“Apa hubungannya mereka dengan masalah kita?” ketus Aep, “yang mereka tahu hanya baca kitab dan mengaji.”
Warga seketika saling melempar tatapan, kemudian beralih pada Aep.
Pak Yayat melanjutkan, “Saya dengar kalau Kiai adalah orang hebat. Tidak hanya soal agama, tapi—”
“Apa untungnya kita bergantung pada kakek-kakek tua? Berjalan saja susah, apalagi menolong kita,” sela Aep dengan mimik tak suka. Para orang tua ini terlalu mengada-ngada, pikirnya.
“Ep,” tegur Pak Juju sembari memelotot. “Jaga sopan santun kamu sama Kiai. Beliau bukan orang sembarangan. Beliau sudah banyak membantu warga desa.”
“Termasuk mengirimkan si Rojali itu?” sinis Aep.
“Itu bukan salah Kiai, Ep,” sahut Pak Yayat, “saya yakin kalau tujuan Kiai baik. Hanya saja tidak semua niatan baik akan berjalan dan berakhir baik. Pengkhianatan Rojali dan aksinya sudah jelas di
Ustaz Ahmad tengah memeriksa isi lemari di kamarnya. Begitu menemukan catatan yang dicari, ia segera keluar ruangan, kemudian duduk berhadapan dengan Lukman di ruang tamu. Setelah mendengar penjelasan singkat dari ustaz muda itu, ia langsung mengajak Lukman pergi ke kediamannya.Ustaz Ahmad segera membuka lembaran-lembaran salinan dari buku pusaka yang diterjemahkan beberapa waktu lalu. Sejujurnya, ia belum selesai membacanya hingga tuntas. Namun, saat mendengar keputusan Kiai yang ingin pergi ke Ciboeh seorang diri serta ucapan Lukman yang bertanya perihal salinan dari buku pusaka itu, tiba-tiba saja perasaannya menjadi gelisah. Pasti ada informasi yang bisa ia ambil dari catatan ini, pikirnya.“Punteun, Ustaz,” ujar Lukman, “seingat saya, ada catatan yang mengatakan kalau ritual untuk mendapatkan kujang pusaka itu harus dilaksanakan tepat saat bulan purnama.”Ustaz Ahmad berhenti di satu lembar catatan, kemudian membacanya deng
“Ya, terus saya harus kumaha, Sep?” Aep akhirnya berbalik, tetapi tatapannya tak mengarah pada Asep. “Kalaupun saya bicara, mereka tidak akan mau dengar omongan saya. Lagi pula, kenapa saya harus cape-cape bicara kalau sahabat saya sendiri tidak dukung saya?”“Yang kamu lakukan untuk bakar Rojali itu salah, Ep.” Asep mengembus napas panjang. “Saya tidak mau kalau kamu jadi pembunuh. Kita bisa—”“Terus yang kamu lakukan sampai si Rojali kabur itu benar?” potong Aep, “sudahlah, Sep. Kamu tidak perlu cape-cape mikir masalah itu. Benar apa yang dilakukan para tetua desa, lebih baik kita diam dibanding mati.”Setelah mengatakan hal itu, Aep mengangkat kembali karungnya, bersiap pergi. Namun, Asep lagi-lagi menahannya.“Kamu tahu di mana Ujang sekarang?” Asep dengan agak paksa menurunkan karung yang dibawa Aep.Ditanya seperti itu, Aep han
Langit tampak mulai menguning, mengantar matahari untuk sampai ke peraduan. Di pekarangan pesantren, terlihat beberapa santri laki-laki tengah menaiki mobil. Tak lama kemudian, kendaraan mulai melaju melewati gerbang dan menghilang di jalanan.Di sebuah ruangan, Rojali dengan perlahan mulai terbangun. Ia harus kembali terpejam saat terjangan cahaya dari jendela menyilaukan mata. Begitu pandangannya kembali terbuka, ia tiba-tiba merasakan sakit yang teramat di kepala.Setelah sakitnya agak berkurang, Rojali dengan susah payah merubah posisi menjadi duduk. Pemuda itu lantas mengecek keadaannya. Ia mendapati kepalanya sudah diperban. Bajunya pun sudah berganti. Rojali menghela napas panjang. Saat ia akan kembali berbaring, matanya sontak melebar saat menyadari kalau kunci pusaka tidak lagi tergantung di lehernya.“Astagfirullah.” Rojali kembali mengecek keadaannya. Ia bahkan sampai harus membuka kancing baju untuk mencari keberadaan kunci pusaka. Tubuhn
Kiai melepas genggamannya pada tangan Rojali. Ia menyentuh pundak pemuda di depannya dengan lembut. “Istigfar,” pintanya.Rojali menurut. Ia mengamati Kiai dengan saksama seolah tengah menatap sesuatu yang tak biasa. Tubuhnya mundur beberapa langkah seiring dengan tangis yang kembali pecah.“Sholatlah dulu,” ujar Kiai, “setelah itu, datang lagi ke ruangan ini. Saya akan ceritakan semuanya.”Rojali mengangguk tanpa banyak bertanya. Ia lantas pamit, kemudian berjalan menuju masjid. Sesuai yang diminta, ia melaksanakan salat, lalu memanjatkan doa untuk segala kebaikan dirinya dan orang-orang yang disayangi. Pemuda itu kembali beranjak ke ruangan Kiai.Selama perjalanan dari masjid ke ruangan ini, Rojali masih mendapati keadaan pesantren yang sepi. Begitu sampai, ia masuk setelah si empunya memberi izin. Pemuda itu duduk bersila di depan Kiai, tak berani lebih dahulu memulai pembicaraan.“Kamu
“Persawahan?” Rojali tersentak kaget. “Seingat saya, saat saya tiba di Ciboeh, saya melihat rumah saya sudah rata dengan tanah. Setelahnya, hampir semua warga keluar dari rumah dan mengepung saya. Mereka memfitnah saya dengan tuduhan kalau saya sudah membunuh Mbah Atim dan ... Ki Udin. Mereka juga bilang kalau saya sudah santet Reza. Dan terakhir, saya difitnah sebagai anggota Kalong Hideung,” terang Rojali. “Tempo hari, anggota Kalong Hideung berhasil menyusup ke pesantren. Hampir seluruh penghuni pesantren tak sadarkan diri saat kejadian. Saya, Lukman dan Ahmad sempat menghadapi penyusup itu. Tapi sayangnya kami gagal dan si penyusup berhasil kabur dengan membawa buku pusaka itu. Tapi untungnya tidak ada korban,” ucap Kiai. Rojali segera memanjatkan syukur pada Allah. Hatinya lega, tetapi di sisi lain tangannya terkepal kuat saat mengingat ucapan Badru di sela pertarungan. Nyatanya pria itu berbohong. “Lukman dan Deni mendapat perlakuan tak pa
Sudah hampir dua jam Aep duduk di tengah jembatan yang membentang di atas sungai. Dua kakinya ternggelam ke air, sedang pandangannya tertuju pada pantulan bulan purnama yang sesekali bergoyang karena riak air. Rokok di sela jarinya dibiarkan terbakar sendiri, di mana asapnya meliuk-liuk, lalu menghilang tersapu angin.Aep mengembus napas berat, berharap semua masalahnya menghilang bersama udara yang ia buang. Kepalanya terasa ingin pecah saat mengingat kejadian siang tadi. Aep akui kalau dirinya kalap, larut dalam emosi hingga tak sadar malah menyakiti sahabat sendiri.Siang tadi, saat Aep mengejar Asep hingga ke rumahnya, ia langsung dibuat babak belur oleh keluarga Asep yang notabenenya masih memiliki ikatan saudara dengannya. Permintaan maafnya justru kian memicu amarah mereka untuk membalas perilaku serupa.Hal yang paling menusuk hati Aep adalah saat ia melihat istri Asep dan anaknya yang menangis tersedu-sedu, meminta orang-orang untuk berhenti memukulinya
Aep sontak berontak saat dirinya secara tiba-tiba ditarik mundur. Suaranya tertahan karena bekapan lawan di mulutnya begitu kuat. Dua tangannya yang beberapa detik lalu diarahkan untuk membuka kuncian lawan, kini difungsikan untuk menahan tubuh agar tak terus diseret musuh dengan cara menggapai batu dan memegang tanaman padi. Akan tetapi, usahanya tampak sia-sia.“Ini saya, Ep,” bisik orang yang membekap Aep. Pegangan tangannya perlahan mengendur.“Sep?” Aep perlahan menoleh. Begitu memastikan bahwa orang yang menariknya barusan adalah sahabatnya, ia tiba-tiba saja menangis saat melihat wajah Asep tampak babak belur, bahkan di bagian pelipisnya terdapat luka sobekan. “Sep, saya minta maaf. Saya—”“Dengarkan saya, Ep!” potong Asep seraya memindai sekeleliling. “Segera pergi ke rumah Pak Dede dan katakan sama dia kalau Kalong Hideung akan melaksanakan ritualnya malam ini. Kamu pasti sudah lihat sesejen it
Aep mengayuh sepeda dengan cepat. Ia buru-buru turun saat tiba di depan gerbang. Saat akan menginjakkan kaki ke dalam, Pak Dede terlihat sedang membanting pintu belakang agak keras, kemudian memutar untuk sampai ke kursi kemudi. “Pak Dede,” panggil Aep sembari mendekat. Ia mencegat si kepala desa di pintu kemudi. Saat mengintip ke belakang, ia melihat Reza sudah dibaringkan di kursi belakang. “Saya harus memberitahu Pak Dede sesuatu. Ada kabar—” “Minggir kamu, Ep!” Pak Dede mendorong Aep menjauh. Wajahnya tampak dipenuhi keringat. Pandangannya sama sekali tak diarahkan pada pria itu, di mana setiap kali bicara ia hanya akan memandang ke depan. “Pak Dede mau ke mana?” tanya Aep yang kini menahan pintu mobil saat Pak Dede akan masuk, “saya baru saja lihat Kalong Hideung di sekitar persawahan. Mereka akan mengadakan ritual sekarang, Pak Dede. Kita harus mengungsikan warga selagi sempat. Ini keadaan darurat.” “Lepas!” Pak Dede kembali mendorong Aep.