Rania menyimpan ponsel setelah membaca pesan Alfi yang mengatakan di Car Free Day mereka bertemu Rian, adik Rania. Satria di ajak ke Time Zone, dan kemungkinan mereka akan pulang sore.
“Bagus lah, aku juga rasanya butuh menenangkan diri. Aku gak siap berantem sama mas Alfi soal Agil ada disini.” Karena lelah berdiri seharian di dapur, Rania memilih duduk santai di sofa ruang tamu agar lebih mudah memantau Agil. Ia juga sudah meminta bantuan satpam komplek untuk mengawasi Agil. Ia meraih paha dan betisnya kesusahan ketika tangannya akan memijat. “Kalo Agil tiap hari dititip disini aku bisa cepet ngumpulin uang. Satria juga harus libur beli mainan dulu. Buku ceritanya juga. Aku unduh pdf terus print sendiri aja kayaknya biar lebih menekan biaya. Jadwal makan diluar juga harus dikurangin, dengan gitu pasti tabungannya cepet kumpul.” Rania menutup mata sambil merabahkan punggungnya ke belakang sofa sambil merasakan pergerakan janinnya diperut.“...kak Arbi bisa bantu?” Belum sempat Arbi menjawab, Agil berlari menghampirinya, “Papaaaa. Pa, aku laper.” Rania baru ingat ini jam makan siang Agil, “Agil, tante udah bikinin makanan favoritnya Agil. Kita makan yuk, kak, yuk, kita makan bareng.” “Iya, Ran.” Mereka makan siang bertiga. Arbi terus-terusan melirik Rania yang terus menawari sayur pada Agil. Rania tahu Agil tidak suka sayur sama sekali. “Ayo coba aja dulu, nanti kalo gak suka ya udah gak papa, gak usah di makan.” “Gak mau, gak enak.” “Agil tahu gak enak dari mana?” Agil tak menjawab. Ia malah berdiri sambil memakan perkedel Kentang. “Agil makannya sambil duduk ya,” Rania membantu Agil duduk di kursi, “Ini Wortelnya coba sedikit ya? Dikit aja. Mau gak?” “Ya udah.” Rania menyiukkan satu potong Wortel dalam Capcay, “Nah, cobain.” Agil mengambilnya dengan tangan telanjang. Ia mengunyahnya pe
Arbi baru saja pulang bersama Agil. Untungnya Alfi dan Satria masih di perjalanan sehingga mereka tidak bertemu. Baru saja Rania duduk di meja makan, suara klakson mobil Alfi terdengar nyaring. Terdengar juga teriakan Satria dan tawa seseorang yang amat ia kenal. Rania bangkit dan berjalan menuju teras rumah. “Rian?” “Kak?” Mereka berpelukkan. “Kamu apa kabar?” “Baik, kak.” Rian menatap dan mengusap perut besar “Udah USG?” Rania mengangguk, “Perempuan.” “Wah, dia pasti cantik dan penyabar kayak kakak.” Rania tertawa, “Kamu udah makan belum?” “Udah kok, tapi kalo kakak mau kasih lagi, kenapa nggak?” Mereka tertawa. “Hm, mentang-mentang ada adeknya, suaminya sampe gak ditawarin minum.” sindir Alfi karena cemburu. “Ya ampun, mas, kamu sama Rian aja cemburu.” “Harus dong. Aku mandi dulu ya.” “Iya, mas.” Alfi menaiki tangga. Rania melirik Rian yang kini sedang berjoget dengan Satria. Perasaan Rania belum lega karena ucapan Arbi terngiang-ngiang dipikirann
Sepagi ini Rania sudah menyibukkan diri di dapur. Ia memasak sop ayam kampung kesukaan Arbi dan Alfi. Aromanya menyeruak memenuhi lantai bawah, membuat Satria yang baru selesai mandi berjingkrak kesenangan ingin segera makan. “Panggil papa, sayang.” pinta Rania ketika Satria baru menarik kursi. “Papa lagi telponan, ma.” Satria duduk dan menyerahkan piring minta di isi nasi. “Sama siapa?” “Gak tahu.” Rania cepat-cepat menyiukkan nasi, “Lauknya Satria ambil sendiri ya.” “Iya, ma.” “Pelan-pelan biar sopnya gak tumpah ke meja.” “Iya, ma.” Rania berjalan cepat menaiki tangga. Ia sangat penasaran dengan siapa suaminya bertelpon pagi-pagi begini. “...ya kamu sabar dong. Kita pasti bisa nginep kayak biasa.” Rania diam ditengah tangga, karena jika ia terus naik suaminya akan tahu ia sedang menguping. Itu pasti Roland. Dari nada bicara dan topiknya jelas berbeda. “Aku harus bisa ambil hati Rania kayak biasa. Kita jangan gegabah.” Rania tersenyum miring. Entah kenapa h
Rania mundur. Wajahnya mendadak panas. Ia tahu ciuman barusan terencana, tapi ia tidak pernah tahu kalau efeknya cukup luar biasa. “Kakak pergi. Makasih ya sop ayamnya. Agil... pasti suka.” Arbi terlihat gugup ketika harus menatap Rania. Rania mengangguk. Arbi membawa dua rantang berbeda ukuran itu. Ia melangkah keluar rumah. “Kak,” Rania menyusul, “Soal Agil, kalau mau dititip lagi disini gak papa kok. Apalagi amih masih di rumah sakit, ‘kan?” “Kakak takut Agil nyusahin kamu. Kehamilan kamu semakin besar.” “Gak papa. Agil suka main diluar rumah kok, dibawah pemantauan satpam komplek. Paling aku mandiin sama nemenin dia makan aja.” Arbi mengangguk, “Nanti kakak tanya Agil dulu ya. Hari ini dia di titip di day care. Nanti kalau Agil bilang mau disini, kakak minta pihak day care yang anterin kesini.” “Iya, kak.” “Kakak pergi. Kamu hati-hati di rumah.” Rania mengangguk. Arbi masuk ke dalam mobil. Ia membuka kaca dan mengangguk untuk berpamitan. Rania yang entah dapat keberani
Rania membuka matanya pelan-pelan. Lampu kamar dimatikan sehingga ia tidak bisa melihat apapun. Ia mendengar ada langkah kaki yang memasuki kamar. Pintunya dibiarkan terbuka karena Alfi belum pulang. “Mas?” tanyanya. Tidak ada jawaban. Rania terduduk tegap. Tangannya bergerak pelan untuk mengambil ponsel diatas nakas. Ia akan menyalakan senter untuk bisa melihat wujud yang mengganggunya malam-malam. Belum sempat menyentuh fitur senter, kakinya ditarik sesuatu. “AAAA!” “Hahahaha, sayang, ini aku.” Rania menyenteri wajah suaminya itu, “Mas!” “Hehehe, maaf, sayang.” Alfi menyalakan lampu. Rania tak habis pikir dengan apa yang dilakukan suaminya. Ia takut sekali barusan. Ia pikir ada maling masuk ke rumah ini. “Gak lucu, mas!” “Teriakkan kamu lucu.” “Kalo Satria kebangun gimana?” Alfi memeluk Rania, “Iya, maaf ya. Di maafin gak?” Rania membuang nafasnya perlahan. Ia terpaksa mengangguk agar Alfi berhenti menggodanya, “Aku ngantuk.” “Sebenter dong, kok main t
Sudah hampir satu bulan Arbi tak pernah terdengar kabarnya. Rania terakhir bertemu dengannya saat memberikan sop Ayam kampung itu. Ia jadi merenung, jangan-jangan setelah itu Arbi jadi menghindarinya karena takut. Ucapan papa dan Rian jadi terbantahkan, mengenai kakak iparnya yang menyukainya. “Kalo kak Arbi bener-bener menghindar gimana caranya aku minta cerai dari mas Alfi?” Rania mengelus perutnya yang sudah semakin besar. Dua bulan lagi ia akan melahirkan. Kalau bisa sebelum ia melahirkan, percerainnya dengan Alfi minimal sudah di proses. Selama satu bulan ini Rania terus merenung. Alfi yang tak pernah berubah dan selalu jadi suami dan ayah yang baik tak pernah membuatnya terharu seperti dulu. Rasa kesalnya semakin hari semakin besar, apalagi setiap mengingat barang-barang yang ia temukan ternyata tak pernah diberikan padanya. “Apa aku tanyain aja kak Arbi kemana? Apa gak terkesan... loh, itu ‘kan tujuannya?” Rania memberanikan diri menelpon Arbi. Tapi telponnya tak kunjung
Rania tengah menyiram bunga, ditemani Agil yang sedang akur dan bermain dengan Satria. Pesannya pada Arbi tidak mendapatkan balasan juga. Agil mengeluh sakit kepala dan ingin pulang saja. Di minta tidur di kamar Satria ia menolak. Bunyi mobil yang Rania kenal baik berhenti. Ia tak sabar menunggu si pemilik mobil itu. “Papa!” Agil berlari memeluk Arbi. “Aku pusing.” “Iya, kita ke klinik ya sekarang.” Agil mengangguk. Arbi menatap Rania dengan pandangan biasanya. Rania sedikit terkejut melihat badan iparnya menjadi kurus. “Ran, apa kabar?” Bukannya menjawab Rania malah sibuk berpikir sehingga ia tak mendengar pertanyaan itu. Satria menghampiri Rania, “Mama, itu om Arbi nanya mama.” “Eh, oh iya. Kenapa, kak?” “Kamu apa kabar?” “Aku? Baik, kak. Kakak habis sakit?” Arbi melirik Agil yang juga menatap papanya, “Iya, kemarin agak kurang enak badan.” “Oh pantes Agil jadi jarang main kesini, mbak Sani juga gak rutin bikin story. Ternyata kakak kurang sehat ya kemarin-
Selepas makan, Rania memberikan pudding dan buah potong untuk Satria dan Agil yang ternyata sedang saling meminjamkan mainan mereka. Rania senang Satria bisa menerima kondisi Agil yang berbeda. Tidak lama Agil minum obat ia langsung tidur. Satria yang hari ini tidak sempat tidur siang juga ikut tidur. Arbi harus menyelesaikan sedikit pekerjaannya. Ia meminjam laptop Alfi. Rania yang selesai membereskan dapur duduk disamping Arbi membuatnya tidak fokus bekerja. Wangi parfum Rania mengganggu konsentrasinya. “Kok, laptopnya di tutup, kak? Udah selesai pekerjaannya?” Arbi mengangguk ragu, “Barusan cuma cek aja kok.” bohongnya. “Oh gitu.” Rania sibuk memainkan ponselnya untuk mengecek harga-harga baju dan barang untuk bayi. “Ran?” Rania menoleh, “Kenapa, kak?” “Kamu yakin cara tadi bisa bikin Alfi mau lepasin kamu?” Rania mengangguk. “Tapi itu... beresiko tinggi. Kakak takut terjadi apa-apa sama kamu.” “Hm?” “Maksud kakak, kamu lagi hamil besar. Apa gak sebaiknya kamu
“Kamu kuat gak jalannya? Mau aku pinjemin kursi roda aja?” Rania menggeleng, “Aku kuat ko, mas. Aku ‘kan kuat kayak Satria.” Arbi tertawa, “Satria paling kuat sedunia, disusul kamu, disusul sama calon adik Satria.” Ia mengelus perut yang sudah mulai membesar itu. Rania tersenyum, “Satria mana ya, mas? Kok lama banget.” “Aku susul deh, kamu duduk dulu.” “Ya udah, aku tunggu disini.” Sesaat sebelum Arbi membantu Rania duduk dikursi tunggu lobi rumah sakit, sepasang kaki yang berhenti didepan mereka. Rania dan Arbi sontak mendongak menatap siapa pemilik sepatu yang mereka kenal baik. Senyuman itu tidak berubah. Rania melihatnya senang. Kedua matanya mendadak panas, “Mas Alfi?” “Rania, apa kabar?” Bukan jawaban yang Rania berikan, tapi sebuah tangisan yang sudah lama ia pendam. Seluruh hatinya dipenuhi rindu untuk kekasih lamanya yang baru terlihat lagi. Arbi menelisik wajah istrinya. Ia takut sekali hatinya kembali memihak Alfi seperti dulu. “Mama, papa, maaf ya ak
Enam bulan kemudian... PRANG! “Rania?” Fira yang baru sampai dan berniat akan mengantarkan Rania ke kampus karena ia juga ada urusan disana, menutup pintu mobil dengan kencang dan berlari menerobos rumah yang pintunya tertutup rapat. Ia berlari mencari sumber suara dimana mungkin Rania sedang membutuhkan bantuannya, “Ran? Ran, lo dimana?” “Fir, tolong.” Fira mendengar suara itu dibelakang rumah. Ia menemukan setumpuk piring pecah dan aliran darah dari bagian bawah sahabatnya, “Ran?” “Fir, aku—aku gak kuat. Ini sakit banget.” “Ya ampun, Ran, sini kita ke mobil pelan-pelan ya.” Di depan ruang Ponek, nafas Fira naik turun menunggu hasil pemeriksaan dokter. Wajahnya pucat, tubuhnya bergetar. Ia mengingat dengan jelas rumah sangat berantakkan tadi. Barang berterbangan, dan ada noda merah dibeberapa bagian sofa. Rania juga hanya sendiri di rumah. Seharusnya ada Arbi disana. Kemana ya dia? Satria jelas sedang sekolah. Tunggu, apakah Satria baik-baik saja? “Dengan wa
Rania dan Arbi berkeliling mendatangi tamu. Acara akad dan resepsi berjalan lancar tanpa kendala. Acara yang disiapkan Fira begitu sempurna. Ia berharap sahabatnya itu akan segera menyusul menikah. Rania tak menemukan orang yang sedari tadi dicarinya. Dari pihak keluarga suaminya, ia tidak melihat Alfi. “Sayang, kamu capek ya?” “Hm?” “Kamu agak pucet. Kamu gak enak badan ya?” “Enggak kok, mas.” “Kamu duduk aja, nanti aku nyusul.” “Gak papa, mas.” Arbi mencolek hidung Rania, “Nanti malem kamu harus bugar loh. Jadi sekarang jangan terlalu capek. Gih, duduk dulu. Aku keliling sebentar. Ada beberapa temen yang baru dateng.” Rania mengangguk, “Aku duduk ya, mas.” Rania berjalan dengan langkah pelan menuju pelaminan. Ia berharap Alfi datang agar bisa melihat kondisi terbarunya. Ia ingin tahu apakah mantan suaminya itu sehat. Fira yang sedang berbincang dengan teman-teman kuliah melihat Rania duduk lemas. Ia menghampirinya, “Ran, lo haus? Gue ambilin minum ya?” Ra
Papa dan mama sedang bicara santai di ayunan belakang rumah. Rania yang haus tengah malam, tidak sengaja diam lebih lama mendengar obrolan mereka di dapur. “Tabungan papa semakin tipis, ma. Kita harus bayar kuliah profesi Rian. Kita juga harus bayar uang pangkal SD nya Satria.” “Mama bisa kok jual semua perhiasan mama, pa.” “Jangan, ma. Kehidupan kita masih panjang.” “Ya terus papa mau apa? Papa gak mungkin kerja lagi.” “Kita jual aja mobil pertama kita.” “Papa yakin? Papa sayang banget loh sama mobil itu.” “Demi Satria. Mana Rania juga mau kuliah profesi. Kemarin biayanya lumayan ‘kan pas disebutin? Kasian kalau dia harus mengubur mimpinya lagi.” Mama membuang nafas pelan, “Andai aja Rania mau terima Arbi langsung, dia pasti bahagia. Arbi bilang dia bersedia menanggung semua biaya kuliah Rania, bayar uang pangkal SD Satria juga. Sayang, Rania masih mikirin si Alfi.” “Ma, kasih aja Rania waktu.” “Mama cuma takut dia gak mau nikah lagi, pa. Apalagi dia gak mencintai
Empat bulan kemudian... Rania menyirami bunga di halaman rumah mama. Ia tertawa melihat Satria bermain lempar bola dengan Agil. Sudah empat bulan ia dan Satria tinggal disini. Kehidupannya setelah bercerai terjadi baik dan lancar. Mama memintanya bergabung mengikuti organisasi pemberdayaan perempuan yang baru bercerai. Disana terdapat banyak kegiatan sehingga hal tersebut cocok sekali untuknya. “Mama, aku capek.” “Aku juga capek, tante.” “Ya udah kita istirahat dulu ya. Kalian tunggu aja di teras, mama bawain dulu minuman seger buat kalian.” “Yeee!” Satria dan Agil berteriak kegirangan. Rania menaruh poci siram dipinggir dan berjalan menaiki tangga. “Mau kemana? Minumannya udah mbak bikinin.” “Makasih ya, mbak.” “Iya. Minuman dataaaang.” Satria dan Agil berlari untuk mengambil jus tomat itu. “Abisin jusnya, biar mainnya makin semangat.” “Makasih ya, tante.” “Sama-sama, Satria.” Mereka duduk bersama di teras rumah mama yang asri. Mama dan papa ikut keluar
Rania melirik ke belakang untuk melihat ekspresi semua keluarganya. Mama dan Fira mengangguk untuk ia mengatakan ada alasan selain KDRT itu sehingga ia menggugat cerai suaminya. “Saya ulangi, di berkas perkara gugatan saudari pada suami adalah karena adanya hal lain. Kami ingin mendengar langsung apa yang terjadi selain KDRT itu? Silakan.” Rania menutup matanya. Ia memegangi mikrofon dengan tangan bergetar. Di belakang, mama dan Fira saling berpegangan tangan, berharap Rania tak bodoh seperti biasanya demi menjaga harkat dan martabat calon mantan suaminya. “Alasan saya meminta cerai dari suami saya selain KDRT itu, karena rahasia suami saya yang terbongkar, yang mulia.” “Rahasia apa itu?” “Suami saya—” Roland yang sedari pagi sibuk mengelilingi semua tempat untuk menemukan Alfi, akhirnya menemukan tempat ini setelah berpikir keras buah dari informasi singkat dari petugas resepsionis rumah sakit. Kini ia berdiri sejajar dengan tempat duduk mama dan yang lain, “Mohon izin
Jam sepuluh pagi sidang digelar. Rania dan Alfi duduk di kursi depan yang menghadap langsung dengan ketiga hakim yang akan memutuskan, apakah gugatan akan dikabulkan atau tidak. Sejauh ini semua berjalan lancar. Mereka bisa kooperatif menyampaikan apa yang terjadi sesuai perkataan saksi. “Untuk saudari Rania, apakah anda memberikan kesempatan untuk suami anda, saudara Alfi agar kalian bisa rujuk?” “Tidak, yang mulia.” “Kenapa anda memasukkan gugatan ini?” “Seperti yang sudah dikatakan oleh para saksi, para ahli forensik, dokter jiwa dan kandungan, saya mendapatkan penyiksaan verbal dan non verbal selama beberapa bulan terakhir ini.” “Apa saja yang saudari dapatkan dalam penyiksaan tersebut?” “Untuk verbal ada cacian, untuk non verbal, pelaku menampar, memukul, menjambak rambut saya, hingga menendang perut saya sampai bayi saya meninggal dalam kandungan, yang mulia.” Mama dan Fira menangis mendengar semua perkataan Rania di depan. Mereka sangat dekat dengan Rania tapi t
Alfi berhasil kabur dari apartemen. Ia pulang ke rumah berharap Rania dan Satria ada disana. Ternyata rumahnya kosong. Bahkan semua barang pribadi mereka sudah tidak ada. Yang ada hanya tetangganya meliriknya sinis. Mereke berbisik-bisik tak menyangka, orang sebaik Alfi bisa menjadi pelaku KDRT. Padahal ia dikenal sebagai suami yang baik dan lemah lembut. “Apa aku harus ke rumah mama? Mungkin Rania sama Satria pindah ke sana.” Alfi langsung tancap gas ke Tangerang. Begitu sampai pagar, ia melihat asisten rumah tangga paruh waktu yang bekerja di rumah mertuanya kaget melihat dirinya. “Mas Alfi ada barang yang ketinggalan?” “Mbok, mama ada di dalem ‘kan?” “Loh. Ibu ‘kan sudah berapa hari ini nginep di Jakarta. Katanya ada urusan. Mbok pikir ibu nginep di rumah mas.” “Mama gak pulang-pulang?” “Cuma bapak yang pulang bawa baju kemarin. Ibu tuh sebenernya ada urusan apa, mas? Ada acara keluarga ya di Jakarta?” “Eum—” “Tumben ibu gak kasih tahu saya.” “Ya udah mbok ka
Alfi tertawa, “Bertahan sama kamu?” “Aku akan kasih semuaaa yang kamu mau. Setelah kalian bercerai, rumah itu biar aja jadi milik Rania. Aku akan ganti dengan rumah yang lebih besar. Kamu setuju?” Alfi tertawa miring, “Rumah yang lebih besar?” “Iya. Kita juga bisa pergi ke luar negeri buat rayain semuanya.” “Jangan harap itu akan terjadi.” Alfi mencekik Roland sekencangnya berharap ia mati seketika. “Uhuk, Alfi!” “Mati lo bajingan!” Roland berusaha melepaskan lengan Alfi dilehernya. “Gue terpaksa melayani lo karena uang. Gue hanya mencintai Rania. Gue hanya memanfaatkan lo selama ini.” Tubuh tinggi Roland yang melebihi Alfi akhirnya menjadi penolongnya dari cekikkan Alfi. Roland balas mencekik Alfi. “Aku gak akan sampe bunuh kamu. Aku seneng kejar Tikus kehausan kayak kamu.” “Lepas!” “Mau lepas?” Roland melepaskan kedua tangannya, tapi satu layangan tinju diberikan di sisi wajah Alfi, “Mampus lo! Lo pikir gampang kabur dari gue atau bunuh gue?!” Alfi memegang