Part 2
Nasehat Ibu
Jika malam tak selalu diartikan gelap, maka cinta tak seharusnya memberikan luka. Mungkin waktu dan jarak harus menjeda agar rasa sakit bisa mereda.Dua bulan di rumah ayah terasa lebih menyakitkan. Apalagi ia masih saja diam dan bermuka masam. Sungguh, baru kali ini ayah bersikap seperti itu.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Kamar yang luas dengan jendela menghadap ke taman dan sinar matahari pagi menorobos melalui tirainya, terasa hangat serta memberikan tidak hanya ketenangan, tetapi juga menyegarkan raga dari kepenatan sebab rutinitas sehari-hari, kini seakan terasa mati.
Aku duduk di meja rias. Pantulan wajah di cermin terlihat kuyu dan mata sembab, karena tak mendapatkan haknya untuk tidur semalam. Tak sedetik pun aku bisa memejamkan mata. Terlebih bila mengingat kejadian kemarin. Bulir hangat itu masih saja mengalir membasahi wajahku yang kian menirus. Memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi dengan calon buah hatiku nanti. Haruskah aku pergi atau bertahan dalam badai ujian ini?
"Bukannya kami tak suka kau tinggal di sini, Na. Tapi kau sekarang sudah menjadi tanggung jawab, Jovan," ucap ibu dengan suara lembut yang mendadak sudah berdiri di samping dan mengusap bahuku.
Aku menghela napas panjang dan mengeluarkannya perlahan melepaskan rasa sesak yang menekan dada.
"Ibu, aku ingin menenangkan hati dan pikiran yang kacau ini," jawabku memohon.
"Ini juga rumahmu, Na. Ibu tak pernah melarang kau ke sini. Tapi pergi meninggalkan suami dan lari dari masalah, itu tidak baik."
"Tapi, Bu. Ini terlalu sakit buat Riana. Menuduh tanpa tahu kebenarannya, bukankah sama dengan fitnah?"
"Kau tahu, Na. Seseorang yang sangat mencintai pasti takut kehilangan. Bahkan, rasa takutnya itu melebihi keyakinan pada diri sendiri. Ia akan begitu cemburu bila miliknya diganggu apalagi dimiliki orang lain. Untuk menutupi rasa ketakutan yang menghantui dirinya itu, maka ia akan menumpahkannya dengan kemarahan yang kadang sulit dimengerti nalar."
Aku bergeming. Pikiranku mencerna perkataan ibu. Mencoba memahami apa yang beliau maksudkan.
'Mungkinkah, Jovan melakukan semuanya itu seperti yang dikatakan ibu?' Tiba-tiba muncul pertanyaan dalam hatiku tentang sikapnnya yang kemarin itu.
"Lelaki itu identik dengan ego yang tinggi. Ia akan tersakiti bila egonya tersentil sedikit saja tak terkecuali dengan Jovan. Ibu menyadari, kalian masih muda dengan ego yang sama. Penyesuaian dua pribadi memang tak mudah." Wanita paruh baya itu mengelus rambut dan mengecup keningku.
"Jadi aku harus bagaimana, Bu? Aku sudah tidak tahan dengan sikapnya," balasku menahan rasa pedih di hati.
"Seiring berjalannya waktu dan adanya kemauan untuk saling belajar dari pasangan, Ibu yakin, semua akan indah pada waktunya." Tangan keriputnya mengelus lembut punggung tanganku.
"Jadi Ibu menyarankan agar aku kembali ke rumah Jovan?"
"Dia, suamimu dan berhak sepenuhnya atas dirimu. Bukankah sudah seharusnya seorang wanita menyelamatkan biduk rumah tangganya?"
"I-ibu ...."
"Ada cinta yang tulus untukmu, Na. Ibu bisa melihat dari sorot kedua mata Jovan," ucapnya mantap penuh keyakinan.
*****
"Makasih sudah mengantar, Pak Atmo," ucapku pada sopir pribadi ayah. Dia sudah lama mengabdi di keluargaku.
"Sama-sama, Non dan hati-hati. Jaga kesehatan!" jawabnya tersenyum dengan membuka pintu mobil.
"Biar saya bantu angkat kopernya. Berat ini," pintanya menawarkan bantuan.
"Tidak usah, Pak. Biar saya bawa sendiri. Isinya cuma beberapa potong pakaian saja. Lebih baik pak Atmo segera kembali, karena Ayah sudah menunggu."
"Baiklah, Non. Saya pamit," ucapnya mohon diri.
Detik berikutnya mobil yang dikemudikan pak Atmo sudah melesat jauh.
*****
"Makasih sudah mengantar, Pak Atmo," ucapku pada sopir pribadi ayah. Dia sudah lama mengabdi di keluargaku.
"Sama-sama, Non dan hati-hati. Jaga kesehatan!" jawabnya tersenyum dengan membuka pintu mobil.
"Biar saya bantu angkat kopernya. Berat ini," pintanya menawarkan bantuan.
"Tidak usah, Pak. Biar saya bawa sendiri. Isinya cuma beberapa potong pakaian saja. Lebih baik pak Atmo segera kembali, karena Ayah sudah menunggu."
"Baiklah, Non. Saya pamit," ucapnya mohon diri.
Detik berikutnya mobil yang dikemudikan pak Atmo sudah melesat jauh.
*****
Aku membuka pelan pintu depan dan berjalan menuju kamar. Sprei tempat tidur masih nampak berserakan. Rupanya, sejak pertengkaran malam itu Jovan juga tak pulang ke rumah.
Di manakah dia? Ah, untuk apa aku ingin tahu keberadaannya. Toh, sudah jelas ia pasti sedang bersama Siska. Apa yang sedang mereka lakukan? Tentu saja bersenang-senang. Apalagi yang bisa mereka lakukan selain itu. Ah, masa bodoh. Ingin sebenarnya aku bersikap demikian, tetapi pertanyaan demi pertanyaan masih saja menggerimit di benak.
Pandanganku beralih ke atas nakas di sudut kamar. Foto pernikahan masih berdiri menghiasi kamar pengantin ini. Jovan tampak tersenyum bahagia saat menatap dan memasukkan sebentuk cincin bertahtakan berlian putih ke jari manisku. Kubalas tatapan lelaki berhidung mancung itu bersama degup jantung yang tak beraturan rimanya. Kami benar-benar merasakan kebahagiaan, saat itu.
Tak terasa sepasang bulir bening dari kolam netraku jatuh membasahi bingkai foto itu. Tepat mengenai wajah Jovan yang tengah tersenyum. Tiba-tiba sebuah telapak tangan kekar mendarat di bahu, membelai lembut pipi dengan menghapus airmataku dan menangkup sisa bulir hangat yang berada di bingkai foto pernikahan seraya berkata, "Maafkan, aku. Telah membuatmu bersedih.Tak seharusnya aku mencurigai kesetiaanmu. Kau telah menyerahkan segalanya untukku, Riana."
"Jovan, aku ...."
"Sssttt ... sudahlah Riana. Kau jangan menangis dan pergi. Aku tak bisa hidup tanpamu."
Lelaki berkulit putih itu meraih kepalaku dan merebahkan ke dada bidangnya. Rasa damai segera menghampiri dan aku pun membenamkan wajahku di sana. Namun, tiba-tiba semua sirna, karena itu hanya khayalanku semata.
Aku segera membuka mata dan meletakkan kembali bingkai foto pernikahan itu ke atas nakas. Ketika hendak berbalik dan keluar dari kamar tidur kulihat Jovan keluar dari kamar tamu yang letaknya bersebelahan dengan kamar tidur. Ia terkejut melihatku begitu juga denganku. Untuk sesaat kami saling menatap. Bisu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut kami berdua.
"Kau masih ingat jalan pulang. Aku kira sudah tak ingat," seringainya sinis menatapku.
"Maaf, aku lagi gak ada mood berdebat denganmu. Aku lelah dan ingin istirahat," jawabku ketus.
"Pergi kemana kau selama dua bulan ini? Menemui Nazran, kekasihmu itu?" tanyanya penuh selidik.
"Apa urusanmu, mengapa kau tiba-tiba peduli, kemana dan dengan siapa aku pergi?" balasku tak kalah sengit.
"Hei! Aku ini masih suamimu, Riana. Ingat itu!" Wajahnya seketika berubah menjadi merah padam.
"Suami ... suami yang memperlakukan istrinya seperti selembar tisu, sekali pakai lalu dibuang dan pergi begitu saja dengan wanita lain. Pantaskah itu disebut suami?"
Jovan bergeming. Seketika manik kelam netranya menatapku tajam sarat dengan kebencian.
Allah ... kuatkan hatiku untuk menghadapi sikapnya ini. Sungguh, aku hanya berharap akan janji-Mu. Memberi hujan setelah pelangi, senyum di setiap airmata, berkah di setiap cobaan dan jawaban di setiap doa.
Bersambung.
Part 3Luka di atas lukaMendadak kepalaku pusing dan mata berkunang-kunang. Badan terasa lemas, hingga tanpa bisa menahan keseimbangan badan aku luruh hampir menyentuh lantai marmer yang menghampar menutupi seluruh permukaan ruang keluarga. Namun, dengan sigap Jovan menangkapku. Tangan kekarnya berhasil meraih tubuhku. Lalu, pelan dan penuh kelembutan lelaki pemilik postur tubuh tegap dan perut sixpeck itu menggendong dan merebahkan tubuhku ke tempat tidur di ruang tamu. Lamat-lamat pandanganku masih bisa melihat tangan Jovan yang membuka beberapa kancing baju blues atasku untuk melonggarkan dan memberi jalan napas, karena memerlukan asupan oksigen lebih banyak untuk melonggarkan dada. Kurasakan getaran tangan, bibir tipisnya naik turun menelan saliva dan peluh bercucuran membasahi dahi. Sesekali ia mengusapnya dengan membuang napas kasar. Sepertinya lelaki itu harus menahan desakan hasrat yang mendadak muncul. Berulang kali ia berusaha menguasai gejolak gairah
Part 4Kenyataan pahitMengingatmu dalam gaguTatkala sukma terhanyut semilir alunan bayu pekat dan rentaGelebahmu menguap terbawa asa nan repasDan kau pun membawa sauh berlabuh pada dermaga cinta sang wanita penggodaMenyuguhkanmu secawan bisa dalam rupa madu pada netra berkabut fatamorganaDuhai tuan sang pengiba hatiSudahkah kau lupa pada janji?Saat mengkhitbahku duluKau datang bak ksatria pujangga menghelaku dari jelagaNamun, ternyata hanya untuk kau larungkan dalam durja kerinduanBersama pedihnya belati harap tak kunjung menghirapHingga menenggelamkanku pada duka yang lerak menderak.Masa indah pengantin baru seharusnya dilewati dengan kenangan indah dan manis. Namun, tidak bagiku, karena justru siksa sebagai permulaan dalam mengarungi bahtera kehidupan bersama Jovan.Pagi datang menjelang. Aku menuju dapur dan memasak nasi goreng. Dua nasi goreng seafood telah siap saji di meja m
Part 5Pengorbanan cintaKata orang cinta tak hanya sebatas rasa dan kata, tetapi butuh tindakan nyata disertai kepercayaan, pengakuan dan pengorbanan. Jovan telah berhasil mengoyak hatiku seperti secangkir kopi yang telah dibanting hingga hancur berkeping-keping. Namun, sisi lembut dari rasa manusiawiku masih mengasihinya. Mungkinkah ini karena cinta yang terlalu kuat mengikat ataukah hanya sekedar rasa iba? Entahlah ...."Aku punya usul. Mungkin kau setuju?" ucapku memberanikan diri. Jovan menoleh ke arahku. Iris kelamnya menatapku teduh."Apa itu, Na?" balasnya penuh tanda tanya"Sebaiknya kita bikin surat perjanjian," usulku."Maksudmu?""Berapa uang yang harus kubayar agar kau bisa mendapatkan jumlah yang sama dengan warisan yang akan kau terima dari Pak Wijaya? Dan kau bebas menikahi Siska.""Sangat banyak," jawabnya ragu. Rasa bimbang tampak jelas di wajah putihnya."Sebutkan saja jumlahnya, kau tak pe
Part 6 Kabut mulai menepi Dunia mempunyai dua sisi dan kutub yang berbeda, jika aku berada di salah satu sisi atau kutubnya, maka Jovan akan berada pada sisi dan kutub yang lain. Bertolak belakang. Namun, anehnya teori daya tarik-menarik magnet justru yang berlaku. Kadang aku tidak bisa mencerna dengan apa yang dilakukan lelaki pemilik iris hitam itu. Ketika aku ingin pergi sejauh mungkin darinya malah ia semakin mendekat dan begitu sebaliknya, hingga aku pun berpasrah, semoga takdir Allah menuliskan yang terbaik bagi kami. Pukul 06.30 pagi. Setelah selesai sarapan pagi dan membersihkan semuanya. Aku bersiap berangkat kerja. Hari ini hari pertama aku masuk kerja di perusahaan kontraktor Wiratama milik ayah. "Kita berangkat sama-sama, Na. Nanti kamu aku turunkan di halte depan kantor ayahmu," ucap Jovan seraya menyambar tas kerja dan mengiringi langkahku menuju pintu depan. "Makasih, Van. Apa gak merepotkanmu? Aku bisa m
Part 7Kala cinta menggodaJovan terhanyut dalam lamunan. Lelaki tampan itu seolah sibuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh hati kecilnya. Ia pun merasa heran dengan keridakmampuannya dalam mengendalikan sikap dan hasrat yang mendadak muncul bila berdekatan dengan Riana. Hingga lelaki berkulit putih itu masih saja bermonolog.Baru beberapa detik saja dan telah sukses menguasai kepala.. Kejadian yang baru saja aku lakukan pada Riana berhasil membuat konsentrasiku berantakan. Ingatanku menari-nari di depan pintu hati.Awalnya aku hanya ingin mengecup bibir merah muda milik Riana, karena aku tak tahan ketika melihatnya menggigit bibir atas. Entahlah ... seperti gejolak hasrat yang menggelegak dan tak bisa kukendalikan karena rasa gemas, hingga aku spontan melakukannya. Pun Riana juga tak menolak, membuatku merasa melayang dan menjadi candu.Rasanya aku sedang sakau. Terbius dan ketagiha
Part 8Lelaki misteriusMatahari masih malu-malu menampakkan diri. Namun, pagi ini aku sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk Jovan. Mungkin berlebihan, tetapi aku suka melihat perubahan sikapnya akhir-akhir ini, meskipun tak jarang mukaku terasa panas seketika bila mengingat kejadian kemarin.Ada apakah gerangan dengan kami? Mungkinkah gunung es di hatinya mulai mencair, karena kekerasan sikap perlahan mulai melunak. Benarkah waktu dan kebiasaan bersama telah mengubah segalanya, meski kadang satu pertanyaan di kalbu tak kunjung mendapat jawaban. Jovan melakukan semua itu berdasarkan cinta ataukah .... entahlah aku tak tahu. Satu yang pasti, biar kupasrahkan segala yang terjadi sebagai jalan takdir yang harus dijalani. Seperti air yang mengalir dan suatu saat akan sampai juga di muaranya.Lelaki itu sudah rapi dengan stelan jas biru tua dan sepatu pantofel hitam. Sesekali mulutnya menguap disertai netra memerah. Sepertinya ia kurang
Part 9DilemaPukul 11.30 waktu istirahat kantor. Setelah membereskan separuh pekerjaan aku ke kantin. Cacing-cacing di perut sudah menagih untuk diisi. Aku melewati ruangan Syafira. Kulihat ia sedang membereskan berkas."Lanjutin nanti saja, Sya. Sudah waktunya makan siang, nih. Ayo, ke kantin!" ajakku pada Syafira."Ok. Ria. Sudah beres, kok. Yuk!" sambutnya menghampiri. Kami pun bersama menuju kantin."Pesan apa, Ria?" tanyanya sambil membaca buku menu makanan."Panas-panas gini enaknya makan yang berkuah. Aku pesan bakso saja. Kamu?""Ngikut saja, deh! Memang cocok di cuaca seperti ini. Minum apa, Ria?"Es manado. Kamu?""Es buah saja.""Ok. Aku pesankan, Ria.""Makasih, Sya."Sementara menunggu pesanan tiba, kuambil ponsel dari saku blus. Sebuah pesan di WA baru saja dikirim oleh Jovan dan aku membalasnya.Jovan: Gimana hari ini? Maksudku pekerjaanmu?Riana: Alhamdulill
Part 10Tante Desy"Mama ... mama ada di sini juga ?" Lelaki bermanik kelam itu terkejut bukan main. Ia tidak menyangka mamanya ada di sini."Jadi seperti ini kelakuanmu? Dan kau wanita murahan. Sudah berapa kali kuperingatkan. Jangan dekati anakku! Dia sudah menikah. Apa memang hobbymu suka merusak rumah tangga orang lain?" Wanita bertubuh sintal itu berteriak kesal pada Siska."Ta-tante." Ucapnya gugup."Mama cukup!" ucap Jovan sedikit berteriak. Beberapa pasang mata telah memandang ke arah mereka. Wajah Siska menjadi merah padam menahan malu yang luar biasa dengan netranya juga berkaca-kaca."Jadi kamu bentak Mama demi belain wanita ini, Jovan!" Ucap mama lirih tetapi sarat makna kebencian. Jovan tak habis pikir mengapa ibunya begitu membenci Siska."Bukan begitu, Ma, mak--" Lelaki bertubuh atletis itu menghembuskan napas lelah. Ia tak pernah bisa menang berdebat dengan Desy. Kalau saja ada soal kimia begitu rumit