“Kalian siapa?” Aruna dan Ansel terkejut mendengar suara lelaki. Mereka menoleh hingga melihat seorang pria berpakaian lusuh dengan wajah kusut kini sedang memandang mereka. “Kamu suaminya Abel?” tanya Aruna hati-hati. Pria itu tampak terkejut mendengar pertanyaan Aruna. Dia sampai menatap bergantian Aruna dan Ansel. “Siapa kalian dan mau apa ke sini?” tanya pria itu terlihat waspada. Aruna menoleh Ansel, lantas mencoba memperkenalkan diri. “Aku Aruna, mantan rekan kerja Abel di perusahaan,” ujar Aruna memperkenalkan diri. Pria itu terlihat terkejut mendengar nama Aruna. Hingga dia begitu panik dan terlihat takut. “Tenang saja, kami datang ke sini bukan untuk niat buruk. Kami ke sini atas permintaan Abel untuk mengambil sesuatu,” ujar Ansel menjelaskan. Pria itu bingung, tapi mencoba bersikap tenang. Aruna pun menjelaskan semuanya, termasuk kemungkinan Abel bisa bebas kalau dia mendapatkan bukti yang diminta. “Apa aku bisa memercayai kalian?” tanya pria itu memastikan. “Te
Aruna duduk di ruang keluarga bersama Ansel, Langit, dan Bintang. Mereka sedang menonton televisi yang sedang menayangkan sebuah berita. “Korupsi di perusahaan membuat kekuatannya melemah. Ini bagus karena dia tak punya pendukung,” ujar Langit saat menonton berita soal anjloknya saham milik perusahaan Gallen serta berita rapat darurat pemegang saham di perusahaan pria itu. Bahkan setelah rapat darurat itu, Gallen langsung diciduk polisi berbekal bukti yang didapat dari Abel. “Ya, seharusnya seperti ini. Dia harus berada di tempatnya, bukan orang lain yang harus menggantikan posisinya,” balas Aruna sambil melihat Gallen yang sedang digiring polisi setelah memberikan keterangan ke pers. “Akhirnya lega juga,” timpal Bintang yang mencemaskan Aruna karena kasus itu. Aruna menoleh sang mommy, lantas merangkul lengan wanita itu. “Iya, Mom. Dia sudah tak bisa berkilah lagi karena bukti-buktinya sudah ada,” ucap Aruna. Bintang mengusap rambut Aruna setelah mendengar ucapan putrinya itu.
“Ada apa? Kenapa datang-datang langsung memeluk?” Bintang melirik Aruna yang memeluknya. Dia keheranan karena tingkah Aruna di luar prediksi. “Jangan bilang kamu meluk karena ada maunya!” tuduh Bintang sambil menyipitkan mata. Aruna masih memeluk Bintang, lantas menatap sang mommy yang menatapnya curiga. “Iya, memang. Maunya ya peluk begini,” ucap Aruna lantas bergelayut manja dalam pelukan Bintang. Bintang merasa semakin aneh. Dia melepas kedua tangan Aruna dari lehernya, lantas menyentuhkan punggung tangan di kening putrinya itu. “Tidak panas,” ucap Bintang setelah menyentuh kening Aruna. “Ish … Mommy, aku tidak sakit. Apaan coba dicek suhu tubuh,” gerutu Aruna sambil memanyunkan bibir. “Ya, itu karena kamu juga. Ngapain datang-datang meluk posesif, sudah begitu ditanya jawabannya malah mau peluk,” ujar Bintang masih menatap aneh ke Aruna. Aruna tersenyum sambil menatap Bintang, lantas menggenggam telapak tangan ibunya itu. “Beneran tidak ada apa-apa, Mom. Hanya saja hari
“Terima kasih sudah mengantarku,” ucap Sarah sambil melepas seat belt. Ansel hanya mengangguk membalas ucapan Sarah. “Anda mau masuk sekalian, akan kutraktir karena sudah membantuku,” ucap Sarah memberi tawaran. “Tidak usah, aku harus segera pulang,” tolak Ansel halus. Sarah pun mengangguk karena tak mungkin memaksa Ansel. Dia hendak turun, tapi terhenti dan kembali menoleh ke Ansel. “Boleh aku tanya sesuatu?” tanya Sarah. “Silakan.” Ansel mempersilakan karena bagaimanapun Sarah adalah kliennya dan wajar jika dia bersikap sopan ke wanita itu. “Wanita malam itu, apa benar kalau dia calon istri Anda?” tanya Sarah seperti masih ragu kalau wanita yang ditemuinya adalah calon istri Ansel. Apalagi Sarah tahu kalau selama bertahun-tahun ini Ansel tak pernah dekat dengan wanita mana pun. “Ya, benar. Dia calon istriku,” jawab Ansel tanpa keraguan. Sarah hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban Ansel. Dia lantas memilih segera turun dari mobil setelah mengucapkan terima kasih. Ansel
“Soal ucapan ibunya Citra, dia tak bermaksud apa-apa. Kamu jangan salah paham,” ujar Ayana saat menemui Ansel yang sedang di dapur mengambil minum. Ansel diam sejenak mendengar ucapan sang mama. Dia lantas membalikkan badan hingga saling tatap dengan Ayana. “Dia hanya merasa kamu layak mendapatkan kebahagiaanmu, Ans. Dia hanya takut kalau Emi mengganggu hubunganmu dengan Runa,” ujar Ayana menjelaskan. “Aku memang layak mendapat kebahagiaanku, Mom. Tapi itu aku dapat dari Runa dan Emi. Emi memang bukan anak kandungku, tapi semenjak dia ada dalam gendonganku, meski dalam sedih pun aku bisa tersenyum,” balas Ansel sambil menatap Ayana. “Runa pun sangat menyukai Emi. Bagaimana bisa aku menyingkirkan Emi setelah aku mendapatkan Runa. Tidak ada yang akan aku buang, baik itu Runa atau Emi. Emi akan tetap bersamaku, bahkan saat aku membangun rumah tangga dengan Runa,” ucap Ansel lagi. “Iya, mama tahu. Bibimu hanya takut kamu terbebani saja. Bukan maksud apa-apa, Ans. Dia juga tak bermaks
Aruna sesekali menengok ke gerbang juga merapikan pakaiannya. Malam ini Ansel akan datang sesuai dengan janji yang untuk menemui Bintang dan Langit. “Kenapa dia tak datang-datang?” Aruna mengecek ponsel. Dia melihat pesannya yang belum dibaca Ansel padahal sudah dikirim sejak setengah jam lalu. “Apa ada masalah di jalan?” Aruna pun mulai cemas karena Ansel tak membaca pesannya sama sekali. Aruna mondar-mandir menunggu Ansel datang, hingga akhirnya mobil kekasihnya itu memasuki halaman rumah, membuat Aruna begitu lega. Bahkan dia langsung turun dari teras untuk menghampiri mobil Ansel yang baru saja berhenti. “Kenapa tidak membalas pesanku? Apa terjadi masalah di jalan?” tanya Aruna. “Tidak ada, tadi sempat terkena macet saja. Ponselku juga tertinggal karena terburu-buru,” jawab Ansel agar Aruna tak cemas. Aruna mengangguk-angguk. Dia pun merapikan penampilan Ansel lantas mengajak pria itu masuk. “Ayo masuk!” ajak Aruna sambil menggandeng Ansel. Mereka masuk bersama, Bintang d
“Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Ans?” tanya Ayana setengah tak percaya mendengar Ansel ingin tinggal di rumah orang tua Runa setelah menikah nanti. “Ya, aku sangat yakin,” jawab Ansel tanpa keraguan. “Lalu, kamu juga akan mengajak Emi ke sana?” tanya Deon. “Ya, tentunya,” jawab Ansel menatap sang papa lantas sang mama secara bergantian. Ayana benar-benar terkejut mendengar jawaban Ansel. Dia menoleh sang suami, lantas kembali memandang Ansel. “Ini keputusanku, bukankah aku berhak untuk memutuskan bagaimana hidup yang aku jalani?” Ansel mencoba meyakinkankan kedua orang tuanya jika pilihannya tak salah. Deon menghela napas kasar, lantas membalas, “Ya, itu hakmu. Kamu seorang pria dewasa yang berhak memutuskan mana yang terbaik untukmu.” Ayana sebenarnya tak setuju, tapi demi menebus kesalahannya di masa lalu, Ayana pun memilih menerima segala keputusan Ansel. “Asal itu bisa membuatmu bahagia. Kami tak masalah sama sekali,” ucap Ayana pada akhirnya. ** Hari berikutnya, Aru
“Seharusnya kamu tidak usah ikut berbelanja,” ucap Bintang keheranan karena Aruna memaksa untuk ikut. “Ya, sekali-kali, Mom. Siapa tahu aku juga pengen sesuatu, jadi sekalian beli,” balas Aruna sambil merangkul lengan Bintang. Bintang pun merasa aneh dengan tingkah Aruna, tapi di balik itu dia pun hanya berpikir jika Aruna mungkin hanya penasaran dengan apa yang akan disiapkan untuk acara malam nanti. Aruna melihat-lihat barang yang terpajang, sedangkan Bintang dan pembantu tampak mengambil beberapa bahan makanan yang dibutuhkan. Hingga Aruna melihat seseorang yang sedang melintas di depan supermarket mall itu. Dia pun buru-buru meletakkan barang yang sedang dipegangnya. “Mom, aku keluar sebentar,” ucap Aruna lantas berlari dengan terburu-buru. Bintang hendak bertanya mau ke mana putrinya itu, tapi karena Aruna berlari cukup kencang, membuat Bintang urung bertanya. Aruna ternyata mengejar Sarah. Dia melihat wanita itu sedang berjalan dengan asisten yang biasa menemani. “Tunggu