Akhirnya Bab 100 juga, sepertinya bab 100 bukanlah apa-apa dibandingkan dengan berjalannya cerita ini. sehingga nantinya akan bersambung ke cerita WARUNG TENGAH MALAM karena cerita yang menceritakan bapaknya si ujang ini masih panjang dengan konflik-konflik yang berbeda pula jadi jangan lupa VOTE dan KOMEN ya... ramaikan page depan dengan komenannya agar saya semangat terus untuk upload bab nya terima kasih
Sebuah pohon di atas bukit dengan rerumputan yang hijau dan pemandangan yang indah terlihat dari atas gunung. Di bawah pohon tersebut terdapat suatu rumah yang lumayan besar, terbuat dari kayu-kayu hutan yang dibelah menjadi beberapa bagian, dan ditumpuk menjadi dinding rumah. Atapnya masih beratapkan rumbia berwarna hitam, juga beberapa bagian masih memakai daun-daun besar yang sudah dikeringkan dan dianyam agar bisa menjadi atap rumah besar yang tepat berada di pinggir pohon tersebut. Aku kini berdiri di atas rerumputan, kakiku terasa sedang menginjak rerumputan yang masih basah karena sinar matahari belum menerangi sepenuhnya tempat yang aku pijak sekarang. “Dimana ini?” Pikirku sambil melihat ke sekeliling bukit tersebut. Aku sempat melihat kebawah, dan melihat hutan dengan pepohonan yang tinggi mengelilingi hamparan rerumputan hijau yang menjadi tempat aku berdiri sekarang, hutan yang sangat gelap dengan pepohonannya yang memunculkan aura yang menakutkan. Sungguh sangat kontra
Wuuush Angin segar dari arah pegunungan kini berhembus dengan sangat kencang ke arah kampung, angin yang membuat siapapun akan merasa nyaman akan hembusannya itu, angin terus-menerus berhembus ketika matahari terlihat sangat terik tanpa tertutup awan sama sekali di atas kampung. Namun, angin segar itu tampaknya tidak bisa menenangkan hati para warga kampung yang masih gelisah akan keadaan kampungnya. Mereka yang seharusnya pergi ke ladang dan ke sawah di hari itu, kini hanya duduk-duduk dan menunggu kepastian atas keluargaku yang sudah tiga jam lalu pergi meninggalkan kampung untuk diobati di kota besar. Mas Parto dan Asep yang tidak ikut ke dalam mobil, kini hanya duduk dan merokok dengan beberapa batang rokok yang ambil di etalase warung yang sudah tampak hancur dengan kacanya yang pecah. Mereka duduk-duduk di dekat rumah. Bersamaan dengan para warga lainnya yang masih menungguku kembali dan berkumpul kembali bersama dengan para warga lainnya di Kampung Sepuh. “Kenapa para makh
Tiang-tiang gapura yang terbuat dari bambu, dengan sebuah plang tulisan berwarna putih yang tampak baru kini telah aku lewati, bersama dengan rombongan warga yang mengantarkan ibu dan bapak melewati tiang gapura itu.Tiang gapura yang tertulis,PEMAKAMAN KAMPUNG SEPUHAdalah sebuah pintu masuk area pemakaman satu-satunya di Kampung Sepuh yang sudah ada seiring dengan adanya Kampung Sepuh beberapa puluh tahun yang lalu.Aku terus berjalan melewati gapura itu dan melihat tanah pemakaman yang membentang luas, di sana terlihat banyak makam dari beberapa generasi, terlihat dari jenis makamnya dari yang memakai batu sebagai nisan makam, hingga terlihat makam yang sudah terlalu tua, bahkan bebatuan yang menjadi nisan makam pun sudah berlumut dan ditumbuhi oleh rerumputan saking tuanya.Hari masih siang tapi suasananya sungguh berbeda, hawa sejuk yang kurasa ketika ku berjalan tadi perlahan menghilang, digantikan oleh perasaan yang dihiasi rasa takut di sekujur tubuh.Apalagi di tengah-tengah
Krik, Krik, Krik,Kroook, Kroook,Kuuuuk, Kuuuk,Suara-suara jangkrik malam, juga kodok sawah yang mulai mengeluarkan suaranya, dan burung hantu pun tak luput mengeluarkan iramanya sesekali, membuat suasana kampung kini terasa lebih sepi dari sebelumnya.Semua orang yang mengantarkan bapak dan ibu ke tempat tinggalnya yang terakhir. Kini hanya berdiam diri di rumah sepulangnya dari pemakaman Kampung Sepuh, tidak ada lagi warga yang tampak berlalu lalang di jalan.Semuanya tampak bersedih, dan berduka atas kepergian dua sosok yang mereka hormati selama hidupnya. Mereka hanya keluar ketika mereka membawa makanan untuk aku makan, mencoba menghiburku agar aku tidak bersedih lagi, dan menawarkan tempat tinggalnya untuk aku tempati beberapa hari, sebelum nantinya aku kembali ke rumah ketika warung dan rumah selesai diperbaiki atas bantuan Pak Camat.Namun, aku menolak semua kebaikan itu. ku lebih memilih bermalam di depan rumah, sambil menunggu warung yang kini sudah tampak tidak berbentuk
Ditengah malam yang dingin menusuk kulit, dengan bintang-bintang yang berhamburan. Menggantikan awan hujan yang kemarin malam menumpahkan air hujannya dengan sangat deras. Terlihat salah satu sosok yang tiba-tiba muncul di kebun depan warung yang kini kondisinya hancur berantakan. Sesosok makhluk dengan wujud kakek-kakek yang sudah tampak tua, dia memakai baju putih panjang dan dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai ke bawah. Wajahnya tidak menyeramkan sama sekali, tubuhnya sedikit bercahaya dan tidak memancarkan aura yang mengancam sama sekali. Kakek itu tersenyum kepadaku, tepat ketika aku mengangkat kepalaku ketika aku merasakan angin malam yang berhembus secara pelan ke dari arah kebun pada malam itu. Aku bisa melihat kakek itu dengan jelas. Meskipun pada saat ini, di sekelilingku tidak ada sama sekali penerangan seperti lampu minyak yang biasanya tergantung di dinding warung ketika malam. Jujur, aku tidak membalas senyuman kakek-kakek itu, karena kejadian kemarin malam y
Aku terdiam mendengar makhluk itu berbicara panjang lebar tentang apa yang terjadi di warung. Beberapa kali dia berkata bahwa Ki Wisesa melakukan perjanjian itu hanya untuk menjaga kampung, menjaga suatu hal yang mengerikan yang membuat sebagian warga kampung mengungsi dan menetap di Kampung Parigi yang aku kenal sekarang. Sesuatu, yang membuat hampir setiap hari ada kejadian orang yang meninggal sehingga Ki Wisesa harus melakukan sesuatu yang menurutnya salah, dan menyesal telah melakukan hal tersebut hingga akhir hayatnya. Sehingga, dia menuliskan sesuatu. Menuliskan sebuah pesan untuk anak cucunya sebelum mereka bertemu dengan makhluk itu sekali lagi, di belakang foto yang kini tersimpan di dalam kotak kecil yang ada di dalam kamarku. Namun, hingga saat ini keturunannya tidak bisa mencapai hal itu. Bahkan bapak yang sudah aku anggap keilmuannya mumpuni pun, tidak bisa menyelesaikan atas apa yang diinginkan oleh Ki Wisesa hingga akhir hayatnya. Hingga, perjanjian itu terus berla
Beberapa hari setelah kejadian itu, akhirnya warung mulai diperbaiki. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk membetulkan warung tersebut, juga membetulkan rumah para warga seperti Mang Yayat yang pintunya hancur dan harus diganti dengan yang baru. Satu hari setelah kematian kedua orang tuaku, semuanya tampak sibuk. Pak Camat membawa gergaji mesin serta beberapa bahan baku seperti paku, palu, gergaji, serta alat-alat pertukangan lainnya untuk dipakai memperbaiki warung agar seperti sedia kala. Untuk kayu sendiri, para warga lebih memilih untuk menebang beberapa pohon hutan. Untuk dijadikan bahan baku. Awalnya, aku ragu akan hal itu, apalagi hutan yang dijaga oleh para makhluk yang diam di dalamnya, bisa saja tidak terima ketika kita para manusia menebang beberapa pohon hutan untuk keperluan rumah. Namun, beberapa warga yang sudah tahu tradisinya menyarankan aku untuk memotong seekor ayam yang bisa diambil dari Mang Mumu. Memeras darah ayam tersebut, lalu melumuri sekeliling pohon ya
“Bagja? ” Kata Rusdi dan Darman yang heran dengan orang yang ada di depannya. Orang tersebut tampak tersenyum ramah, dengan baju kaosnya yang terlihat baru bergambar superhero, juga celana jeans panjang berwarna biru tua. Serta kacamata hitam yang besar, membuat mereka berdua bertanya-tanya tentang orang yang kini berdiri di depan mereka berdua. “Bentar-bentar Bagja yang mana ya? ” Kata Rusdi heran. “Oh maaf, kayaknya kalau aku pake kacamata pasti susah buat ngenalinnya, ” Katanya sambil membuka kacamata besarnya. Terlihat, sebuah garis tipis bekas luka di bawah matanya. Dan ketika Darman melihat hal itu, dia langsung berdiri dari jongkoknya dan berbisik kepada Rusdi yang masih merokok disana. “Rus, Rus, itu teh si Bagja yang dulu preman di sekolah, yang tukang malak sewaktu kita masuk SMA, inget gak Rus, cuman gara-gara dia kalah kelahi sama si Amat, jadi kita semua gak kena palak dia,” Kata Darman yang tiba-tiba berbisik soal sosok orang itu ketika dia memperlihatkan dirinya tan