Kota Tunggul Tua, tiga orang bertudung hitam berjalan bersandingan. Suatu ketika mereka berhenti, melihat paving jalanan yang kontras berbeda warna, lalu melihat bangunan di sekitarnya yang belang. Setengah bangunan lama dan disambung bangunan baru. Mata mereka kemudian tertuju pada dinding dari kayu pohon raksasa yang masih berlubang, memperlihatkan pemandangan hutan raksasa di luar sana, dan menyisakan arang hitam di pinggirannya. Langkah kaki mereka mulai kembali melaju, tanpa sadar sudah memasuki lorong kecil hingga harus beriringan. Saat itulah tudung mereka disingkap, memperlihatkan wajahnya. Singkatnya, sampailah di ujung lorong dan memasuki gua besar. Kulit putih terlihat dari sela-sela kain tipis, tapi segera terbuka saat pahanya menempel di perut Akara. "Regera, kau benar-benar berani mengguncang Alam Danirmala... Hmph mengesankan!" Alkemis cantik melingkarkan tangan rampingnya di kerah jubah hitam, membuat dua orang di belakangnya cukup dibuat terkejut. Akara hanya me
Pilar energi membumbung tinggi hingga menyibakkan awan, tapi juga menciptakan lapisan awan yang lebih tinggi. Cahaya dari pilar energi, ditambah kilatan petir yang menyebar di awan, dspat terlihat dari ratusan mil jauhnya. Itu menerangi seorang pria tua yang bersemedi di sebuah altar melingkar dengan lebar beberapa meter, dikelilingi akar raksasa yang merajut tak karuan. Pria Sheva yang sangat tua, dengan tanduk emas yang sudah patah. Walaupun wajahnya dipenuhi jambang dan kumis putih, tapi area kecil kulitnya terlihat sangat keriput, bahkan tengkoraknya tercetak jelas di wajahnya. Dengan berat ia membuka mata, melihat sorot cahaya berasal, disusul sambaran petir yang melukis awan malam di atasnya. ...Tungku pemurnian melayang di udara, berputar hebat di pusat pilar energi dengan api hitam yang sudah padam. Sedangkan di dekatnya, Akara masih bersila dengan raut mata serius, jubah hitamnya berkibar. Gulungan kertas telah terbuka di depannya, dan dengan ukuran yang sudah menyala. T
"Pak tua, otakmu perlu dipukulkah agar normal kembali?" Alkemis putih menarik kembali pedangnya, lalu melemparnya di udara dan meraih bilahnya dengan jari. Tugg!... Ia jatuhkan pegangan pedang, tepat mengenai tanduk emas yang sudah patah, membuat kakek tua itu mengaduh kesakitan. "Bocah kurang ajar!" bukan membentak, tapi hanya teriakan kakek tua pikun. Melihat ayahnya melayang turun, Lumpang melemparkan tongkat yang ia pakai saat pertarungan sebelumnya. Menapaklah di tanah dengan postur tubuh membungkuk, yang pasti akan jatuh jika tanpa berpegangan pada tongkat. "Anak muda!" Ia menoleh ke arah Akara, terlihat jelas penyesalan di wajah keriputnya. "Maafkan pak tua ini. Semakin dekat menuju megatruh, membuat akal sehat jadi rusak!" lanjutnya. "Ya!" Akara menjawabnya acuh tak acuh dan segera menoleh ke arah gadis Alkemis, lalu bertanya."Hanya perlu aku makan pil ini bukan?""Akan saya bantu pengeluaran energi kutukannya!" jawab Myrna, membuat Akara berpikir sejenak. Namun, Alkemis
"A... Regera, sudah selesai pengangkatan kutukannya?!" Komo langsung melepaskan genggaman tangannya dan bergegas mendekat. Akara yang berdiri di ujung balkon hanya menoleh sekilas, lalu menyeruput secangkir kopi di genggamannya. "Kutukan sudah hilang, tapi aura ranahku belum kembali." Ia meraba kain hitam di dadanya dan kembali berkata. "Bekas luka ini juga tidak hilang."Obelia hanya bisa menjaga jarak, melihat punggung kedua pemuda yang sedang melihat pemandangan kota dari ketinggian. Dengan serentak mereka menoleh ke belakang, menyadari kehadiran seorang pria berselimut kain lusuh."Tuan Regera, sekali lagi saya minta maaf atas kejadian sebelumnya. Dan juga, mohon untuk membantu memurnikan pil Penerobos Megatruh setelah bahannya terkumpul," "Baiklah, tapi aku membutuhkan informasi darimu." Akara menjentikkan jarinya, seketika kubah pelindung mengurung mereka. "Katakan?" "Setelah perburuan terakhir kali, adakah perburuan lain? Atau pernahkah mendengar lokasi portal perburuan
Altar di tengah-tengah hutan raksasa yang cukup jauh dari kota. Altar yang seperti berada di dalam sumur besar, berdindingkan akar pohon raksasa. Mereka telah berkumpul, ditambah gadis Alkemis dan Alkemis berjubah putih. "Mohon untuk berhati-hati. Walaupun kalian membantu mempercepat kenaikan ranah, guncangan pasti akan segera dirasakan ranah Dewa lainnya. Mereka pasti datang dalam sekejap!" Lumpang memperingatkan mereka, sedangkan Akara segera melemparkan sesuatu ke arah pemuda berarmor kristal ungu. "Komo, sebar itu dan bentuk formasi!"Melihat cincin hitam di tangan Komo, Alkemis putih ikut mengibaskan tangannya. Benda bercahaya melesat ke arah Komo, membuat Akara menoleh dengan cepat. Empat kristal berbentuk tabung prisma yang melayang, terbuat dari giok hijau dengan nyala magma oranye di dalamnya. "Anak muda, sebar itu di empat titik yang lebih luas!" Komo segera menoleh ke arah tuannya, dan langsung melesat pergi saat Akara mengangguk pelan. "Baiklah, silahkan dimulai!" Lum
"Lepaskan! Kita sudah tidak bisa membantunya lagi!" teriak Alkemis Putih yang langsung menutup auranya dan melesat pergi, disusul Akara dan Myrna. Kehampaan masih tertahan di atas sana. "Mereka benar-benar datang di saat krusial!" geram Lumpang sambil mendongakkan kepalanya, para Dewa terlihat di antara sela-sela ranting pohon yang sudah gundul dari daun. Ia lalu menoleh ke arah altar, energi sudah berkutat, bergerak cepat dan tak beraturan di sana. "Itu semua ranah Dewa?!" Gadis berpakaian lingerie langsung menutup mulutnya, dengan mata terbelalak begitu melihat ke atas. "Aku tidak yakin bisa bertahan," jabar Akara dengan wajah serius, tapi segera disahut Alkemis Putih. "Tenang saja!" Baru saja ia menyelesaikan ucapannya, ledakan menciptakan cincin kehampaan baru. Tidak hanya satu, tapi tiga lapisan pelindung hancur sepenuhnya. Komo yang menahan formasi langsung terlempar, untung ada Obelia yang menahan tubuhnya. Muncullah
Retakan kehampaan benar-benar memenuhi udara, seperti kaca mobil yang pecah, tapi masih saling menempel. Luapan energi terhenti, membuat Akara dan yang lainnya dapat membuka pelindung. Namun, ada luapan yang lebih tenang. Energi kegelapan layaknya gumpalan bayangan yang jatuh ke bawah. Beberapa saat kemudian luapan bayangan terhenti. Tubuh tua renta yang sakit-sakitan telah berubah, menjadi lebih tegap dan bugar berselimutkan energi hitam. Tanduk emasnya yang patah tidak berubah, tapi ada cakar tajam dan bilah yang menempel terbalik di lengannya. Dada yang lebar, dengan perut ramping yang diselimuti deretan sisik seperti tulang rusuk yang rapat....Kota Tunggul Tua, tepatnya di sebuah balkon di salah satu sisi bangunan menggantung, tiga orang laki-laki duduk dengan ditemani kopi di atas meja. "Pelelangan Raga, apa kalian masih melakukannya?" Pemuda berjubah hitam melontarkan pertanyaan kepada kedus pria bertanduk emas yang duduk di depannya. Ia teri
"Aku ingin bertarung bersama kalian, tapi pijakanku di klan Replik benar-benar rapuh. Jikalaupun mereka mendengar pendapatku, aku tidak yakin klan lain memiliki kepercayaan kepada klan Replik." Dewa Aurania menghela napas pelan, dengan bibir merahnya yang merekah."Kebetulan sekali!" Dewa Luwang melepaskan matanya dari pemandangan kota, melihat wajah gadis yang matanya tertutup kain. "Regera memintaku melelang tubuhnya agar dapat masuk wilayah klan Replik!" lanjutnya membuat Aurania menoleh, dengan angin yang tiba-tiba berhembus membuat rambut putih panjang mereka tersapu angin. ...Cahaya menyorot ke satu lokasi, sebuah altar panggung yang seakan berada di dasar sumur raksasa. Namun, dalam kegelapan dinding di sekitarnya, deretan ruangan berjejer dengan tinggi beberapa tingkat. Muncullah sekelebat kain hitam lusuh di atas panggung, berkumpul menjadi sosok pria Sheva bertanduk emas. Tongkat hitam di tangannya ia ketukkan beberapa kali ke la
Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.
"Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,
Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d
"Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta
Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa
Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene
"Maaf!" Ronas hanya bisa tertunduk merasa bersalah, lalu mulai menjelaskan keadaannya. Mendengar penjelasan panjang lebar, Serin segera menanggapi. "Keputusan di tangan anakku Regera!" "Anak?" Ronas malah merasa bingung dan Serin langsung menyadari bahwa pemimpin Fraksi telah termakan rumor. "Ronas, tidak mungkin kau mempercayai rumor 'kan?" "Itu... Lalu kenapa bisa memasuki peninggalan Dewa Penempa dan bagaimana dengan jiwanya?" Serin tersenyum penuh ketenangan sebelum berkata. "Tenang saja, pak tua itu bersama kami, hanya saja dia belum menyadari identitas asliku."...Deretan pilar-pilar besar yang berlapis emas, menjaga jalan konblok yang semakin naik seperti tangga raksasa. Di puncaknya, berdiri sepasang singgasana emas dengan latar birunya langit dan lautan awan di bawahnya. Dewa Penempa dan sang Maharani duduk di sana. Dewa Vasto bertubuh besar berotot dengan armor emas. Ada pula mahkota yang melayang di atasnya,
"Akara adalah anak kelima dari enam anak ayah, tapi maaf Mama Serin, sepertinya anak Akara akan menjadi cucu kalian yang pertama." Ia tersenyum penuh haru saat meraih potongan rambut tipis nan lembut dari dalam kotak. "Selamat untuk kalian, itu juga peringatan untukmu agar lebih berhati-hati kedepannya. Ada mereka yang menunggu kepulanganmu," nasihat wanita bertubuh mungil dari dalam dimensi, yang juga kebahagiaam turut terpancar di wajahnya....Saat pembicaraan Luwang dan Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi mulai tenang di dalam ruangan, muncul kilatan listrik yang mengantar pemuda berjubah hitam. "Tuan Regera!" Pemimpin Fraksi bangkit dari sofa, tapi kedua pria Sheva langsung melesat di depan Akara, melindunginya. "Siapa dia?" tanya Akara dan segera dihawab oleh Lumpang."Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi!"Pandangan Akara segera menelusuri tubuh kedua Dewa Fraksi, yang bukan bertubuh dari kelima ras Dewa, tapi layaknya manusia pad
Di dalam dimensi abstrak berwarna hitam bergaris putih-putih, Fraz, Dewa Fraksi dengan jubah putih berselimut perhiasan emas mendatangi pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi. "Farz menghadap pemimpin!" Ia menelangkupkan tangan dan membungkuk ke arah lempengan emas yang melayang di atas sana. Walau tidak menunjukkan penampilannya, pemimpin Fraksi segera menjawab. "Farz, aku dengar kau berselisih dengan Raja Sheva, Dilvo.""Benar Yang Mulia! Mereka menyandera anak saya, Zurrark Fam. Mereka tertipu oleh taktik adu domba yang dilakukan Regera!""Kau sudah mendengar kabar tentang siapa sebenarnya Regera?"Dewa Farz nampak gugup dan mengangkat wajahnya, menatap lempengan emas yang berputar dan menjawab. "Saya belum bisa memastikannya, tapi informasi yang beredar sesuai dengan dugaan.""Lalu, kau ingin menyinggung dua kekuatan besar sekaligus?""Maaf Yang Mulia! Tapi setidaknya saya harus menyelamatkan anak saya!" Energi men