"Jadi kamu membohongiku, Bella." "Untuk apa aku membohongimu, Liam. Aku benar benar ingin Alesya tinggal bersama kita." "Sudahlah kenapa kalian bertengkar? Aku benci orang dewasa yang bersikap seperti anak anak," ucap Angel menengahi perdebatan yang kini terjadi. Dia memutuskan untuk pergi seorang diri. Melihat sang anak pergi, Bella segera mengejarnya. "Angel, tunggu mama." Liam hanya bisa menyugar kasar rambutnya. Tak tahu harus melakukan apa lagi untuk menghentikan aksi Bella. Liam yakin betul jika Bella tak akan tinggal diam. Jadi, harus segera mengambil langkah untuk mengantisipasi seorang Bella.Kediaman Roderick. "Hufht, hari yang cukup melelahkan," keluh Bella saat tubuhnya mendarat empuk di ranjang. Angel yang tadinya tidur, tiba tiba saja mendatangi kamar Bella. "Angel, ada apa sayang?" "Aku tidak bisa tidur. Ma, bolehkah malam ini aku tidur bersamamu?" "Tentu saja. Sini sayang, tidur sama mama."Angel segera naik ranjang dan memeluk tubuh Bella, tersenyum manis dan me
"Alesya, aku akan menyerahkan Liam dan Angel padamu." Isi pesan dari Bella, membuat Alesya tak paham. Berkali kali menggelengkan kepalanya. "Apa maksudnya ini?"Zidan yang ikut membaca segera menutup ponselnya. "Sudah jangan hiraukan Bella. Mungkin saja dia ingin menghancurkan mentalmu dengan kalimat tak jelas seperti itu.""Tapi Zidan, Bella sepertinya berubah. Tadi, dia memintaku untuk tinggal bersama. Dari sorot matanya, dia sama sekali tak berbohong, terlihat tulus.""Jangan termakan rayuannya. Dari dulu dia seperti ular berbisa. Jika kamu mendekat dan lengah, kamu akan terkena bisanya," ucap Zidan menggebu gebu. "Sudah Ale, pergilah tidur dan jangan memikirkan Bella lagi."Alesya mengangguk pelan, menuruti saran Zidan.Satu minggu kemudian.Matahari tengah terik saat Alesya mencabut jemuran yang masih lembab. Tiba-tiba, derap langkah tergesa terdengar dan Liam muncul dengan nafas tersengal-sengal. Wajahnya pucat, matanya sayu. "Liam?""Alesya, Bella …, Bella di rumah sakit," kata
Alesya memasuki ruang rawat inap dengan langkah gontai, tangannya bergetar ketika ia mendekati tempat tidur di mana Bella terbaring lemah. Cahaya matahari yang menembus tirai jendela memperlihatkan wajah yang pucat dan mata yang sayu. Alesya duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan Bella yang dingin."Dokter sudah memberitahuku, Kak," suara Alesya bergetar, "Aku tidak percaya ini terjadi padamu." Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Bella menatap adiknya, bibirnya bergetar hendak berkata namun hanya bisikan yang keluar."Sudahlah, Les...," Bella mencoba tersenyum, memberi kekuatan meski ia sendiri rapuh, "Yang penting kita masih bisa bersama sekarang."Alesya menundukkan kepala, menahan sesak yang menggumpal di dada. Di balik kedipan air matanya, ia mencari kata-kata yang bisa menghibur, namun yang ada hanya kehampaan. Bella mengusap air mata yang mulai jatuh di pipi adiknya dengan ibu jari."Jangan menangis untukku, Les. Aku ingin melihatmu tersenyum," ujar Bella lemah
"Aku..., akan menjaga Mama kamu."Alesya berjanji pada Angel jika dia akan menjaga Bella dengan baik. Bagaimanapun juga Bella adalah keluarga. Angel begitu bahagia mendengarnya, segera dipeluk manja wanita yang sangat mirip ibunya itu. "Terima kasih Bibi."Di saat Alesya dan Angel tersenyum dan menikmati kebersamaan, Liam datang dan bergabung. "Bagaimana keadaan Bella?" tanya Liam."Mama baru saja disuntik obat penenang, Pa.""Benarkah?" tanya Liam kaget dan mendekati dua orang tercinta. "Baik, kamu pasti lelah Sayang. Pulang sekolah tadi, kamu bersikeras untuk melihat keadaan Mama Bella. Bahkan papa kalah darimu. Sekarang, ayo kita pulang.""Tapi Pa, Mama Bella ....""Serahkan padaku, aku akan menjaganya," ucap Alesya penuh perhatian.Liam dan Angel memutuskan untuk pulang. Sampai di rumah Liam segera membersihkan diri, begitu pula Angel. Saat ini jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Liam melihat keadaan Angel di kamarnya."Papa.""Kamu belum tidur, Sayang? Tidurlah, Papa aka
"Ale, ayo cepat bawa aku keluar dari sini.""Apa yang kalian lakukan di sini?"DeghAlesya sengaja memberitahu kepada perawat jika Bella ingin keluar. Karena pihak rumah sakit tidak memperbolehkannya, Alesya terpaksa berbohong pada Bella. Kini mereka ketahuan oleh perawat lelaki yang bertugas menjaga ruangan Bella."Kami tak melakukan apapun," sahut Alesya ragu sedangkan Bella hanya diam saja."Maaf Nyonya tapi kamu terlalu lama di ruangan pasien. Dia harus istirahat.""Tapi Pak, saudara merasa sangat kesakitan. Dia hanya ingin ….""Kami tahu Nyonya, untuk itulah saya ke sini. Sudah waktunya Nyonya Bella disuntik obat. Mohon Anda segera pergi.""Baik."Dengan berat hati Alesya berjalan ke luar ruangan, meninggalkan Bella sendirian bersama perawat jaga. Ada tatapan tak biasa dari Bella, membuat Alesya merasa jika apa yang direncanakan telah diketahui oleh Bella. Tatapan kecewa yang begitu menusuk hati. Meski disembunyikan sebaik apapun Bella tetap mengerti.Di ruangan ICU yang dingin,
Alesya baru menyadari perkataan Liam, segera membuka ponsel. Jantungnya berdegup kencang saat melihat puluhan notifikasi dari Liam. Dia memegang kepalanya, menyesali mengapa baru sekarang dia memeriksa ponselnya. Dengan perasaan bersalah yang mendalam, dia mengatakan, "maaf Liam. Aku sungguh tak tahu jika ponselnya aku pakai mode silent."Liam, yang sedang duduk di sampingnya, menghela nafas lega. "Tidak apa-apa, Alesya. Yang penting kamu baik-baik saja," jawab Liam, mencoba menenangkan bahwa hal itu sudah terlewatkan.Mereka berdua terus berdoa, menunggu kabar terbaru tentang kesadaran Bella yang masih terbaring lemah di ruang ICU. Alesya, dengan rasa cemas yang membuncah, bertanya tentang Angel, putri Bella yang berusia lima tahun. Liam mengangkat wajahnya yang letih, matanya sembab, "Angel sedang bersama neneknya. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi, tapi dia tahu ibunya sakit."Rasa khawatir bercampur harap mewarnai ruang tunggu itu, sementara Alesya dan Liam
Zidan menapaki setiap lorong rumah sakit dengan langkah yang tergesa-gesa, jantungnya berdegup kencang, dada terasa sesak. Kepanikan membayangi setiap pikirannya mencari tahu di mana Alesya dirawat. "Alesya, di ruangan mana dia sekarang?" teriak Zidan pada petugas di meja informasi yang tampak kaget dengan kedatangannya yang mendadak. "Ba–baik Tuan, akan saya cek dulu."Dengan segera, ia diberi tahu nomor kamar dan tanpa menunggu lebih lama, Zidan melaju kencang. Tangan yang bergetar membuka pintu kamar Alesya, dan lega yang mendalam menyelimuti hatinya saat melihat Alesya terbaring di sana, masih hidup. Nafasnya tercekat saat melihat selang infus terpasang di lengan sahabat sekaligus cintanya itu. Ketika Alesya menatap kedatangan Zidan, sebuah senyum lemah dan keterkejutan terlukis di wajah pucatnya. "Zidan... kamu? Bagaimana bisa kamu di sini?" gumamnya lemah. Zidan segera mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Alesya dengan erat. "Aku sangat khawati
Liam, Alesya dan Zidan masuk ruang ICU untuk melihat kondisi Bella yang kritis saat ini. Ketiganya berdiri di samping ranjang Bella, mengenakan seragam pelindung lengkap yang membuat mereka terlihat seperti astronot di ruang angkasa. Bella tampak pucat, dengan selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Mata Bella menatap Alesya dengan penuh harap, meski pandangannya terlihat kabur oleh lelah.Alesya, yang selama ini kuat, kini terlihat rapuh. Matanya berkaca-kaca dan kakinya gemetar. Liam, yang selalu menjadi penopangnya, dengan cepat merangkul bahu Alesya, mencoba memberikan kekuatan. Alesya mencoba berbicara, namun hanya isak tangis yang keluar dari bibirnya yang gemetar.Dengan suara yang serak, Bella mulai berbicara, "Aku tahu waktuku tidak lama lagi, Alesya..." nafasnya tersengal, "aku ingin kau menjaga Angel, anakku. Dia membutuhkanmu."Alesya menggeleng dengan keras, matanya semakin berkaca-kaca, "Tidak, kak... kamu akan baik-baik saja. Kamu harus bertahan." Suaranya hampir ti
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
"Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa
Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb
"Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman
"Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau
Hari persidangan.Ruang sidang itu terasa besar dan berat dengan hiasan yang minimalis. Dindingnya berwarna abu-abu terang, memberikan suasana yang serius dan formal. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang yang ditutupi dengan kain putih rapi, di atasnya berjejer dokumen-dokumen penting yang terorganisir dengan baik. Sidang telah dimulai dengan ruangan yang penuh ketegangan. Mona berdiri dengan mantap di hadapan Hakim, menggenggam beberapa dokumen penting. Raut wajahnya tegang namun bertekad, menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan hak asuh atas putri sahabatnya, Angel."Yang Mulia, berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya adalah pihak yang lebih layak dalam membesarkan Angel," ucap Mona dengan suara yang bergetar sedikit karena emosi.Dia menyodorkan foto-foto, rekaman video, dan laporan sekolah yang menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam kehidupan Angel. Setiap bukti diserahkan dengan tangan yang sedikit gemetar, namun determinasinya tidak luntur.Sementara
"Apa maksudmu, Bu?" tanya Liam tak mengerti."Haha, aku hanya bercanda. Ini, ambillah! Aku memberikan gratis untuk anakmu yang baru sembuh."Liam mengernyitkan kening, bingung mencerna ucapan wanita tua di depannya. Meski berusia lanjut, nenek itu terlihat cantik dan elegan. Sangat tak padu dengan kegiatannya malam ini, sebagai penjual bunga."Benarkah ini gratis? Ah tidak tidak. Aku akan membayarnya. Ini, terimalah!"Liam membuang kasar uang kertas itu, berlalu dengan cepat setelah mendapatkan seikat bunga mawar. Mobil melaju dengan kencang tanpa memperdulikan wanita penjual bunga tadi. Sesekali Liam melirik seikat bunga mawarnya, memikirkan Angel yang pasti tersenyum bahagia."Tunggu aku, Sayang."Kediaman Roderick."Aku pulang.""Papa."Angel menyambut Liam dengan sorot mata yang bersinar saat melihat bunga mawar merah di tangan ayahnya. Anak perempuan kecil itu melompat kegirangan dan berlari menghampiri Liam, "Papa bawa bunga kesukaan Angel!" teriaknya penuh kegembiraan. Dengan
"Aku …, baiklah. Aku akan membantumu."Liam segera memegang tangan Andi. Senyuman terulas di bibir seksinya, juga bulir bening menetes di pipi. Andi segera merengkuh sahabatnya itu, memberi dukungan terhadap Liam. Namun, pelukan segera diakhiri. Dengan tatapan penuh telisik, Andi memandang Liam."Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia besar tentang pernikahanmu padaku?"Liam tersenyum kecut, mengingat betapa egoisnya kala itu. "Saat itu aku benar benar kecewa, saking kecewanya pada Bella, Alesya lah sebagai pelampiasan nya. Dan aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimanapun juga, Bella pernah menjadi wanita yang kucintai. Sekarang, aku hanya fokus hidup pada keluarga kecilku bersama Alesya."Andi mengangguk, memahami betapa sulitnya kehidupan Liam selama ini. Dan sahabatnya itu sukses menutup rapat masalah sehingga tak ada satupun yang mengerti kesulitan yang dihadapi. Bahkan perusahaan Roderick sama sekali tak terpengaruh. Sungguh lelaki yang bijaksana dan d