Zidan menapaki setiap lorong rumah sakit dengan langkah yang tergesa-gesa, jantungnya berdegup kencang, dada terasa sesak. Kepanikan membayangi setiap pikirannya mencari tahu di mana Alesya dirawat. "Alesya, di ruangan mana dia sekarang?" teriak Zidan pada petugas di meja informasi yang tampak kaget dengan kedatangannya yang mendadak. "Ba–baik Tuan, akan saya cek dulu."Dengan segera, ia diberi tahu nomor kamar dan tanpa menunggu lebih lama, Zidan melaju kencang. Tangan yang bergetar membuka pintu kamar Alesya, dan lega yang mendalam menyelimuti hatinya saat melihat Alesya terbaring di sana, masih hidup. Nafasnya tercekat saat melihat selang infus terpasang di lengan sahabat sekaligus cintanya itu. Ketika Alesya menatap kedatangan Zidan, sebuah senyum lemah dan keterkejutan terlukis di wajah pucatnya. "Zidan... kamu? Bagaimana bisa kamu di sini?" gumamnya lemah. Zidan segera mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Alesya dengan erat. "Aku sangat khawati
Liam, Alesya dan Zidan masuk ruang ICU untuk melihat kondisi Bella yang kritis saat ini. Ketiganya berdiri di samping ranjang Bella, mengenakan seragam pelindung lengkap yang membuat mereka terlihat seperti astronot di ruang angkasa. Bella tampak pucat, dengan selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Mata Bella menatap Alesya dengan penuh harap, meski pandangannya terlihat kabur oleh lelah.Alesya, yang selama ini kuat, kini terlihat rapuh. Matanya berkaca-kaca dan kakinya gemetar. Liam, yang selalu menjadi penopangnya, dengan cepat merangkul bahu Alesya, mencoba memberikan kekuatan. Alesya mencoba berbicara, namun hanya isak tangis yang keluar dari bibirnya yang gemetar.Dengan suara yang serak, Bella mulai berbicara, "Aku tahu waktuku tidak lama lagi, Alesya..." nafasnya tersengal, "aku ingin kau menjaga Angel, anakku. Dia membutuhkanmu."Alesya menggeleng dengan keras, matanya semakin berkaca-kaca, "Tidak, kak... kamu akan baik-baik saja. Kamu harus bertahan." Suaranya hampir ti
"Siapa di sana?"Zidan masuk ke dalam rumah membuat Devano dan Angel menghela nafas, lega."Paman Zidan, Mamaku ...."Zidan dengan lembut memeluk Angel, gadis kecil yang matanya masih merah karena menangis. Dengan suara yang berusaha tetap tenang, dia berbisik, "Kita harus kuat, sayang. Untuk Mama Bella." Angel mengangguk pelan, memegang erat tangan Zidan.Di sisi lain, Zidan memandang Devano, anak lelakinya yang tampak kebingungan. "Dev, pakailah pakaian hitam. Itu tanda kita menghormati Tante Bella," ujar Zidan, sambil membantu Devano mengganti baju. Devano hanya mengangguk, matanya tidak lepas dari foto Bella yang terpajang di ruang tamu.Marco datang membawa beberapa kotak besar berisi lilin, buku doa, dan segala sesuatu yang diperlukan untuk prosesi penyambutan jenazah Bella. "Semua sudah siap, Zidan. Kita akan buat ini sebaik mungkin untuk Bella," kata Marco, sambil menepuk punggung Zidan."Paman, dari mana Anda tahu jika Bella ….""Aku tahu saat Angel menerima panggilan dari Ru
"Mama Bella?!"Angel memekik, air mata mengalir deras di pipi mungilnya saat peti mati berwarna hitam pekat itu perlahan diturunkan ke dalam lubang yang telah digali. "Berhenti! Jangan bawa Mama pergi!" teriaknya dengan suara yang parau. Liam, yang berdiri di sampingnya, meraih bahu Angel, mencoba menenangkan anak yang baru berusia lima tahun itu. Dengan lembut, dia membungkuk, menatap matanya yang merah, "Angel, Sayang. Mama sedang pergi ke tempat yang lebih baik," bisik Liam, mencoba menyelipkan pengertian dalam kata-katanya.Alesya yang merupakan tante dari Angel, juga ikut mendekat. Rambutnya yang panjang terurai seiring dengan kelembutan suaranya, "Angel, kamu tidak sendirian, Tante Alesya masih di sini denganmu." Dia mengusap punggung Angel dengan penuh kasih. Namun, Angel tampak tidak terhibur, tangisannya semakin menjadi saat gumpalan tanah pertama mulai menutupi peti mati. Liam menggenggam tangan Angel, memberikan dukungan yang bisa ditawarkan, hatinya terasa berat melihat
Pagi itu matahari bersinar terang di luar, namun sinarnya tidak mampu menembus kegelapan yang menyelimuti rumah Liam. Di dapur, Alesya sibuk mempersiapkan berbagai jenis masakan untuk sarapan, mencoba menghidupkan suasana dengan aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat. Panci dan wajan berdering dengan bunyi gemerincing saat Alesya bergerak lincah, namun usahanya terasa sia-sia dalam suasana duka yang mendalam.Di ruang makan, Angel baru saja duduk dengan pandangan tajam dan sinis. Devano menyusul duduk di samping Angel, memberi senyuman untuk adiknya itu. Namun, tak ada balasan, yang ada hanya tatapan benci. Tumpukan piring di depan Alesya berisi berbagai masakan yang belum tersentuh, seolah-olah setiap suapan menjadi terlalu berat untuk ditelan di tengah kesedihan yang mendalam. "Mamaku baru saja meninggal dunia tapi kamu malah masak masakan banyak sekali, kamu tidak bersedih atas kematian kakakmu, hah?""Apa? Ah, maksud tante, tidak seperti itu, Angel." Sua
"Ya Tuhan, Angel!" teriak Alesya, matanya terbelalak tak percaya melihat Angel terbaring lemah di lantai dengan lengan yang bersimbah darah. Pecahan gelas yang berceceran di samping tubuh Angel mengisyaratkan tragedi yang terjadi. "Angel, bangun Sayang!" teriak Alesya, berusaha mengguncang tubuh yang tak bergerak itu. Suara tangisannya memecah kesunyian, rasa panik dan ketakutan bercampur menjadi satu.Marco segera berlutut di samping Angel, tangannya gemetar saat mencoba menahan darah yang terus mengalir."Angel, apa yang kamu lakukan?" tanya Marco penuh kepanikan. Marco tak pernah menyangka jika anak berusia lima tahun bisa melakukan hal gila. Begitu beratkah beban mental hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?Devano, yang dari tadi terdiam di belakang Marco dan Alesya, hanya bisa menatap hampa ke arah adiknya. Kakinya terasa lemas, hatinya serasa dihujam ribuan duri. Tak ada kata yang bisa diucapkan, hanya tatapan kosong yang terpaku pada tubuh Angel yang pucat pasi."Tolong
"Di mana Angel?"Liam kebingungan saat tak ada siapapun di ranjang."Dokter memberitahu jika Angel dirawat di sini," jawab Marco.Adapun Alesya segera menuju ruang informasi, menanyakan di mana keberadaan Angel. Baru saja ingin bicara, Devano muncul dan menghampiri ibunya. "Mommy, ada apa?""Dev, Angel menghilang."Marco dan Liam pun mendekati Alesya. Mereka terlihat heran atas sikap Devano yang cukup tenang."Mommy, Daddy dan Kakek, kalian tenang dulu, Angel berada di tempat yang aman. Akulah yang memindahkan Angel ke ruang tersendiri. Bangsal anak terlalu ramai untuk Angel yang belum siuman.""Apa?""Bagaimana bisa?" tanya Marco. Seorang anak kecil tak akan bisa memindahkan pasien karena tidak mempunyai kuasa penuh seperti orang dewasa. Hal itu yang membuat Marco dan lainnya tak percaya sekaligus heran. Tak mungkin juga, Devano mempunyai pemikiran sejauh ini."Aku yang membantu Dev," sela lelaki berbadan tegap di belakang Devano."Zidan," ucap Alesya tak percaya. Didekati sahabatny
"Ayah Zidan mau pergi ke mana?"Mata Dev membelalak, tak percaya saat Zidan, ayahnya, mengatakan harus pergi jauh. Air mata mulai menggenang di kelopak matanya, dan seketika itu juga, tangisannya pecah, menggema di seluruh ruangan. "Ayah ada urusan penting, Dev.""Tapi Ayah, Dev tak mau Ayah pergi!" teriaknya dengan suara tercekat, tubuh kecilnya bergetar dalam ketakutan kehilangan.Zidan, dengan hati yang juga berat, duduk di samping Dev, mengangkat dagu anak yang telah dianggap anaknya sendiri itu dengan jari-jarinya dan mencubit pipinya gemas. "Dengar, Dev, lelaki sejati harus kuat dan tegar," ujarnya lembut namun tegas. Matanya menatap dalam ke mata Dev, mencoba menanamkan keberanian. "Ayah harus pergi untuk urusan penting, tapi Ayah akan selalu memikirkan Dev."Dev mengusap air matanya dengan punggung tangan, tatapan matanya masih sayu. Zidan mengambil tangan Dev, menggenggamnya erat. "Ayah akan selalu hubungi Dev, kita bisa bicara setiap hari. Dan Ayah janji akan membawakan Dev
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
"Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa
Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb
"Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman
"Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau
Hari persidangan.Ruang sidang itu terasa besar dan berat dengan hiasan yang minimalis. Dindingnya berwarna abu-abu terang, memberikan suasana yang serius dan formal. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang yang ditutupi dengan kain putih rapi, di atasnya berjejer dokumen-dokumen penting yang terorganisir dengan baik. Sidang telah dimulai dengan ruangan yang penuh ketegangan. Mona berdiri dengan mantap di hadapan Hakim, menggenggam beberapa dokumen penting. Raut wajahnya tegang namun bertekad, menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan hak asuh atas putri sahabatnya, Angel."Yang Mulia, berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya adalah pihak yang lebih layak dalam membesarkan Angel," ucap Mona dengan suara yang bergetar sedikit karena emosi.Dia menyodorkan foto-foto, rekaman video, dan laporan sekolah yang menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam kehidupan Angel. Setiap bukti diserahkan dengan tangan yang sedikit gemetar, namun determinasinya tidak luntur.Sementara
"Apa maksudmu, Bu?" tanya Liam tak mengerti."Haha, aku hanya bercanda. Ini, ambillah! Aku memberikan gratis untuk anakmu yang baru sembuh."Liam mengernyitkan kening, bingung mencerna ucapan wanita tua di depannya. Meski berusia lanjut, nenek itu terlihat cantik dan elegan. Sangat tak padu dengan kegiatannya malam ini, sebagai penjual bunga."Benarkah ini gratis? Ah tidak tidak. Aku akan membayarnya. Ini, terimalah!"Liam membuang kasar uang kertas itu, berlalu dengan cepat setelah mendapatkan seikat bunga mawar. Mobil melaju dengan kencang tanpa memperdulikan wanita penjual bunga tadi. Sesekali Liam melirik seikat bunga mawarnya, memikirkan Angel yang pasti tersenyum bahagia."Tunggu aku, Sayang."Kediaman Roderick."Aku pulang.""Papa."Angel menyambut Liam dengan sorot mata yang bersinar saat melihat bunga mawar merah di tangan ayahnya. Anak perempuan kecil itu melompat kegirangan dan berlari menghampiri Liam, "Papa bawa bunga kesukaan Angel!" teriaknya penuh kegembiraan. Dengan
"Aku …, baiklah. Aku akan membantumu."Liam segera memegang tangan Andi. Senyuman terulas di bibir seksinya, juga bulir bening menetes di pipi. Andi segera merengkuh sahabatnya itu, memberi dukungan terhadap Liam. Namun, pelukan segera diakhiri. Dengan tatapan penuh telisik, Andi memandang Liam."Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia besar tentang pernikahanmu padaku?"Liam tersenyum kecut, mengingat betapa egoisnya kala itu. "Saat itu aku benar benar kecewa, saking kecewanya pada Bella, Alesya lah sebagai pelampiasan nya. Dan aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimanapun juga, Bella pernah menjadi wanita yang kucintai. Sekarang, aku hanya fokus hidup pada keluarga kecilku bersama Alesya."Andi mengangguk, memahami betapa sulitnya kehidupan Liam selama ini. Dan sahabatnya itu sukses menutup rapat masalah sehingga tak ada satupun yang mengerti kesulitan yang dihadapi. Bahkan perusahaan Roderick sama sekali tak terpengaruh. Sungguh lelaki yang bijaksana dan d