"Kamu?!"Liam berdiri terpaku, matanya memandang tak percaya ke arah sosok wanita yang semula menunduk, membersihkan luka lecet di kaki Angel dan kini berdiri di hadapannya. "Ale!"Ya, wanita yang kini di depan Liam adalah Alesya, wanita yang dulu hilang tanpa jejak akibat kecelakaan tragis dan dinyatakan meninggal dunia itu kini berdiri dengan penampilan yang sangat berbeda. Rambutnya yang dulunya panjang kini dipotong pendek, dan gaya berpakaiannya yang dulu feminin, kini berubah menjadi lebih tomboi.Wajah Liam pucat, tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. "Alesya?" suaranya bergetar, tak yakin apakah itu benar-benar istrinya atau hanya bayang-bayang masa lalu yang kembali menghantuinya. Alesya mengangguk perlahan, matanya yang dulunya ceria kini terlihat sayu. "Ya, Liam, ini aku," jawabnya dengan suara yang serak, seolah-olah setiap kata yang diucapkan menguras kekuatannya.Liam melangkah mendekat, tangannya gemetar saat ia mencoba menyentuh wajah Alesya, memastikan bahwa ini bukan
Zidan berjalan perlahan mendekati Alesya dan Liam yang sedang bersama di taman. Senyumnya mengembang, penuh kepuasan sepanjang jalannya. Liam memperhatikan setiap langkah Zidan, hatinya tiba tiba merasa ragu, mencoba memahami situasi."Sudah lama kita tidak bertemu, Liam," ucap Zidan sambil menepuk bahu Liam ringan. "Aku ingin kau tahu bahwa selama ini, aku yang selalu ada disisi Alesya."Kata- kata itu seperti petir di siang bolong bagi Liam. Rasa nyeri yang mendadak muncul di ulu hatinya membuatnya hampir kehilangan keseimbangan. Lima tahun lalu, Alesya, istrinya, menghilang tanpa jejak. Dan kini, setelah pencarian yang begitu melelahkan dan penuh harap, Alesya muncul kembali bukan di sisinya, melainkan di sisi Zidan.Liam selalu membayangkan Alesya dalam doa dan mimpi, kini sepertinya Tuhan telah mendengar doanya, Alesya berdiri di hadapannya, tapi dengan aura yang berbeda. Liam bingung untuk mengatakan berbagai pertanyaan yang muncul di benaknya."Liam, aku—" Alesya mencoba berbic
"Iya. Wanita yang tadi berbicara dengan Papa namanya Alesya," ucap Angel dengan lugu dan Bella tak mampu berkata kata."Ternyata mereka mengenalku, Ma. Papa bilang ibunya Dev adalah teman dekat papa. Tapi yang membuatku heran adalah, sikap aneh Papa, dia memeluk lama pada wanita itu. Papa bahkan meneteskan air mata, Ma. Tangisan yang tak pernah aku lihat," lanjut Angel, masih dengan rasa takjub dan kebingungan. Bella memandang Liam, matanya penuh pertanyaan. Liam menghela nafas, diamnya adalah jawaban jika dia mengakui wanita itu memang benar Alesya, seperti pengaduan Angel. Bella tersenyum dan memeluk Angel, mencoba menenangkannya. "Sayang kamu ke ruang belajar dulu ya, kerjakan PR-mu.""Baik, Ma."Suasana di ruang tamu itu menjadi penuh emosi, dengan campuran kekesalan dan kejutan dari kembalinya Alesya. Meski Angel sudah mengatakan yang sebenarnya, entah mengapa Bella tak percaya dan berharap semuanya hanya mimpi."Apakah benar yang dikatakan Angel, Liam? Apakah wanita dan anak yan
"Angel, maukah kamu menolong mama," ucap Bella pada putrinya.Angel masih sedih mengingat sikap Liam, dengan enggan menyeka air di sudut mata lalu menjawab, "mama minta bantuan apa?""Tolong kamu bujuk papa kamu agar menjauh dari Dev dan ibunya. Ibunya adalah wanita tidak baik." "Baik Ma, aku akan bicarakan hal ini dengan papa."Bella setuju, segera memberikan jari kelingkingnya untuk disatukan dengan jemari Angel. Tak lama kemudian Liam pulang dari kantor. Dia merasa heran dengan anak dan istrinya yang tengah tersenyum bersama. "Apa yang sedang kalian diskusikan?" tanya Liam penasaran dan mendekat."Tidak ada. Em, aku akan menyiapkan air hangat untukmu." Bella segera melipir pergi ke kamar mandi sedangkan Liam duduk di samping Bella. "Katakan pada Papa, apa saja kegiatan anak manis papa ini?""Em, tidak ada. Seharian aku hanya di kamar.""Benarkah? Memangnya ada apa sayang?""Ada yang sedang aku pikirkan. Apakah papa mau tahu?""Apa itu, coba ceritakan pada papa."Angel menatap ayah
"Sudah hampir petang. Kita harus kembali Dev," ucap Zidan menghentikan aktivitas sepak bola di depannya."Yah, padahal lagi seru serunya," keluh Dev tak mau mengakhiri permainan tersebut.Dengan berat hati Dev segera berlari kepada Zidan tanpa berpamitan dengan Liam. Menggandeng tangan Zidan dan berbalik bersama."Tunggu?!"Liam menghentikan langkah mereka, mendekat dan berkata, "bolehkah aku ikut kalian? Ada yang ingin aku tanyakan kepada Alesya."Dev memandang Zidan sekilas, meminta jawaban kepada lelaki yang dianggap ayah itu. Zidan mengangguk setuju meski keinginan di hati menolak keras permintaan Liam. "Baiklah, Paman. Kamu boleh ikut."Mereka segera berjalan menuju mobil. Melaju membelah jalanan di tengah keramaian kota. Sepanjang perjalanan, Liam memperhatikan detail, menyimpan dalam memori tempat yang kini dituju.30 menit kemudian.Zidan membuka pintu rumahnya dengan perasaan campur aduk. Dia menoleh ke belakang, memastikan Liam mengikutinya masuk. Cahaya lampu menyinari waj
"Berhenti."Alesya menarik tangan Zidan dengan kuat, menahan langkahnya yang hendak maju ke depan Dev. "Tunggu, Zidan," bisiknya dengan suara yang penuh urgensi. Di matanya, terlihat kepanikan yang mencoba ia sembunyikan. Zidan menoleh, kebingungan terlukis jelas di wajahnya."Kenapa, Le? Ada apa?" tanya Zidan, cemas melihat ekspresi Alesya yang jarang sekali terlihat.Alesya menelan ludah, matanya sejenak melirik ke arah Dev yang berdiri tidak jauh dari mereka, sibuk menerka apa yang Zidan dan Alesya bicarakan. "Jangan katakan apa-apa tentang itu sekarang. Aku... aku hanya minta waktu," ucapnya, suaranya hampir tidak terdengar.Zidan, yang semula ingin membongkar semua rahasia yang dipendam, merasa ragu. Ia bisa melihat kesungguhan dalam mata Alesya, keseriusan yang membuatnya harus berpikir dua kali. "Baiklah, tapi kita tidak bisa terus-terusan seperti ini, Ley. Kamu tahu itu," sahut Zidan, suaranya lembut namun teguh.Alesya mengangguk pelan, "Aku tahu, dan aku berjanji ini tidak a
"Setelah semua yang terjadi, setelah aku ... setelah kita semua mengira kau telah tiada?" Liam menggenggam tangan Alesya, mencari kehangatan yang pernah ada.Alesya menarik nafas dalam, air matanya mulai menggenang. "Liam, aku ... aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Setelah kecelakaan itu, aku amnesia. Aku bahkan tidak ingat siapa aku, atau bahwa aku memiliki keluarga. Zidan, dia menolongku, dia memberiku kehidupan baru," suaranya lirih, dipenuhi penyesalan.Liam menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Hatinya seakan terbelah mendengar pengakuan Alesya. "Tapi kenapa tidak mencari tahu tentang masa lalumu, Alesya? Bukankah seharusnya itu yang kau lakukan?"Alesya terdiam, hal itu memang tak terpikirkan olehnya. Alesya mengusap air mata yang mulai jatuh. "Aku mencoba, Liam. Tapi setiap kali aku mencoba mengingat, itu hanya membawa sakit. Aku takut. Aku takut akan kehilangan segalanya lagi."Saat itu fokusnya hanya membesarkan Devano."Ale, meski kamu hilang ingatan, tapi ad
Brukh"Auwh!"Alesya meringis kesakitan setelah kakinya tersandung sesuatu. Dia kembali berdiri dengan gemetar, memandang sekitar namun tak ada siapapun di sana. "Devano? Zidan?" teriak Alesya, berharap jika ada yang mendengarnya. Namun, tempat itu masih saja gelap dan sepi.Alesya mencoba menggerakkan kaki, dipercepat langkahnya namun lagi lagi terhenti, bingung dengan keadaan diri sendiri.Lab.Tiba tiba saja, lampu menyala dan menerangi seisi ruangan. "Syukurlah, aku hampir saja mati, ya Tuhan," ucap Alesya bersyukur."Ale, kamu tidak apa apa?" tanya Zidan yang baru saja menyalakan saklar rumah. Terjadi konsleting listrik sehingga Zidan harus membenarkan penyebab konsleting."Aku baik baik saja.""Benarkah? Kalau begitu istirahatlah!""Baik." Alesya segera berjalan menuju kamarnya.Malam itu, kamar Alesya hanya diterangi oleh sinar rembulan yang merembes masuk melalui jendela. Di balik keheningan yang mencoba menenangkan, ketakutan masih menerkam jiwa Alesya. Seprai putih yang menu