Kiai melepas genggamannya pada tangan Rojali. Ia menyentuh pundak pemuda di depannya dengan lembut. “Istigfar,” pintanya.
Rojali menurut. Ia mengamati Kiai dengan saksama seolah tengah menatap sesuatu yang tak biasa. Tubuhnya mundur beberapa langkah seiring dengan tangis yang kembali pecah.
“Sholatlah dulu,” ujar Kiai, “setelah itu, datang lagi ke ruangan ini. Saya akan ceritakan semuanya.”
Rojali mengangguk tanpa banyak bertanya. Ia lantas pamit, kemudian berjalan menuju masjid. Sesuai yang diminta, ia melaksanakan salat, lalu memanjatkan doa untuk segala kebaikan dirinya dan orang-orang yang disayangi. Pemuda itu kembali beranjak ke ruangan Kiai.
Selama perjalanan dari masjid ke ruangan ini, Rojali masih mendapati keadaan pesantren yang sepi. Begitu sampai, ia masuk setelah si empunya memberi izin. Pemuda itu duduk bersila di depan Kiai, tak berani lebih dahulu memulai pembicaraan.
“Kamu
“Persawahan?” Rojali tersentak kaget. “Seingat saya, saat saya tiba di Ciboeh, saya melihat rumah saya sudah rata dengan tanah. Setelahnya, hampir semua warga keluar dari rumah dan mengepung saya. Mereka memfitnah saya dengan tuduhan kalau saya sudah membunuh Mbah Atim dan ... Ki Udin. Mereka juga bilang kalau saya sudah santet Reza. Dan terakhir, saya difitnah sebagai anggota Kalong Hideung,” terang Rojali. “Tempo hari, anggota Kalong Hideung berhasil menyusup ke pesantren. Hampir seluruh penghuni pesantren tak sadarkan diri saat kejadian. Saya, Lukman dan Ahmad sempat menghadapi penyusup itu. Tapi sayangnya kami gagal dan si penyusup berhasil kabur dengan membawa buku pusaka itu. Tapi untungnya tidak ada korban,” ucap Kiai. Rojali segera memanjatkan syukur pada Allah. Hatinya lega, tetapi di sisi lain tangannya terkepal kuat saat mengingat ucapan Badru di sela pertarungan. Nyatanya pria itu berbohong. “Lukman dan Deni mendapat perlakuan tak pa
Sudah hampir dua jam Aep duduk di tengah jembatan yang membentang di atas sungai. Dua kakinya ternggelam ke air, sedang pandangannya tertuju pada pantulan bulan purnama yang sesekali bergoyang karena riak air. Rokok di sela jarinya dibiarkan terbakar sendiri, di mana asapnya meliuk-liuk, lalu menghilang tersapu angin.Aep mengembus napas berat, berharap semua masalahnya menghilang bersama udara yang ia buang. Kepalanya terasa ingin pecah saat mengingat kejadian siang tadi. Aep akui kalau dirinya kalap, larut dalam emosi hingga tak sadar malah menyakiti sahabat sendiri.Siang tadi, saat Aep mengejar Asep hingga ke rumahnya, ia langsung dibuat babak belur oleh keluarga Asep yang notabenenya masih memiliki ikatan saudara dengannya. Permintaan maafnya justru kian memicu amarah mereka untuk membalas perilaku serupa.Hal yang paling menusuk hati Aep adalah saat ia melihat istri Asep dan anaknya yang menangis tersedu-sedu, meminta orang-orang untuk berhenti memukulinya
Aep sontak berontak saat dirinya secara tiba-tiba ditarik mundur. Suaranya tertahan karena bekapan lawan di mulutnya begitu kuat. Dua tangannya yang beberapa detik lalu diarahkan untuk membuka kuncian lawan, kini difungsikan untuk menahan tubuh agar tak terus diseret musuh dengan cara menggapai batu dan memegang tanaman padi. Akan tetapi, usahanya tampak sia-sia.“Ini saya, Ep,” bisik orang yang membekap Aep. Pegangan tangannya perlahan mengendur.“Sep?” Aep perlahan menoleh. Begitu memastikan bahwa orang yang menariknya barusan adalah sahabatnya, ia tiba-tiba saja menangis saat melihat wajah Asep tampak babak belur, bahkan di bagian pelipisnya terdapat luka sobekan. “Sep, saya minta maaf. Saya—”“Dengarkan saya, Ep!” potong Asep seraya memindai sekeleliling. “Segera pergi ke rumah Pak Dede dan katakan sama dia kalau Kalong Hideung akan melaksanakan ritualnya malam ini. Kamu pasti sudah lihat sesejen it
Aep mengayuh sepeda dengan cepat. Ia buru-buru turun saat tiba di depan gerbang. Saat akan menginjakkan kaki ke dalam, Pak Dede terlihat sedang membanting pintu belakang agak keras, kemudian memutar untuk sampai ke kursi kemudi. “Pak Dede,” panggil Aep sembari mendekat. Ia mencegat si kepala desa di pintu kemudi. Saat mengintip ke belakang, ia melihat Reza sudah dibaringkan di kursi belakang. “Saya harus memberitahu Pak Dede sesuatu. Ada kabar—” “Minggir kamu, Ep!” Pak Dede mendorong Aep menjauh. Wajahnya tampak dipenuhi keringat. Pandangannya sama sekali tak diarahkan pada pria itu, di mana setiap kali bicara ia hanya akan memandang ke depan. “Pak Dede mau ke mana?” tanya Aep yang kini menahan pintu mobil saat Pak Dede akan masuk, “saya baru saja lihat Kalong Hideung di sekitar persawahan. Mereka akan mengadakan ritual sekarang, Pak Dede. Kita harus mengungsikan warga selagi sempat. Ini keadaan darurat.” “Lepas!” Pak Dede kembali mendorong Aep.
Rojali tengah duduk di pinggiran kolam seorang diri. Matanya memandang pantulan rembulan di air. Sesekali tangannya melempar kerikil hingga menciptakan cipratan kecil dan riak air yang ebrgelombang. Kiai dan Ustaz Ahmad sudah pergi semenjak isya, dan sama sekali tak memberitahu tujuan mereka serta kapan keduanya akan kembali.Rojali sontak menoleh begitu mendengar suara langkah kaki mendekat. Saat mendapati Lukman berjalan ke arahnya, dengan segera ia kembali memandangi permukaan air kolam. Sejak pertemuannya dengan Lukman sore tadi, Rojali lebih banyak diam, menjawab singkat jika pria itu bertanya, dan saat berbicara pun, ia akan mengalihkan pandangan ke arah lain.“Kita harus segera berangkat, Jali,” ujar Lukman.Rojali seketika berdiri, mengangguk kecil saat bersitatap dengan Lukman. Ia lantas melewati pria itu tanpa bicara satu patah kata pun.“Kamu marah sama saya?” tanya Lukman pada akhirnya, “sejak tadi kam
“Jali,” lirih Lukman yang akhirnya memberanikan diri mendongak, menatap kedua bola mata Rojali yang masih diselimuti bening air mata. “Maafkan saya. Saya tidak tahu kalau kejadiannya akan seperti ini. Saya menceritakan hal itu pada Aep karena ... kamu percaya sama dia. Jadi, saya pikir ... saya benar-benar minta maaf.”Rojali membuang pandangan ke arah lain. Bahunya yang menegang akhirnya tenang seiring dengan kepalan tangannya yang mengendur. Ada jeda sejenak sebelum ia berbicara, “Saya yang harusnya minta maaf, Man. Tak seharusnya saya marah, apalagi sampai membenci kamu. Kebaikan kamu sudah membantu saya selama ini.”“Jali,” gumam Lukman.“Kita sebaiknya pergi, Man,” ucap Rojali seraya menepuk pundak Lukman, kemudian berjalan lebih dahulu meninggalkan kolam.Kedua pemuda itu lantas berjalan ke arah pekarangan depan pesantren, di mana mobil terparkir. Tak ada obrolan hingga keduanya berada di k
Rojali segera masuk ke mobil. Tatapannya tertuju pada dua anggota Kalong Hideung yang rebah di tanah. Ia dapat bernapas lega sekarang. “Nuhun, Man,” ucapnya.Lukman segera memutar arah mobil, melajukan kendaraan dengan cepat. “Sudah kewajiban kita untuk saling membantu. Sebaiknya kita segera pergi ke tempat para santri yang lain.”Rojali mengangguk meski sejujurnya ia masih mengkhawatirkan kondisi Kiai sekarang. Namun, saat mengingat bila beliau bersama Ustaz Ahmad, ia bisa agak tenang.Lelah setelah pertarungan, membuat Rojali diserang kantuk. Pemuda itu melepas beberapa kancing pakaian untuk mengusir panas. Ia mulai terpejam, dan tanpa sadar baju kokonya terlepas hingga dada bidangnya terekspos.Melihat Rojali yang sudah menutup mata, Lukman mempercepat laju mobil. Pria itu menyeka keringat yang menumpuk di dahi dengan punggung tangan. Ia mengembus napas panjang seraya melirik Rojali. Alisnya mendadak menukik begit
Cahaya rembulan menerobos celah-celah rerimbunan pohon di Legok Kiara. Di puncak bukit, tepatnya di dekat bangunan tua berada, Kalong Hideung bersiap untuk melancarkan misi. Tampak Ki Jalu dan Badru tengah berdiri di depan hampir semua anggota.“Persiapannya sudah selesai, Kos?” tanya Ki Jalu seraya menatap Engkos yang tengah berjongkok paling depan.“Sudah, Ki,” jawab Engkos, “kita hanya tinggal menunggu Ujang.”Sesudah Engkos berbicara, pandangan semua orang seketika teralih pada seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah belakang. Ujang yang baru saja tiba segera berjalan ke arah Ki Jalu, kemudian memberikan sebuah kain pada kakek tua itu. Setelahnya, Ujang mundur dan berjongkok di samping Engkos.Ki Jalu tak serta merta langsung bahagia saat membuka benda yang diselimuti kain itu. Selama beberapa detik lamanya, ia mengamati kunci berkepala naga itu untuk memastikan keasliannya. Begitu menyadari benda itu memanglah be