Alesya tersenyum tipis, menepuk bahu Zidan dengan lembut. "Terima kasih, Zidan. Aku tahu, kau hanya peduli pada kami."Zidan mengangguk, mencoba menenangkan hatinya yang masih resah. Ia berharap, Alesya dan Marco segera menyadari betapa berbahayanya tinggal di tengah hutan dan mau menerima tawarannya untuk pindah ke tempat yang lebih aman dan nyaman.Tiba tiba ….Pletak."Suara apa itu?" tanya Zidan, terkejut bukan main mendengar suara asing di tengah kesunyian yang mencekam."Entahlah," jawab Marco ikut panik sedangkan Alesya segera memeluk erat Devano."Kita pergi saja dari sini, sekarang!" titah Zidan penuh penekanan.Hal itu berhasil, Alesya dan Marco mengangguk setuju. Mereka segera mengepaki barang barangnya dan bersiap untuk pergi."Ayo kita pergi, nak Zidan. Alesya juga setuju untuk pergi."Mereka telah memutuskan untuk pergi dari rumah yang dipenuhi teka teki penuh misteri. Berjalan beriringan untuk ke luar rumah.Setelah sampai di luar rumah, Zidan menatap rumah yang terleta
"Halo, Bos Bella? Kami punya kabar baik. Misi kita berhasil, Alesya mati bersama meledaknya mobil yang ditumpanginya.""Sungguh? Ha, akhirnya! Kalian telah melakukan pekerjaan yang luar biasa. Sekarang, dengarkan baik-baik. Setelah kalian mendapatkan uang hasil kerja keras kalian, segera pergi dan tinggalkan kota ini. Jangan biarkan jejak apapun dan pastikan kalian aman.""Baik, Bos Bella. Terima kasih atas kepercayaanmu kepada kami. Kami akan segera melakukannya dan bersembunyi sampai semuanya aman.""Sempurna. Jangan lupa untuk mengabari saya saat kalian sudah jauh dari kota. Selamat beraksi.""Tentu, Bos Bella. Terima kasih dan sampai jumpa."Mereka semua senyum bahagia sambil melihat puing-puing mobil sedan sidang yang masih terbakar."Apakah mereka benar benar terbakar bos?" tanya salah satu anak buah."Tentu saja, mereka semua sudah mati. Kenapa kamu mengatakan begitu?""Ah, tidak apa apa. Bukankah mereka saling berteriak jika memang tubuh mereka terbakar bos? Sedangkan sedari t
"Mau kemana kamu?" tanya Bella. Dia tak ingin Liam kembali meninggalkannya lagi. Saat Liam pergi dia sangat kesulitan mencari akses untuk menggapainya. Semua yang telah diraih tak boleh dengan mudah lepas dari genggaman."Aku akan pergi. Sudah tak ada lagi kesepakatan yang harus dipenuhi. Kamu sudah melewati batasanmu, Bella.""Kenapa harus begitu? Padahal aku sudah meminta apa yang seharusnya menjadi milikku. Aku tak mau cintamu terbagi. Hanya untuk aku, Liam."Liam menatap tajam ke arah Bella, wanita yang telah berhasil menipu hatinya. Ia tak ingin jatuh ke dalam perangkap rayuan Bella untuk kedua kalinya. Dengan tekad yang bulat, Liam memutuskan untuk meninggalkan wanita itu.Namun, sebelum pergi, Liam menghampiri Bella yang tampak terkejut dan ketakutan akan sikap Liam. Liam membungkukkan tubuhnya hingga mendekat ke telinga Bella. "Bella, dengarkan baik-baik," bisik Liam dengan suara yang berat namun penuh ancaman. "Jika kamu berani menghalangiku pergi lagi atau mencoba merusak hi
Alesya berlari tergesa-gesa ke ruang gawat darurat, hatinya berdebar kencang dan tak bisa menahan rasa cemas yang melanda. Wajahnya pucat dan tangannya gemetar saat mencoba mencari keberadaan Zidan yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas beberapa jam yang lalu. Begitu mengetahui kabar dari orang tadi, Alesya langsung menuju rumah sakit terdekat, berharap Zidan baik-baik saja.Di dalam ruang informasi, Alesya bertanya dengan panik dan khawatir. "Zidan, pasien bernama Zidan, di mana?" tanya Alesya, suaranya bergetar."Ibu ini siapa?""Saya Alesya. Sahabat Zidan."Perawat itu mengernyitkan kening, merasa aneh dan bingung namun dia memilih untuk memberikannya informasi. "Dokter bilang, Zidan sedang dalam pemeriksaan. Silahkan ditunggu dulu."Alesya merasa putus asa, dia duduk di bangku ruang tunggu dengan wajah lesu dan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Tak lama kemudian, Dokter keluar dari ruang gawat darurat dengan wajah serius."Siapa wali dari Zidan?""Saya, Dokter," jawa
Liam menghampiri temannya yang seorang dokter, dengan tatapan yang penuh harap dan sedikit putus asa. "Dokter Tomy, bisakah Anda memberikan ramuan yang bisa membuat mabuk, namun tidak berbahaya bagi tubuh? Saya ingin Bella merasakan sedikit kelegaan dari beban di hatinya, tapi tidak mengganggu kesehatannya. Bella sedang hamil anak kami," ujarnya dengan hati-hati.Dokter itu menghela napas, menatap Liam dengan simpati. "Liam, saya mengerti kekhawatiranmu. Tetapi, kamu harus tahu bahwa memberikan ramuan semacam itu kepada Bella bisa sangat berisiko, terutama karena dia sedang hamil. Kesehatan ibu dan janin harus selalu diutamakan," ucap dokter bernama Tomy itu dengan tegas.Liam menatap sayu pada Tomy, hatinya berkecamuk. "Tapi, bagaimana jika beban di hatinya terus menumpuk? Bella sangat tertekan, Dok. Saya takut jika hal itu juga berdampak pada kesehatan anak kami."Tomy mengangguk angguk sambil mengusap dagu, berpikir sejenak. "Baiklah, ada satu ramuan yang mungkin bisa membantu Bell
"Ini kan …?" Raka terkejut bukan main melihat topi rajut berinisial huruf "D" di tepi jalanan. Raka tapi tersebut adalah milik Devano, bayi majikannya. Raka segera mengambil topi rajut tersebut, menyerahkan kepada Morne."Bos, bos. Bos Morne!" teriak Raka sambil berlari mendekati Morne."Ada apa Raka?""Ini. Aku menemukan ini. Bukankah ini mirip yang dikenakan Tuan muda seperti di foto?" tanya Raka sambil menyerahkan topi rajut itu pada Morne. Membahas foto, Morne segera mengeluarkan foto yang dibawakan Liam sebagai tanda pengenal saat bertanya pada orang orang. Liam sempat mengabadikan moment bersama melalui sebuah foto sebelum dia kembali ke kota. Morne memandang bergantian hingga matanya membulat, "benar, ini milik Devano." Mata Morne membelalak, mencari jejak Alesya ke segala arah. "Cepat kita cari mereka!""Baik. Ayo!"Raka dan anak buah lainnya segera menjalankan tugas. Dia berdiri tegak di depan anak buah lainnya yang berkumpul dengan serius. Matanya menatap tajam ke arah mer
"Berhenti! Jangan lari?!"Marco dan Alesya berlari kencang, menembus pepohonan dan semak belukar yang menghadang. Terus berlari hingga mereka sampai di ujung hutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Di hadapan mereka, jurang yang dalam dan curam siap menelan mereka jika tak hati hati melangkah."Bagaimana ini, Ayah?" tanya Alesya gemetaran, tak mampu bergerak melihat kengerian yang ada di depan mata. Alesya sungguh tak sanggup menghadapi phobia ketinggian, detak jantungnya berdetak tak karuan. Hal itu membuat Alesya, semakin ketakutan, tubuhnya mengeratkan pegangannya pada Marco, mencari perlindungan dan keberanian. Marco merasakan jika Alesya gemetar ketakutan.Meskipun sama sama ketakutan, Marco berusaha untuk tetap tegas dan berani demi anaknya. Ia tidak ingin Alesya melihat ketakutan di wajahnya. Ia menatap Alesya dan memberikan senyuman yang penuh harapan."Tenang, Nak. Kita akan bisa melewati ini bersama. Percayalah pada Ayah," ucap Marco dengan suara yang tegas namun lembu
Malam itu, Morne dengan hati-hati menyetir mobil yang ditumpangi Alesya dan ayahnya, Marco. Mereka pergi ke kediaman Roderick. Namun, tanpa disadari bahaya mengintai mereka. Anak buah Bella, yang menyimpan dendam pada Morne, telah merencanakan serangan balik.Lelaki gempal yang tadi mengancam Alesya di pinggir tebing itu mengejar mobil Morne, mengambil jalan pintas dan mulai melajukan mobil lebih kencang. Siap menabrakkan diri pada target utamanya yaitu mobil Morne.Tiba-tiba ….Dari arah berlawanan datang sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Sebelum Morne sempat menghindar, mobil tersebut menabrak sisi mobil yang ditumpangi Alesya. Brakh!Aaakh?!Akibat benturan keras itu, mobil Morne terlempar ke sisi jalan dan berguling guling, seakan tak ada harapan untuk selamat.Alesya terkejut dan ketakutan, mendekap Devano sambil memekik lirih, sementara Marco berusaha melindungi putrinya, Alesya. Morne berusaha sekuat tenaga mengendalikan kemudi, namun sia-sia. Mobil mereka akhirnya terpero