“Calon istri?” Sarah terlihat sangat terkejut mendengar pengakuan Aruna. Aruna menoleh Ansel seolah meminta pria itu mengiakan apa yang diucapkannya. “Benar, dia kekasihku dan kami berencana segera meresmikannya,” ujar Ansel saat melihat tatapan Aruna kepadanya. Aruna melebarkan senyum mendengar ucapan Ansel. Dia pun menatap Sarah yang masih terkejut. “Maaf, aku baru tahu. Selama ini aku hanya tahu kalau istrimu meninggal sudah lama, jadi maaf jika tak tahu,” balas Sarah sambil tersenyum ke Ansel lalu berpindah ke Aruna. Aruna memalingkan muka seolah tak ingin melakukan kontak langsung dengan Sarah. “Runa, dia ini rekan bisnisku. Dia Nona Sarah,” ujar Ansel menjelaskan siapa wanita yang ada di hadapannya agar Aruna tak salah paham. Aruna memandang wanita itu, lantas memaksa tersenyum sambil mengangguk sebelum kemudian kembali membuang muka. “Aku sampai lupa ingin meminta jus ke pelayan untuk Runa. Kami permisi dulu.” Ansel pun mengajak Aruna pergi menjauh dari Sarah karena men
Aruna bangun di pagi hari. Dia merasa kepalanya sedikit pusing dan tubuhnya agar terasa berat. “Kepalaku sakit.” Aruna memegangi kepala yang terasa sakit. Dia membuka kelopak mata perlahan, hingga menyadari jika sudah berada di kamarnya. “Kapan aku sampai kamarku? Kenapa sudah pagi?” Aruna begitu syok karena tak ingat apa-apa. Aruna melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, tentu saja dia terkejut bukan main karena belum bersiap-siap ke kantor. Aruna melompat dari kasur begitu saja. Dia buru-buru mandi karena takut telat berangkat ke kantor. Aruna segera turun menuju ruang makan setelah selesai bersiap-siap. Hingga dia melihat Langit dan Bintang yang sudah ada di sana. “Pagi, Mom, Dad. Maaf aku terlambat,” ucap Aruna langsung duduk dan mengambil sarapannya. Bintang dan Langit memperhatikan Aruna yang buru-buru makan, keduanya pun saling tatap lantas memandang Aruna lagi. “Kamu mau ke mana?” tanya Bintang sambil memperhatikan Aruna. Aruna berhenti mengun
Emily sedang membantu Bintang membuat kue kering. Gadis kecil itu belajar membentuk kue kering sesuai arahan Bintang. “Beginikan, Oma?” tanya Emily sambil memperlihatkan adonan yang sudah berbentuk bulat. “Iya, sekarang taruh sini,” kata Bintang menunjuk ke loyang. Emily terlihat sangat senang. Dia meletakkan adonan itu ke loyang, kemudian mengambil adonan lain untuk dibentuk. “Emi, apa Papi Ans selama ini baik?” tanya Bintang sambil melirik Emily yang sibuk membuat adonan menjadi bulat. “Sangat baik sekali,” jawab Emily tanpa memandang Bintang. “Papi jarang marah, kalau aku sakit pasti memeluk biar aku bisa tidur. Hanya saja, Papi tidak pernah mau datang kalau ada acara di sekolah,” ujar Emily bercerita. Bintang menatap Emily yang bercerita. Dia masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang pria yang sama sekali tak ada hubungan darah dengan gadis kecil itu, benar-benar mau merawat dengan sepenuh hati. Bintang sendiri masih ragu dengan pernyataan Aruna soal Emily yang bukan
“Awas, pelan-pelan.” Ansel membantu Aruna turun dari mobil. Dia lantas memapah Aruna masuk IGD agar mendapat penanganan. “Sus, tolong.” Ansel memanggil perawat untuk membantu mengobati kaki Aruna. “Apa yang terjadi?” tanya perawat sambil membantu Aruna menuju ranjang pesakitan. “Kakinya terkilir karena jatuh,” jawab Ansel. Perawat meminta Aruna berbaring kemudian mencoba melihat memar di kaki Aruna. Dia lantas memanggil dokter jaga untuk membantu mengecek kondisi kaki Aruna. “Saya coba cek dulu, ya.” Dokter pun melihat kondisi kaki Aruna. “Ini hanya memar karena terkilir, tidak ada keretakan dalam tulang juga. Saya akan bantu obati, nanti juga meresepkan salep untuk dipakai di rumah,” ucap dokter itu. Ansel mengangguk-angguk mendengar ucapan dokter itu. Dia melihat Aruna yang masih menahan sakit. “Apa sangat sakit?” tanya Ansel yang sangat cemas. Aruna hanya mengangguk-angguk karena pergelangan kakinya nyeri saat digerakkan. Dokter pun mengobati kaki Aruna dan memperbolehka
“Apa orang tua Aruna benar-benar menerima Emi? Apa dia tahu kalau Emi bukan anak kandungmu?” tanya Ayana saat makan malam bersama Ansel dan suaminya. Emily tidak ikut pulang dengan Ansel karena diminta menginap di rumah Bintang, tentu saja Ansel tak bisa menolak hal itu karena takut membuat Bintang marah. “Mereka sudah tahu kalau Emi bukan anak kandungku. Jika mereka tak benar-benar menyukai Emi, tak mungkin Emi mau dengan mereka. Emi merasa nyaman dan suka di sana, tidak ada salahnya untuk pendekatan agar nantinya Emi pun bisa benar-benar nyaman dengan keluarga Runa,” ujar Ansel menjelaskan. “Jadi, kamu benr-benar sudah serius dengan Runa?” tanya Deon ikut dalam pembicaraan itu. “Tentu saja, Pa.” Ansel menjawab penuh keyakinan. “Lalu, kapan kamu berencana melamarnya?” tanya Ayana tak sabar karena bisa melihat putranya bahagia saja sudah membuatnya begitu lega. Ansel agak ragu menjawab pertanyaan ibunya itu. Dia pun membalas, “Kalau bisa secepatnya, tapi mengingat aku juga baru
“Aku benar-benar tak menyukai tatapannya. Aku pun keheranan, kenapa harus bertemu dengan pria itu di sini.” Aruna langsung mengadu soal pertemuannya dengan Gallen yang membuatnya menahan amarah. “Kenapa tidak kamu abaikan saja. Untuk apa meladeni pria seperti itu?” Bukannya Ansel tak mau meredam amarah Aruna, hanya saja dia ingin agar Aruna menghindari pria seperti Gallen demi keselamatan Aruna sendiri. “Inginnya menghindar, tapi pria itu menyebalkan. Dia bicara seolah sangat berkuasa, bahkan menyindir kalau aku penyebab putusnya hubungan kerjasama dengan Daddy. Bagaimana bisa aku mengabaikan begitu saja!” Aruna meluapkan semua kekesalan ke Ansel setelah sejak tadi menahannya. Sepanjang rapat Aruna berusaha meredam amarahnya, tapi setelahnya kembali meledak. “Iya, aku paham. Tapi besok lagi kalau bertemu dengan pria itu, abaikan saja. Jujur, aku lebih cemas jika dia sampai menyakitimu. Kalau dia bisa menyewa orang untuk menyerangmu, tidak menutup kemungkinan dia akan melakukan h
“Apa kamu yakin ingin menemuinya? Bagaimana kalau dia tak mau bicara?” tanya Ansel yang hari itu menemani Aruna ke kantor polisi. Aruna menarik napas panjang lalu mengembuskan napas kasar. Dia menoleh Ansel lantas menjawab pertanyaan pria itu. “Yakin atau tidak, aku harus mencobanya,” jawab Aruna sambil memulas senyum untuk meyakinkan Ansel. Ansel pun tak punya pilihan selain membiarkan Aruna menemani mantan staff perusahaan Aruna. Mungkin hanya dengan cara ini masalah penyerangan itu bisa selesai. Mereka pun keluar dari mobil yang terparkir di halaman kantor polisi. Ansel menemani Aruna sampai dalam, hanya saja tak menemui mantan staff perusahaan Langit. Aruna menemui mantan staff perusahaan di ruangan khusus. Wanita itu terlihat terkejut saat melihat Aruna di sana. “Apa yang kamu inginkan?” tanya wanita itu tampak waspada. Aruna memasang wajah datar mendengar pertanyaan wanita itu. “Tampaknya sel penjara membuatmu tak baik-baik saja,” ucap Aruna dengan nada sindiran. Wanita
“Kalian siapa?” Aruna dan Ansel terkejut mendengar suara lelaki. Mereka menoleh hingga melihat seorang pria berpakaian lusuh dengan wajah kusut kini sedang memandang mereka. “Kamu suaminya Abel?” tanya Aruna hati-hati. Pria itu tampak terkejut mendengar pertanyaan Aruna. Dia sampai menatap bergantian Aruna dan Ansel. “Siapa kalian dan mau apa ke sini?” tanya pria itu terlihat waspada. Aruna menoleh Ansel, lantas mencoba memperkenalkan diri. “Aku Aruna, mantan rekan kerja Abel di perusahaan,” ujar Aruna memperkenalkan diri. Pria itu terlihat terkejut mendengar nama Aruna. Hingga dia begitu panik dan terlihat takut. “Tenang saja, kami datang ke sini bukan untuk niat buruk. Kami ke sini atas permintaan Abel untuk mengambil sesuatu,” ujar Ansel menjelaskan. Pria itu bingung, tapi mencoba bersikap tenang. Aruna pun menjelaskan semuanya, termasuk kemungkinan Abel bisa bebas kalau dia mendapatkan bukti yang diminta. “Apa aku bisa memercayai kalian?” tanya pria itu memastikan. “Te
Aruna dan yang lain buru-buru pergi ke rumah sakit setelah mendapat kabar jika Winnie mau melahirkan, tapi siapa sangka saat masuk ruangan malah melihat Hanzel juga, membuat semua orang bingung.“Hanz, kenapa kamu di sini?” tanya Aruna bingung.“Milea melahirkan,” jawab Hanzel.“Lah, bukannya ini kamar Winnie?” tanya Aruna bingung.“Ya, mereka berdua di sini. tuh!” Hanzel menunjuk ke dalam.Ternyata Bumi dan Hanzel setuju jika istri mereka satu kamar agar bisa saling bantu menjaga.Aruna, Ansel, dan kedua orang tuanya terkejut mendengar ucapan Hanzel. Mereka buru-buru masuk untuk melihat apakah yang dikatakan Hanzel benar.“Kalian benar-benar janjian. Hamil dan melahirkan bisa barengan,” cerocos Aruna sangat tak menyangka.“Kebetulan saja, aku masuk duluan baru Winnie,” balas Milea.Semua orang yang ada di sana terlihat sangat bahagia, belum lagi setelah itu datang keluarga Hanzel dan Milea karena ingin menyambut cucu mereka.“Anak kalian seperti kembar.” Aruna dan yang lain memandang
“Mama, tadi Emily bantu gambar ini, lho.” Kai memperlihatkan gambar yang dibawanya.“Mana coba lihat.” Milea mengambil buku gambar dari tangan Kai.Milea sudah ambil cuti melahirkan karena usia kandungannya memasuki sembilan bulan. Dia fokus dengan kesehatan kehamilan dan Kai yang sekarang sudah duduk di bangku sekolah dasar.“Yang mewarnai siapa?” tanya Milea sambil memperhatikan gambar itu.“Kai dong. Kai pintar ‘kan?” Kai menjawab dengan bangga.“Iya, pintar,” balas Milea.Kai sangat bangga dapat pujian dari sang mama, hingga melihat Milea yang meringis.“Mama kenapa?” tanya Kai sambil menggenggam telapak tangan Milea.“Tidak kenapa-napa,” ucap Milea sambil tersenyum meski perutnya mendadak kencang.“Mama yakin?” tanya Kai yang cemas.Belum juga Milea menjawab, dia merasa kalau perutnya semakin sakit seperti mengalami kontraksi, tentu saja hal itu membuat Kai cemas.“Bibi! Mama sakit!” teriak Kai karena di rumah itu hanya ada dirinya, kedua orang tuanya, dan pembantu.Milea dan Han
“Pernyataanmu tadi, apa bisa aku anggap benar?”Jean tertegun hingga menoleh Raja yang duduk di belakang stir. Dia mengulum bibir menunjukkan kalau sedang dalam kondisi panik dan bingung.“Aku tidak tahu harus menyebutmu apa? Adik tidak mungkin, teman terlalu aneh.”Jean mencoba sedikit mengelak dari pengakuannya ke Milea.“Berarti memang bagus pacar. Jadi, apa bisa jadi pengakuan untuk seterusnya?” tanya Raja lantas menoleh Jean.Jean benar-benar salah tingkah mendengar pertanyaan Raja. Dia memberanikan diri menoleh ke pemuda itu.“Jangan berharap banyak kepadaku. Aku memiliki banyak kekurangan termasuk mungkin takkan bisa memberikan cinta yang sempurna untukmu,” ucap Jean takut Raja kecewa.“Kamu tahu, tidak ada yang namanya cinta sempurna. Yang ada, saling melengkapi kekurangan masing-masing. Asal kamu mengizinkan, aku akan menerima semua kekurangan itu.”Raja menatap Jean penuh harap. Dia menyadari jika Jean seperti tidak tertarik dengan sebuah hubungan percintaan, tapi dia pun ta
“Apa kamu tidak merasa aneh jalan denganku?”Jean mengamati sekitar, banyak remaja memperhatikannya yang sedang jalan dengan Raja.“Kenapa aku harus merasa aneh?” tanya Raja balik dengan santai.“Karena kamu jalan dengan wanita yang layak jadi kakak, tante, mungkin mama.”Jean menjawab sambil menoleh Raja.Raja tertawa mendengar ucapan Jean, lantas membalas, “Untuk apa memikirkan pandangan orang yang tidak ada habisnya. Yang menjalani aku, kenapa mereka yang repot?”“Lagi pula sekarang kita hanya jalan, kalau kamu menerima perasaanku, aku malah akan menggandeng tanganmu lantas memberitahu mereka kalau kamu kekasihku, bukan kakakku, tanteku, atau mamaku,” ujar Raja lagi memberi clue ke Jean untuk merepon perasaan yang diungkapkan sebelumnya.Jean langsung berdeham mendengar ucapan Raja, bahkan mengulum bibir sambil memalingkan muka.Raja menoleh Jean yang memalingkan muka darinya, dia pun lantas kembali berkata, “Apa kamu yakin belum mau memutuskan? Tapi kalau belum juga tidak apa, aku
“Jean,” panggil Ive saat melihat putrinya sedang menuruni anak tangga.Jean yang sedang ingin ke dapur mengambil minum, akhirnya berbelok ke ruang keluarga untuk menghampiri sang mama dan papa.“Ada apa, Ma?” tanya Jean.“Duduklah sini,” pinta Ive sambil menepuk sofa di sampingnya.Jean menuruti ucapan sang mama, lantas menatap kedua orang tuanya bergantian.“Apa ada masalah, Ma?” tanya Jean agak cemas karena tak biasanya kedua orang tuanya memanggil sambil memperlihatkan ekspresi serius seperti itu.“Apa kamu sebelumnya menolak kencan buta karena sudah punya pacar dan pacarmu itu yang tadi pagi jemput?” tanya Ive memastikan sebelum bicara ke pembahasan lebih lanjut.Jean sangat terkejut mendengar pertanyaan Ive, membuatnya gelagapan karena bingung harus menjawab apa.Ive dan Alex saling tatap, mereka pun semakin yakin kalau memang benar pria yang menjemput Jean adalah pacar putrinya.“Sebenarnya, asal kamu suka, tidak masalah kamu mau pacaran sama siapa, mau nikah sama siapa. Mama da
“Lain kali jangan mendatanginya dengan alasan kamu merasa bersalah! Bukankah kamu seharusnya merasa bersalah karena mendekati kekasih adikmu sendiri.”Raja baru saja sampai rumah saat sang kakak juga sampai di rumah. Dia memperingatkan kakaknya itu agar tak mendekati Jean lagi.Saat Arthur hendak membalas ucapan Raja, Amanda sudah lebih menegur mereka berdua.“Kenapa kalian bersitegang lagi?” tanya Amanda sambil menatap kedua putranya itu.Raja dan Arthur menoleh bersamaan ke Amanda. Raja terlihat tak senang karena menyadari jika sang mama pasti akan membela kakaknya.Amanda menatap Arthur yang hanya diam, hingga tatapannya tertuju ke Raja.“Raja, mama mau bicara denganmu sebentar, bisa?” tanya Amanda dengan suara halus agar putranya tak salah paham kepadanya.Raja menatap sang mama, lantas mengangguk karena tak bisa menolak permintaan wanita itu.Raja pun mengikuti sang mama yang berjalan lebih dulu di depannya. Dia mengikuti hingga sang mama masuk ke ruang kerja ayahnya.“Mama mau b
“Yang ini nanti kamu kirim ke bagian marketing. Jangan lupa minta untuk dicek ulang,” perintah Jean ke sekretarisnya.“Baik, Bu.” Sekretaris Jean mengangguk.Jean memberikan berkas yang baru dicek. Dia lantas kembali mengurus berkas lainnya yang bertumpuk di mejanya.Saat sedang fokus ke berkas, tiba-tiba saja telepon kabel di mejanya berdering, membuat Jean menjawab panggilan itu lebih dulu.“Selamat siang Bu Jean, ada seseorang yang ingin menemui Anda tapi belum membuat janji. Anda ingin menemuinya atau tidak?” tanya staff resepsionis dari seberang panggilan.Jean mengerutkan alis mendengar pertanyaan resepsionis.“Siapa?” tanya Jean penasaran hingga dia terdiam mendengar nama yang disebutkan resepsionis.Jean menutup panggilan itu, lantas memilih keluar dari ruangannya untuk menemui orang yang mencarinya.Jean pergi ke lobi, hingga melihat pria yang berdiri membawa sebuah paper bag.“Mau apa kamu menemuiku?” tanya Jean sambil menatap Arthur yang datang menemuinya.Arthur membalikka
Raja tersenyum melihat Jean keluar memakai celana. Dia tidak menyangka kalau wanita itu mau berganti pakaian hanya karena dirinya memaksa ingin mengantar.“Besok aku akan membawa mobil,” ucap Raja sambil menyodorkan helm ke Jean.“Kamu tidak perlu menjemputku setiap hari,” balas Jean sambil menerima helm dari Raja lantas memakainya.Siapa sangka Raja mendekat ke Jean, lantas membantu memasang tali pengaman helm.Jean cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Raja, tapi dia berusaha untuk tenang.“Aku suka melakukannya,” balas Raja setelah selesai memasang tali helm sambil menatap Jean.Jean mengalihkan pandangan dari pemuda itu, bahkan menggeser posisi agar tak terlalu dekat dengan Raja.“Bisa kita berangkat sekarang?” tanya Jean karena mulai salah tingkah melihat tatapan Raja.Raja hanya mengulum senyum, lantas naik ke motor disusul Jean. Pemuda itu pun melajukan motor meninggalkan rumah Jean.Di rumah, ayah Jean keheranan karena mobil putrinya masih di garasi.“Jean ke kantor naik ap
[Jill, jika ada yang menyukaiku, tapi tak sesuai ekspektasiku. Apa yang harus aku lakukan?]Jean mengirimkan pesan ke Jill karena tak tahu harus bagaimana mengatasi masalah yang sedang dialaminya.Jean duduk di kasur sambil menatap pesan yang baru saja dikirimkan ke Jill. Hingga beberapa saat kemudian pesan itu dibaca sepupunya itu.[Fokus pada keinginan awalmu, Jean. Baru kamu bisa memutuskan apa yang kamu inginkan.]Jean membaca pesan dari Jill, memang tak banyak membantu tapi setidaknya itu bisa membuatnya tenang. Dia pun mengirimkan balasan terima kasih ke sepupunya itu, lantas mengembuskan napas kasar.Hari berikutnya, Jean sarapan bersama kedua orang tuanya seperti biasa.Ive terlihat menatap Jean yang makan tanpa bicara, banyak perubahan yang membuat wanita paruh baya itu sedih.“Akhir minggu ini, bagaimana kalau kita Me Time bersama, Jean?” tanya sang mama ingin kembali mempererat hubungan keduanya.Jean memandang sang mama, lantas menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis.