Karena aliran energi di kota Leluhur Naga dan kemunculan penempa Neraka Biru, kabar itu telah menyebar ke seluruh sudut alam Danirmala. Mereka membicarakan pria yang membuat kehancuran di kota Ngarai Hitam, dan melawan Zurrark dan utusan Fraksi Cahaya Ilahi sekaligus. Kabar itu juga terdengar sampai telinga salah satu Dewa klan Sheva, tepatnya ayah dari Zurrark Dila. (Pengen buat gelar, tapi otak gak jalan kalau mikir nama) Wanita Sheva bertanduk seperti ranting bonsai, kali ini menatap semburat cahaya matahari yang samar-samar menembus kegelapan. Bayangan berkumpul di depannya, berbentuk tubuh pria yang tak jelas karena energi hitam, hanya sorot mata merah dan tanduknya yang terlihat jelas. "Ayah!" Zurrark Dila menunduk sekilas.Dengan suara berat dan tertahan Sang Dewa Sheva berbicara. "Jelaskan kenapa kau menyinggung Fraksi Cahaya Ilahi, bahkan menyandera seorang Zurrark?!" "Cucumu dibunuh olehnya!" teriaknya tertahan. Dewa Sheva terdiam beberapa saat sebelum kembali berkata.
Kota Tunggul Tua, tiga orang bertudung hitam berjalan bersandingan. Suatu ketika mereka berhenti, melihat paving jalanan yang kontras berbeda warna, lalu melihat bangunan di sekitarnya yang belang. Setengah bangunan lama dan disambung bangunan baru. Mata mereka kemudian tertuju pada dinding dari kayu pohon raksasa yang masih berlubang, memperlihatkan pemandangan hutan raksasa di luar sana, dan menyisakan arang hitam di pinggirannya. Langkah kaki mereka mulai kembali melaju, tanpa sadar sudah memasuki lorong kecil hingga harus beriringan. Saat itulah tudung mereka disingkap, memperlihatkan wajahnya. Singkatnya, sampailah di ujung lorong dan memasuki gua besar. Kulit putih terlihat dari sela-sela kain tipis, tapi segera terbuka saat pahanya menempel di perut Akara. "Regera, kau benar-benar berani mengguncang Alam Danirmala... Hmph mengesankan!" Alkemis cantik melingkarkan tangan rampingnya di kerah jubah hitam, membuat dua orang di belakangnya cukup dibuat terkejut. Akara hanya me
Pilar energi membumbung tinggi hingga menyibakkan awan, tapi juga menciptakan lapisan awan yang lebih tinggi. Cahaya dari pilar energi, ditambah kilatan petir yang menyebar di awan, dspat terlihat dari ratusan mil jauhnya. Itu menerangi seorang pria tua yang bersemedi di sebuah altar melingkar dengan lebar beberapa meter, dikelilingi akar raksasa yang merajut tak karuan. Pria Sheva yang sangat tua, dengan tanduk emas yang sudah patah. Walaupun wajahnya dipenuhi jambang dan kumis putih, tapi area kecil kulitnya terlihat sangat keriput, bahkan tengkoraknya tercetak jelas di wajahnya. Dengan berat ia membuka mata, melihat sorot cahaya berasal, disusul sambaran petir yang melukis awan malam di atasnya. ...Tungku pemurnian melayang di udara, berputar hebat di pusat pilar energi dengan api hitam yang sudah padam. Sedangkan di dekatnya, Akara masih bersila dengan raut mata serius, jubah hitamnya berkibar. Gulungan kertas telah terbuka di depannya, dan dengan ukuran yang sudah menyala. T
"Pak tua, otakmu perlu dipukulkah agar normal kembali?" Alkemis putih menarik kembali pedangnya, lalu melemparnya di udara dan meraih bilahnya dengan jari. Tugg!... Ia jatuhkan pegangan pedang, tepat mengenai tanduk emas yang sudah patah, membuat kakek tua itu mengaduh kesakitan. "Bocah kurang ajar!" bukan membentak, tapi hanya teriakan kakek tua pikun. Melihat ayahnya melayang turun, Lumpang melemparkan tongkat yang ia pakai saat pertarungan sebelumnya. Menapaklah di tanah dengan postur tubuh membungkuk, yang pasti akan jatuh jika tanpa berpegangan pada tongkat. "Anak muda!" Ia menoleh ke arah Akara, terlihat jelas penyesalan di wajah keriputnya. "Maafkan pak tua ini. Semakin dekat menuju megatruh, membuat akal sehat jadi rusak!" lanjutnya. "Ya!" Akara menjawabnya acuh tak acuh dan segera menoleh ke arah gadis Alkemis, lalu bertanya."Hanya perlu aku makan pil ini bukan?""Akan saya bantu pengeluaran energi kutukannya!" jawab Myrna, membuat Akara berpikir sejenak. Namun, Alkemis
"A... Regera, sudah selesai pengangkatan kutukannya?!" Komo langsung melepaskan genggaman tangannya dan bergegas mendekat. Akara yang berdiri di ujung balkon hanya menoleh sekilas, lalu menyeruput secangkir kopi di genggamannya. "Kutukan sudah hilang, tapi aura ranahku belum kembali." Ia meraba kain hitam di dadanya dan kembali berkata. "Bekas luka ini juga tidak hilang."Obelia hanya bisa menjaga jarak, melihat punggung kedua pemuda yang sedang melihat pemandangan kota dari ketinggian. Dengan serentak mereka menoleh ke belakang, menyadari kehadiran seorang pria berselimut kain lusuh."Tuan Regera, sekali lagi saya minta maaf atas kejadian sebelumnya. Dan juga, mohon untuk membantu memurnikan pil Penerobos Megatruh setelah bahannya terkumpul," "Baiklah, tapi aku membutuhkan informasi darimu." Akara menjentikkan jarinya, seketika kubah pelindung mengurung mereka. "Katakan?" "Setelah perburuan terakhir kali, adakah perburuan lain? Atau pernahkah mendengar lokasi portal perburuan
Altar di tengah-tengah hutan raksasa yang cukup jauh dari kota. Altar yang seperti berada di dalam sumur besar, berdindingkan akar pohon raksasa. Mereka telah berkumpul, ditambah gadis Alkemis dan Alkemis berjubah putih. "Mohon untuk berhati-hati. Walaupun kalian membantu mempercepat kenaikan ranah, guncangan pasti akan segera dirasakan ranah Dewa lainnya. Mereka pasti datang dalam sekejap!" Lumpang memperingatkan mereka, sedangkan Akara segera melemparkan sesuatu ke arah pemuda berarmor kristal ungu. "Komo, sebar itu dan bentuk formasi!"Melihat cincin hitam di tangan Komo, Alkemis putih ikut mengibaskan tangannya. Benda bercahaya melesat ke arah Komo, membuat Akara menoleh dengan cepat. Empat kristal berbentuk tabung prisma yang melayang, terbuat dari giok hijau dengan nyala magma oranye di dalamnya. "Anak muda, sebar itu di empat titik yang lebih luas!" Komo segera menoleh ke arah tuannya, dan langsung melesat pergi saat Akara mengangguk pelan. "Baiklah, silahkan dimulai!" Lum
"Lepaskan! Kita sudah tidak bisa membantunya lagi!" teriak Alkemis Putih yang langsung menutup auranya dan melesat pergi, disusul Akara dan Myrna. Kehampaan masih tertahan di atas sana. "Mereka benar-benar datang di saat krusial!" geram Lumpang sambil mendongakkan kepalanya, para Dewa terlihat di antara sela-sela ranting pohon yang sudah gundul dari daun. Ia lalu menoleh ke arah altar, energi sudah berkutat, bergerak cepat dan tak beraturan di sana. "Itu semua ranah Dewa?!" Gadis berpakaian lingerie langsung menutup mulutnya, dengan mata terbelalak begitu melihat ke atas. "Aku tidak yakin bisa bertahan," jabar Akara dengan wajah serius, tapi segera disahut Alkemis Putih. "Tenang saja!" Baru saja ia menyelesaikan ucapannya, ledakan menciptakan cincin kehampaan baru. Tidak hanya satu, tapi tiga lapisan pelindung hancur sepenuhnya. Komo yang menahan formasi langsung terlempar, untung ada Obelia yang menahan tubuhnya. Muncullah
Retakan kehampaan benar-benar memenuhi udara, seperti kaca mobil yang pecah, tapi masih saling menempel. Luapan energi terhenti, membuat Akara dan yang lainnya dapat membuka pelindung. Namun, ada luapan yang lebih tenang. Energi kegelapan layaknya gumpalan bayangan yang jatuh ke bawah. Beberapa saat kemudian luapan bayangan terhenti. Tubuh tua renta yang sakit-sakitan telah berubah, menjadi lebih tegap dan bugar berselimutkan energi hitam. Tanduk emasnya yang patah tidak berubah, tapi ada cakar tajam dan bilah yang menempel terbalik di lengannya. Dada yang lebar, dengan perut ramping yang diselimuti deretan sisik seperti tulang rusuk yang rapat....Kota Tunggul Tua, tepatnya di sebuah balkon di salah satu sisi bangunan menggantung, tiga orang laki-laki duduk dengan ditemani kopi di atas meja. "Pelelangan Raga, apa kalian masih melakukannya?" Pemuda berjubah hitam melontarkan pertanyaan kepada kedus pria bertanduk emas yang duduk di depannya. Ia teri