Share

Bab 3 Luka diatas luka

Part 3

Luka di atas luka

Mendadak kepalaku pusing dan mata berkunang-kunang. Badan terasa lemas, hingga tanpa bisa menahan keseimbangan badan aku luruh hampir menyentuh lantai marmer yang menghampar menutupi seluruh permukaan ruang keluarga. Namun, dengan sigap Jovan menangkapku. Tangan kekarnya berhasil meraih tubuhku. Lalu, pelan dan penuh kelembutan lelaki pemilik postur tubuh tegap dan perut sixpeck itu menggendong dan merebahkan tubuhku ke tempat tidur di ruang tamu. Lamat-lamat pandanganku masih bisa melihat tangan Jovan yang membuka beberapa kancing baju blues atasku untuk melonggarkan dan memberi jalan napas, karena memerlukan asupan oksigen lebih banyak untuk melonggarkan dada. Kurasakan getaran tangan, bibir tipisnya naik turun menelan saliva dan peluh bercucuran membasahi dahi. Sesekali ia mengusapnya dengan membuang napas kasar. Sepertinya lelaki itu harus menahan desakan hasrat yang mendadak muncul. Berulang kali ia berusaha menguasai gejolak gairah itu. Aku dapat memahami keadaan Jovan, karena hal itu wajar sebagai seorang lelaki normal. Dari sudut mata terlihat wajah putihnya berubah sedikit memucat menyiratkan rasa cemas yang mendalam. Setelah itu pandanganku dipenuhi bintang yang berputar-putar hingga akhirnya semua terlihat gelap . 

Aku pingsan.

Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri. Setelah berulang kali mengerjap karena mataku merasa silau terkena cahaya lampu kamar yang begitu terang mengenai wajah, perlahan aku membuka mata sambil telapak tangan berusaha menutupi muka dan tangan lelaki berahang keras itu perlahan menggoncang- goncang tubuhku. Terbias rasa cemas masih membingkai sempurna di air mukanya.

"Riana, buka mata. Kau kenapa? Kita ke dokter saja, ya?" ucapnya lembut dengan tangannya naik turun mengusap-usap lembut pipiku.

"Jovan, aku tidak apa-apa. Mungkin hanya kelelahan saja," ucapku lemah.

"Wajahmu pucat dan badanmu panas. Sebaiknya kita ke dokter biar kau dapat penanganan," ajaknya seraya dengan tatapan teduh. Iris hitam milik lelaki itu memandang intens ke arahku.

Saat pandangan kami bertemu, selalu ada selaksa rasa muncul tiba-tiba mengusik kalbu diiringi gelenyar aneh yang menjalar ke seluruh raga dan tak bisa kujelaskan pun dengan berjuta kata.

"Sebentar lagi juga akan membaik. Aku minum obat saja dari dokter. Kau tak usah khawatir."

"Dari dokter ... kapan kau ke dokter? Kok, aku gak tahu?" ucapnya ingin tahu.

"Satu setengah bulan yang lalu, karena mendadak badanku terasa gak enak.Tamu bulananku juga tak kunjung datang. Akibatnya tubuh terasa lemas, kepala pusing dan perut terasa mual. Lalu, aku pergi ke dokter diantar Ibu," jawabku memberikan penjelasan pada lelaki bertubuh tegap itu.

"Apa hasil pemeriksaan dokter dengan kondisimu yang seperti itu?" tanya lelaki itu kemudian.

"Bisakah aku istirahat dulu, Van. Nanti kalau sudah baikan kau akan beritahu," balasku datar. Berusaha menata hati dan pikiran.

"Baiklah istirahat saja kalau begitu. Aku akan membelikan sesuatu agar kau makan dan segera pulih," ucapnya lembut.

Aku hanya bisa mengangguk karena merasa lemah. Tiga puluh menit kemudian aku terbangun dari tidur, karena aroma bubur ayam menggoda indra penciuman. Jovan sengaja membauiku dengan semangkuk bubur hangat yang diletakkan di tangannya. Kemudian ia menyandarkanku di pembatas tempat tidur dan perlahan menyuapiku dengan penuh kasih sayang. 

Kali ini, aku melihat sikap Jovan sama seperti dulu. Penuh kelembutan dan kehangatan. Sesekali pandangan kami bertemu. Dari sorot tajam manik hitamnya dapat kutangkap, bahwa benar yang dikatakan ibu, kalau ada cinta yang besar ia persembahkan untukku. Meski tatapan tajam dari manik kelamnya seolah mampu menembus jantung, hingga kadang aku harus mengalihkan  pandangan untuk menyembunyikan gelenyar aneh yang kian menggila sampai menjalar ke seluruh raga.  

Seandainya tidak ada nama Siska di antara hubungan kami yang baru saja dimulai, mungkin bunga cinta telah sempurna kami miliki.

"Terima kasih. Aku sudah kenyang," ucapku dengan menyorongkan sendok untuk suapan yang kesekian kali.

"Baiklah! Kau istirahat saja sekarang. Aku akan membersihkan rumah yang berantakan," tuturnya sembari meletakkan mangkuk dan sendok di atas nampan yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Jovan meraih tisu dan memberikannya padaku. Sesaat kemudian, lelaki dengan senyum karismatiknya itu berdiri hendak berlalu. Namun, aku berhasil mencegah dengan mencekal lembut lengan kekarnya.

"Jovan, ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Bisa kau duduk sebentar?" pintaku dengan memintanya duduk kembali.

"Katakanlah! Aku akan mendengarkan," sahutnya datar sembari kembali duduk.

"Tiga minggu ini tamu bulananku tak datang. Aku periksa pakai tespeck dan hasilnya dua garis merah. Karena gak yakin aku periksa ke dokter dan hasilnya positif. Aku hamil, Jovan. Ini buah cinta kita."

"Apa, kau hamil? Kita menikah baru tiga bulan. Mungkinkah secepat itu? Tidak, Riana. Itu bukan anakku karena aku tak yakin. Aku belum siap menjadi seorang ayah." Lalu katanya lagi,"Gugurkan saja kandunganmu itu! Aku tak sudi menjadi ayahnya. Dia bukan darah dagingku, tapi anak Nazran." Keras Jovan meninggikan suara dengan membuang muka. Mendadak sikapnya berubah dan gurat kebencian jelas terbias kembali di wajahnya.

"Astagfirullahaladzim ... aku tak menyangka kau tega menyuruhku melakukan perbuatan keji itu. Ini anakmu, Jovan! Aku bersumpah atas nama Allah," jawabku menahan rasa sakit yang luar biasa di dada. Seperti gunung batu yang seakan sengaja ditimpakan, hingga membuatku tersengal. Meski begitu nadi masih berdenyut, hingga aku pun tetap hidup dan bernapas.

"Aku akan jujur padamu, Riana. Sebenarnya aku tidak pernah mencintaimu! Ini semua kulakukan demi memenuhi permintaan ayah. Tidak lebih! Pernikahan kita hanya pernyataan status pada selembar kertas dan bagiku itu tidak berarti apa-apa. Aku tetap pria bebas, bisa melakukan apa saja seperti yang kuinginkan," ucapnya dengan ketus  tanpa perasaan.

"Aku tahu, apa yang kau inginkan. Semua demi warisan ayahmu dan wanita itu." Tanpa terasa sepasang bulir hangat lolos membasahi pipi. Meninggalkan segaris jejak pertanda luka begitu menganga.

"Diam! Kau tak berhak menilaiku, Riana. Kaulah wanita penghancur cinta dan impianku. Aku benci kau, Riana!" teriaknya dengan kedua rahang mengeras dan gigi bergemelatuk. Tangannya terkepal dan menghantam nakas di samping pembaringan. Kemudian berlalu meninggalkanku yang jatuh terduduk dengan berurai airmata.

Allah ... begitu dalam cinta ini telah membenamkanku ke dalam jurang penderitaan. Haruskah aku menyerah?

Seperti pisau tumpul yang sengaja dihujamkan ke dada, hingga luka sayatannya begitu pedih menyiksa. Seperti dicambuk, tetapi tidak meninggalkan bekas, hingga lara terasa dalam melanda. Adakah rasa yang lebih sakit selain penghinaan yang dilakukan oleh suami sendiri--lelaki yang hanya padanya kehormatan wanita telah aku berikan?

Seharusnya, sebagai pasangan muda yang mendamba buah cinta, ia bahagia mendengar kabar kehamilanku. Namun, ternyata aku salah. Justru tak mengubah apa pun. Bahkan, gunung es yang sengaja ia ciptakan di hatinya masih saja berdiri menantang dengan kebekuan abadi.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status