Dan doni pun sadar di atas reruntuhan rumah yang terbakar hebat. bersamaan dengan terbakarnya mereka semua yang tanpa sisa. vote dan komen ya terima kasih
Waktu mulai berubah secara perlahan, cahaya kebiru-biruan muncul secara perlahan dari belakang Gunung Sepuh yang tinggi itu, menghilangkan kegelapan dan awan hujan yang menutupi Kampung Sepuh semalaman hingga saat ini. Hujan mulai reda, awan hujan yang masih terlihat tebal, kini tersinari oleh cahaya matahari yang berwarna oranye dari cakrawala yang luas. Sehingga tercipta sebuah garis panjang yang lurus yang membelah langit. Sang cahaya pagi mencoba untuk menghilangkan awan hujan yang masih tersisa itu dengan cahayanya yang terang secara perlahan, diiringi oleh suara jangkrik dan kodok, serta kokok ayam pagi yang menyambut pagi itu dengan syahdu dan suaranya terdengar hingga seluruh kampung. Pemandangan yang menyeramkan pada malam hari kemarin, kini kembali berubah. Menjadi pemandangan yang cantik untuk dilihat oleh kedua mata kita semua, karena sang cahaya pagi sudah mengambil alih kembali langit dan membiarkan cahayanya bersinar menerangi Kampung Sepuh hingga nanti sang malam aka
“Astaga, Mat, Pak Darsa, kalian kenapa? ” Kata Mang Yayat sambil berlari menghampiri warung dengan tatapan yang khawatir dan melihatku yang terbaring lemah dan tidak sadarkan diri di tanah. Kedua tangannya hanya bisa menutup mulutnya karena kaget melihat kondisi warung dan rumah yang tampak berantakan dan sudah tidak berbentuk lagi. Rupanya, ketika Mang Yayat, Mas Parto dan Asep bertemu di jalan. Para warga lain sudah berbondong-bondong terlebih dahulu berangkat ke arah warung termasuk Mang Mumu, dan ketika melihat situasi warung dan rumah, serta aku dan bapak yang terkapar di luar dengan tidak sadarkan diri. Mang Mumu pun kembali ke arah kampung untuk memanggil warga lainnya agar bisa membantunya untuk mengevakuasi tubuhku beserta tubuh bapak yang tidak berdaya disana. “Cepat bantu angkat si Amat ke dalam rumah Pak Darsa, juga angkat juga Pak Darsa yang ada di sana, masuk ke rumah! ” Kata Mang Mumu yang tiba-tiba berteriak kepada semua warga yang ada di dekat warung pada pagi itu.
Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu rumah yang lumayan besar, terbuat dari kayu-kayu hutan yang dibelah menjadi beberapa bagian, dan ditumpuk menjadi dinding rumah. Atapnya masih beratapkan rumbia berwarna hitam, juga beberapa bagian masih memakai daun-daun besar yang sudah dikeringkan dan dianyam agar bisa menjadi atap rumah besar yang tepat berada di pinggir pohon tersebut. Aku kini berdiri di atas rerumputan, kakiku terasa sedang menginjak rerumputan yang masih basah karena sinar matahari belum menerangi sepenuhnya tempat yang aku pijak sekarang. “Dimana ini?” Pikirku sambil melihat ke sekeliling bukit tersebut. Aku sempat melihat kebawah, dan melihat hutan dengan pepohonan yang tinggi mengelilingi hamparan rerumputan hijau yang menjadi tempat aku berdiri sekarang, hutan yang sangat gelap dengan pepohonannya yang memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontra
Wuuush Angin segar dari arah pegunungan kini berhembus dengan sangat kencang ke arah kampung, angin yang membuat siapapun akan merasa nyaman akan hembusannya itu, angin terus-menerus berhembus ketika matahari terlihat sangat terik tanpa tertutup awan sama sekali di atas kampung. Namun, angin segar itu tampaknya tidak bisa menenangkan hati para warga kampung yang masih gelisah akan keadaan kampungnya. Mereka yang seharusnya pergi ke ladang dan ke sawah di hari itu, kini hanya duduk-duduk dan menunggu kepastian atas keluargaku yang sudah tiga jam lalu pergi meninggalkan kampung untuk diobati di kota besar. Mas Parto dan Asep yang tidak ikut ke dalam mobil, kini hanya duduk dan merokok dengan beberapa batang rokok yang ambil di etalase warung yang sudah tampak hancur dengan kacanya yang pecah. Mereka duduk-duduk di dekat rumah. Bersamaan dengan para warga lainnya yang masih menungguku kembali dan berkumpul kembali bersama dengan para warga lainnya di Kampung Sepuh. “Kenapa para makh
Tiang-tiang gapura yang terbuat dari bambu, dengan sebuah plang tulisan berwarna putih yang tampak baru kini telah aku lewati, bersama dengan rombongan warga yang mengantarkan ibu dan bapak melewati tiang gapura itu.Tiang gapura yang tertulis,PEMAKAMAN KAMPUNG SEPUHAdalah sebuah pintu masuk area pemakaman satu-satunya di Kampung Sepuh yang sudah ada seiring dengan adanya Kampung Sepuh beberapa puluh tahun yang lalu.Aku terus berjalan melewati gapura itu dan melihat tanah pemakaman yang membentang luas, di sana terlihat banyak makam dari beberapa generasi, terlihat dari jenis makamnya dari yang memakai batu sebagai nisan makam, hingga terlihat makam yang sudah terlalu tua, bahkan bebatuan yang menjadi nisan makam pun sudah berlumut dan ditumbuhi oleh rerumputan saking tuanya.Hari masih siang tapi suasananya sungguh berbeda, hawa sejuk yang kurasa ketika ku berjalan tadi perlahan menghilang, digantikan oleh perasaan yang dihiasi rasa takut di sekujur tubuh.Apalagi di tengah-tengah
Krik, Krik, Krik,Kroook, Kroook,Kuuuuk, Kuuuk,Suara-suara jangkrik malam, juga kodok sawah yang mulai mengeluarkan suaranya, dan burung hantu pun tak luput mengeluarkan iramanya sesekali, membuat suasana kampung kini terasa lebih sepi dari sebelumnya.Semua orang yang mengantarkan bapak dan ibu ke tempat tinggalnya yang terakhir. Kini hanya berdiam diri di rumah sepulangnya dari pemakaman Kampung Sepuh, tidak ada lagi warga yang tampak berlalu lalang di jalan.Semuanya tampak bersedih, dan berduka atas kepergian dua sosok yang mereka hormati selama hidupnya. Mereka hanya keluar ketika mereka membawa makanan untuk aku makan, mencoba menghiburku agar aku tidak bersedih lagi, dan menawarkan tempat tinggalnya untuk aku tempati beberapa hari, sebelum nantinya aku kembali ke rumah ketika warung dan rumah selesai diperbaiki atas bantuan Pak Camat.Namun, aku menolak semua kebaikan itu. ku lebih memilih bermalam di depan rumah, sambil menunggu warung yang kini sudah tampak tidak berbentuk
Ditengah malam yang dingin menusuk kulit, dengan bintang-bintang yang berhamburan. Menggantikan awan hujan yang kemarin malam menumpahkan air hujannya dengan sangat deras. Terlihat salah satu sosok yang tiba-tiba muncul di kebun depan warung yang kini kondisinya hancur berantakan. Sesosok makhluk dengan wujud kakek-kakek yang sudah tampak tua, dia memakai baju putih panjang dan dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai ke bawah. Wajahnya tidak menyeramkan sama sekali, tubuhnya sedikit bercahaya dan tidak memancarkan aura yang mengancam sama sekali. Kakek itu tersenyum kepadaku, tepat ketika aku mengangkat kepalaku ketika aku merasakan angin malam yang berhembus secara pelan ke dari arah kebun pada malam itu. Aku bisa melihat kakek itu dengan jelas. Meskipun pada saat ini, di sekelilingku tidak ada sama sekali penerangan seperti lampu minyak yang biasanya tergantung di dinding warung ketika malam. Jujur, aku tidak membalas senyuman kakek-kakek itu, karena kejadian kemarin malam y
Aku terdiam mendengar makhluk itu berbicara panjang lebar tentang apa yang terjadi di warung. Beberapa kali dia berkata bahwa Ki Wisesa melakukan perjanjian itu hanya untuk menjaga kampung, menjaga suatu hal yang mengerikan yang membuat sebagian warga kampung mengungsi dan menetap di Kampung Parigi yang aku kenal sekarang. Sesuatu, yang membuat hampir setiap hari ada kejadian orang yang meninggal sehingga Ki Wisesa harus melakukan sesuatu yang menurutnya salah, dan menyesal telah melakukan hal tersebut hingga akhir hayatnya. Sehingga, dia menuliskan sesuatu. Menuliskan sebuah pesan untuk anak cucunya sebelum mereka bertemu dengan makhluk itu sekali lagi, di belakang foto yang kini tersimpan di dalam kotak kecil yang ada di dalam kamarku. Namun, hingga saat ini keturunannya tidak bisa mencapai hal itu. Bahkan bapak yang sudah aku anggap keilmuannya mumpuni pun, tidak bisa menyelesaikan atas apa yang diinginkan oleh Ki Wisesa hingga akhir hayatnya. Hingga, perjanjian itu terus berla
Pemakaman Kampung Sepuh kini lebih ramai daripada biasa, meskipun sekarang sudah masuk hari kedua lebaran di tahun 2022. Namun masih banyak orang-orang yang berdatangan dan berziarah ke makam keluarga dan teman mereka di kampung ini. Kampung Sepuh yang awalnya sepi tiba-tiba mendadak ramai, para warga yang bekerja di kota-kota besar kini kembali pulang untuk menikmati suasana lebaran yang kini lebih bebas dari dua tahun sebelumnya, sehingga para warga yang dulu tidak bisa mudik akibat pandemi kini bisa pulang ke rumah dan berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang menunggunya di kampung. Sedangkan aku (penulis), kini sedang duduk di samping makam Bu Esih, Pak Amat, juga Pak Darsa dan leluhurnya di pemakaman Kampung Sepuh. Ku lihat pula beringin yang di dalam cerita Warung Tengah Malam terbakar habis kini sudah mulai tumbuh daun-daun baru, dan mungkin saja beberapa tahun lagi beringin yang ada di pemakaman itu sudah kembali tumbuh dan rindang seperti sedia kala. “Oh jadi begitu Ma
Beberapa kali aku mengalami kejadian yang seperti ini, batuk-batuk dan muntah darah, lalu dibarengi oleh mata yang berkunang-kunang dan akhirnya aku terjatuh dan tidak sadarkan diri di tanah.Tubuhku semakin menua, staminaku tidak lagi seperti dulu, mungkin inilah kekurangan dari manusia. Mereka tidak bisa mempertahankan stamina ketika umurnya sudah semakin tua. Sehingga, sehebat apapun mereka, tetap saja apabila stamina mereka di kuras habis maka akan ambruk juga.Esih yang curiga dengan keadaanku kini semakin khawatir akan keadaanku menyarankan aku untuk tidak terus-menerus mencari jawaban dari misteri ini ke Gunung Sepuh.Namun, meskipun aku sudah melepas Ujang untuk tinggal di kota besar dan tidak mengharapkan dia pulang kembali ke Kampung Sepuh ini. Tetap saja, rasa khawatir akan kutukan ini masih saja memenuhi pikiranku pada saat itu.Meskipun kondisiku semakin melemah, tapi aku tidak putus asa. Apalagi kini aku mempunyai teman sekaligus sahabat, yaitu Aki Karma. Pemimpin sebuah
Tak terasa, obrolan yang terjadi di warung itu kini aku simpan dalam pikiranku. Rasa ingin menyelesaikan sesuatu yang seharusnya aku selesaikan dengan segera akhirnya membuatku semakin memaksakan diriku untuk masuk ke dalam Gunung Sepuh di setiap harinya. Bahkan saking seringnya, ketika ada tamu yang meminta bantuan untuk permasalahan yang dia miliki, dia harus menungguku pulang terlebih dahulu atau nanti aku akan mendatangi rumahnya ketika mereka tidak menemukanku di warung atau dirumah pada saat itu. Hari demi hari, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun tak terasa aku lewati. Aku sudah mencoba berbagai cara, bahkan kini warung seringkali aku tinggalkan dan ketika aku pulang ketika pagi tiba, aku melihat warung tampak berantakan, karena mungkin para makhluk yang datang tidak menemukan ku di dalam warung untuk aku layani pada malam itu. Aku yang kini lebih bisa menerima para makhluk yang ada tinggal di luar Gunung Sepuh, aku seringkali bertanya kepada mereka tentang situasi Gunu
Ujang, anak yang aku sayangi rupanya tumbuh dengan sehat dan kuat. Aku dan Esih sepakat untuk tidak memberitahu kepadanya tentang warung ini yang sebenarnya.Dia yang selalu bertanya setiap malam ketika dirinya tidak boleh ke warung ketika malam tiba, dan pertanyaan itu dijawab oleh Esih bahwa aku yang menjaga warung setiap malam harus berjuang keras untuk bisa menyekolahkan dirinya sehingga membuka warung di pagi dan siang hari pun tidaklah cukup untuk bisa menyekolahkan dia ke jenjang yang lebih tinggi.Apalagi, ketika malam tiba, Esih seringkali memberikan cerita pengantar tidur, mencoba memberinya cerita-cerita seram seperti tentang tuyul, genderuwo, pocong, kuntilanak, juga para makhluk-makhluk yang seringkali menculik manusia, ketika Ujang masih belum tidur di dalam rumah meskipun malam sudah larut.Esih tahu, bukannya dia menakut-nakuti Ujang, tapi Esih sengaja memberikan cerita itu agar Ujang bisa tertidur dan tidak menanyakan lagi tentang kondisi warung serta kejanggalan-keja
Malam ini, aku sengaja keluar meninggalkan warung dan membiarkannya tampak kosong. Aku sudah tidak tahu terakhir kali aku meninggalkan warung. Terakhir kali aku meninggalkan warung, ketika Wawan menghilang di persawahan ketika sedang bermain dengan teman-temannya, dan akhirnya aku menemukan tubuhnya yang tampak sedang di asuh oleh salah satu makhluk yang bernama kalong wewe yang menganggap Wawan adalah anaknya. Aku berusaha mengambilnya kembali, meskipun perjuangan tampak tidak mudah, karena aku harus melewati Leuwi Jurig yang dipenuhi oleh makhluk yang bernama lulun samak ketika malam tiba. Meskipun begitu, akhirnya Wawan selamat. Aku menggendongnya ke Kampung Sepuh tepat ketika pagi menjelang, ketika para kelelawar kembali ke Gunung Sepuh untuk beristirahat dan mentari pagi dengan sinarnya yang merah ke kuning-kuningan muncul di belakang Gunung Sepuh yang menjulang di pagi itu. Kini, aku kembali keluar. Mencoba sesuatu yang mungkin saja bisa membantuku untuk mencari keberadaan ma
Kehidupan Kampung Sepuh akhirnya berjalan kembali seperti biasa, para warga kembali ke ladang dan sawahnya setiap pagi, dan akan mampir ke warung untuk mengobrol dan bercengkrama tentang apa yang terjadi di hari itu, pada sore harinya sepulang dari ladang dan sawah. Banyak hal yang mereka ceritakan, tentang kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka, tentang berita-berita politik yang susah sekali sampai ke tempat mereka, juga tentang gosip-gosip yang ada di sekitar mereka. Rokok dan kopi serta jajanan dan cemilan-cemilan menemani mereka ketika berkumpul di depan warung di sore itu. Rusdi, Darman , Parman, juga warga lainnya berkumpul dan saling bercengkrama satu sama lain. Sebuah hal yang jarang terjadi di kota-kota besar menurut Darman. Darman yang kembali lagi setelah bertahun-tahun tinggal di kota kini merasakan kembali kehangatan warga Kampung Sepuh yang masih akrab dengannya, Darman pun seringkali membicarakan situasi politik pada saat itu yang kacau balau, banyak pabrik ya
Rasa dingin yang menusuk kulit kini aku rasakan kembali di depan warung yang sangat sunyi dan sepi ini, kejadian yang terjadi dalam seminggu yang lalu membuatku banyak berpikir tentang apa yang aku hadapi di dalam Gunung Sepuh yang gelap itu. Fuhhhhhhhh Asap tebal mengepul keluar dari mulutku, aku yang kembali beraktifitas seperti biasa kini duduk di depan warung seperti biasa. Menikmati suasana malam yang ada di depan warung ini sambil menghisap rokok kretek yang menjadi teman satu-satunya bagiku di setiap malamnya. Aku kembali banyak melamun atas kejadian yang menimpaku pada saat itu, keilmuan yang aku pelajari dan aku asah, rupanya masih belum cukup untuk menjaga keluargaku, bahkan untuk menjaga Kampung Sepuh yang sudah dipercayakan oleh leluhurku sewaktu dia mendapatkan kutukan ini. Apalagi, dibalik rasa senang dan haru ketika Ujang lahir di dunia ini, ada rasa khawatir yang semakin lama semakin besar, rasa yang muncul apabila dia harus menjadi seseorang yang sepertiku, terkeka
“Enggak, enggak, enggak, kamu bukan manusia, kamu bukan karyawanku!”“Mana karyawanku semua, karyawan yang shift malam yang seharusnya bekerja di tempat ini sekarang?”Doni benar-benar panik karena di depannya terlihat sebuah sosok yang tidak dia kenali, wajahnya yang tampak hancur kini terlihat jelas ketika cahaya dari korek apinya menyinari dirinya dari dekat.Doni beberapa kali berteriak memanggil karyawan yang seharusnya bekerja di shift malam pada malam ini, tubuhnya yang awalnya tidak bergerak kini mendadak kaku sehingga dia tidak melarikan diri dan keluar dari ruangan produksi tersebut.“Kenapa, Bapak tidak mengakui kami sebagai karyawan lagi?” Kata sosok itu yang kini tersenyum dengan giginya yang hancur dan menyisakan beberapa gigi yang masih tersisa di dalam wajahnya yang remuk dan tidak berbentuk itu.“Bapak tidak ingat, aku adalah orang yang terkena mesin ini Pak sehingga wajahku hancur, aku seperti didorong oleh sesuatu yang membuat kepalaku terkena mesin press dan mening
Sudah beberapa hari ini, Doni termenung di meja kerjanya, surat-surat resign yang dia terima dari bagian HRD pabriknya kini berserakan di mejanya.Semenjak kejadian itu, karyawan Doni banyak sekali yang mengundurkan diri, tidak hanya karyawan produksi yang selama ini mengawasi mesin-mesin besar untuk pabriknya, namun banyak juga staf-staf di divisi tertentu yang tiba-tiba resign dengan berbagai alasan.Meja Doni kini tampak berantakan, kertas-kertas coretan yang bertumpuk dengan file-file berkas tentang laporan penjualan yang kini menurun akibat kekurangan staf dan pekerja kini memenuhi sebagian meja kerjanya pada saat itu.Alat-alat tulis yang awalnya rapi pun kini berserakan tidak karuan, Doni yang awalnya menyukai kerapihan dan kesempurnaan kini mendadak tidak peduli dengan ruangan kerjanya sendiri. Bahkan, dia lebih banyak termenung sekarang, menyesali semua perbuatannya yang dia lakukan beberapa hari yang lalu.Jujur, dia bukan menyesal karena dia melakukan hal itu, namun dia men