Alesya memasuki ruang rawat inap dengan langkah gontai, tangannya bergetar ketika ia mendekati tempat tidur di mana Bella terbaring lemah. Cahaya matahari yang menembus tirai jendela memperlihatkan wajah yang pucat dan mata yang sayu. Alesya duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan Bella yang dingin."Dokter sudah memberitahuku, Kak," suara Alesya bergetar, "Aku tidak percaya ini terjadi padamu." Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Bella menatap adiknya, bibirnya bergetar hendak berkata namun hanya bisikan yang keluar."Sudahlah, Les...," Bella mencoba tersenyum, memberi kekuatan meski ia sendiri rapuh, "Yang penting kita masih bisa bersama sekarang."Alesya menundukkan kepala, menahan sesak yang menggumpal di dada. Di balik kedipan air matanya, ia mencari kata-kata yang bisa menghibur, namun yang ada hanya kehampaan. Bella mengusap air mata yang mulai jatuh di pipi adiknya dengan ibu jari."Jangan menangis untukku, Les. Aku ingin melihatmu tersenyum," ujar Bella lemah
"Aku..., akan menjaga Mama kamu."Alesya berjanji pada Angel jika dia akan menjaga Bella dengan baik. Bagaimanapun juga Bella adalah keluarga. Angel begitu bahagia mendengarnya, segera dipeluk manja wanita yang sangat mirip ibunya itu. "Terima kasih Bibi."Di saat Alesya dan Angel tersenyum dan menikmati kebersamaan, Liam datang dan bergabung. "Bagaimana keadaan Bella?" tanya Liam."Mama baru saja disuntik obat penenang, Pa.""Benarkah?" tanya Liam kaget dan mendekati dua orang tercinta. "Baik, kamu pasti lelah Sayang. Pulang sekolah tadi, kamu bersikeras untuk melihat keadaan Mama Bella. Bahkan papa kalah darimu. Sekarang, ayo kita pulang.""Tapi Pa, Mama Bella ....""Serahkan padaku, aku akan menjaganya," ucap Alesya penuh perhatian.Liam dan Angel memutuskan untuk pulang. Sampai di rumah Liam segera membersihkan diri, begitu pula Angel. Saat ini jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Liam melihat keadaan Angel di kamarnya."Papa.""Kamu belum tidur, Sayang? Tidurlah, Papa aka
"Ale, ayo cepat bawa aku keluar dari sini.""Apa yang kalian lakukan di sini?"DeghAlesya sengaja memberitahu kepada perawat jika Bella ingin keluar. Karena pihak rumah sakit tidak memperbolehkannya, Alesya terpaksa berbohong pada Bella. Kini mereka ketahuan oleh perawat lelaki yang bertugas menjaga ruangan Bella."Kami tak melakukan apapun," sahut Alesya ragu sedangkan Bella hanya diam saja."Maaf Nyonya tapi kamu terlalu lama di ruangan pasien. Dia harus istirahat.""Tapi Pak, saudara merasa sangat kesakitan. Dia hanya ingin ….""Kami tahu Nyonya, untuk itulah saya ke sini. Sudah waktunya Nyonya Bella disuntik obat. Mohon Anda segera pergi.""Baik."Dengan berat hati Alesya berjalan ke luar ruangan, meninggalkan Bella sendirian bersama perawat jaga. Ada tatapan tak biasa dari Bella, membuat Alesya merasa jika apa yang direncanakan telah diketahui oleh Bella. Tatapan kecewa yang begitu menusuk hati. Meski disembunyikan sebaik apapun Bella tetap mengerti.Di ruangan ICU yang dingin,
Alesya baru menyadari perkataan Liam, segera membuka ponsel. Jantungnya berdegup kencang saat melihat puluhan notifikasi dari Liam. Dia memegang kepalanya, menyesali mengapa baru sekarang dia memeriksa ponselnya. Dengan perasaan bersalah yang mendalam, dia mengatakan, "maaf Liam. Aku sungguh tak tahu jika ponselnya aku pakai mode silent."Liam, yang sedang duduk di sampingnya, menghela nafas lega. "Tidak apa-apa, Alesya. Yang penting kamu baik-baik saja," jawab Liam, mencoba menenangkan bahwa hal itu sudah terlewatkan.Mereka berdua terus berdoa, menunggu kabar terbaru tentang kesadaran Bella yang masih terbaring lemah di ruang ICU. Alesya, dengan rasa cemas yang membuncah, bertanya tentang Angel, putri Bella yang berusia lima tahun. Liam mengangkat wajahnya yang letih, matanya sembab, "Angel sedang bersama neneknya. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi, tapi dia tahu ibunya sakit."Rasa khawatir bercampur harap mewarnai ruang tunggu itu, sementara Alesya dan Liam
Zidan menapaki setiap lorong rumah sakit dengan langkah yang tergesa-gesa, jantungnya berdegup kencang, dada terasa sesak. Kepanikan membayangi setiap pikirannya mencari tahu di mana Alesya dirawat. "Alesya, di ruangan mana dia sekarang?" teriak Zidan pada petugas di meja informasi yang tampak kaget dengan kedatangannya yang mendadak. "Ba–baik Tuan, akan saya cek dulu."Dengan segera, ia diberi tahu nomor kamar dan tanpa menunggu lebih lama, Zidan melaju kencang. Tangan yang bergetar membuka pintu kamar Alesya, dan lega yang mendalam menyelimuti hatinya saat melihat Alesya terbaring di sana, masih hidup. Nafasnya tercekat saat melihat selang infus terpasang di lengan sahabat sekaligus cintanya itu. Ketika Alesya menatap kedatangan Zidan, sebuah senyum lemah dan keterkejutan terlukis di wajah pucatnya. "Zidan... kamu? Bagaimana bisa kamu di sini?" gumamnya lemah. Zidan segera mengambil kursi dan duduk di samping tempat tidur, menggenggam tangan Alesya dengan erat. "Aku sangat khawati
Liam, Alesya dan Zidan masuk ruang ICU untuk melihat kondisi Bella yang kritis saat ini. Ketiganya berdiri di samping ranjang Bella, mengenakan seragam pelindung lengkap yang membuat mereka terlihat seperti astronot di ruang angkasa. Bella tampak pucat, dengan selang oksigen yang terpasang di hidungnya. Mata Bella menatap Alesya dengan penuh harap, meski pandangannya terlihat kabur oleh lelah.Alesya, yang selama ini kuat, kini terlihat rapuh. Matanya berkaca-kaca dan kakinya gemetar. Liam, yang selalu menjadi penopangnya, dengan cepat merangkul bahu Alesya, mencoba memberikan kekuatan. Alesya mencoba berbicara, namun hanya isak tangis yang keluar dari bibirnya yang gemetar.Dengan suara yang serak, Bella mulai berbicara, "Aku tahu waktuku tidak lama lagi, Alesya..." nafasnya tersengal, "aku ingin kau menjaga Angel, anakku. Dia membutuhkanmu."Alesya menggeleng dengan keras, matanya semakin berkaca-kaca, "Tidak, kak... kamu akan baik-baik saja. Kamu harus bertahan." Suaranya hampir ti
"Siapa di sana?"Zidan masuk ke dalam rumah membuat Devano dan Angel menghela nafas, lega."Paman Zidan, Mamaku ...."Zidan dengan lembut memeluk Angel, gadis kecil yang matanya masih merah karena menangis. Dengan suara yang berusaha tetap tenang, dia berbisik, "Kita harus kuat, sayang. Untuk Mama Bella." Angel mengangguk pelan, memegang erat tangan Zidan.Di sisi lain, Zidan memandang Devano, anak lelakinya yang tampak kebingungan. "Dev, pakailah pakaian hitam. Itu tanda kita menghormati Tante Bella," ujar Zidan, sambil membantu Devano mengganti baju. Devano hanya mengangguk, matanya tidak lepas dari foto Bella yang terpajang di ruang tamu.Marco datang membawa beberapa kotak besar berisi lilin, buku doa, dan segala sesuatu yang diperlukan untuk prosesi penyambutan jenazah Bella. "Semua sudah siap, Zidan. Kita akan buat ini sebaik mungkin untuk Bella," kata Marco, sambil menepuk punggung Zidan."Paman, dari mana Anda tahu jika Bella ….""Aku tahu saat Angel menerima panggilan dari Ru
"Mama Bella?!"Angel memekik, air mata mengalir deras di pipi mungilnya saat peti mati berwarna hitam pekat itu perlahan diturunkan ke dalam lubang yang telah digali. "Berhenti! Jangan bawa Mama pergi!" teriaknya dengan suara yang parau. Liam, yang berdiri di sampingnya, meraih bahu Angel, mencoba menenangkan anak yang baru berusia lima tahun itu. Dengan lembut, dia membungkuk, menatap matanya yang merah, "Angel, Sayang. Mama sedang pergi ke tempat yang lebih baik," bisik Liam, mencoba menyelipkan pengertian dalam kata-katanya.Alesya yang merupakan tante dari Angel, juga ikut mendekat. Rambutnya yang panjang terurai seiring dengan kelembutan suaranya, "Angel, kamu tidak sendirian, Tante Alesya masih di sini denganmu." Dia mengusap punggung Angel dengan penuh kasih. Namun, Angel tampak tidak terhibur, tangisannya semakin menjadi saat gumpalan tanah pertama mulai menutupi peti mati. Liam menggenggam tangan Angel, memberikan dukungan yang bisa ditawarkan, hatinya terasa berat melihat