Pria tambun berkumis lebat di samping Ujang hanya bisa menggigiti bibir agar tak berteriak. Tubuhnya mendadak dibanjiri keringat, dan matanya membulat lebar bak telur ayam. Sementara itu, sopir hanya bisa menuruti perintah Ujang tanpa banyak bertanya meski beberapa kali tampak mengintip kondisi di belakang.
“Siapa ... kamu?” tanya orang di samping Ujang. Posisinya berada di sisi mobil dengan kondisi terpojok. Meski kedua tangannya terbebas, tetapi rasanya sangat sulit untuk digerakkan, terlebih memberi perlawanan.
Mobil kian melaju cepat, membelah kegelapan. Pohon-pohon yang berjejer di sepanjang sisi jalan tampak seirama menggoyangkan daun dan ranting saat angin menerjang. Udara dingin yang berada di luar nyatanya tak mampu mengusir ketegangan di dalam mobil. Hal yang terjadi justru keringat kian deras menetes di sekujur tubuh dua orang di dekat Ujang.
“Kamu ... boleh ... ambil semua uang saya. Kalau perlu ... kamu bisa ambil mobil ini. Tapi .
Sial, maki Ujang dalam hati.Kalau sampai waktu pagi tiba dan ia belum berhasil keluar, sudah dipastikan ia akan dalam masalah, terlebih ini adalah pesantren, tempat yang harus dihindari oleh orang sepertinya. Saat situasi mulai lengang, Ujang kembali berlari. Kalau perkiraannya tak salah, ia sekarang pasti berada di sekitar pondok santriwati.Ujang terus menyisir sekeliling dan berhenti begitu mendengar suara deru air. Pria itu mengatur napas beberapa saat sekaligus mengecek lukanya. Meski tak sesakit tadi, tetapi perih itu masih belum sepenuhnya mereda.Ujang kembali berlari bersamaan dengan lantunan azan subuh yang mulai mengudara. Tubuhnya mendadak kepanasan dan berkeringat. Dengan kondisinya saat ini, akan sangat sulit bila berhadapan dengan seseorang. Untuk itu, pria itu berusaha tenang, meski pada kenyataannya malah dikagetkan saat mendengar suara langkah kaki mendekat.Ujang melihat tangga batu menuju ke arah bawah. Tanpa pikir panjang, d
Rojali sudah sepenuhnya tak sadarkan diri. Meski begitu, darah masih mengucur deras dari kepala. Untuk beberapa waktu, kondisinya hanya mejadi tontonan para warga. Tak sedikit dari mereka yang tertawa, merasa bangga karena sudah berhasil melumpuhkan musuh utama. Aep tersenyum lebar begitu mendengar umpatan yang tak kunjung reda dari warga pada Rojali. Suara-suara yang terdengar bagai nyanyian merdu di telinga, dan pemandangan yang Aep lihat sekarang teramat memanjakan mata. Ia benar-benar puas dan lega melihat kondisi musuhnya tak berdaya. “Bawa si Rojali ke kantor desa!” perintah Pak Dede yang langsung maju melewati Aep. Satu tangannya seketika berkacak pinggang, sedang satunya menunjuk tubuh Rojali. “Kita bakar saja dia di sini!” ucap Aep memprovokasi. “Lagi pula untuk apa orang seperti dia dibiarkan hidup. Teu guna.” “Bakar! Bakar!” Aep mengacung-acungkan obor, berteriak lantang untuk mendapat dukungan warga. Ia melihat beberapa orang masi
“Mundur, Den! Mundur!” perintah Ustaz Ahmad, tak menggubris pertanyaan Lukman. Setengah tubuhnya sudah berada di luar, menoleh ke arah belakang.Tanpa banyak pertanyaan, Deni memundurkan mobil. Penghuni kendaraan tampak penasaran dengan apa yang terjadi, tetapi tak ada satu pun dari mereka yang bertanya, termasuk Lukman.“Berhenti, Den!” pinta Ustaz Ahmad kemudian. Putra Kiai itu segera keluar dari mobil, berlari ke arah persawahan. Pria itu kemudian turun ke arah sungai kecil dan terpaku saat melihat tubuh seseorang tergeletak di sana. Alasannya meminta berhenti karena tanpa sengaja ia melihat tangan manusia di tanah persawahan.Lukman dan yang lain segera menyusul Ustaz Ahmad. Di tengah hening persawahan dan bulan yang hampir seutuhnya purnama, kaki mereka menerobos tanah basah dengan terburu-buru, tak peduli badan dan celana menjadi kotor akibat lumpur yang menempel.Ustaz Ahmad segera berjongkok begitu berhasil mengenyahk
“Bapak tau kalau maneh marah,” kata Ki Jalu, “tapi maneh kudu inget kalau ketiga orang itu bukan lawan yang mudah ditaklukkan.” Badru masih diam. Gurat kebencian kian jelas terlukis di wajahnya. “Berdiri!” pinta Ki Jalu seraya bangkit dari duduknya. Pria tua itu lantas terpejam. Meski masih marah, Badru tak punya pilihan selain menurut. Ia menoleh pada sang bapak yang tengah bergumam, seperti tengah membaca mantera. Tak lama kemudian, Ki Jalu membentangkan kedua tangan lebar-lebar. Bersamaan dengan itu, sinar merah muncul dari liontin besar di dada pria tua itu. Badru terkejut meski dengan cepat menguasai diri. Ia bisa melihat bila sebuah kujang tiba-tiba muncul di depan dada Ki Jalu, lalu terbang memutar ke arahnya. “Ambil!” titah Ki Jalu sembari membuka mata. “Kujang itu merupakan pusaka warisan keluarga kita. Hanya keturunan keluarga Wisesa yang bisa menggunakan kujang itu.” Badru menerima kujang berwarna hitam itu
“Apa hubungannya mereka dengan masalah kita?” ketus Aep, “yang mereka tahu hanya baca kitab dan mengaji.”Warga seketika saling melempar tatapan, kemudian beralih pada Aep.Pak Yayat melanjutkan, “Saya dengar kalau Kiai adalah orang hebat. Tidak hanya soal agama, tapi—”“Apa untungnya kita bergantung pada kakek-kakek tua? Berjalan saja susah, apalagi menolong kita,” sela Aep dengan mimik tak suka. Para orang tua ini terlalu mengada-ngada, pikirnya.“Ep,” tegur Pak Juju sembari memelotot. “Jaga sopan santun kamu sama Kiai. Beliau bukan orang sembarangan. Beliau sudah banyak membantu warga desa.”“Termasuk mengirimkan si Rojali itu?” sinis Aep.“Itu bukan salah Kiai, Ep,” sahut Pak Yayat, “saya yakin kalau tujuan Kiai baik. Hanya saja tidak semua niatan baik akan berjalan dan berakhir baik. Pengkhianatan Rojali dan aksinya sudah jelas di
Ustaz Ahmad tengah memeriksa isi lemari di kamarnya. Begitu menemukan catatan yang dicari, ia segera keluar ruangan, kemudian duduk berhadapan dengan Lukman di ruang tamu. Setelah mendengar penjelasan singkat dari ustaz muda itu, ia langsung mengajak Lukman pergi ke kediamannya.Ustaz Ahmad segera membuka lembaran-lembaran salinan dari buku pusaka yang diterjemahkan beberapa waktu lalu. Sejujurnya, ia belum selesai membacanya hingga tuntas. Namun, saat mendengar keputusan Kiai yang ingin pergi ke Ciboeh seorang diri serta ucapan Lukman yang bertanya perihal salinan dari buku pusaka itu, tiba-tiba saja perasaannya menjadi gelisah. Pasti ada informasi yang bisa ia ambil dari catatan ini, pikirnya.“Punteun, Ustaz,” ujar Lukman, “seingat saya, ada catatan yang mengatakan kalau ritual untuk mendapatkan kujang pusaka itu harus dilaksanakan tepat saat bulan purnama.”Ustaz Ahmad berhenti di satu lembar catatan, kemudian membacanya deng
“Ya, terus saya harus kumaha, Sep?” Aep akhirnya berbalik, tetapi tatapannya tak mengarah pada Asep. “Kalaupun saya bicara, mereka tidak akan mau dengar omongan saya. Lagi pula, kenapa saya harus cape-cape bicara kalau sahabat saya sendiri tidak dukung saya?”“Yang kamu lakukan untuk bakar Rojali itu salah, Ep.” Asep mengembus napas panjang. “Saya tidak mau kalau kamu jadi pembunuh. Kita bisa—”“Terus yang kamu lakukan sampai si Rojali kabur itu benar?” potong Aep, “sudahlah, Sep. Kamu tidak perlu cape-cape mikir masalah itu. Benar apa yang dilakukan para tetua desa, lebih baik kita diam dibanding mati.”Setelah mengatakan hal itu, Aep mengangkat kembali karungnya, bersiap pergi. Namun, Asep lagi-lagi menahannya.“Kamu tahu di mana Ujang sekarang?” Asep dengan agak paksa menurunkan karung yang dibawa Aep.Ditanya seperti itu, Aep han
Langit tampak mulai menguning, mengantar matahari untuk sampai ke peraduan. Di pekarangan pesantren, terlihat beberapa santri laki-laki tengah menaiki mobil. Tak lama kemudian, kendaraan mulai melaju melewati gerbang dan menghilang di jalanan.Di sebuah ruangan, Rojali dengan perlahan mulai terbangun. Ia harus kembali terpejam saat terjangan cahaya dari jendela menyilaukan mata. Begitu pandangannya kembali terbuka, ia tiba-tiba merasakan sakit yang teramat di kepala.Setelah sakitnya agak berkurang, Rojali dengan susah payah merubah posisi menjadi duduk. Pemuda itu lantas mengecek keadaannya. Ia mendapati kepalanya sudah diperban. Bajunya pun sudah berganti. Rojali menghela napas panjang. Saat ia akan kembali berbaring, matanya sontak melebar saat menyadari kalau kunci pusaka tidak lagi tergantung di lehernya.“Astagfirullah.” Rojali kembali mengecek keadaannya. Ia bahkan sampai harus membuka kancing baju untuk mencari keberadaan kunci pusaka. Tubuhn
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,