“Kamu mau ke mana?” tanya Bintang saat melihat Aruna memakai gaun. Malam itu Aruna menepati janji menemani Ansel pergi ke pesta klien. Dia pun sudah memakai gaun yang tak terlalu terbuka dengan make up minimalis yang membuatnya terlihat sangat cantik. “Aku ingin menemani Ans pergi ke pesta salah satu kliennya, Mom,” jawab Aruna sambil merapikan rambutnya yang tergerai. Bintang hendak membalas ucapan Aruna, tapi pembantu datang menghampiri mereka. “Non, Tuan Ansel ada di depan,” kata pembantu ke Aruna. Aruna terlihat senang karena Ansel sudah datang. Dia pun bergegas ke depan sampai lupa berpamitan dengan Bintang dan Langit. Dua orang tua itu pun ikut ke depan untuk menemui Ansel. “Kamu sudah siap?” tanya Ansel saat melihat Aruna keluar. “Sudah,” jawab Aruna terlihat senang karena ini pertama kalinya dia akan pergi dengan pasangan ke sebuah pesta. Ansel melihat Bintang dan Langit yang baru saja keluar. Dia pun mengangguk sopan kepada orang tua Aruna. “Saya izin mengajak Runa
“Calon istri?” Sarah terlihat sangat terkejut mendengar pengakuan Aruna. Aruna menoleh Ansel seolah meminta pria itu mengiakan apa yang diucapkannya. “Benar, dia kekasihku dan kami berencana segera meresmikannya,” ujar Ansel saat melihat tatapan Aruna kepadanya. Aruna melebarkan senyum mendengar ucapan Ansel. Dia pun menatap Sarah yang masih terkejut. “Maaf, aku baru tahu. Selama ini aku hanya tahu kalau istrimu meninggal sudah lama, jadi maaf jika tak tahu,” balas Sarah sambil tersenyum ke Ansel lalu berpindah ke Aruna. Aruna memalingkan muka seolah tak ingin melakukan kontak langsung dengan Sarah. “Runa, dia ini rekan bisnisku. Dia Nona Sarah,” ujar Ansel menjelaskan siapa wanita yang ada di hadapannya agar Aruna tak salah paham. Aruna memandang wanita itu, lantas memaksa tersenyum sambil mengangguk sebelum kemudian kembali membuang muka. “Aku sampai lupa ingin meminta jus ke pelayan untuk Runa. Kami permisi dulu.” Ansel pun mengajak Aruna pergi menjauh dari Sarah karena men
Aruna bangun di pagi hari. Dia merasa kepalanya sedikit pusing dan tubuhnya agar terasa berat. “Kepalaku sakit.” Aruna memegangi kepala yang terasa sakit. Dia membuka kelopak mata perlahan, hingga menyadari jika sudah berada di kamarnya. “Kapan aku sampai kamarku? Kenapa sudah pagi?” Aruna begitu syok karena tak ingat apa-apa. Aruna melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tentu saja dia terkejut bukan main karena belum bersiap-siap ke kantor. Aruna melompat dari kasur begitu saja. Dia buru-buru mandi karena takut telat berangkat ke kantor. Aruna segera turun menuju ruang makan setelah selesai bersiap-siap. Hingga dia melihat Langit dan Bintang yang sudah ada di sana. “Pagi, Mom, Dad. Maaf aku terlambat,” ucap Aruna langsung duduk dan mengambil sarapannya. Bintang dan Langit memperhatikan Aruna yang buru-buru makan, keduanya pun saling tatap lantas memandang Aruna lagi. “Kamu mau ke mana?” tanya Bintang sambil memperhatikan Aruna. Aruna berhenti mengun
Emily sedang membantu Bintang membuat kue kering. Gadis kecil itu belajar membentuk kue kering sesuai arahan Bintang. “Beginikan, Oma?” tanya Emily sambil memperlihatkan adonan yang sudah berbentuk bulat. “Iya, sekarang taruh sini,” kata Bintang menunjuk ke loyang. Emily terlihat sangat senang. Dia meletakkan adonan itu ke loyang, kemudian mengambil adonan lain untuk dibentuk. “Emi, apa Papi Ans selama ini baik?” tanya Bintang sambil melirik Emily yang sibuk membuat adonan menjadi bulat. “Sangat baik sekali,” jawab Emily tanpa memandang Bintang. “Papi jarang marah, kalau aku sakit pasti memeluk biar aku bisa tidur. Hanya saja, Papi tidak pernah mau datang kalau ada acara di sekolah,” ujar Emily bercerita. Bintang menatap Emily yang bercerita. Dia masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang pria yang sama sekali tak ada hubungan darah dengan gadis kecil itu, benar-benar mau merawat dengan sepenuh hati. Bintang sendiri masih ragu dengan pernyataan Aruna soal Emily yang bukan
“Awas, pelan-pelan.” Ansel membantu Aruna turun dari mobil. Dia lantas memapah Aruna masuk IGD agar mendapat penanganan. “Sus, tolong.” Ansel memanggil perawat untuk membantu mengobati kaki Aruna. “Apa yang terjadi?” tanya perawat sambil membantu Aruna menuju ranjang pesakitan. “Kakinya terkilir karena jatuh,” jawab Ansel. Perawat meminta Aruna berbaring kemudian mencoba melihat memar di kaki Aruna. Dia lantas memanggil dokter jaga untuk membantu mengecek kondisi kaki Aruna. “Saya coba cek dulu, ya.” Dokter pun melihat kondisi kaki Aruna. “Ini hanya memar karena terkilir, tidak ada keretakan dalam tulang juga. Saya akan bantu obati, nanti juga meresepkan salep untuk dipakai di rumah,” ucap dokter itu. Ansel mengangguk-angguk mendengar ucapan dokter itu. Dia melihat Aruna yang masih menahan sakit. “Apa sangat sakit?” tanya Ansel yang sangat cemas. Aruna hanya mengangguk-angguk karena pergelangan kakinya nyeri saat digerakkan. Dokter pun mengobati kaki Aruna dan memperbolehka
“Apa orang tua Aruna benar-benar menerima Emi? Apa dia tahu kalau Emi bukan anak kandungmu?” tanya Ayana saat makan malam bersama Ansel dan suaminya. Emily tidak ikut pulang dengan Ansel karena diminta menginap di rumah Bintang, tentu saja Ansel tak bisa menolak hal itu karena takut membuat Bintang marah. “Mereka sudah tahu kalau Emi bukan anak kandungku. Jika mereka tak benar-benar menyukai Emi, tak mungkin Emi mau dengan mereka. Emi merasa nyaman dan suka di sana, tidak ada salahnya untuk pendekatan agar nantinya Emi pun bisa benar-benar nyaman dengan keluarga Runa,” ujar Ansel menjelaskan. “Jadi, kamu benr-benar sudah serius dengan Runa?” tanya Deon ikut dalam pembicaraan itu. “Tentu saja, Pa.” Ansel menjawab penuh keyakinan. “Lalu, kapan kamu berencana melamarnya?” tanya Ayana tak sabar karena bisa melihat putranya bahagia saja sudah membuatnya begitu lega. Ansel agak ragu menjawab pertanyaan ibunya itu. Dia pun membalas, “Kalau bisa secepatnya, tapi mengingat aku juga baru
“Aku benar-benar tak menyukai tatapannya. Aku pun keheranan, kenapa harus bertemu dengan pria itu di sini.” Aruna langsung mengadu soal pertemuannya dengan Gallen yang membuatnya menahan amarah. “Kenapa tidak kamu abaikan saja. Untuk apa meladeni pria seperti itu?” Bukannya Ansel tak mau meredam amarah Aruna, hanya saja dia ingin agar Aruna menghindari pria seperti Gallen demi keselamatan Aruna sendiri. “Inginnya menghindar, tapi pria itu menyebalkan. Dia bicara seolah sangat berkuasa, bahkan menyindir kalau aku penyebab putusnya hubungan kerjasama dengan Daddy. Bagaimana bisa aku mengabaikan begitu saja!” Aruna meluapkan semua kekesalan ke Ansel setelah sejak tadi menahannya. Sepanjang rapat Aruna berusaha meredam amarahnya, tapi setelahnya kembali meledak. “Iya, aku paham. Tapi besok lagi kalau bertemu dengan pria itu, abaikan saja. Jujur, aku lebih cemas jika dia sampai menyakitimu. Kalau dia bisa menyewa orang untuk menyerangmu, tidak menutup kemungkinan dia akan melakukan h
“Apa kamu yakin ingin menemuinya? Bagaimana kalau dia tak mau bicara?” tanya Ansel yang hari itu menemani Aruna ke kantor polisi. Aruna menarik napas panjang lalu mengembuskan napas kasar. Dia menoleh Ansel lantas menjawab pertanyaan pria itu. “Yakin atau tidak, aku harus mencobanya,” jawab Aruna sambil memulas senyum untuk meyakinkan Ansel. Ansel pun tak punya pilihan selain membiarkan Aruna menemani mantan staff perusahaan Aruna. Mungkin hanya dengan cara ini masalah penyerangan itu bisa selesai. Mereka pun keluar dari mobil yang terparkir di halaman kantor polisi. Ansel menemani Aruna sampai dalam, hanya saja tak menemui mantan staff perusahaan Langit. Aruna menemui mantan staff perusahaan di ruangan khusus. Wanita itu terlihat terkejut saat melihat Aruna di sana. “Apa yang kamu inginkan?” tanya wanita itu tampak waspada. Aruna memasang wajah datar mendengar pertanyaan wanita itu. “Tampaknya sel penjara membuatmu tak baik-baik saja,” ucap Aruna dengan nada sindiran. Wanita