Bab 5

Bab 5

Talak

Teriakkan Clara begitu memekikkan telinga. Dia begitu histeris ketika melihat koper miliknya sudah siap. Dia juga melihat apakah koper itu benar- benar berisi pakaian miliknya. Jika itu terjadi berarti Rendi sudah kehilangan akal.

"Apa sih Clara teriak-teriak kek orang kesurupan gitu?" tanya Ana, Ibu Clara.

"Ini, Bu. Lihat Mas Rendi benar-benar mengusir Clara."

"Laki-laki cac*t itu benar-benar keterlaluan. Jika tidak ada kita memangnya dia mau hidup dengan siapa? Dia benar-benar cari masalah," ucap Ana sambil berkacak pinggang. Lalu pergi ke kamarnya memastikan apakah dia juga ikut diusir oleh Rendi dari rumah itu.

"Allahuakbar,  Rendi kamu bener-bener ya!" Teriakan Ana juga terdengar dari kamarnya. Clara yakin bahwa pakaian Ana sudah rapi dalam koper. 

Mereka tidak pernah menyangka Rendi akan berbuat senekat ini. 

"Mas, aku ini istrimu lho. Mau tinggal dimana aku? Lagian siapa yang akan mengurusmu nanti?"

"Aku bisa lakukan semuanya sendiri. Nggak perlu khawatir!"

"Tapi, Mas. Apa kata tetangga. Ini sudah sore lho bentar lagi malam. Aku mau tidur dimana?"

"Di hotel lah, kamu kan sering tidur di hotel. Ya kan?" Kini jawaban Rendi sangat menohok. Dia seolah-olah tahu kemana saja istrinya selama ini. Dia juga begitu dingin, bukan seperti Rendi yang dulu. Perhatian dengan Clara dan Ibunya dengan hal-hal kecil. Memberi hadiah dan juga kejutan indah padanya.

Tiba-tiba saja Clara rindu. Rindu akan Rendi yang dulu. Bagaimanapun Clara mencintai Rendi. Dia berat meninggalkan rumah ini. Rumah yang sudah banyak memberikan kenangan manis.

Clara tahu dia yang salah. Berkhianat pada cinta Rendi yang tulus. Mendua hanya karena Rendi tidak bisa memberinya nafkah batin. Benar-benar cinta yang dangkal.

Rendi tidak menyangka jika wanita yang ia eluh-eluhkan selama ini mau mengkhianati dirinya. Hanya karena nafkah batin, setidaknya mereka berusaha membuat Rendi bisa berjalan kembali. Bukan malah mencari kebahagian sendiri. Sedangkan Rendi berjuang mati-matian sendiri agar cepat bisa seperti dahulu lagi.

Tapi mungkin saat ini Rendi sudah ada di titik marah. Dititik kecewa, membuatnya memberanikan diri mengusir wanita yang masih terpahat apik dalam hatinya.

Lelaki itu berubah menjadi dingin. Sedingin es kepada Clara.

"Mas, kita bisa bicarakan ini baik-baikan?"

Clara mencoba memohon kepada suaminya, tidak mungkin jika malam ini dia harus tinggal di jalanan. 

"Pikirkan sendiri apa kesalahanmu!"

"Rendi, kamu ini mbok pikirannya jangan dangkal-dangkal. Kamu itu lelaki tho, jika posisimu sekarang diganti Clara. Apa nggak mungkin kamu juga selingkuh? Kamu memang nggak butuh nafkah batin. He? Jangan sok suci kamu!"

"Apakah harus berkhianat? Ketika suaminya sedang berjuang mati-matian agar bisa kembali normal? Terlalu egois, Bu."

"Egois? Terus menurutmu kamu sekarang ini nggak egois? Mau tidur dimana kita nanti? Di Kolong jembatan? Tega kamu, Ren!" Ana mencebik dia benar-benar kehilangan akal harus bagaimana. Yang ada dalam hatinya hanya terus mengumpat.

Rendi diam, dia tak pernah berfikir sejauh itu. Dia hanya lelah, melihat Clara terang-terangan selingkuh didepan matanya.

"Mulai saat ini kamu bukan lagi istriku, pergilah dari rumah ini!" Kata talak yang begitu menusuk hati Clara. Dia benar-benar tidak menyangka jika Rendi akan seberani itu. Karena Clara yakin jika Rendi selama ini mau bersabar dengan tingkahnya. 

"Kamu menjatuhkan talak untuk istri kamu?!" Ana terdengar tidak percaya. Dia benar-benar tak percaya jika Rendi berani melakukan itu.

Clara diam, matanya mengembun. Entah kenapa hatinya juga terasa sakit. Rendi benar-benar sakit hati hingga dia bertindak sejauh ini. Tapi apa tidak ada kesempatan kedua untuk Clara?

"Mas, beri aku kesempatan. Aku akan perbaiki semua!"

"Cukup, Clara. Jangan memohon seperti itu pada lelaki cac*t seperti dia. Hatinya mungkin sudah tidak ia miliki, dia terlalu sombong dengan hidup seperti ini!" Ana benci ketika melihat Clara memohon pada suaminya. Tapi tidak dengan Clara, meski dia mendua tapi hatinya masih ada Rendi didalamnya. Dia masih mencintai Rendi, hanya saja dia butuh sentuhan. Itu saja.

"Mas, kasih aku kesempatan. Aku akan berubah!" Clara tak mendengarkan Ana dia kembali memohon.

"Tidak ada kesempatan kedua, pergilah. Carilah kebahagiaanmu sendiri!" Rendi dengan jelas dan sadar mengatakan itu. Tak ada air mata atau guratan kesedihan terlihat dari wajahnya. Clara yang melihat itu terasa nyeri pada hatinya. Seolah memang Rendi sudah tak menginginkannya. Itu menambah rasa sakit yang dirasakan Clara. 

"Ayo, Clara kita pergi! Jangan bilang kalau kamu masih mencintai lelaki lumpuh seperti dia!"

"Cukup, Bu. Jangan kau urusi urusan rumah tanggaku. Sekarang biarkan aku yang menghadapi sendiri!" Clara berteriak, dia mungkin juga lelah mendengar ucapan Ana, mungkin Clara ingin memutuskan sendiri. 

Ana mencebik dia pergi begitu saja tanpa pamit. Menyeret kopernya keluar dari rumah itu.

"Pergilah, bukankah ini keinginanmu?!" Entah mengapa sikap Rendi yang seperti ini membuat Clara benci.

"Mas, kasih aku kesempatan." ucap Clara pelan. Dia tidak lagi bisa berteriak. Matanya mengembun, entah mengapa Clara yang garang dan juga Clara yang liar berubah. Apakah cintanya untuk Rendi masih ada? Ataukah hanya sandiwara saja? 

"Pergilah, cari kesenanganmu. Buat dirimu bahagia!"

"Tapi kamu?"

"Aku baik-baik saja tanpamu!" Rendi begitu dingin, amat sangat dingin. Membuat Clara menangis juga. Dia tidak bisa lagi menahan tangisnya. Dia pergi dengan menyeret koper yang ada Di dekatnya. Dengan pikiran tak karuan dia melangkah sembari mengusap jejak air mata. Mencari keberadaan Ibu nya yang sudah lebih dulu pergi. 

Dia melihat sang Ibu duduk di warung yang tak jauh dari rumahnya. Tangan wanita tua itu melambai, meminta Clara mendekat. Dengan langkah sedikit ia percepat, Clara mendekat. Lalu menghempaskan tubuhnya dikursi yang ada dihadapan Ana.

"Bu, satu lagi ya makannya. Lauknya dibikin sama saja, sama esteh satu." teriak Ana pada pemilik warung yang tengah menyiapkan makanan.

"Iya, Jeng Ana." sahut pemilik warung.

"Clara lagi nggak pengen makan, Bu."

"Udah nggak usah lebay, tanpa Rendi kita masih bisa hidup. Dia sudah nggak berarti lagi, jika kamu diceraikan sama dia. Itu keberuntungan kamu. Kamu nggak perlu repot-repot ngurusin dia!"

"Wah, Mbak Clara bercerai sama Mas Rendi?" Tiba-tiba saja pemilik warung itu sudah ada diantara mereka. 

Ana pun gelagapan. Dia tahu jika berita ini sampai di warung ini urusannya bakal puanjang kek kereta. Secara pemilik warung ini mulutnya kek dikasih minyak, licin.

"Biasa, Bu. Rumah tangga." Ana hanya bisa mengatakan itu. Dia tidak mungkin bicara jika anak satu-satunya yang dimilikinya diceraikan karena ketahuan selingkuh. Bisa-bisa nama baiknya tercoreng. Meskipun Ana tahu dia tak lagi memiliki nama baik.

"Mas Rendi itu baik lho, Jeng. Dia kemarin saja bantu Rania, janda rumah diujung jalan itu."

"Mereka ada main, Bu. Nggak mungkin kan Rendi mau bantu orang nggak dikenal?!"

"Masak sih, Jeng? Sepertinya Mas Rendi nggak kayak gitu deh!"

"Itu yang kamu lihat, tapi kenyataanya kan seperti itu. Makanya Clara diceraikan. Karena Clara memergoki mereka selingkuh."

"He?"