Emily sedang membantu Bintang membuat kue kering. Gadis kecil itu belajar membentuk kue kering sesuai arahan Bintang. “Beginikan, Oma?” tanya Emily sambil memperlihatkan adonan yang sudah berbentuk bulat. “Iya, sekarang taruh sini,” kata Bintang menunjuk ke loyang. Emily terlihat sangat senang. Dia meletakkan adonan itu ke loyang, kemudian mengambil adonan lain untuk dibentuk. “Emi, apa Papi Ans selama ini baik?” tanya Bintang sambil melirik Emily yang sibuk membuat adonan menjadi bulat. “Sangat baik sekali,” jawab Emily tanpa memandang Bintang. “Papi jarang marah, kalau aku sakit pasti memeluk biar aku bisa tidur. Hanya saja, Papi tidak pernah mau datang kalau ada acara di sekolah,” ujar Emily bercerita. Bintang menatap Emily yang bercerita. Dia masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang pria yang sama sekali tak ada hubungan darah dengan gadis kecil itu, benar-benar mau merawat dengan sepenuh hati. Bintang sendiri masih ragu dengan pernyataan Aruna soal Emily yang bukan
“Awas, pelan-pelan.” Ansel membantu Aruna turun dari mobil. Dia lantas memapah Aruna masuk IGD agar mendapat penanganan. “Sus, tolong.” Ansel memanggil perawat untuk membantu mengobati kaki Aruna. “Apa yang terjadi?” tanya perawat sambil membantu Aruna menuju ranjang pesakitan. “Kakinya terkilir karena jatuh,” jawab Ansel. Perawat meminta Aruna berbaring kemudian mencoba melihat memar di kaki Aruna. Dia lantas memanggil dokter jaga untuk membantu mengecek kondisi kaki Aruna. “Saya coba cek dulu, ya.” Dokter pun melihat kondisi kaki Aruna. “Ini hanya memar karena terkilir, tidak ada keretakan dalam tulang juga. Saya akan bantu obati, nanti juga meresepkan salep untuk dipakai di rumah,” ucap dokter itu. Ansel mengangguk-angguk mendengar ucapan dokter itu. Dia melihat Aruna yang masih menahan sakit. “Apa sangat sakit?” tanya Ansel yang sangat cemas. Aruna hanya mengangguk-angguk karena pergelangan kakinya nyeri saat digerakkan. Dokter pun mengobati kaki Aruna dan memperbolehka
“Apa orang tua Aruna benar-benar menerima Emi? Apa dia tahu kalau Emi bukan anak kandungmu?” tanya Ayana saat makan malam bersama Ansel dan suaminya. Emily tidak ikut pulang dengan Ansel karena diminta menginap di rumah Bintang, tentu saja Ansel tak bisa menolak hal itu karena takut membuat Bintang marah. “Mereka sudah tahu kalau Emi bukan anak kandungku. Jika mereka tak benar-benar menyukai Emi, tak mungkin Emi mau dengan mereka. Emi merasa nyaman dan suka di sana, tidak ada salahnya untuk pendekatan agar nantinya Emi pun bisa benar-benar nyaman dengan keluarga Runa,” ujar Ansel menjelaskan. “Jadi, kamu benr-benar sudah serius dengan Runa?” tanya Deon ikut dalam pembicaraan itu. “Tentu saja, Pa.” Ansel menjawab penuh keyakinan. “Lalu, kapan kamu berencana melamarnya?” tanya Ayana tak sabar karena bisa melihat putranya bahagia saja sudah membuatnya begitu lega. Ansel agak ragu menjawab pertanyaan ibunya itu. Dia pun membalas, “Kalau bisa secepatnya, tapi mengingat aku juga baru
“Aku benar-benar tak menyukai tatapannya. Aku pun keheranan, kenapa harus bertemu dengan pria itu di sini.” Aruna langsung mengadu soal pertemuannya dengan Gallen yang membuatnya menahan amarah. “Kenapa tidak kamu abaikan saja. Untuk apa meladeni pria seperti itu?” Bukannya Ansel tak mau meredam amarah Aruna, hanya saja dia ingin agar Aruna menghindari pria seperti Gallen demi keselamatan Aruna sendiri. “Inginnya menghindar, tapi pria itu menyebalkan. Dia bicara seolah sangat berkuasa, bahkan menyindir kalau aku penyebab putusnya hubungan kerjasama dengan Daddy. Bagaimana bisa aku mengabaikan begitu saja!” Aruna meluapkan semua kekesalan ke Ansel setelah sejak tadi menahannya. Sepanjang rapat Aruna berusaha meredam amarahnya, tapi setelahnya kembali meledak. “Iya, aku paham. Tapi besok lagi kalau bertemu dengan pria itu, abaikan saja. Jujur, aku lebih cemas jika dia sampai menyakitimu. Kalau dia bisa menyewa orang untuk menyerangmu, tidak menutup kemungkinan dia akan melakukan h
“Apa kamu yakin ingin menemuinya? Bagaimana kalau dia tak mau bicara?” tanya Ansel yang hari itu menemani Aruna ke kantor polisi. Aruna menarik napas panjang lalu mengembuskan napas kasar. Dia menoleh Ansel lantas menjawab pertanyaan pria itu. “Yakin atau tidak, aku harus mencobanya,” jawab Aruna sambil memulas senyum untuk meyakinkan Ansel. Ansel pun tak punya pilihan selain membiarkan Aruna menemani mantan staff perusahaan Aruna. Mungkin hanya dengan cara ini masalah penyerangan itu bisa selesai. Mereka pun keluar dari mobil yang terparkir di halaman kantor polisi. Ansel menemani Aruna sampai dalam, hanya saja tak menemui mantan staff perusahaan Langit. Aruna menemui mantan staff perusahaan di ruangan khusus. Wanita itu terlihat terkejut saat melihat Aruna di sana. “Apa yang kamu inginkan?” tanya wanita itu tampak waspada. Aruna memasang wajah datar mendengar pertanyaan wanita itu. “Tampaknya sel penjara membuatmu tak baik-baik saja,” ucap Aruna dengan nada sindiran. Wanita
“Kalian siapa?” Aruna dan Ansel terkejut mendengar suara lelaki. Mereka menoleh hingga melihat seorang pria berpakaian lusuh dengan wajah kusut kini sedang memandang mereka. “Kamu suaminya Abel?” tanya Aruna hati-hati. Pria itu tampak terkejut mendengar pertanyaan Aruna. Dia sampai menatap bergantian Aruna dan Ansel. “Siapa kalian dan mau apa ke sini?” tanya pria itu terlihat waspada. Aruna menoleh Ansel, lantas mencoba memperkenalkan diri. “Aku Aruna, mantan rekan kerja Abel di perusahaan,” ujar Aruna memperkenalkan diri. Pria itu terlihat terkejut mendengar nama Aruna. Hingga dia begitu panik dan terlihat takut. “Tenang saja, kami datang ke sini bukan untuk niat buruk. Kami ke sini atas permintaan Abel untuk mengambil sesuatu,” ujar Ansel menjelaskan. Pria itu bingung, tapi mencoba bersikap tenang. Aruna pun menjelaskan semuanya, termasuk kemungkinan Abel bisa bebas kalau dia mendapatkan bukti yang diminta. “Apa aku bisa memercayai kalian?” tanya pria itu memastikan. “Te
Aruna duduk di ruang keluarga bersama Ansel, Langit, dan Bintang. Mereka sedang menonton televisi yang sedang menayangkan sebuah berita. “Korupsi di perusahaan membuat kekuatannya melemah. Ini bagus karena dia tak punya pendukung,” ujar Langit saat menonton berita soal anjloknya saham milik perusahaan Gallen serta berita rapat darurat pemegang saham di perusahaan pria itu. Bahkan setelah rapat darurat itu, Gallen langsung diciduk polisi berbekal bukti yang didapat dari Abel. “Ya, seharusnya seperti ini. Dia harus berada di tempatnya, bukan orang lain yang harus menggantikan posisinya,” balas Aruna sambil melihat Gallen yang sedang digiring polisi setelah memberikan keterangan ke pers. “Akhirnya lega juga,” timpal Bintang yang mencemaskan Aruna karena kasus itu. Aruna menoleh sang mommy, lantas merangkul lengan wanita itu. “Iya, Mom. Dia sudah tak bisa berkilah lagi karena bukti-buktinya sudah ada,” ucap Aruna. Bintang mengusap rambut Aruna setelah mendengar ucapan putrinya itu.
“Ada apa? Kenapa datang-datang langsung memeluk?” Bintang melirik Aruna yang memeluknya. Dia keheranan karena tingkah Aruna di luar prediksi. “Jangan bilang kamu meluk karena ada maunya!” tuduh Bintang sambil menyipitkan mata. Aruna masih memeluk Bintang, lantas menatap sang mommy yang menatapnya curiga. “Iya, memang. Maunya ya peluk begini,” ucap Aruna lantas bergelayut manja dalam pelukan Bintang. Bintang merasa semakin aneh. Dia melepas kedua tangan Aruna dari lehernya, lantas menyentuhkan punggung tangan di kening putrinya itu. “Tidak panas,” ucap Bintang setelah menyentuh kening Aruna. “Ish … Mommy, aku tidak sakit. Apaan coba dicek suhu tubuh,” gerutu Aruna sambil memanyunkan bibir. “Ya, itu karena kamu juga. Ngapain datang-datang meluk posesif, sudah begitu ditanya jawabannya malah mau peluk,” ujar Bintang masih menatap aneh ke Aruna. Aruna tersenyum sambil menatap Bintang, lantas menggenggam telapak tangan ibunya itu. “Beneran tidak ada apa-apa, Mom. Hanya saja hari