liam putus asa. Sedangkan Bella, dia terus dihantui rasa bersalah terhadap Alesya yang membuatnya seolah olah Alesya meneror hidupnya.Meski mereka mencoba untuk saling mengerti dan memahami satu sama lain, pada kenyataannya Liam masih belum sepenuhnya bisa mencintai Bella. Semua tanggung jawab diberikan tapi tidak untuk cinta. Mereka tidur terpisah dan tak pernah saling menyentuh satu sama lain.Suatu sore, Bella duduk termangu di tepi jendela, menatap langit yang mulai gelap. Hatinya terasa hampa dan kesepian, menangis dalam diam. Liam, suaminya yang selalu sibuk dan tak pernah menoleh padanya, membuat Bella merasa tak berharga. Ingin rasanya ia merasakan belaian dan manjaan dari lelaki yang dicintainya itu.Dalam keheningan malam, Bella menahan tangis yang menggenang di matanya. "Kenapa Liam terus mengabaikanku?" gumamnya lirih. Ia teringat saat-saat indah ketika
Bella memikirkan ucapan Liam, memang seharusnya dirinya tak egois dan bertengkar dengan Liam. Dia mengangguk setuju, "ya. Kita harus menjadi orang tua yang baik untuk Angel. Mulai sekarang, kita harus lebih sabar dan saling mengerti."Bella berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dan berusaha menjaga kebahagiaan keluarga kecil mereka, demi kebahagiaan Angel yang menjadi prioritas utama dalam hidup mereka.Lima tahun kemudian."Papa, Angel bisa menggambar. Lihatlah gambaran Angel!"Anak berusia lima tahun itu menyodorkan kertas putih berukuran A4 dengan coretan pensil yang menghasilkan gambar dua orang dewasa dan dua anak yaitu laki laki dan perempuan. Sontak hal itu membuat Liam terkejut. "Angel gambar siapa ini?""Tentu saja gambaranku," jawab angel mencebikan mulutnya.Liam menggosok kepala Angel, "papa tahu jika ini adalah lukisan buatan tanganmu sayang. Maksud papa adalah siapa laki laki di lukisan ini?" Angel tersenyum manis, membuat siapapun yang melihat anak kecil
"Baiklah, tapi jangan ceritakan hal-hal yang membuat Angel takut, Liam. Kita harus melindungi perasaannya."Ucapan Bella membuat Liam merasa kesal. Bagaimanapun sebagai seorang Ayah, Liam tak akan memberi anaknya yang baru berumur lima tahun itu dengan kalimat kasar ataupun ucapan yang membebani otaknya. Dengan helaan nafas panjang, Liam berbisik pada Angel. "Sayang, apakah kamu mau bermain di taman kota?"Angel berbinar terang, segera setuju atas ajakan dari Ayahnya itu. "Mau Daddy. Aku mau!""Oke. Let's go!"Bella merasa jika suami dan anaknya mengacuhkannya, segera menghadang mereka. "Mau kemana? Ini sudah sore hari. Sebentar lagi, Angel ada les menari dan menyanyi.""Kami hanya pergi sebentar," jawab Liam berlalu melewati Bella tanpa menoleh lagi padanya. Hal itu membuat Bella sungguh murka, berkali kali menghentakkan kaki hingga terasa sakit sendiri.Liam dan Angel berangkat ke taman bermain di tengah kota, meninggalkan Bella yang terus mengomel tentang les Angel dan pekerjaan rum
"Kamu?!"Liam berdiri terpaku, matanya memandang tak percaya ke arah sosok wanita yang semula menunduk, membersihkan luka lecet di kaki Angel dan kini berdiri di hadapannya. "Ale!"Ya, wanita yang kini di depan Liam adalah Alesya, wanita yang dulu hilang tanpa jejak akibat kecelakaan tragis dan dinyatakan meninggal dunia itu kini berdiri dengan penampilan yang sangat berbeda. Rambutnya yang dulunya panjang kini dipotong pendek, dan gaya berpakaiannya yang dulu feminin, kini berubah menjadi lebih tomboi.Wajah Liam pucat, tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. "Alesya?" suaranya bergetar, tak yakin apakah itu benar-benar istrinya atau hanya bayang-bayang masa lalu yang kembali menghantuinya. Alesya mengangguk perlahan, matanya yang dulunya ceria kini terlihat sayu. "Ya, Liam, ini aku," jawabnya dengan suara yang serak, seolah-olah setiap kata yang diucapkan menguras kekuatannya.Liam melangkah mendekat, tangannya gemetar saat ia mencoba menyentuh wajah Alesya, memastikan bahwa ini bukan
Zidan berjalan perlahan mendekati Alesya dan Liam yang sedang bersama di taman. Senyumnya mengembang, penuh kepuasan sepanjang jalannya. Liam memperhatikan setiap langkah Zidan, hatinya tiba tiba merasa ragu, mencoba memahami situasi."Sudah lama kita tidak bertemu, Liam," ucap Zidan sambil menepuk bahu Liam ringan. "Aku ingin kau tahu bahwa selama ini, aku yang selalu ada disisi Alesya."Kata- kata itu seperti petir di siang bolong bagi Liam. Rasa nyeri yang mendadak muncul di ulu hatinya membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Lima tahun lalu, Alesya, istrinya, menghilang tanpa jejak. Dan kini, setelah pencarian yang begitu melelahkan dan penuh harap, Alesya muncul kembali bukan di sisinya, melainkan di sisi Zidan.Liam selalu membayangkan Alesya dalam doa dan mimpi, kini sepertinya Tuhan telah mendengar doanya, Alesya berdiri di hadapannya, tapi dengan aura yang berbeda. Liam bingung untuk mengatakan berbagai pertanyaan yang muncul di benaknya."Liam, aku—" Alesya mencoba berbic