"Aku..., akan menjaga Mama kamu."Alesya berjanji pada Angel jika dia akan menjaga Bella dengan baik. Bagaimanapun juga Bella adalah keluarga. Angel begitu bahagia mendengarnya, segera dipeluk manja wanita yang sangat mirip ibunya itu. "Terima kasih Bibi."Di saat Alesya dan Angel tersenyum dan menikmati kebersamaan, Liam datang dan bergabung. "Bagaimana keadaan Bella?" tanya Liam."Mama baru saja disuntik obat penenang, Pa.""Benarkah?" tanya Liam kaget dan mendekati dua orang tercinta. "Baik, kamu pasti lelah Sayang. Pulang sekolah tadi, kamu bersikeras untuk melihat keadaan Mama Bella. Bahkan papa kalah darimu. Sekarang, ayo kita pulang.""Tapi Pa, Mama Bella ....""Serahkan padaku, aku akan menjaganya," ucap Alesya penuh perhatian.Liam dan Angel memutuskan untuk pulang. Sampai di rumah Liam segera membersihkan diri, begitu pula Angel. Saat ini jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Liam melihat keadaan Angel di kamarnya."Papa.""Kamu belum tidur, Sayang? Tidurlah, Papa aka
"Ale, ayo cepat bawa aku keluar dari sini.""Apa yang kalian lakukan di sini?"DeghAlesya sengaja memberitahu kepada perawat jika Bella ingin keluar. Karena pihak rumah sakit tidak memperbolehkannya, Alesya terpaksa berbohong pada Bella. Kini mereka ketahuan oleh perawat lelaki yang bertugas menjaga ruangan Bella."Kami tak melakukan apapun," sahut Alesya ragu sedangkan Bella hanya diam saja."Maaf Nyonya tapi kamu terlalu lama di ruangan pasien. Dia harus istirahat.""Tapi Pak, saudara merasa sangat kesakitan. Dia hanya ingin ….""Kami tahu Nyonya, untuk itulah saya ke sini. Sudah waktunya Nyonya Bella disuntik obat. Mohon Anda segera pergi.""Baik."Dengan berat hati Alesya berjalan ke luar ruangan, meninggalkan Bella sendirian bersama perawat jaga. Ada tatapan tak biasa dari Bella, membuat Alesya merasa jika apa yang direncanakan telah diketahui oleh Bella. Tatapan kecewa yang begitu menusuk hati. Meski disembunyikan sebaik apapun Bella tetap mengerti.Di ruangan ICU yang dingin,
Alesya baru menyadari perkataan Liam, segera membuka ponsel. Jantungnya berdegup kencang saat melihat puluhan notifikasi dari Liam. Dia memegang kepalanya, menyesali mengapa baru sekarang dia memeriksa ponselnya. Dengan perasaan bersalah yang mendalam, dia mengatakan, "maaf Liam. Aku sungguh tak tahu jika ponselnya aku pakai mode silent."Liam, yang sedang duduk di sampingnya, menghela nafas lega. "Tidak apa-apa, Alesya. Yang penting kamu baik-baik saja," jawab Liam, mencoba menenangkan bahwa hal itu sudah terlewatkan.Mereka berdua terus berdoa, menunggu kabar terbaru tentang kesadaran Bella yang masih terbaring lemah di ruang ICU. Alesya, dengan rasa cemas yang membuncah, bertanya tentang Angel, putri Bella yang berusia lima tahun. Liam mengangkat wajahnya yang letih, matanya sembab, "Angel sedang bersama neneknya. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi, tapi dia tahu ibunya sakit."Rasa khawatir bercampur harap mewarnai ruang tunggu itu, sementara Alesya dan Liam
Zidan menapaki setiap lorong rumah sakit dengan langkah yang tergesa-gesa, jantungnya berdegup kencang, dada terasa sesak. Kepanikan membayangi setiap pikirannya mencari tahu di mana Alesya dirawat. "Alesya, di ruangan mana dia sekarang?" teriak Zidan pada petugas di meja informasi yang tampak kaget dengan kedatangannya yang mendadak. "Ba–baik Tuan, akan saya cek dulu."Dengan segera, ia diberi tahu nomor kamar dan tanpa menunggu lebih lama, Zidan melaju kencang. Tangan yang bergetar membuka pintu kamar Alesya, dan lega yang mendalam menyelimuti hatinya saat melihat Alesya terbaring di sana, masih hidup. Nafasnya tercekat saat melihat selang infus terpasang di lengan sahabat sekaligus cintanya itu. Ketika Alesya menatap kedatangan Zidan, sebuah senyum lemah dan keterkejutan terlukis di wajah pucatnya. "Zidan... kamu? Bagaimana bisa kamu di sini?" gumamnya lemah. Zidan segera mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Alesya dengan erat. "Aku sangat khawati
"Aku akan pulang untuk menemuimu."Kalimat singkat tertera pada bilah notifikasi ponsel Liam. Pesan itu tak sengaja dibaca Alesya, istri kedua Liam."Apa arti dari semua ini?" gumam wanita yang disapa Ale itu. Keningnya mengkerut sehingga kedua alis hampir menyatu, memikirkan berbagai asumsi tentang si pengirim pesan."Apa yang kamu lakukan?"Ale terperanjat mendengar suara tegas penuh penekanan dari lelaki yang begitu dicintainya. "Ah itu, em… ponselmu dari tadi bergetar, saat aku hendak menjawab tiba tiba panggilan berakhir."Jangan sentuh barangku!"Liam segera meraih ponsel dan pergi meninggalkan Alesya sendiri. Memberinya luka batin untuk kesekian kali.Tiga tahun telah berlalu sejak Alesya dan Liam menjalani kehidupan bersama sebagai suami istri. Setiap hari Alesya berharap ada cinta yang tumbuh di antara mereka, namun Liam sama sekali tidak peduli padanya.Alesya berusaha untuk menunjukkan rasa cintanya kepada Liam dengan mengurus keperluan rumah tangga, memasak makanan kesukaa
"Kau sudah kembali?" tanya Liam dengan suara berat, berusaha menahan perasaan yang ingin meledak di dalam hatinya."Ya, Liam," jawab Bella, menatap Liam dengan tatapan yang penuh harap. Liam mencoba membaca ekspresi wajah istrinya, mencari tahu apa yang bersembunyi di balik sorot matanya. Tatapan berhenti pada mata Bella."Bella, ini…"Liam menggantung kalimatnya, tak tahu harus berkata apa. Dia sungguh tak mengerti dengan penampilan Bella yang berubah. Sungguh berbeda dengan Bella yang dulu."Ini?" tunjuk Bella pada dirinya yang hanya memakai tank top dan rok jeans minim bahan."Aku akan menjelaskan semuanya tapi sebelum itu, aku ingin meminta maaf padamu, Liam.Aku bersalah karena pergi disaat kamu sakit. Aku mempunyai alasan atas kepergianku.""Alasan apa itu?""Di saat kamu mengalami sakit leukimia, aku sungguh khawatir padamu. Perusahaan pasti terkena dampak negatif jika media massa tahu kamu mengalami lumpuh permanen. Jadi, aku memutuskan mendonorkan sumsum tulang belakangku, un
"Aku mencintaimu sejak dulu. Bahkan sebelum kamu mengenal Bella," ucap Alesya parau.Liam terdiam sejenak, detik berikutnya tertawa sinis. "Cinta? Hah! Aku menikah denganmu karena terpaksa." Liam mengangkat tangan menahan Alesya yang hendak mendekatinya, seakan berkata jika di antara mereka berdua harus ada jarak."Kamu hanya beban yang harus aku tanggung."Alesya merasakan hatinya hancur berkeping-keping mendengar kata-kata suaminya. Ia mencoba mencari kekuatan untuk bangkit, namun Liam kembali menghujatnya."Kamu tidak akan bisa menjadi istri yang baik. Kamu hanya menambah penderitaan dalam hidupku."Tak mampu menahan rasa sakit hatinya, Alesya menatapnya sambil berujar," Liam, seharusnya kamu tahu, orang yang mendonorkannya padamu itu…""Ada apa ini?" Bella datang mendekat, memotong ucapan Alesya dan mencoba melerai pertengkaran yang terjadi. "Alesya, kenapa kamu menangis seperti itu?"Alesya tersenyum samar, menghapus air mata yang sedari tadi tak mau berhenti. "Kebetulan ada kam
"Bella!"Suara Liam menggelegar, memenuhi seluruh ruangan lantai dua. Dia segera mendekat."Li–Liam?" ucap Bella gemetar, ia tak menyangka jika Liam ada di Kediaman Noderick saat ini. 'Apakah Liam mendengarnya?' batin Bella cemas."Se–sejak kapan kamu ada disini?""Baru saja. Sedang apa kamu disini?""Aku… aku sedang menelpon bibiku di luar negeri.""Sudah larut, tidurlah!""Baik." Bella merasa lega setelah kepergian Liam, berfikir jika Liam tak mendengar pembicaraannya di telepon.Alesya sendiri segera berlari setelah mendengar ancaman Bella menuju kamar tidurnya, merasa tak ada lagi tempat yang aman untuknya.Ia sungguh syok mendengar ucapan Bella. 'Bagaimana bisa, kamu berani mencelakai adikmu sendiri?' batin Alesya menangis, merasa terpuruk dan tak ada harapan, seluruh kebahagiaan yang pernah ia rasakan seolah sirna seketika.Alesya duduk di tepi tempat tidurnya, menghela napas panjang. Ia kembali merasa kesepian di ranjang mereka. Liam yang selalu sibuk dengan pekerjaannya, serin