Sial, maki Ujang dalam hati.
Kalau sampai waktu pagi tiba dan ia belum berhasil keluar, sudah dipastikan ia akan dalam masalah, terlebih ini adalah pesantren, tempat yang harus dihindari oleh orang sepertinya. Saat situasi mulai lengang, Ujang kembali berlari. Kalau perkiraannya tak salah, ia sekarang pasti berada di sekitar pondok santriwati.
Ujang terus menyisir sekeliling dan berhenti begitu mendengar suara deru air. Pria itu mengatur napas beberapa saat sekaligus mengecek lukanya. Meski tak sesakit tadi, tetapi perih itu masih belum sepenuhnya mereda.
Ujang kembali berlari bersamaan dengan lantunan azan subuh yang mulai mengudara. Tubuhnya mendadak kepanasan dan berkeringat. Dengan kondisinya saat ini, akan sangat sulit bila berhadapan dengan seseorang. Untuk itu, pria itu berusaha tenang, meski pada kenyataannya malah dikagetkan saat mendengar suara langkah kaki mendekat.
Ujang melihat tangga batu menuju ke arah bawah. Tanpa pikir panjang, d
Rojali sudah sepenuhnya tak sadarkan diri. Meski begitu, darah masih mengucur deras dari kepala. Untuk beberapa waktu, kondisinya hanya mejadi tontonan para warga. Tak sedikit dari mereka yang tertawa, merasa bangga karena sudah berhasil melumpuhkan musuh utama. Aep tersenyum lebar begitu mendengar umpatan yang tak kunjung reda dari warga pada Rojali. Suara-suara yang terdengar bagai nyanyian merdu di telinga, dan pemandangan yang Aep lihat sekarang teramat memanjakan mata. Ia benar-benar puas dan lega melihat kondisi musuhnya tak berdaya. “Bawa si Rojali ke kantor desa!” perintah Pak Dede yang langsung maju melewati Aep. Satu tangannya seketika berkacak pinggang, sedang satunya menunjuk tubuh Rojali. “Kita bakar saja dia di sini!” ucap Aep memprovokasi. “Lagi pula untuk apa orang seperti dia dibiarkan hidup. Teu guna.” “Bakar! Bakar!” Aep mengacung-acungkan obor, berteriak lantang untuk mendapat dukungan warga. Ia melihat beberapa orang masi
“Mundur, Den! Mundur!” perintah Ustaz Ahmad, tak menggubris pertanyaan Lukman. Setengah tubuhnya sudah berada di luar, menoleh ke arah belakang.Tanpa banyak pertanyaan, Deni memundurkan mobil. Penghuni kendaraan tampak penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang bertanya, termasuk Lukman.“Berhenti, Den!” pinta Ustaz Ahmad kemudian. Putra Kiai itu segera keluar dari mobil, berlari ke arah persawahan. Pria itu kemudian turun ke arah sungai kecil dan terpaku saat melihat tubuh seseorang tergeletak di sana. Alasannya meminta berhenti karena tanpa sengaja ia melihat tangan manusia di tanah persawahan.Lukman dan yang lain segera menyusul Ustaz Ahmad. Di tengah hening persawahan dan bulan yang hampir seutuhnya purnama, kaki mereka menerobos tanah basah dengan terburu-buru, tak peduli badan dan celana menjadi kotor akibat lumpur yang menempel.Ustaz Ahmad segera berjongkok begitu berhasil mengenyahk
“Bapak tau kalau maneh marah,” kata Ki Jalu, “tapi maneh kudu inget kalau ketiga orang itu bukan lawan yang mudah ditaklukkan.” Badru masih diam. Gurat kebencian kian jelas terlukis di wajahnya. “Berdiri!” pinta Ki Jalu seraya bangkit dari duduknya. Pria tua itu lantas terpejam. Meski masih marah, Badru tak punya pilihan selain menurut. Ia menoleh pada sang bapak yang tengah bergumam, seperti tengah membaca mantera. Tak lama kemudian, Ki Jalu membentangkan kedua tangan lebar-lebar. Bersamaan dengan itu, sinar merah muncul dari liontin besar di dada pria tua itu. Badru terkejut meski dengan cepat menguasai diri. Ia bisa melihat bila sebuah kujang tiba-tiba muncul di depan dada Ki Jalu, lalu terbang memutar ke arahnya. “Ambil!” titah Ki Jalu sembari membuka mata. “Kujang itu merupakan pusaka warisan keluarga kita. Hanya keturunan keluarga Wisesa yang bisa menggunakan kujang itu.” Badru menerima kujang berwarna hitam itu
“Apa hubungannya mereka dengan masalah kita?” ketus Aep, “yang mereka tahu hanya baca kitab dan mengaji.”Warga seketika saling melempar tatapan, kemudian beralih pada Aep.Pak Yayat melanjutkan, “Saya dengar kalau Kiai adalah orang hebat. Tidak hanya soal agama, tapi—”“Apa untungnya kita bergantung pada kakek-kakek tua? Berjalan saja susah, apalagi menolong kita,” sela Aep dengan mimik tak suka. Para orang tua ini terlalu mengada-ngada, pikirnya.“Ep,” tegur Pak Juju sembari memelotot. “Jaga sopan santun kamu sama Kiai. Beliau bukan orang sembarangan. Beliau sudah banyak membantu warga desa.”“Termasuk mengirimkan si Rojali itu?” sinis Aep.“Itu bukan salah Kiai, Ep,” sahut Pak Yayat, “saya yakin kalau tujuan Kiai baik. Hanya saja tidak semua niatan baik akan berjalan dan berakhir baik. Pengkhianatan Rojali dan aksinya sudah jelas di
Ustaz Ahmad tengah memeriksa isi lemari di kamarnya. Begitu menemukan catatan yang dicari, ia segera keluar ruangan, kemudian duduk berhadapan dengan Lukman di ruang tamu. Setelah mendengar penjelasan singkat dari ustaz muda itu, ia langsung mengajak Lukman pergi ke kediamannya.Ustaz Ahmad segera membuka lembaran-lembaran salinan dari buku pusaka yang diterjemahkan beberapa waktu lalu. Sejujurnya, ia belum selesai membacanya hingga tuntas. Namun, saat mendengar keputusan Kiai yang ingin pergi ke Ciboeh seorang diri serta ucapan Lukman yang bertanya perihal salinan dari buku pusaka itu, tiba-tiba saja perasaannya menjadi gelisah. Pasti ada informasi yang bisa ia ambil dari catatan ini, pikirnya.“Punteun, Ustaz,” ujar Lukman, “seingat saya, ada catatan yang mengatakan kalau ritual untuk mendapatkan kujang pusaka itu harus dilaksanakan tepat saat bulan purnama.”Ustaz Ahmad berhenti di satu lembar catatan, kemudian membacanya deng
“Ya, terus saya harus kumaha, Sep?” Aep akhirnya berbalik, tetapi tatapannya tak mengarah pada Asep. “Kalaupun saya bicara, mereka tidak akan mau dengar omongan saya. Lagi pula, kenapa saya harus cape-cape bicara kalau sahabat saya sendiri tidak dukung saya?”“Yang kamu lakukan untuk bakar Rojali itu salah, Ep.” Asep mengembus napas panjang. “Saya tidak mau kalau kamu jadi pembunuh. Kita bisa—”“Terus yang kamu lakukan sampai si Rojali kabur itu benar?” potong Aep, “sudahlah, Sep. Kamu tidak perlu cape-cape mikir masalah itu. Benar apa yang dilakukan para tetua desa, lebih baik kita diam dibanding mati.”Setelah mengatakan hal itu, Aep mengangkat kembali karungnya, bersiap pergi. Namun, Asep lagi-lagi menahannya.“Kamu tahu di mana Ujang sekarang?” Asep dengan agak paksa menurunkan karung yang dibawa Aep.Ditanya seperti itu, Aep han
Langit tampak mulai menguning, mengantar matahari untuk sampai ke peraduan. Di pekarangan pesantren, terlihat beberapa santri laki-laki tengah menaiki mobil. Tak lama kemudian, kendaraan mulai melaju melewati gerbang dan menghilang di jalanan.Di sebuah ruangan, Rojali dengan perlahan mulai terbangun. Ia harus kembali terpejam saat terjangan cahaya dari jendela menyilaukan mata. Begitu pandangannya kembali terbuka, ia tiba-tiba merasakan sakit yang teramat di kepala.Setelah sakitnya agak berkurang, Rojali dengan susah payah merubah posisi menjadi duduk. Pemuda itu lantas mengecek keadaannya. Ia mendapati kepalanya sudah diperban. Bajunya pun sudah berganti. Rojali menghela napas panjang. Saat ia akan kembali berbaring, matanya sontak melebar saat menyadari kalau kunci pusaka tidak lagi tergantung di lehernya.“Astagfirullah.” Rojali kembali mengecek keadaannya. Ia bahkan sampai harus membuka kancing baju untuk mencari keberadaan kunci pusaka. Tubuhn
Kiai melepas genggamannya pada tangan Rojali. Ia menyentuh pundak pemuda di depannya dengan lembut. “Istigfar,” pintanya.Rojali menurut. Ia mengamati Kiai dengan saksama seolah tengah menatap sesuatu yang tak biasa. Tubuhnya mundur beberapa langkah seiring dengan tangis yang kembali pecah.“Sholatlah dulu,” ujar Kiai, “setelah itu, datang lagi ke ruangan ini. Saya akan ceritakan semuanya.”Rojali mengangguk tanpa banyak bertanya. Ia lantas pamit, kemudian berjalan menuju masjid. Sesuai yang diminta, ia melaksanakan salat, lalu memanjatkan doa untuk segala kebaikan dirinya dan orang-orang yang disayangi. Pemuda itu kembali beranjak ke ruangan Kiai.Selama perjalanan dari masjid ke ruangan ini, Rojali masih mendapati keadaan pesantren yang sepi. Begitu sampai, ia masuk setelah si empunya memberi izin. Pemuda itu duduk bersila di depan Kiai, tak berani lebih dahulu memulai pembicaraan.“Kamu