Share

Bab 4 Kenyataan Pahit

Part 4

Kenyataan pahit

Mengingatmu dalam gagu

Tatkala sukma terhanyut semilir alunan bayu pekat dan renta

Gelebahmu menguap terbawa asa nan repas

Dan kau pun membawa sauh berlabuh pada dermaga cinta sang wanita penggoda

Menyuguhkanmu secawan bisa dalam rupa madu pada netra berkabut fatamorgana

Duhai tuan sang pengiba hati

Sudahkah kau lupa pada janji?

Saat mengkhitbahku dulu

Kau datang bak ksatria pujangga menghelaku dari jelaga

Namun, ternyata hanya untuk kau larungkan dalam durja kerinduan

Bersama pedihnya belati harap tak kunjung menghirap

Hingga menenggelamkanku pada duka yang lerak menderak.

Masa indah pengantin baru seharusnya dilewati dengan kenangan indah dan manis. Namun, tidak bagiku, karena justru siksa sebagai permulaan dalam mengarungi bahtera kehidupan bersama Jovan.

Pagi datang menjelang. Aku menuju dapur dan memasak nasi goreng. Dua nasi goreng seafood telah siap saji di meja makan. Satu untukku dan satu untuk Jovan.

"Jangan buatkan nasi goreng seafood. Selain aku alergi juga benci bau masakanmu!" ucapnya sambil berlalu melewati meja makan. Melihatku dari ekor matanya dengan seringai sinis.

Rupanya Jovan telah berpakaian rapi. Kemeja biru muda dipadu dengan celana biru tua dan setelan sako serta dasi berdasar biru bergaris miring warna merah. Menambah kesan elegan membungkus tubuh tinggi tegapnya. Apalagi sepatu pantofel bermerk salamander membuatnya semakin gagah berwibawa. 

Untuk sesaat, aku terbuai oleh penampilan macho pemilik manik hitam kelam itu, tetapi segera aku sembunyikan rasa kekaguman itu.

"Baiklah! Akan kutaruh di lemari makan saja," jawabku lirih diikuti bulir bening yang membasahi wajah tirusku. Lalu, aku kembali dan duduk di meja makan. Saat aku baru memasukkan satu sendok ke mulut, Jovan melihatku dengan tatapan tidak suka.

"Gak usah menangis! Aku juga membenci airmata palsumu, Riana," selorohnya dengan dongkol.

Seketika kubiarkan sendok besar menggantung di mulut. Seperti dicambuk, tetapi tidak meninggalkan bekas noda luka. Seperti beban berat yang sengaja dihujamkan ke dada. Membuat napas tersengal, tetapi denyut nadi masih berdetak, hingga masih membuatku hidup dan bernapas.

Mendadak aku tersedak. Menimbulkan rasa mual seketika dan membuatku memuntahkan makanan yang sudah masuk ke perut.

"Jangan seenaknya saja kau tumpahkan di sembarang tempat. Aku jijik, tahu!" ucap Jovan dengan raut muka yang menjengkelkan.

"Maaf, aku tidak bisa menahannya lagi. Lain kali tak akan kuulangi," jawabku sembari membersihkan makanan yang baru saja keluar tak sengaja dan berceceran di lantai.

Allah ... berikan kesabaran dan kekuatan agar aku bisa menghadapinya.

Setelah selesai membersihkan diri, aku bergegas masuk ke kamar melewati ruang tamu. Terdengar sepertinya Jovan berbicara dengan seseorang di telpon.

"Iya, Ma. Riana baik-baik saja. Jovan akan selalu menjaganya. Jangan khawatir!" ucapnya sambil meliarkan pandangan mencariku. Lalu, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku sembari menyerahkan gawai. 

"Bicaralah! Mamaku ingin berbicara denganmu," ucapnya dengan tatapan tak mengenakkan. Lelaki berkulit putih itu berdiri di samping dengan melipat tangannya ke dada. 

"I-iya, Tante. Ini Riana yang bicara. Alhamdulillah baik-baik saja. Bagaimana dengan keadaan, Tante dan Om?" ucapku tergagu.

"Alhamdulillah kami juga baik-baik saja. Apa Jovan  merepotkan atau membikin ulah yang membuatmu kesal? Katakan saja, Riana! Jujur sama Tante. Nanti, biar dia yang menghadapi Tante."

Jovan yang mendengar ucapan mamanya, seketika mengancamku, "Awas! Kalau kau berani mengadu sama Mama. Aku akan membuat hidupmu lebih menderita, Riana. Kau bisa mencobanya!" Manik kelamnya menatapku tajam.

"Tidak, Tante. Jovan tidak pernah bersikap kasar, tetapi malah sebaliknya. Ia begitu lembut memperlakukan, Riana."

"Ya sudah, kalau begitu. Tante percaya padamu, Riana. Kalau ada apa-apa kau bisa bilang sama Tante. Jangan sungkan. Anggap Tante seperti ibumu sendiri. Bisa kau berikan telponnya pada Jovan, Tante ingin bicara dengannya," pinta Tante Desy mengakhiri percakapannya denganku.

"Iya, Tante. Makasih atas perhatiannya," ucapku sembari memberikan ponsel pada Jovan.

"Iya, Mah. Ini Jovan," jawab Jovan mengalihkan pandangan. Mereka pun melanjutkan percakapan.

*****

Aku hendak berlalu dari ruangan itu, hingga tiba-tiba telapak tangan kekar lelaki berbulu mata lentik itu mendarat di bahu menghentikan langkahku.

"Tunggu, Na. Aku ingin bicara denganmu," ucapnya berubah lembut.

"Baiklah! Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Makasih sudah mengatakan hal baik tentang sikapku pada mama."

"Iya, tidak apa-apa. Bukankah kewajiban  suami istri untuk saling melindungi dari aib satu sama lain, karena suami istri adalah aurat. Seperti halnya pakaian yang saling menutupi,  bila kita menceritakan keburukan suami di hadapan orang tua sekali pun, berarti kita telah telanjang, karena ibaratnya membuka pakaian sendiri."

Jovan bergeming. Mencoba memahami arti dari perkataanku yang baru saja terucap. Dahinya berkerut tanda berpikir. 

"Malam ini aku pulang agak sore, karena Mama mengundang kita makan malam ke rumah," ucapnya kemudian.

"Kalau kau sibuk dengan urusan kantor, biar aku minta pak Atmo untuk mengantarkan ke rumah mama. Kau langsung saja berangkat dari kantor."

"Kau tunggu saja aku, karena kita harus berangkat sama-sama dari rumah. Aku tak ingin mama marah, bila melihat kita tak bersama." Menatapku serius.

"Baiklah! Aku akan menunggumu," balasku sembari berlalu.

Tiba-tiba dari arah belakang terasa ada tangan kekar yang menarik pinggangku. Kemudian membalik dan menarik tubuh ini, hingga tak ada jarak lagi di antara kami. Kami saling berpelukan. Perlahan Jovan mendekatkan bibir tipisnya, hingga embusan napas terasa menyapu wajah. Mendadak aku melepaskan pelukan, ketika kulihat Siska sudah berdiri dengan wajah tak suka dan berkacak pinggang di depan pintu ruang tamu.

"Jovan! Apa-apaan ini? Kau menyuruhku ke mari hanya untuk melihatmu bermesraan dengan wanita kolot perebut kekasihku ini? Aku benci kau!" umpatnya dengan penuh emosi sembari jari telunjuknya mengarah padaku, gegas  ia segera meninggalkan rumah.

"S-siska? Kau salah paham! Aku bisa jelaskan, padamu." Secepat kilat Jovan  meninggalkanku dan berusaha mengejar Siska. Namun, gadis itu telah berada di dalam mobil dan melajukannya dengan cepat. Dengan napas tersengal ia kembali ke rumah.

"Cantik," pujiku sembari memandang Jovan.

"Maaf, Na. Aku tak menyangka kalau ia nekat datang ke mari," ucapnya lesu.

"Tidak apa-apa. Aku tahu, ia pasti cemburu melihat kita tadi."

"Kau tidak marah, Na?" 

"Untuk apa marah? Mungkin aku akan lebih marah dari dia, saat melihat kekasihku berada dalam pelukan orang lain," ucapku datar sembari menatapnya dalam.

Sejujurnya rasa sakit di hati telah memuncak, hingga aku tak bisa lagi merasakan pedihnya. Kekerasan sikap Jovan akan percuma bila kulawan. Aku harus bersikap sebaliknya, hingga suatu saat yang tepat jika aku harus pergi dari hidupnya, maka akan terasa ringan.

"Aku mencintainya, Na. Sejak kami duduk di bangku SMA. Siska, cinta pertamaku. Sudah lama aku berjanji untuk menikahinya, tetapi mama tidak pernah menyetujui. Ia tak pernah menyukai Siska. Setiap kutanya alasannya mama tak pernah menjawab." Lelaki tampan itu seolah memendam rasa kecewa dengan menghempaskan diri duduk di sofa. Berkali-kali telapak tangan mengusap wajah dan menggaruk-garuk hidung mancungnya, meski tidak gatal.

Aku duduk di sampingnya. Berusaha menetralkan perasaan yang tak karuan. Kalbu serasa mengharu biru, kala rindu tak menemukan temu. Adakah rasa yang lebih sakit, ketika melihat gayung cinta tak bersambut?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status