"Berhenti."Alesya menarik tangan Zidan dengan kuat, menahan langkahnya yang hendak maju ke depan Dev. "Tunggu, Zidan," bisiknya dengan suara yang penuh urgensi. Di matanya, terlihat kepanikan yang mencoba ia sembunyikan. Zidan menoleh, kebingungan terlukis jelas di wajahnya."Kenapa, Le? Ada apa?" tanya Zidan, cemas melihat ekspresi Alesya yang jarang sekali terlihat.Alesya menelan ludah, matanya sejenak melirik ke arah Dev yang berdiri tidak jauh dari mereka, sibuk menerka apa yang Zidan dan Alesya bicarakan. "Jangan katakan apa-apa tentang itu sekarang. Aku... aku hanya minta waktu," ucapnya, suaranya hampir tidak terdengar.Zidan, yang semula ingin membongkar semua rahasia yang dipendam, merasa ragu. Ia bisa melihat kesungguhan dalam mata Alesya, keseriusan yang membuatnya harus berpikir dua kali. "Baiklah, tapi kita tidak bisa terus-terusan seperti ini, Ley. Kamu tahu itu," sahut Zidan, suaranya lembut namun teguh.Alesya mengangguk pelan, "Aku tahu, dan aku berjanji ini tidak a
"Setelah semua yang terjadi, setelah aku ... setelah kita semua mengira kau telah tiada?" Liam menggenggam tangan Alesya, mencari kehangatan yang pernah ada.Alesya menarik nafas dalam, air matanya mulai menggenang. "Liam, aku ... aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Setelah kecelakaan itu, aku amnesia. Aku bahkan tidak ingat siapa aku, atau bahwa aku memiliki keluarga. Zidan, dia menolongku, dia memberiku kehidupan baru," suaranya lirih, dipenuhi penyesalan.Liam menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Hatinya seakan terbelah mendengar pengakuan Alesya. "Tapi kenapa tidak mencari tahu tentang masa lalumu, Alesya? Bukankah seharusnya itu yang kau lakukan?"Alesya terdiam, hal itu memang tak terpikirkan olehnya. Alesya mengusap air mata yang mulai jatuh. "Aku mencoba, Liam. Tapi setiap kali aku mencoba mengingat, itu hanya membawa sakit. Aku takut. Aku takut akan kehilangan segalanya lagi."Saat itu fokusnya hanya membesarkan Devano."Ale, meski kamu hilang ingatan, tapi ad
Brukh"Auwh!"Alesya meringis kesakitan setelah kakinya tersandung sesuatu. Dia kembali berdiri dengan gemetar, memandang sekitar namun tak ada siapapun di sana. "Devano? Zidan?" teriak Alesya, berharap jika ada yang mendengarnya. Namun, tempat itu masih saja gelap dan sepi.Alesya mencoba menggerakkan kaki, dipercepat langkahnya namun lagi lagi terhenti, bingung dengan keadaan diri sendiri.Lab.Tiba tiba saja, lampu menyala dan menerangi seisi ruangan. "Syukurlah, aku hampir saja mati, ya Tuhan," ucap Alesya bersyukur."Ale, kamu tidak apa apa?" tanya Zidan yang baru saja menyalakan saklar rumah. Terjadi konsleting listrik sehingga Zidan harus membenarkan penyebab konsleting."Aku baik baik saja.""Benarkah? Kalau begitu istirahatlah!""Baik." Alesya segera berjalan menuju kamarnya.Malam itu, kamar Alesya hanya diterangi oleh sinar rembulan yang merembes masuk melalui jendela. Di balik keheningan yang mencoba menenangkan, ketakutan masih menerkam jiwa Alesya. Seprai putih yang menu
"Apa maksud papa?"Liam melupakan satu hal yaitu anak perempuannya. "Ah itu….""Angel kamu pergi ke kamar, Mama dan Papa akan berjicara sebentar."Angel mengangguk, segera berlari ke kamar dan menutup pintu. Anak sekecil itu bisa merasakan ketegangan yang terjadi, memutuskan meringkuk dan bersandar pada pintu kamarnya. "Ya Tuhan, tolong pisahkan Papa dan Mamaku, " pintanya.Liam tampak gusar, menyadari kesalahannya. "Aku... aku tidak bermaksud menyakiti Angel. Aku hanya...""Tidak, kamu tidak hanya menyakiti Angel melainkan hatiku juga." Matanya mulai berkaca-kaca. "Liam, kamu sungguh jahat," ucap Bella menangis histeris. "Kamu tidak berpikir tentang bagaimana ini akan mempengaruhi keluarga ini, tentang bagaimana Angel akan merasa sakit jika tahu ayahnya lebih memilih menghabiskan waktu dengan orang lain daripada dengannya."Ruang makan yang sebelumnya hanya dipenuhi dentingan sendok kini sunyi, hanya suara Bella yang lirih namun tajam mengisi ruangan, menunjukkan betapa kecewanya di
"Alesya, maukah kamu berdansa denganku?!""Apa?"Alesya tak percaya jika Liam mengajaknya berdansa, bahkan di depan anak anaknya. Merasa tak enak, wanita itu berniat menolaknya namun tiba tiba …."Ikutlah berdansa dengan papaku, Tante."Suara Angel menggema di ruangan itu membuat Alesya, Dev dan Liam membulatkan mata tak percaya. "Kenapa kalian melihatku begitu? Bukankah kita keluarga?" ucap Angel, seolah mengerti apa yang mereka pikirkan."Bagus sekali, Angel. Terima kasih sayang, Papa akan berdansa dengan Tante sebentar ya?"Angel mengangguk pasti sedangkan Dev, merasa tak rela. Ditatap penuh tanya, anak kecil yang sepadan dengan dirinya itu. Semakin menatap, rasa tak suka semakin dalam. "Huft, aku bisa gila!" keluh Dev sambil mengeluarkan ponsel beserta earphone bluetooth miliknya.Dev ingin bersantai sejenak, earphone terpasang di telinga, mata tertutup sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Di sisi lain, kedua orang tuanya, Alesya dan Liam, sibuk berdansa di depan kedua anakny
"Wah, kalian terlihat sangat bahagia. Bolehkah aku bergabung?!?!""Kamu?""Bella," ucap Alesya, segera berdiri dari duduknya.Ketika malam menjelang, Bella yang dilanda kekhawatiran tak terbendung memutuskan untuk mengecek keberadaan Liam dan Angel. Sejak sore, mereka belum kembali dari kunjungan ke rumah Alesya, istri kedua Liam yang selalu membuat Bella resah. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya Bella menemukan mereka di kafe yang sering didatangi Liam, terpampang jelas dari jendela besar kafe tersebut.Dari kejauhan, Bella melihat Liam dan Alesya sedang tertawa lepas bersama. Mereka berdansa dengan riang di tengah kafe. Detik itu juga, rasa sakit menggumpal di dada Bella. Matanya berkaca-kaca melihat keakraban yang terpampang begitu nyata, namun dia mengumpulkan keberaniannya untuk tidak menunjukkan air mata.Dengan nafas yang tercekat, Bella melangkah masuk ke kafe. Melihat Bella, Liam dan Alesya terkejut, namun Bella mengusap air matanya dan menarik senyum tipis. "Wah, kalian
"Jadi kamu membohongiku, Bella." "Untuk apa aku membohongimu, Liam. Aku benar benar ingin Alesya tinggal bersama kita." "Sudahlah kenapa kalian bertengkar? Aku benci orang dewasa yang bersikap seperti anak anak," ucap Angel menengahi perdebatan yang kini terjadi. Dia memutuskan untuk pergi seorang diri. Melihat sang anak pergi, Bella segera mengejarnya. "Angel, tunggu mama." Liam hanya bisa menyugar kasar rambutnya. Tak tahu harus melakukan apa lagi untuk menghentikan aksi Bella. Liam yakin betul jika Bella tak akan tinggal diam. Jadi, harus segera mengambil langkah untuk mengantisipasi seorang Bella.Kediaman Roderick. "Hufht, hari yang cukup melelahkan," keluh Bella saat tubuhnya mendarat empuk di ranjang. Angel yang tadinya tidur, tiba tiba saja mendatangi kamar Bella. "Angel, ada apa sayang?" "Aku tidak bisa tidur. Ma, bolehkah malam ini aku tidur bersamamu?" "Tentu saja. Sini sayang, tidur sama mama."Angel segera naik ranjang dan memeluk tubuh Bella, tersenyum manis dan me
"Alesya, aku akan menyerahkan Liam dan Angel padamu." Isi pesan dari Bella, membuat Alesya tak paham. Berkali kali menggelengkan kepalanya. "Apa maksudnya ini?"Zidan yang ikut membaca segera menutup ponselnya. "Sudah jangan hiraukan Bella. Mungkin saja dia ingin menghancurkan mentalmu dengan kalimat tak jelas seperti itu.""Tapi Zidan, Bella sepertinya berubah. Tadi, dia memintaku untuk tinggal bersama. Dari sorot matanya, dia sama sekali tak berbohong, terlihat tulus.""Jangan termakan rayuannya. Dari dulu dia seperti ular berbisa. Jika kamu mendekat dan lengah, kamu akan terkena bisanya," ucap Zidan menggebu gebu. "Sudah Ale, pergilah tidur dan jangan memikirkan Bella lagi."Alesya mengangguk pelan, menuruti saran Zidan.Satu minggu kemudian.Matahari tengah terik saat Alesya mencabut jemuran yang masih lembab. Tiba-tiba, derap langkah tergesa terdengar dan Liam muncul dengan nafas tersengal-sengal. Wajahnya pucat, matanya sayu. "Liam?""Alesya, Bella …, Bella di rumah sakit," kata
Matahari telah tenggelam ketika Liam akhirnya sampai di rumah. Kepenatan terlihat jelas di raut wajahnya setelah lembur panjang di kantor. Namun, ketika ia membuka pintu kamar dan melihat Alesya, istrinya yang cantik, terbaring lelap dalam kedamaian, rasa lelah itu seolah sirna. "Alesya!" Liam duduk di tepi ranjang, menatap lembut wajah yang damai itu. Dengan hati-hati, Liam mengulurkan tangannya, mengelus pipi Alesya dengan penuh kasih. Dia tersenyum, merasa begitu bersyukur memiliki istri secantik dia, meski seharian ini Alesya marah padanya. Ya, Liam mengetahuinya dari Angel dan Devano.Sambil terus memandang, Liam tidak menyadari bahwa gerakan tangannya yang lembut telah membuat Alesya merasa tak nyaman. Tiba-tiba, Alesya membuka matanya, memandang objek yang mengganggunya sedangkan Liam yang terkejut, segera mengalihkan pandangannya."Alesya kenapa kamu bangun? Itu …. Itu, aku tidak bermaksud, em …."Liam bergumam dengan kata-kata yang tidak jelas, mencoba menyembunyikan kebing
"Aku tak sabar untuk memulai kembali malam pertama kita.""Liam!"Liam tersenyum menggoda, pergi ke tempat Marco. Mereka berbisik-bisik, entah membicarakan apa, Alesya tak bisa mendengarnya. Setelahnya, Liam kembali dan memegang tangan Alesya."Liam, apa yang baru saja kamu katakan pada Ayah?""Tidak penting. Ayo kita pergi.""Tapi …."Liam terus menyeret sang istri menuju kamar mereka. Baik Liam maupun Alesya terkejut bukan main saat masuk kamar. Ruangan yang semula rapi itu terlihat acak acakan dengan banyaknya kelopak bunga yang semburat seisi kamar. Ulah siapakah ini? Tentu saja ulah kedua anak mereka. Devano dan Angel, mereka sengaja menyulap kamar Liam yang biasa menjadi luar biasa. Bahkan tempat tidur mereka juga penuh kelopak mawar. Banyak juga balon beterbangan di langit langit kamar dengan berbagai tulisan. "Happy wedding, with love, I love you, making love dan masih banyak kata-kata cinta lainnya."Semua ini pasti ulah Angel dan devano," tebak Liam, mencoba menyingkirkan k
"Ale, apa menurutmu kita harus menikah lagi?""Apa?"Alesya tidak mengerti, mengapa Liam tiba-tiba ingin menikah ulang? Mungkin karena perpisahan yang terlalu lama."Bagaimana, Sayang?""Terserah kamu saja, Liam.""Baiklah aku akan membicarakannya dengan Angel, Devano dan Ayah Marco."Liam tak mau menunggu lebih lama lagi. Dia segera menuruni tangga, menuju lantai bawah, di mana Marco berada. Terlihat jika lelaki yang berstatus mertua itu sedang menonton Televisi sendirian."Ayah, anak-anak sudah tidur?""Sudah.""Apa Ayah ada waktu sebentar?""Tentu saja. Ada perlu apa? Bicaralah!""Terima kasih telah meluangkan waktu sebentar.""Tidak masalah, jika ada yang ingin kamu bicarakan, bicara saja."Liam menghela napas panjang dan mulai berkata, "Baik, Ayah. Seperti yang Ayah tahu, aku dan Alesya telah berpisah selama lima tahun ini. Meskipun kami belum resmi bercerai dan masih dianggap suami istri, aku ingin meminta izin Ayah untuk mengadakan ritual pernikahan kami lagi.""Oh, begitu. Apa
Siang itu, langit tampak cerah seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh Liam. Liam dengan langkah gembira mendekati Alesya yang sedang berdiri di samping mobilnya. "Aku datang, Sayang."Liam langsung memeluk Alesya dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi. "Alesya, kabar baik! Mona akhirnya di penjara," bisik Liam dengan suara yang bergetar, mencampurkan rasa lega dan kebahagiaan.Wajah Alesya yang semula teduh itu berubah menjadi sangat cerah. Senyum lebarnya menghiasi wajah cantiknya, matanya bersinar-sinar menunjukkan kegembiraan yang tak terbendung. "Benarkah, Liam? Ini benar-benar kabar terbaik!" serunya, tidak bisa menyembunyikan antusiasme yang membanjiri hatinya.Liam mengangguk, matanya terpejam sejenak menikmati kehangatan dari orang yang dicintainya. Namun, Liam segera melihat sekitar. "Di mana Angel dan Dev?""Mereka pergi ke taman dengan Ayah Marco, mungkin pulang larut. Katanya akan bersenang-senang.""Wah mereka curang. Kita harus membalasnya.""Memb
"Ini berkas berkas gugatan dari saya." Liam menggenggam erat berkas-berkas di tangannya, pandangannya tajam tertuju kepada Nyonya Mona yang duduk di sisi ruangan yang berlawanan. Tension di ruangan itu kian terasa ketika Hakim memasuki ruangan dengan wajah serius. Liam berniat menyerahkan berkas itu pada pengadilan."Pak Liam dan Nyonya Mona, saya memutuskan untuk memberi waktu kepada kedua belah pihak untuk mempertimbangkan kembali kasus yang diajukan hari ini," ujar Hakim dengan tegas. "Kita akan melanjutkan sidang esok hari."Liam, yang merasa keadilan harus segera ditegakkan, mendapati kekecewaan mendalam. Dia menatap Mona yang terlihat tenang dan tidak terganggu. Hal itu membuat Liam frustasi membara.Di sisi lain, Mona berusaha menampilkan ekspresi tenang. Namun, matanya sesekali berkedip cepat, menandakan kecemasan yang dia coba sembunyikan.Keduanya berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang berat, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri tentang bagaiman
"Bagaimana, Hakim?""Diperbolehkan."Mata Angel terlihat berkaca-kaca saat dia berdiri di depan ruangan persidangan yang penuh sesak. Suara kecilnya bergetar, namun penuh tekad saat dia mulai berbicara. "Yang Mulia, saya ingin tinggal bersama ayah saya, Liam," ujarnya, menatap hakim dengan mata yang memohon.Liam, yang duduk di bangku belakang, memperhatikan putrinya dengan penuh kebanggaan dan sedikit kekhawatiran. Wajahnya yang biasanya tenang, kini tampak tegang."Sejak saya masih bayi, hanya ayah yang selalu ada untuk saya. Ayah yang mengajari saya berjalan, ayah yang selalu menyembuhkan luka saya," lanjut Angel, suaranya semakin mantap. Ruangan itu terdiam, semua mata tertuju padanya.Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Ibu saya, Bella, dia... dia sudah meninggal. Tapi sebenarnya, sejak saya masih kecil, dia jarang ada untuk saya. Saya tidak merasa dicintai olehnya." Air mata mulai mengalir di pipi mungil Angel, tapi dia cepat-cepat menghapusnya."Saya tidak mau
Hari persidangan.Ruang sidang itu terasa besar dan berat dengan hiasan yang minimalis. Dindingnya berwarna abu-abu terang, memberikan suasana yang serius dan formal. Di tengah ruangan, terdapat meja panjang yang ditutupi dengan kain putih rapi, di atasnya berjejer dokumen-dokumen penting yang terorganisir dengan baik. Sidang telah dimulai dengan ruangan yang penuh ketegangan. Mona berdiri dengan mantap di hadapan Hakim, menggenggam beberapa dokumen penting. Raut wajahnya tegang namun bertekad, menunjukkan keseriusannya dalam memperjuangkan hak asuh atas putri sahabatnya, Angel."Yang Mulia, berikut adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa saya adalah pihak yang lebih layak dalam membesarkan Angel," ucap Mona dengan suara yang bergetar sedikit karena emosi.Dia menyodorkan foto-foto, rekaman video, dan laporan sekolah yang menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam kehidupan Angel. Setiap bukti diserahkan dengan tangan yang sedikit gemetar, namun determinasinya tidak luntur.Sementara
"Apa maksudmu, Bu?" tanya Liam tak mengerti."Haha, aku hanya bercanda. Ini, ambillah! Aku memberikan gratis untuk anakmu yang baru sembuh."Liam mengernyitkan kening, bingung mencerna ucapan wanita tua di depannya. Meski berusia lanjut, nenek itu terlihat cantik dan elegan. Sangat tak padu dengan kegiatannya malam ini, sebagai penjual bunga."Benarkah ini gratis? Ah tidak tidak. Aku akan membayarnya. Ini, terimalah!"Liam membuang kasar uang kertas itu, berlalu dengan cepat setelah mendapatkan seikat bunga mawar. Mobil melaju dengan kencang tanpa memperdulikan wanita penjual bunga tadi. Sesekali Liam melirik seikat bunga mawarnya, memikirkan Angel yang pasti tersenyum bahagia."Tunggu aku, Sayang."Kediaman Roderick."Aku pulang.""Papa."Angel menyambut Liam dengan sorot mata yang bersinar saat melihat bunga mawar merah di tangan ayahnya. Anak perempuan kecil itu melompat kegirangan dan berlari menghampiri Liam, "Papa bawa bunga kesukaan Angel!" teriaknya penuh kegembiraan. Dengan
"Aku …, baiklah. Aku akan membantumu."Liam segera memegang tangan Andi. Senyuman terulas di bibir seksinya, juga bulir bening menetes di pipi. Andi segera merengkuh sahabatnya itu, memberi dukungan terhadap Liam. Namun, pelukan segera diakhiri. Dengan tatapan penuh telisik, Andi memandang Liam."Katakan padaku, bagaimana bisa kamu menyembunyikan rahasia besar tentang pernikahanmu padaku?"Liam tersenyum kecut, mengingat betapa egoisnya kala itu. "Saat itu aku benar benar kecewa, saking kecewanya pada Bella, Alesya lah sebagai pelampiasan nya. Dan aku tak ingin mengumbar aib keluargaku. Bagaimanapun juga, Bella pernah menjadi wanita yang kucintai. Sekarang, aku hanya fokus hidup pada keluarga kecilku bersama Alesya."Andi mengangguk, memahami betapa sulitnya kehidupan Liam selama ini. Dan sahabatnya itu sukses menutup rapat masalah sehingga tak ada satupun yang mengerti kesulitan yang dihadapi. Bahkan perusahaan Roderick sama sekali tak terpengaruh. Sungguh lelaki yang bijaksana dan d