Share

Bab 6 Kabut mulai menepi

Part 6

Kabut mulai menepi

Dunia mempunyai dua sisi dan kutub yang berbeda, jika aku berada di salah satu sisi atau kutubnya, maka Jovan akan berada pada sisi dan kutub yang lain. Bertolak belakang. Namun, anehnya teori daya tarik-menarik magnet justru yang berlaku. 

Kadang aku tidak bisa mencerna dengan apa yang dilakukan lelaki pemilik iris hitam itu. Ketika aku ingin pergi sejauh mungkin darinya malah ia semakin mendekat dan begitu sebaliknya, hingga aku pun berpasrah, semoga  takdir Allah menuliskan yang terbaik bagi kami.

Pukul 06.30 pagi. Setelah selesai sarapan pagi dan membersihkan semuanya. Aku bersiap berangkat kerja. Hari ini hari pertama aku masuk kerja di perusahaan kontraktor Wiratama milik ayah.

"Kita berangkat sama-sama, Na. Nanti kamu aku turunkan di halte depan kantor ayahmu," ucap Jovan seraya menyambar tas kerja dan mengiringi langkahku menuju pintu depan.

"Makasih, Van. Apa gak merepotkanmu? Aku bisa minta tolong Pak Atmo atau naik ojol,"  balasku dengan melihat dari ekor mata. Bulu lentik dan hidung mancungnya jelas terlihat. Ia memang lelaki yang rupawan.

"Gaklah, Na. Kita kan searah, jadi sekalian saja berangkat sama-sama."

"Aku kira ...." ujarku menghentikan kalimat.

"Aku kira apa? Kalau bicara itu jangan dipotong. Jadi penasaran kan yang mendengar?" tanyanya sembari menyipitkan mata.

"M-maksudku ... apa kau tidak menjemput Siska?" ucapku gugup. Aku berusaha tegar, meski dada terasa dahsyat bergetar. Untuk menghindari tatapan misteri Jovan, terpaksa kusunggingkan senyum manis penghias bibir.

"Siska sudah berangkat. Tadi memberitahuku lewat pesan wattsap," balasnya singkat. Menutup benda pipih yang berada di genggaman tangannya.

Beberapa saat kemudian kami telah berada dalam mobil. Aku duduk di samping kemudi. Jovan menstarter mesin dan melajukan mobilnya. Ketika ia menoleh ke kiri melihat ke arahku, mendadak rem diinjak dan menghentikannya. 

Aku terlonjak kaget. Jantungku seakan terlepas dari tempatnya. Spontan tanganku meraba dada dan mengulum bibir atas.

Jovan melepas sabuk pengaman yang dipakainya. Tangannya memasangkan seatbelt tanpa kuminta. Tubuh tegapnya tepat berada di atasku, hingga wajah kami hanya berjarak satu centimeter. Aroma mint menguar dari mulutnya dan embusan napas telah menyapu wajahku. Dengan lembut bibir Jovan telah menempel di bibirku. Hati dan pikiran berusaha menolak, tetapi saraf di mulut dan bibir malah sebaliknya. Aku mengimbangi setiap pagutan yang diberikan Jovan. Membuat lelaki itu semakin rakus dan liar melumatnya. 

Lama kami tenggelam dalam panasnya pagutan, hingga membuatku kesulitan bernapas. Jovan yang menyadari keadaanku menarik pelan tautan bibirnya.

"Bernapas Riana!" Aku yang tersadar, menarik napas dalam dan terengah-engah. Hanya beberapa detik saja, hingga embusan napas kembali menyapu wajah Jovan yang sudah kembali mendekat.

"Kalau kau tidak ingin terjadi hal yang lebih parah dari ini, berhenti mengulum bibir atas di depanku. Apalagi di depan laki-laki lain. Kau mengerti?" Napas kami masih terengah setelah ciuman panjang tadi yang membuat seluruh tubuhku mati rasa. Aku hanya mampu mengangguk bodoh dan Jovan terkekeh.  Lalu, mengusap lembut bibirku yang masih kebas dan basah tentunya.

"Bibirmu manis, aku suka." Setelah Jovan mengucapkan kalimat terakhirnya, aku tak berkedip.  Namun, tak berani menatapnya. Hanya melalui kaca persegi empat yang tergantung tepat di depan kemudi, aku berani memandang lekat lelaki berbulu mata lentik itu. 

Jovan telah melajukan mobilnya seolah tak terjadi apa pun dengan apa yang baru saja kami lakukan. Bahkan, sesekali terdengar ia ikut menendangkan lagu "Kiss me" yang dinyanyikan duo cewek cantik M2M diputar dari tape recorder mobilnya.

Aku sendiri, jangan ditanya. Nyawa seolah terlepas dari sarang. Bayang-bayang panasnya pagutan panjang disertai harum aroma mint yang menguar, seratus persen nanti malam sukses tak bisa membuatku tidur. Lalu, napas? Aku jamin sesak akan datang menyergap.

Oksigen ... oksigen ... aku butuh oksigen!

*****

Mobil berhenti tepat di depan kantor. Setelah mengucap terima kasih aku keluar dari mobil. Jovan membalasnya dengan senyuman yang paling menawan. Untuk pertama kalinya lelaki itu bersikap demikian.

Aku masih berdiri dengan pandangan mengikuti mobil Jovan yang menjauh. Kejadian yang barusan kualami merupakan ciuman pertama dan teromantis yang Jovan berikan, hingga bibir hangat dari sentuhannya masih saja meninggalkan bekas. Tanpa sadar jemariku menyentuh bibir bekas ciuman tadi. Ada rasa aneh yang kini tengah menjalar ke setiap denyut nadi. Aku masih terbuai dengan bayangan itu,  hingga sebuah suara membuyarkan semuanya.

"Hai, Riana! Apa kabar pengantin baru?" sapa seorang gadis manis melambaikan tangan dan mempercepat langkah ke arahku. Aku sangat mengenalinya, ia adalah Syafira--sahabat terbaikku semasa SMA. Ia sudah sepuluh tahun bekerja di perusahaan ayah. 

"Alhamdulillah baik, Fira. Seneng, deh! Kita bisa ketemu lagi. Ngomong-ngomong, gimana kabarmu juga?" jawabku menyambut kedatangannya.

"Seperti yang kau lihat, alhamdulillah baik-baik saja." Kami berpelukan. Ia memang gadis yang ceria. Bersamanya membuat hariku menjadi berwarna. Sejak aku menikah dengan Jovan, ia sedikit terlupakan. 

"Kenapa kamu ke kantor, Ria? Memangnya istri bos masih perlu bekerja?" tanya gadis bertahi lalat di pangkal hidung itu ingin tahu. Semua teman SMA memang memanggilku seperti itu, tak terkecuali Syafira.

Pertanyaan yang ia lontarkan sontak membuatku teringat dengan perjanjian itu. Namun, aku tak mungkin memberitahukan hal itu padanya. Biar kusimpan sendiri saja.

"Lah, bagaimana juga dengan rencana pernikahanmu sama David? Kapan kalian akan resmi menjadi suami istri?" tanyaku mencoba mengalihkan pertanyaannya.

"Kayaknya ada yang berubah darimu, Ria. Gak biasanya kamu gak jawab pertanyaanku. Aku rasa, kamu ingin mengalihkan topik pembicaraanku ... atau jangan-jangan kamu menyembunyikan suatu rahasia dariku?" Dahi mengernyit dan tatapannya tajam padaku.

"Fira, Suwer, deh! Aku gak nyembunyiin rahasia apa pun. Karena memang aku ingin bekerja. Memang gak boleh setelah nikah, seorang isrti itu bekerja? Kau kan tahu, aku gak suka kalau nganggur," balasku berusaha meredam rasa yang tiba-tiba membuncah, saat teringat perlakuan Jovan. Namun, aku juga bimbang mengingat kejadian yang baru saja terjadi.

Fira menepuk lembut bahuku. Membuatku menoleh padanya. Aku tak ingin ia tahu apa yang tengah terjadi.

"Hmmm ... malah ngelamun!" gumamnya dengan tersenyum.

"Eh, nggak! Aku cuma ...."  

"Lalu, apa namanya kalau tidak melamun. Oh, iya. Mumpung ingat. Kamu dapat salam dari si manis Nazran. Ia titip kado sekaligus salam untukmu dan Jovan. Nazran juga minta maaf, karena gak bisa hadir dalam pesta pernikahanmu, karena ia masih berada di Jerman menyelesaikan tugas akhir S3-nya sekalian mengambil spesialis kandungan." Syafira berkata tanpa jeda. Ia  memang selalu bersemangat saat membicarakan Nazran. 

Gadis itu memang akrab dengan si bintang pelajar di sekolah kami. Selain kami teman satu kelas, Fira memang mengagumi kepribadian lelaki berlesung pipi itu. Sopan, hangat dan diam. Ia memang tak banyak bicara. 

Berbeda denganku, karena tak begitu mengenal Nazran. Selain cowok aku juga pendiam. Syafira saja yang suka menjodohkan aku dengan lelaki berkacamata itu. Menurutnya kami serasi. Sama-sama pendiam dan dia akan tertawa tergelak saat menjuluki 'pasangan patung'. 

Ah ... memang Syafira. Bisa saja membikin orang ketawa. Lebih gilanya lagi, ia sangat senang melihat muka Nazran bersemu merah, karena malu. Jika tertangkap olehnya secara diam-diam lelaki pemalu itu memperhatikanku.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status