Ancaman Ana
"Kamu mau ngapain?" Clara mencebik seolah tidak percaya dengan apa yang Rendy lakukan. Lelaki itu berusaha berdiri meski tahu akan sulit pastinya. Kakinya sudah lama tak mampu bertumpu. Hingga dia lupa rasanya berdiri. Tapi tidak hari ini, dia ingin mereka tahu bahwa dia pasti bisa berjalan seperti dulu.
Bruk ….
Tubuhnya terjatuh ke lantai. Kaki benar-benar tidak bisa lagi bertumpu. Hati semakin hancur ketika melihat kedua wanita yang ada dihadapannya tersenyum. Seolah menertawakan dengan segala kekurangan.
Demi Tuhan, ini begitu menyakitkan. Hingga tidak disadari air mata itu menetes.
"Kamu itu laki-laki, masak nangis? Gak punya malu," ucap Ana penuh kemenangan. Dia benar-benar senang ketika apa yang dia yakini selama ini tidak pernah terjadi. Dia selalu berkata pada Rendy bahwa dia akan lumpuh selamanya. Dan dia akan bergantung selamanya pada Clara, putrinya.
"Rendi … Rendi, kamu itu kok nggak pernah sadar-sadar. Kamu itu akan selamanya seperti ini! Jangan harap semuanya akan berubah. Yang ada kamu akan semakin sakit hati nantinya. Sudah, nikmati saja. Toh, kamu tadi sudah dengar sendiri kan kalau Clara masih mau menampung dirimu!" Wanita tua itu begitu kejam.
"Ow ya, Mas. Kamu simpan dimana sertifikat rumah ini?"
"Apa yang akan kamu lakukan dengan rumah ini?"
"Terserah aku dong, Mas. Aku kan punya hak atas rumah ini. So, mana sertifikatnya?" Tangan Clara menengadah.
"Aku tidak akan pernah memberikan sertifikat itu kepada kalian. Kalian benar-benar manusia tidak punya perasaan."
"Eh, Rendi. Jangan sok kuat kamu, tanpa Clara kamu itu tidak ada apa-apanya. Jadi tidak usah banyak bicara, serahkan saja sertifikat itu padanya! Atau kamu mau kami buang ke jalanan?"
"Silahkan! Tapi sampai kapanpun, sertifikat rumah ini tidak akan pernah aku berikan kepada kalian!"
"Haist, pria lumpuh ini benar-benar merepotkan." Tangan wanita tua itu siap mendarat di pipi. Tapi dengan kekuatan seadanya dia mencoba menangkis, untuk sekarang dan nanti. Rendy tidak akan pernah lagi mengalah. Apalagi ini untuk masa depannya sendiri, tidak akan pernah.
"Apa-apaan kamu, Mas. Dia ini Ibuku, dia ini Ibu mertua kamu, kamu kok tega sih, Mas. Berbuat kasar seperti itu?" Clara mencoba menarik lengan Ibunya, dia begitu marah, sangat jelas terlihat. Rendy yang seorang diri masih tertunduk lemas, mengingat perlakuannya kepada wanita tua itu. Seharusnya tak dia lakukan. Seharusnya dia mengalah Seperti biasa.
Tapi entah kenapa hati dan juga pikiran lelaki itu tak sejalan lagi. Ada rasa ingin membalas semua perlakuan mereka, tak seharusnya mereka seperti ini. Rendy akan membuat Clara meminta maaf padanya dan memohon agar tidak mencampakkannya. Apakah Rendy bisa?
****
"Sayang, makasih ya tadi dah bikin aku seneng. Permainanmu tadi bikin aku ketagihan," tutur Clara manja dengan lelaki tua yang ada dihadapannya saat ini. Clara tidak peduli lagi dengan fisik. Karena yang ia butuhkan sekarang adalah uang dan juga kasih sayang. Meskipun lelaki yang ada di hadapannya ini pantasnya menjadi seorang bapak. Tapi tak mengapa bagi wanita itu yang penting uang terus mengalir pada Clara.
Clara mengecup mesra bibirnya di dalam mobil. Namun netra Clara menangkap sosok pria tengah duduk di kursi roda. Siapa lagi kalau bukan Mas Rendi, suaminya. Suami yang lumpuh tujuh bulan lalu karena sebuah kecelakaan. Bagaimana bisa pria sepertinya bisa memberikan nafkah batin? Mengurus dirinya sendiri saja sulit bagaimana harus mengurus Clara?
Clara mengabaikan sosoknya, hanya bisa dipandangi dari jauh. Melihat dia begitu sedih dan sendu, ini saatnya dia tahu siapa Clara yang sebenarnya. Jika dia mau, dia bisa pergi meninggalkan Clara sekarang juga.
Tapi Clara yakin, dia tidak akan pernah berani menceraikan wanita itu. Dia meyakini itu, karena tidak ada satu keluarga pun yang dia miliki kecuali clara.
Setelah kepergian kekasih Clara ternyata Mas Rendi marah, dia marah besar. Tak seperti biasanya dia hanya diam. Tapi kali ini dia marah hampir seperti Rendi yang dia kenal dulu. Dia begitu tegas dan juga keras. Tapi bukan Clara namanya jika tidak bisa menutupi kekhawatiran. Wanita itu pasti berhasil menutupi semuanya dengan mengolok-oloknya. Membuatnya terus jatuh itu yang membuatnya tak akan pernah bisa berjalan.
Hingga ketakutan terbesarnya adalah ketika dia mencoba berdiri dan melangkah. Tapi beruntung, kakinya masih belum bisa bertumpu. Dia masih lumpuh seperti Rendi yang dulu.
Kini saatnya wanita itu meminta sertifikat rumah ini. Menjualnya untuk bersenang-senang, lalu mencampakan lelaki lumpuh itu. Ah, membayangkannya saja clara begitu tak sabar. Tak sabar membuatnya memohon agar tidak tinggalkan seoarang wanita bernama Clara.
"Kamu jangan lengah, Ra. Rendi lama-kelamaan pasti akan berjalan lagi. Sebelum itu terjadi, habiskan seluruh asetnya. Cari semua aset yang dia punya agar mau menyerahkannya kepadamu. Kamu jadi istri harus pintar, jangan kamu besarin nafsunya saja! Lelaki tua bangk* seperti itu kamu pacari. Apakah tidak ada mencari yang lebih muda sedikit?!" Ibu marah seperti biasa. Dia tidak pernah menilai ku benar dimatanya. Clara selalu menjadi pelampiasan amarahnya jika dia mempunyai banyak masalah.
"Masalah Mas Rendi percayakan sama Clara. Akan Clara pastikan semua aset yang dia miliki diserahkan kepada Clara. Tapi ingat, Bu. Aku tidak mau mendengar Ibu mempunyai hutang lagi. Membuatku frustasi saja!"
Ibu mencebik. Dia benar-benar tidak suka akan ucapan putrinya saat ini. Dia pergi begitu saja menuju kamarnya. Ibu ikut tinggal disini bersama clara sejak dia menikah dengan Mas Rendi. Dia wanita cukup pintar hingga semasa Mas Rendi belum lumpuh banyak uang yang mengalir dalam rekeningnya.
Bibir wanita itu menganga, matanya membulat sempurna ketika mendengar perkataan yang keluar dari mulut Mas Rendi. Apakah ini tanda bahwa dia akan kembali seperti Rendi yang dulu?
"Maksud kamu apa, Mas. Bicara seperti itu?" Tangan wanita itu mengepal. Menahan amarah. Jelas, Clara jelas marah jika Mas Rendi memperlakukan dirinya seperti itu.
Dia Ibumu bukan Ibuku POV Author 'Apa yang harus aku lakukan? Ya Allah beri aku petunjuk.' Rendi berbicara dalam hati. Mendengar Clara meminta sertifikat rumah ini. Dia pasti akan menghabiskannya untuk bersenang-senang dengan lelaki tua itu. Padahal, semua aset yang Rendi miliki adalah hasil dari kerja kerasnya dahulu. Dia tidak akan membiarkan mereka mengambilnya begitu saja. "Kamu bisa memilih, Clara. Tinggal disini bersamaku atau keluar dari rumah ini bersama Ibu." "Maksud kamu apa, Mas? Dia ini Ibuku lho. Kamu tidak bisa mengusir dia dengan mudah, sedangkan aku ini anak kandungnya." "Dia Itu Ibumu tapi bukan Ibuku." "Eh, Rendi. Jangan sombong ya, kamu itu lumpuh kalau bukan karena anakku mana bisa kamu hidup enak seperti ini! Sekarang malah sok-sokan mengusirku dari rumah ini. Jangan mimpi, aku tidak akan pergi, seharusnya yang pergi itu kamu!" Suara Ana begitu lantang. Dia sangat marah ketika Rendi mengatakan itu. Dia harus pergi dari rumah ini. Agar rumah tangga Rendi ma
#Rania"Saya Rania, wanita yang tadi Anda bantu." Rendi mengangguk dia ingat. Setelah kepergian wanita itu dia membayar semua hutang-hutangnya dan meminta pemilik warung memberinya beras. Penampilan wanita tadi berbeda, sangat berbeda hingga Rendi tak bisa mengingatnya. "Oh," jawab Rendi singkat."Saya mau mengucapkan terima kasih banyak, tapi maaf saya belum bisa mengembalikan uang Anda.""Ndak perlu, saya ikhlas.""Tapi maaf, saya Tidak terbiasa mendapat bantuan secara cuma-cuma.""Tidak apa-apa, anggap saja saya bersedekah." Rendi masih bersikap biasa saja. Wanita itu memang tidak ada yang spesial jika dilihat. Mereka memang tetangga, tapi tak saling kenal. Jarak rumah antara keduanya bisa dibilang cukup jauh. Jadi wajar jika mereka tidak saling mengenal."Dengan Bapak siapa ya kalau boleh tahu?""Rendi," jawab Rendi biasa saja.Deru mobil terdengar berhenti tepat di depan rumah Rendi. Lelaki itu tahu siapa yang datang. Netra kedua insan yang tengah berhadapan itu saling menatap k
Bab 5 Talak Teriakkan Clara begitu memekikkan telinga. Dia begitu histeris ketika melihat koper miliknya sudah siap. Dia juga melihat apakah koper itu benar- benar berisi pakaian miliknya. Jika itu terjadi berarti Rendi sudah kehilangan akal. "Apa sih Clara teriak-teriak kek orang kesurupan gitu?" tanya Ana, Ibu Clara. "Ini, Bu. Lihat Mas Rendi benar-benar mengusir Clara." "Laki-laki cac*t itu benar-benar keterlaluan. Jika tidak ada kita memangnya dia mau hidup dengan siapa? Dia benar-benar cari masalah," ucap Ana sambil berkacak pinggang. Lalu pergi ke kamarnya memastikan apakah dia juga ikut diusir oleh Rendi dari rumah itu. "Allahuakbar, Rendi kamu bener-bener ya!" Teriakan Ana juga terdengar dari kamarnya. Clara yakin bahwa pakaian Ana sudah rapi dalam koper. Mereka tidak pernah menyangka Rendi akan berbuat senekat ini. "Mas, aku ini istrimu lho. Mau tinggal dimana aku? Lagian siapa yang akan mengurusmu nanti?" "Aku bisa lakukan semuanya sendiri. Nggak perlu khawatir!"
Kehilangan arahRendi tertunduk. Matanya mengembun, dia tidak pernah mengira jika kata talak benar-benar sudah diucapkan. Dia harus bisa menerima semuanya. Hidup sendiri tanpa ada orang yang menemani. Meskipun pernikahan yang ia bangun masih seumur jagung. Namun dia harus bisa menerima. Jika Clara bersamanya terus bukan hanya Rendi yang akan terluka tapi Clara juga akan terluka. Dia butuh sentuhan butuh nafkah batin. Sedangkan Rendi, dia tidak bisa memberikannya. Rendi sudah memikirkan matang-matang keputusannya ini. Selama ini dia cukup pandai mengurus hidupnya sendiri. Jadi jika tidak ada lagi Clara dia sudah bisa menjalani hidupnya seperti biasa.Meskipun tak pernah ia pungkiri. Dia masih menyimpan cinta itu untuk Clara. Tapi luka yang diberikan wanita itu juga terlalu dalam. Cukup untuk mengubur rasa itu dalam-dalam.****"Bu, kamu itu jangan tertipu dengan muka Rendi yang sok lugu itu. Dia memang begitu kok!" ucap Ana sembari memberikan kode pada Clara.Clara hanya diam dia me
Putus AsaIni malam pertama bagi Rendi tanpa Clara tanpa Ana. Dia benar-benar sendiri. Benar-benar merasakan sepi. Rendi kembali menatap kakinya. Dia benar-benar putus asa. Tanpa ada satu orang pun yang menguatkannya. Lelaki itu malam ini begitu lemah. Hingga dia berpasrah kepada Allah. Mencurahkan segala gundah dalam hati. Meminta diberikan kekuatan dan juga kesabaran.Rendi duduk termenung di sisi Ranjang. Dia benar-benar berusaha keras melakukan semuanya sendiri. Meskipun baginya begitu luar biasa sulitnya.Bayangan Clara sekelebat terbesit dalam pikirannya. Clara yang cantik, anggun dan juga cerdas. Dia wanita yang mengagumkan. Hingga akhirnya Rendi jatuh hati pada wanita itu.Dulu dia berharap Clara adalah wanita terakhir untuknya. Wanita terbaik dan juga wanita tercantik yang ia miliki. Namun sayang, takdir membuat Clara berkhianat. Ketika Rendi tak lagi bisa memberi nafkah batin.Kini takdir benar-benar berjalan. Takdir yang akan memisahkan mereka. Tak pernah ada rencana maupun
Rania menyelesaikan tugasnya di depan rumah. Kini dia berniat mencuci baju di halaman belakang. Satu persatu baju dia pisah lalu ia masukan dalam mesin cuci. Sesekali matanya melirik di celah-celah pagar besi yang menjadi pembatas antara rumah Bu Husen dengan Rendi. Entah mengapa perasaannya selalu tertuju pada rumah orang baik yang sudah membantunya tempo hari. Matanya membulat sempurna karena mendapati sosok yang ia cari sedang menangis sesenggukan. Rania kembali menajamkan indera penglihatannya agar bisa jelas melihat Rendi sedang melakukan apa? Mata Rania memindai, melihat tangan Rendi sedang memegang sebotol obat nyamuk. "Astagfirullahaladzim, Mas … Mas Rendi, mau ngapain?" Rania menggedor-gedor pagar besi. Berharap Rendi mau merespon panggilannya. Namun sayang, Rendi masih fokus dengan barang ditangan. Seperti kehilangan arah, lelaki itu kembali menangis tersedu-sedu. Padahal semalam dia sudah mencurahkan isi hatinya pada Tuhan. "Ya Allah, Mas Rendi. Istighfar," teriak
Kejutan besar"Lihat, Pak RT. Mereka sedang berzina. Jangan buang-buang waktu. Kita arak saja, seperti kebanyakan pelaku zina yang sudah tertangkap basah. Daripada nanti mereka kabur!" tutur Clara dengan nada bicara menggebu-gebu. Wanita itu benar-benar lupa, lelaki yang dia fitnah baru saja adalah suaminya sendiri. "Sabar … sabar, Mbak Clara. Semua bisa dibicarakan baik-baik, kita akan mengambil keputusan jika semua sudah jelas.""Lho Pak RT ini bagaimana? Mereka ini jelas-jelas berzina, nggak bisa dimaafkan. Menjijikan!" sahut Ana dengan lantang. Wanita tua itu berusaha mengompori warga. Namun sayang, tak ada satupun yang mengucapkan sepatah kata. Mereka hanya terdengar saling kasak-kusuk dari belakang."Ayo kita duduk dulu, tolong Pak, Mas Rendi di bantu ke ruang tamu. Kita bicara baik-baik disana." jawab Pak RT dengan penuh ketenangan. Beruntung tadi Pak RT sedang berada di rumah, jika tidak mungkin akan berbeda cerita."Sekarang Mbak Clara silahkan menjelaskan kronologinya. Baga
POV RendiAku masih tidak percaya dengan apa yang akan aku lakukan. Sepertinya aku sudah kehilangan akal. Hingga berniat mengakhiri hidup.Tapi niatku itu urung kulakukan ketika Rania, wanita yang pernah aku tolong malah menghentikannya.Entah dari mana hati wanita itu? Dia rela difitnah untuk menyelamatkan hidupku. Kini kami di sidang oleh Bapak RT maupun warga terdekat. Banyak yang menyayangkan perbuatanku. Tapi mereka tidak tahu apa yang aku rasakan. Mereka hanya melihat sisi dimana aku begitu putus asa.Beruntung para tetangga dan juga Pak RT yakin jika kami tidak melakukan zina. Seperti apa yang dituduhkan Clara pada kami. Dia hanya menuduh tanpa memberi barang bukti. Aku bernafas lega, akhirnya semua pergi dari rumahku. Tapi tidak dengan Clara dan ibu mertua. Mereka masih disini. Mencibir dan juga terus saja menjatuhkan mental. Bayangkan, aku seorang laki-laki yang semula normal menjadi lumpuh alias cacat karena sebuah kecelakaan. Apa kalian tidak bisa merasakan apa yang aku
EndingRania kembali ke rumah Rendi pada akhirnya. Mereka mencoba memulai dari awal. Rania juga lebih berhati-hati dalam bertindak. Tingkahnya beberapa hari lalu dengan Rendi justru menjadi bahan gunjingan para tetangga. Hingga dia dipertanyakan apakah akan bercerai atau tidak? ***"Hari ini kita akan survei rumah. Rumah yang seperti apa yang kamu inginkan?" tanya Rendi pada Rania ketika mereka tengah duduk di kursi teras. "Terserah Mas Rendi aja, yang penting nyaman untuk kita." Rania menyuapi Salsa dengan telaten."Mam … mam ...mam." Bocah berumur dua tahun itu berceloteh. Meski masih belajar, Salsa rupanya sudah cukup pintar. Dia sudah bisa memanggil Ibunya dan juga Ayahnya. Ah, benar-benar bayi menggemaskan.Srutt Rendi menyesap kopi yang hampir habis.Lalu meletakan kembali gelas itu di atas meja. Pandangan Rendi kini tertuju pada tanaman yang subur dan juga segar. Rania ke warung sebentar ya, Mas." Rania beranjak dari duduknya namun dicegah Rendi."Mau beli apa? Biar Mas aja
KembaliRania membereskan piring dan gelas kotor setelah selesai menikmati sarapan pagi. Reni pergi meninggalkan mereka bertujuan agar mereka bisa berbicara dari hati ke hati.Rendi melangkah pelan. Mendekati wanita yang masih sah sebagai istrinya.Berdiri di depan wastafel sedang mencuci piring."Maaf, untuk kemarin. Seharusnya Mas bisa mengontrol emosi.""Ndak papa, Mas. Rania juga salah, Rania seharusnya tidak menyimpan dendam apalagi niatan untuk membalasnya.""Kamu nggak papa?""Nggak kok, Mas. Rania nggak papa.""Maaf, seharusnya aku jelaskan semuanya.""Rania sudah tahu semuanya. Seharusnya Rania mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Bukan malah menyalahkan Mas Rendi."Rania selesai mencuci lantas mengeringkan tangannya dengan lap bersih. Lalu pandangannya beralih pada lelaki yang berdiri dihadapannya.Rendi membuka tangannya, memeluk sang istri untuk menguatkannya. Rendi tidak akan bisa membayangkan betapa terlukanya hati Rania saat ini. Andai dia tahu suaminya telah berk
Rendi mencoba memahamiRendi duduk termenung. Pikirannya memang sedang kalut. "Astagfirullahaladzim," ucap Rendi sembari beranjak dari duduknya. Mengambil wudhu lalu bersimpuh memohon ampun pada Allah. Tetesan bening meluncur begitu saja di pipi tanpa dikomando. Semua keluh dan juga risau nya ia curahkan pada sang Khalik. Segera ia meletakan sajadah dan juga saring beserta peci. Menjatuhkan bobot tubuhnya di sisi ranjang. Amarah sesaat membuatnya tak karuan. Semua bukan salah Rania sepenuhnya. Dia juga salah kenapa tidak mau menjelaskan secara rinci. Agar sang istri bisa menerima dan sama-sama saling memaafkan. Rendi melirik jam yang berada di atas nakas. Jam menunjukan angka delapan belum terlalu malam jika dia ingin pergi ke rumah Rania.Tak lupa Rendi membersihkan semua sudut ruangan yang tadi ia lempar dengan membabi buta. Lalu berganti pakaian berniat pergi ke rumah Rania. Senyumnya selalu mengembang ketika berpapasan dengan para tetangga. "Mas Rendi mau kemana?" tanya sala
Nasib Clara"Kamu ini gimana sih, Clara? Sekarang jadi janda. Malah tua bangka itu juga ikut-ikutan ninggalin kamu. Terus kita mau makan apa? Arisan Ibu juga banyak yang belum dibayar!""Bu, kan Ibu sendiri lihat istrinya datang ngelabrak Clara. Di depan para tetangga pula. Sekarang mana berani Clara nyamperin dia. Lelaki tua itu sekarang kemana-mana sama bininya, Bu!""Haist, kamu itu kurang pintar. Kurang menggoda. Terus kita mau hidup pake apa? Ha? Ibu nggak mau ya kalau kita melarat!""Terus Clara mesti gimana, Bu?""Ya kerja lah! Apa cari laki yang kaya. Gimana sih kamu ini? Punya ot*k tu buat mikir jangan cuma dandan aja yang menor.""Clara capek, Bu!""Capek? Ibu juga capek jadi orang miskin!""Salah Ibu juga kenapa sama Mas Rendi nggak mau baik?!""He, Clara. Baik gimana? Wong orang cac*t nggak guna gitu. Nyusahin," ucap wanita tua itu dengan mata berapi-api. Entah mengapa setelah kepergian Clara dan juga ibunya dari rumah Rendi. Kehidupan mereka semakin ruwet. Ditambah Clara
Kesembuhan Rendi"Minta kecup sini boleh?" Rania memainkan bibirnya dengan jari telunjuk."Haist …." Lelaki yang ada di hadapannya bergidik ngeri melihat mantan janda yang ada di sisi ranjang sedang merayu.Rendi berusaha menetralisir pikirannya yang sudah keliling dunia.****Dua bulan kemudianSetiap hari Rania menyiapkan jus. Berganti buah dan juga menyediakan Rendi segelas susu. Rania hanya meminta Rendi setiap pagi berolahraga. Meskipun dalam keadaan duduk. Rendi semakin dekat dengan Salsa. Apalagi balita mungil itu sangat menggemaskan dengan pipi yang chubby.Rendi juga memutuskan pergi ke rumah sakit. Menjalankan terapi yang dulu pernah ia lakukan namun berhenti ditengah jalan karena putus asa. Kini Rania dan juga Salsa adalah penyemangat baru untuk Rendi menghadapi kenyataan. Keputusan terbesar Rendi adalah berkata jujur pada Rania. Bahwa dia masih melakukan pekerjaan di rumah dan mendapatkan gaji lumayan besar.Dan juga dia mengatakan masih memiliki beberapa aset tanpa dike
DilabrakClara segera membuka pintu kontrakannya dengan penasaran. Seketika matanya membulat sempurna melihat sesosok wanita yang tengah berdiri dihadapannya. Dia tahu itu siapa.Plak ….Tamparan cukup keras mendarat di pipi mulus Clara."Wanita mura*an!" ucap wanita yang umurnya sebaya dengan Ana dengan berapi-api. Tangannya mengepal sedangkan rahangnya mengeras. Seluruh giginya gemeretak menahan amarah."Ma-maksud Anda apa?" Ana mencoba bertanya. Meskipun dia tahu wanita ini siapa."He, kamu memang bod*h atau sengaja pura-pura bod*h. Anak perempuanmu ini bermain api dengan suamiku. Bermain api dengan lelaki yang pantasnya dianggap bapak olehnya!" "Maksud Ibu apa? Anda tidak ada bukti ya?" Suara Clara ikut meninggi. Membuat para warga yang tinggal di samping kanan maupun kiri keluar untuk sekedar melihat kerusuhan yang ada. Tak sedikit mereka saling berbisik."Inikan yang katanya bercerai karena nggak dikasih jatah sama suami itu kan?""Iya, dia kurang jatah dari suaminya. Jadi mint
BAB 13Perhatian RaniaRendi menyesap kopi yang sudah disiapkan istrinya.Sruttt ….Rasa pahit kopi beradu dengan manis gula yang pas. Tak terlalu pahit dan juga tak terlalu manis. Rania memang pintar membuat kopi. Pagi ini Rendi merasakan betul bagaimana diperhatikan istri. Dibuatkan sarapan, dibuatkan kopi. Dan tunggu sedang apa Rania itu? Membawa sebuah pencukur rambut atau pencukur kumis? Ternyata keduanya."Mas, kamu kok nggak rapi sih? Sini biar aku cukur kumis sama jambang kamu yang seksi itu." Rania tersenyum lalu kembali meletakan Salsa di stroller. Mengambil perlengkapan mencukur yang sudah disiapkan."Nggak perlu, sudah jam delapan nanti telat!""Ndak papa, sebentar saja." Rania memaksa. Rania mendorong Rendi sedikit menjauh dari meja makan. Menutupi badan Rendi dengan kain yang dililitkan di leher. Rania benar-benar niat mencukur Rendi. Dia sudah menyiapkan semua alatnya dengan lengkap."Apa yang akan kamu lakukan?""Sudah Mas Rendi diam saja. Nanti pasti tambah ganteng
Kedatangan mertua terdahulu"Kamu dengar sendiri apa kata istriku! Aku ini sudah mempunyai istri baru. Seharusnya kamu menghormati itu. Tapi jika kita berpisah bukannya itu lebih baik buat kamu? Agar bisa leluasa menjalin hubungan dengan pacar tuamu itu?""Aku dah ninggalin dia, Mas. Aku pengen kita rujuk lagi. Seperti dulu, kita akan jalani ini sama-sama." Clara mencoba mendekati Rendi. Namun dengan cepat Rania menghalangi. Wanita itu benar-benar menjaga suaminya agar tak tersentuh oleh tangan calon mantan istri."Mbak Clara telat, Mas Rendi sudah memilih saya. Jadi … Mbak Clara seharusnya nggak mengganggu hubungan kami. Silahkan Mbak Clara pergi! Mbak Clara sudah tahu dimana pintunya kan?" "Pelakor, kamu itu pelakor. Mencuri lelaki dari suami orang!""Saya tidak pernah mencuri. Saya hanya mengambil sesuatu yang gak pernah dianggap olehmu! Saya hanya ingin menjaga lelaki hebat yang kau anggap hina ini!"Clara mencebik lalu pergi meninggalkan Randi maupun Rania. Clara benci akan sika
POV Author"Sah," ucap para saksi lantang dan keras. Pernikahan yang digelar Rendi dan juga Rania begitu sederhana. Hanya ada beberapa warga dan juga kerabat. Itu pun bisa dihitung dengan jari."Ih, paling ini cuma akal-akalan si Rania. Dia kan janda, mana mungkin ada wanita yang mau menikah dengan pria Caca* kek dia," ucap para tetangga dengan sedikit berbisik. Meskipun demikian indera pendengaran Rania masih bisa mendengar dengan jelas."Iya, lagian nggak mungkin kalau dia mau menikah tanpa ehem-ehem. Ye kan?""Ehem-ehem apaan sih, Jeng?""Itu belah duren.""Ow, itu. Kan yang penting dapet duit. Model-model kek Rania kagak tahu aja!"Kasak-kusuk omongan para tetangga terdengar juga di telinga Rendi. Dia masih diam, dia menerima permintaan Rania. Entah karena apa? "Lagian, Jeng. Surat perceraian sama si Mbak Clara kan belum turun. Eh, dah kawin lagi, doyan banget nikah. Emangnya nggak takut kalau dikhianati lagi?" "Namanya juga laki, Jeng. Kayak gak pernah aja! Hahaha." Suara itu t