"Sudah hampir petang. Kita harus kembali Dev," ucap Zidan menghentikan aktivitas sepak bola di depannya."Yah, padahal lagi seru serunya," keluh Dev tak mau mengakhiri permainan tersebut.Dengan berat hati Dev segera berlari kepada Zidan tanpa berpamitan dengan Liam. Menggandeng tangan Zidan dan berbalik bersama."Tunggu?!"Liam menghentikan langkah mereka, mendekat dan berkata, "bolehkah aku ikut kalian? Ada yang ingin aku tanyakan kepada Alesya."Dev memandang Zidan sekilas, meminta jawaban kepada lelaki yang dianggap ayah itu. Zidan mengangguk setuju meski keinginan di hati menolak keras permintaan Liam. "Baiklah, Paman. Kamu boleh ikut."Mereka segera berjalan menuju mobil. Melaju membelah jalanan di tengah keramaian kota. Sepanjang perjalanan, Liam memperhatikan detail, menyimpan dalam memori tempat yang kini dituju.30 menit kemudian.Zidan membuka pintu rumahnya dengan perasaan campur aduk. Dia menoleh ke belakang, memastikan Liam mengikutinya masuk. Cahaya lampu menyinari waj
"Berhenti."Alesya menarik tangan Zidan dengan kuat, menahan langkahnya yang hendak maju ke depan Dev. "Tunggu, Zidan," bisiknya dengan suara yang penuh urgensi. Di matanya, terlihat kepanikan yang mencoba ia sembunyikan. Zidan menoleh, kebingungan terlukis jelas di wajahnya."Kenapa, Le? Ada apa?" tanya Zidan, cemas melihat ekspresi Alesya yang jarang sekali terlihat.Alesya menelan ludah, matanya sejenak melirik ke arah Dev yang berdiri tidak jauh dari mereka, sibuk menerka apa yang Zidan dan Alesya bicarakan. "Jangan katakan apa-apa tentang itu sekarang. Aku... aku hanya minta waktu," ucapnya, suaranya hampir tidak terdengar.Zidan, yang semula ingin membongkar semua rahasia yang dipendam, merasa ragu. Ia bisa melihat kesungguhan dalam mata Alesya, keseriusan yang membuatnya harus berpikir dua kali. "Baiklah, tapi kita tidak bisa terus-terusan seperti ini, Ley. Kamu tahu itu," sahut Zidan, suaranya lembut namun teguh.Alesya mengangguk pelan, "Aku tahu, dan aku berjanji ini tidak a
"Setelah semua yang terjadi, setelah aku ... setelah kita semua mengira kau telah tiada?" Liam menggenggam tangan Alesya, mencari kehangatan yang pernah ada.Alesya menarik nafas dalam, air matanya mulai menggenang. "Liam, aku ... aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Setelah kecelakaan itu, aku amnesia. Aku bahkan tidak ingat siapa aku, atau bahwa aku memiliki keluarga. Zidan, dia menolongku, dia memberiku kehidupan baru," suaranya lirih, dipenuhi penyesalan.Liam menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Hatinya seakan terbelah mendengar pengakuan Alesya. "Tapi kenapa tidak mencari tahu tentang masa lalumu, Alesya? Bukankah seharusnya itu yang kau lakukan?"Alesya terdiam, hal itu memang tak terpikirkan olehnya. Alesya mengusap air mata yang mulai jatuh. "Aku mencoba, Liam. Tapi setiap kali aku mencoba mengingat, itu hanya membawa sakit. Aku takut. Aku takut akan kehilangan segalanya lagi."Saat itu fokusnya hanya membesarkan Devano."Ale, meski kamu hilang ingatan, tapi ad
Brukh"Auwh!"Alesya meringis kesakitan setelah kakinya tersandung sesuatu. Dia kembali berdiri dengan gemetar, memandang sekitar namun tak ada siapapun di sana. "Devano? Zidan?" teriak Alesya, berharap jika ada yang mendengarnya. Namun, tempat itu masih saja gelap dan sepi.Alesya mencoba menggerakkan kaki, dipercepat langkahnya namun lagi lagi terhenti, bingung dengan keadaan diri sendiri.Lab.Tiba tiba saja, lampu menyala dan menerangi seisi ruangan. "Syukurlah, aku hampir saja mati, ya Tuhan," ucap Alesya bersyukur."Ale, kamu tidak apa apa?" tanya Zidan yang baru saja menyalakan saklar rumah. Terjadi konsleting listrik sehingga Zidan harus membenarkan penyebab konsleting."Aku baik baik saja.""Benarkah? Kalau begitu istirahatlah!""Baik." Alesya segera berjalan menuju kamarnya.Malam itu, kamar Alesya hanya diterangi oleh sinar rembulan yang merembes masuk melalui jendela. Di balik keheningan yang mencoba menenangkan, ketakutan masih menerkam jiwa Alesya. Seprai putih yang menu
"Apa maksud papa?"Liam melupakan satu hal yaitu anak perempuannya. "Ah itu….""Angel kamu pergi ke kamar, Mama dan Papa akan berjicara sebentar."Angel mengangguk, segera berlari ke kamar dan menutup pintu. Anak sekecil itu bisa merasakan ketegangan yang terjadi, memutuskan meringkuk dan bersandar pada pintu kamarnya. "Ya Tuhan, tolong pisahkan Papa dan Mamaku, " pintanya.Liam tampak gusar, menyadari kesalahannya. "Aku... aku tidak bermaksud menyakiti Angel. Aku hanya...""Tidak, kamu tidak hanya menyakiti Angel melainkan hatiku juga." Matanya mulai berkaca-kaca. "Liam, kamu sungguh jahat," ucap Bella menangis histeris. "Kamu tidak berpikir tentang bagaimana ini akan mempengaruhi keluarga ini, tentang bagaimana Angel akan merasa sakit jika tahu ayahnya lebih memilih menghabiskan waktu dengan orang lain daripada dengannya."Ruang makan yang sebelumnya hanya dipenuhi dentingan sendok kini sunyi, hanya suara Bella yang lirih namun tajam mengisi ruangan, menunjukkan betapa kecewanya di
"Alesya, maukah kamu berdansa denganku?!""Apa?"Alesya tak percaya jika Liam mengajaknya berdansa, bahkan di depan anak anaknya. Merasa tak enak, wanita itu berniat menolaknya namun tiba tiba …."Ikutlah berdansa dengan papaku, Tante."Suara Angel menggema di ruangan itu membuat Alesya, Dev dan Liam membulatkan mata tak percaya. "Kenapa kalian melihatku begitu? Bukankah kita keluarga?" ucap Angel, seolah mengerti apa yang mereka pikirkan."Bagus sekali, Angel. Terima kasih sayang, Papa akan berdansa dengan Tante sebentar ya?"Angel mengangguk pasti sedangkan Dev, merasa tak rela. Ditatap penuh tanya, anak kecil yang sepadan dengan dirinya itu. Semakin menatap, rasa tak suka semakin dalam. "Huft, aku bisa gila!" keluh Dev sambil mengeluarkan ponsel beserta earphone bluetooth miliknya.Dev ingin bersantai sejenak, earphone terpasang di telinga, mata tertutup sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Di sisi lain, kedua orang tuanya, Alesya dan Liam, sibuk berdansa di depan kedua anakny
"Wah, kalian terlihat sangat bahagia. Bolehkah aku bergabung?!?!""Kamu?""Bella," ucap Alesya, segera berdiri dari duduknya.Ketika malam menjelang, Bella yang dilanda kekhawatiran tak terbendung memutuskan untuk mengecek keberadaan Liam dan Angel. Sejak sore, mereka belum kembali dari kunjungan ke rumah Alesya, istri kedua Liam yang selalu membuat Bella resah. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya Bella menemukan mereka di kafe yang sering didatangi Liam, terpampang jelas dari jendela besar kafe tersebut.Dari kejauhan, Bella melihat Liam dan Alesya sedang tertawa lepas bersama. Mereka berdansa dengan riang di tengah kafe. Detik itu juga, rasa sakit menggumpal di dada Bella. Matanya berkaca-kaca melihat keakraban yang terpampang begitu nyata, namun dia mengumpulkan keberaniannya untuk tidak menunjukkan air mata.Dengan nafas yang tercekat, Bella melangkah masuk ke kafe. Melihat Bella, Liam dan Alesya terkejut, namun Bella mengusap air matanya dan menarik senyum tipis. "Wah, kalian
"Jadi kamu membohongiku, Bella." "Untuk apa aku membohongimu, Liam. Aku benar benar ingin Alesya tinggal bersama kita." "Sudahlah kenapa kalian bertengkar? Aku benci orang dewasa yang bersikap seperti anak anak," ucap Angel menengahi perdebatan yang kini terjadi. Dia memutuskan untuk pergi seorang diri. Melihat sang anak pergi, Bella segera mengejarnya. "Angel, tunggu mama." Liam hanya bisa menyugar kasar rambutnya. Tak tahu harus melakukan apa lagi untuk menghentikan aksi Bella. Liam yakin betul jika Bella tak akan tinggal diam. Jadi, harus segera mengambil langkah untuk mengantisipasi seorang Bella.Kediaman Roderick. "Hufht, hari yang cukup melelahkan," keluh Bella saat tubuhnya mendarat empuk di ranjang. Angel yang tadinya tidur, tiba tiba saja mendatangi kamar Bella. "Angel, ada apa sayang?" "Aku tidak bisa tidur. Ma, bolehkah malam ini aku tidur bersamamu?" "Tentu saja. Sini sayang, tidur sama mama."Angel segera naik ranjang dan memeluk tubuh Bella, tersenyum manis dan me