"Mau kemana kamu?" tanya Bella. Dia tak ingin Liam kembali meninggalkannya lagi. Saat Liam pergi dia sangat kesulitan mencari akses untuk menggapainya. Semua yang telah diraih tak boleh dengan mudah lepas dari genggaman."Aku akan pergi. Sudah tak ada lagi kesepakatan yang harus dipenuhi. Kamu sudah melewati batasanmu, Bella.""Kenapa harus begitu? Padahal aku sudah meminta apa yang seharusnya menjadi milikku. Aku tak mau cintamu terbagi. Hanya untuk aku, Liam."Liam menatap tajam ke arah Bella, wanita yang telah berhasil menipu hatinya. Ia tak ingin jatuh ke dalam perangkap rayuan Bella untuk kedua kalinya. Dengan tekad yang bulat, Liam memutuskan untuk meninggalkan wanita itu.Namun, sebelum pergi, Liam menghampiri Bella yang tampak terkejut dan ketakutan akan sikap Liam. Liam membungkukkan tubuhnya hingga mendekat ke telinga Bella. "Bella, dengarkan baik-baik," bisik Liam dengan suara yang berat namun penuh ancaman. "Jika kamu berani menghalangiku pergi lagi atau mencoba merusak hi
Alesya berlari tergesa-gesa ke ruang gawat darurat, hatinya berdebar kencang dan tak bisa menahan rasa cemas yang melanda. Wajahnya pucat dan tangannya gemetar saat mencoba mencari keberadaan Zidan yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas beberapa jam yang lalu. Begitu mengetahui kabar dari orang tadi, Alesya langsung menuju rumah sakit terdekat, berharap Zidan baik-baik saja.Di dalam ruang informasi, Alesya bertanya dengan panik dan khawatir. "Zidan, pasien bernama Zidan, di mana?" tanya Alesya, suaranya bergetar."Ibu ini siapa?""Saya Alesya. Sahabat Zidan."Perawat itu mengernyitkan kening, merasa aneh dan bingung namun dia memilih untuk memberikannya informasi. "Dokter bilang, Zidan sedang dalam pemeriksaan. Silahkan ditunggu dulu."Alesya merasa putus asa, dia duduk di bangku ruang tunggu dengan wajah lesu dan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Tak lama kemudian, Dokter keluar dari ruang gawat darurat dengan wajah serius."Siapa wali dari Zidan?""Saya, Dokter," jawa
Liam menghampiri temannya yang seorang dokter, dengan tatapan yang penuh harap dan sedikit putus asa. "Dokter Tomy, bisakah Anda memberikan ramuan yang bisa membuat mabuk, namun tidak berbahaya bagi tubuh? Saya ingin Bella merasakan sedikit kelegaan dari beban di hatinya, tapi tidak mengganggu kesehatannya. Bella sedang hamil anak kami," ujarnya dengan hati-hati.Dokter itu menghela napas, menatap Liam dengan simpati. "Liam, saya mengerti kekhawatiranmu. Tetapi, kamu harus tahu bahwa memberikan ramuan semacam itu kepada Bella bisa sangat berisiko, terutama karena dia sedang hamil. Kesehatan ibu dan janin harus selalu diutamakan," ucap dokter bernama Tomy itu dengan tegas.Liam menatap sayu pada Tomy, hatinya berkecamuk. "Tapi, bagaimana jika beban di hatinya terus menumpuk? Bella sangat tertekan, Dok. Saya takut jika hal itu juga berdampak pada kesehatan anak kami."Tomy mengangguk angguk sambil mengusap dagu, berpikir sejenak. "Baiklah, ada satu ramuan yang mungkin bisa membantu Bell
"Ini kan …?" Raka terkejut bukan main melihat topi rajut berinisial huruf "D" di tepi jalanan. Raka tapi tersebut adalah milik Devano, bayi majikannya. Raka segera mengambil topi rajut tersebut, menyerahkan kepada Morne."Bos, bos. Bos Morne!" teriak Raka sambil berlari mendekati Morne."Ada apa Raka?""Ini. Aku menemukan ini. Bukankah ini mirip yang dikenakan Tuan muda seperti di foto?" tanya Raka sambil menyerahkan topi rajut itu pada Morne. Membahas foto, Morne segera mengeluarkan foto yang dibawakan Liam sebagai tanda pengenal saat bertanya pada orang orang. Liam sempat mengabadikan moment bersama melalui sebuah foto sebelum dia kembali ke kota. Morne memandang bergantian hingga matanya membulat, "benar, ini milik Devano." Mata Morne membelalak, mencari jejak Alesya ke segala arah. "Cepat kita cari mereka!""Baik. Ayo!"Raka dan anak buah lainnya segera menjalankan tugas. Dia berdiri tegak di depan anak buah lainnya yang berkumpul dengan serius. Matanya menatap tajam ke arah mer
"Berhenti! Jangan lari?!"Marco dan Alesya berlari kencang, menembus pepohonan dan semak belukar yang menghadang. Terus berlari hingga mereka sampai di ujung hutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Di hadapan mereka, jurang yang dalam dan curam siap menelan mereka jika tak hati hati melangkah."Bagaimana ini, Ayah?" tanya Alesya gemetaran, tak mampu bergerak melihat kengerian yang ada di depan mata. Alesya sungguh tak sanggup menghadapi phobia ketinggian, detak jantungnya berdetak tak karuan. Hal itu membuat Alesya, semakin ketakutan, tubuhnya mengeratkan pegangannya pada Marco, mencari perlindungan dan keberanian. Marco merasakan jika Alesya gemetar ketakutan.Meskipun sama sama ketakutan, Marco berusaha untuk tetap tegas dan berani demi anaknya. Ia tidak ingin Alesya melihat ketakutan di wajahnya. Ia menatap Alesya dan memberikan senyuman yang penuh harapan."Tenang, Nak. Kita akan bisa melewati ini bersama. Percayalah pada Ayah," ucap Marco dengan suara yang tegas namun lembu
Malam itu, Morne dengan hati-hati menyetir mobil yang ditumpangi Alesya dan ayahnya, Marco. Mereka pergi ke kediaman Roderick. Namun, tanpa disadari bahaya mengintai mereka. Anak buah Bella, yang menyimpan dendam pada Morne, telah merencanakan serangan balik.Lelaki gempal yang tadi mengancam Alesya di pinggir tebing itu mengejar mobil Morne, mengambil jalan pintas dan mulai melajukan mobil lebih kencang. Siap menabrakkan diri pada target utamanya yaitu mobil Morne.Tiba-tiba ….Dari arah berlawanan datang sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Sebelum Morne sempat menghindar, mobil tersebut menabrak sisi mobil yang ditumpangi Alesya. Brakh!Aaakh?!Akibat benturan keras itu, mobil Morne terlempar ke sisi jalan dan berguling guling, seakan tak ada harapan untuk selamat.Alesya terkejut dan ketakutan, mendekap Devano sambil memekik lirih, sementara Marco berusaha melindungi putrinya, Alesya. Morne berusaha sekuat tenaga mengendalikan kemudi, namun sia-sia. Mobil mereka akhirnya terpero
"Tolong!"Liam segera berdiri ketika tim SAR tiba di lokasi kecelakaan. "Tolong, mereka ada di bawah sana," ucap Liam berusaha memberitahu tim SARS."Baik Tuan." Tim SARS langsung turun tangan, menuruni jurang yang cukup dalam sambil mencari lokasi mobil Morne. Mereka mengecek puing- puing mobil yang hancur lebur. Liam, yang berdiri di tepi jurang dengan wajah pucat, memberitahu tim SARS, "tolong tambah lagi tim agar Alesya, Devano bayiku dan Marco mertuaku, dan Morne anak buahku, semuanya terperosok ke dalam jurang yang dalam itu."Sebagian tim SAR pun mulai bergerak cepat, mereka menggunakan peralatan pendakian dan penyelamatan untuk turun ke dasar jurang. Mereka melewati bebatuan tajam dan semak belukar yang menghambat jalan, berharap dapat menemukan semua korban secepat mungkin.Setelah beberapa jam pencarian yang melelahkan, tim SAR akhirnya menemukan Marco dan Morne dalam kondisi terluka parah. Keduanya ditemukan dalam posisi penuh luka akibat reruntuhan mobil yang hancur. Para
"Tuan Liam, ada seseorang yang ingin bertemu Anda," ucap Morne mendekati Liam yang kini duduk termangu dalam lamunan."Aku sama sekali tak berminat menemui siapapun saat ini, Morne.""Tapi Tuan …, dia mengatakan jika menemukan sobekan baju Nyonya Alesya.""Apa?!"Kabar itu mengguncang hati Liam hingga seketika. Dalam kebingungan, Liam segera bergegas menuju tempat lelaki tua yang mengabarkan penemuan sobekan baju diduga milik Alesya, istrinya yang hilang. Dia berdiri dengan gelisah, membuat Liam semakin sesak mendekatinya."Apakah benar, ini milik Nyonya Alesya?"Dengan pandangan mata yang berkaca-kaca, Liam mendapati lelaki tua itu mengulurkan sebuah kantong plastik yang berisi sobekan baju. Ketika Liam membuka kantong tersebut, tak bisa dipungkiri lagi, itu memang baju kesayangan Alesya yang sering dikenakan dan memang dipakai saat terakhir kali Liam berpamitan pergi. Tampak darah mengering menempel di sobekan baju itu, seolah menjadi bukti pilu tentang nasib Alesya."Bisakah kamu tu