"Ale, ayo cepat bawa aku keluar dari sini.""Apa yang kalian lakukan di sini?"DeghAlesya sengaja memberitahu kepada perawat jika Bella ingin keluar. Karena pihak rumah sakit tidak memperbolehkannya, Alesya terpaksa berbohong pada Bella. Kini mereka ketahuan oleh perawat lelaki yang bertugas menjaga ruangan Bella."Kami tak melakukan apapun," sahut Alesya ragu sedangkan Bella hanya diam saja."Maaf Nyonya tapi kamu terlalu lama di ruangan pasien. Dia harus istirahat.""Tapi Pak, saudara merasa sangat kesakitan. Dia hanya ingin ….""Kami tahu Nyonya, untuk itulah saya ke sini. Sudah waktunya Nyonya Bella disuntik obat. Mohon Anda segera pergi.""Baik."Dengan berat hati Alesya berjalan ke luar ruangan, meninggalkan Bella sendirian bersama perawat jaga. Ada tatapan tak biasa dari Bella, membuat Alesya merasa jika apa yang direncanakan telah diketahui oleh Bella. Tatapan kecewa yang begitu menusuk hati. Meski disembunyikan sebaik apapun Bella tetap mengerti.Di ruangan ICU yang dingin,
Alesya baru menyadari perkataan Liam, segera membuka ponsel. Jantungnya berdegup kencang saat melihat puluhan notifikasi dari Liam. Dia memegang kepalanya, menyesali mengapa baru sekarang dia memeriksa ponselnya. Dengan perasaan bersalah yang mendalam, dia mengatakan, "maaf Liam. Aku sungguh tak tahu jika ponselnya aku pakai mode silent."Liam, yang sedang duduk di sampingnya, menghela nafas lega. "Tidak apa-apa, Alesya. Yang penting kamu baik-baik saja," jawab Liam, mencoba menenangkan bahwa hal itu sudah terlewatkan.Mereka berdua terus berdoa, menunggu kabar terbaru tentang kesadaran Bella yang masih terbaring lemah di ruang ICU. Alesya, dengan rasa cemas yang membuncah, bertanya tentang Angel, putri Bella yang berusia lima tahun. Liam mengangkat wajahnya yang letih, matanya sembab, "Angel sedang bersama neneknya. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi, tapi dia tahu ibunya sakit."Rasa khawatir bercampur harap mewarnai ruang tunggu itu, sementara Alesya dan Liam
Zidan menapaki setiap lorong rumah sakit dengan langkah yang tergesa-gesa, jantungnya berdegup kencang, dada terasa sesak. Kepanikan membayangi setiap pikirannya mencari tahu di mana Alesya dirawat. "Alesya, di ruangan mana dia sekarang?" teriak Zidan pada petugas di meja informasi yang tampak kaget dengan kedatangannya yang mendadak. "Ba–baik Tuan, akan saya cek dulu."Dengan segera, ia diberi tahu nomor kamar dan tanpa menunggu lebih lama, Zidan melaju kencang. Tangan yang bergetar membuka pintu kamar Alesya, dan lega yang mendalam menyelimuti hatinya saat melihat Alesya terbaring di sana, masih hidup. Nafasnya tercekat saat melihat selang infus terpasang di lengan sahabat sekaligus cintanya itu. Ketika Alesya menatap kedatangan Zidan, sebuah senyum lemah dan keterkejutan terlukis di wajah pucatnya. "Zidan... kamu? Bagaimana bisa kamu di sini?" gumamnya lemah. Zidan segera mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Alesya dengan erat. "Aku sangat khawati
Liam, Alesya dan Zidan masuk ruang ICU untuk melihat kondisi Bella yang kritis saat ini. Ketiganya berdiri di samping ranjang Bella, mengenakan seragam pelindung lengkap yang membuat mereka terlihat seperti astronot di ruang angkasa. Bella tampak pucat, dengan selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Mata Bella menatap Alesya dengan penuh harap, meski pandangannya terlihat kabur oleh lelah.Alesya, yang selama ini kuat, kini terlihat rapuh. Matanya berkaca-kaca dan kakinya gemetar. Liam, yang selalu menjadi penopangnya, dengan cepat merangkul bahu Alesya, mencoba memberikan kekuatan. Alesya mencoba berbicara, namun hanya isak tangis yang keluar dari bibirnya yang gemetar.Dengan suara yang serak, Bella mulai berbicara, "Aku tahu waktuku tidak lama lagi, Alesya..." nafasnya tersengal, "aku ingin kau menjaga Angel, anakku. Dia membutuhkanmu."Alesya menggeleng dengan keras, matanya semakin berkaca-kaca, "Tidak, kak... kamu akan baik-baik saja. Kamu harus bertahan." Suaranya hampir ti
"Siapa di sana?"Zidan masuk ke dalam rumah membuat Devano dan Angel menghela nafas, lega."Paman Zidan, Mamaku ...."Zidan dengan lembut memeluk Angel, gadis kecil yang matanya masih merah karena menangis. Dengan suara yang berusaha tetap tenang, dia berbisik, "Kita harus kuat, sayang. Untuk Mama Bella." Angel mengangguk pelan, memegang erat tangan Zidan.Di sisi lain, Zidan memandang Devano, anak lelakinya yang tampak kebingungan. "Dev, pakailah pakaian hitam. Itu tanda kita menghormati Tante Bella," ujar Zidan, sambil membantu Devano mengganti baju. Devano hanya mengangguk, matanya tidak lepas dari foto Bella yang terpajang di ruang tamu.Marco datang membawa beberapa kotak besar berisi lilin, buku doa, dan segala sesuatu yang diperlukan untuk prosesi penyambutan jenazah Bella. "Semua sudah siap, Zidan. Kita akan buat ini sebaik mungkin untuk Bella," kata Marco, sambil menepuk punggung Zidan."Paman, dari mana Anda tahu jika Bella ….""Aku tahu saat Angel menerima panggilan dari Ru
"Mama Bella?!"Angel memekik, air mata mengalir deras di pipi mungilnya saat peti mati berwarna hitam pekat itu perlahan diturunkan ke dalam lubang yang telah digali. "Berhenti! Jangan bawa Mama pergi!" teriaknya dengan suara yang parau. Liam, yang berdiri di sampingnya, meraih bahu Angel, mencoba menenangkan anak yang baru berusia lima tahun itu. Dengan lembut, dia membungkuk, menatap matanya yang merah, "Angel, Sayang. Mama sedang pergi ke tempat yang lebih baik," bisik Liam, mencoba menyelipkan pengertian dalam kata-katanya.Alesya yang merupakan tante dari Angel, juga ikut mendekat. Rambutnya yang panjang terurai seiring dengan kelembutan suaranya, "Angel, kamu tidak sendirian, Tante Alesya masih di sini denganmu." Dia mengusap punggung Angel dengan penuh kasih. Namun, Angel tampak tidak terhibur, tangisannya semakin menjadi saat gumpalan tanah pertama mulai menutupi peti mati. Liam menggenggam tangan Angel, memberikan dukungan yang bisa ditawarkan, hatinya terasa berat melihat
Pagi itu matahari bersinar terang di luar, namun sinarnya tidak mampu menembus kegelapan yang menyelimuti rumah Liam. Di dapur, Alesya sibuk mempersiapkan berbagai jenis masakan untuk sarapan, mencoba menghidupkan suasana dengan aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat. Panci dan wajan berdering dengan bunyi gemerincing saat Alesya bergerak lincah, namun usahanya terasa sia-sia dalam suasana duka yang mendalam.Di ruang makan, Angel baru saja duduk dengan pandangan tajam dan sinis. Devano menyusul duduk di samping Angel, memberi senyuman untuk adiknya itu. Namun, tak ada balasan, yang ada hanya tatapan benci. Tumpukan piring di depan Alesya berisi berbagai masakan yang belum tersentuh, seolah-olah setiap suapan menjadi terlalu berat untuk ditelan di tengah kesedihan yang mendalam. "Mamaku baru saja meninggal dunia tapi kamu malah masak masakan banyak sekali, kamu tidak bersedih atas kematian kakakmu, hah?""Apa? Ah, maksud tante, tidak seperti itu, Angel." Sua
"Ya Tuhan, Angel!" teriak Alesya, matanya terbelalak tak percaya melihat Angel terbaring lemah di lantai dengan lengan yang bersimbah darah. Pecahan gelas yang berceceran di samping tubuh Angel mengisyaratkan tragedi yang terjadi. "Angel, bangun Sayang!" teriak Alesya, berusaha mengguncang tubuh yang tak bergerak itu. Suara tangisannya memecah kesunyian, rasa panik dan ketakutan bercampur menjadi satu.Marco segera berlutut di samping Angel, tangannya gemetar saat mencoba menahan darah yang terus mengalir."Angel, apa yang kamu lakukan?" tanya Marco penuh kepanikan. Marco tak pernah menyangka jika anak berusia lima tahun bisa melakukan hal gila. Begitu beratkah beban mental hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?Devano, yang dari tadi terdiam di belakang Marco dan Alesya, hanya bisa menatap hampa ke arah adiknya. Kakinya terasa lemas, hatinya serasa dihujam ribuan duri. Tak ada kata yang bisa diucapkan, hanya tatapan kosong yang terpaku pada tubuh Angel yang pucat pasi."Tolong