Sebelah tangan Sunandar bergerak ke atas. Membuat tubuh Hamaz ikut terangkat perlahan. Melihat hal itu, Raisa berusaha untuk membantunya.
"Mas Hamaaaz ...!"
Tanpa rasa takut. Raisa langsung menendang tubuh lelaki itu. Membuat sang istri berteriak kencang.
"Siapa kamu? Keluar dari badan lelaki ini!" teriak Raisa.
Tetap saja Sunandar tak menghiraukan teriakan Raisa yang begitu kencang. Bahkan tendangan Raisa tak membuahkan hasil. Dia tetap kokoh berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Hamaz yang merasa tercekik. Berusaha mengucapkan doa dalam hati. Begitu juga dengan Raisa dan Nina istri Sunandar.
Melihat keadaan yang semakin genting. Apalagi raut wajah Hamaz yang memerah seperti kesulitan bernapas. Membuat Raisa kembali menendang kedua kaki Sunandar. Beberapa kali. Sontak lelaki itu akhirnya terpancing.
Tanpa melepas Hamaz. Dia berjalan terseok mendekati Raisa. Tiba-tiba Sunandar berteriak kencang. Seperti kesakitan di bagian tangan
Mereka bertiga pun terlihat sangat tegang. Dan sedikit membungkuk mendengarkan suara Sunandar yang lemah."Dia ... Ibu aku sendiri, Mas!""Bu ... Bu Sapto?" sahut Raisa terhenyak.Lelaki itu mengangguk pelan."Apa Bapak juga tahu yang dilakukan Bu Sapto?""Tau, Mbak. Pesugihan itu 'kan?""Iya, Pak.""Lalu kalian ke sini ini mau apa?"Hamaz berjalan mendekati Sunandar."Bapak, sebenarnya kami ke sini ingin mencari alamat Bu Yumna. Yang dulu ikut di rumah Kakek Pak Sunandar.""Mbok Yum?" desisnya lirih."Kira-kira apa beliau masih hidup, Pak?" tanya Hamaz."Aku sudah lama enggak dengar kabarnya lagi, Mas. Dulu datang sekali karena ingin kasih peringatan sama aku aja."Mendapatkan jawaban itu Hamaz menoleh pada Raisa."Kalau gitu kami boleh minta alamatnya?" lanjut Hamaz.Dia menunjuk pada arah lemari. "Bu, tolong ambilkan buku di dalam situ. Ada tulisan alamat Mbok Yum."Bel
Hamaz tak meladeni setiap ucapannya. Dia terus membaca ayat-ayat suci Alquran dalam hati hingga kini terdengar samar."Aaaarghhh! Sakit ... sakit!""Keluar dari tubuh orang ini!""Tidak mau!""Kenapa? Atau kau berniat menantang?" tanya Hamaz mulai habis kesabarannya."Dia yang menyuruhku untuk menyakiti lelaki ini. Karena dia telah ingkar!""Ingkar soal perjanjian pesugihan itu?!" Raisa merasa geram."Erghmmm!" Lelaki itu mengalihkan pandangannya pada Raisa. Sangat terlihat jelas dia sangat marah pada gadis itu.Namun Hamaz sudah bertindak lebih cepat. Dia kembali menekan tumit Sunandar dengan kencang. Lalu tangan yang sebelah seperti menarik sesuatu dengan tenaga kuat.Sontak membuat kedua mata Sunandar melotot. Sampai urat di lehernya mengejang. Begitu juga urat di wajah. Berulang kali teriakannya terdengar kencang."Sakiiit ... sakiit!" Sunandar berusaha untuk terus berontak.Kedua tangan, kaki dan tubuh
"Jalannya bener-bener dah." "Ihhh, cerewet kali kau Raisa," sahut Delon. "Emang bener loh Mas. Apa kalian berdua enggak lapar?" "Lapar juga, sih. Gimana Mas, apa cari makan dulu?" "Langsung aja Mas Delon. Biar enggak terlalu sore kita balik dari sini." Delon mengacungkan jempol. Tanda dia sepakat dengan pendapat Hamaz. Mobil melaju dengan kecepatan yang sedang. "Mas Hamaz, apa ada kemungkinan makhluk yang lepas tadi akan kembali lagi ke rumah Pak Sunandar?" "Insyaallah sudah enggak, Mbak Raisa. Asalkan satu. Ibadahnya jangan sampai lengah." Raisa terlihat manggut-manggut. Hingga mobil berhenti di mulut sebuah gang yang cukup lebar. Kanan kirinya masih terbantang sawah dan pepohonan. "Itu ada orang, Mas Delon," ujar Hamaz menunjuk ke arah tukang tambal ban. "Biar aku yang tanya Mas!" Belum Delon mengiyakan gadis itu sudah turun dari mobil. baru beberapa langkah. Raisa kembali lagi. "Mas, man
Sontak sorot mata yang tadinya terpancar lembut. Kini terlihat garang. Dia menatap mereka satu persatu."Siapanya Sunandar kalian?""Kami bukan siapa-siapa, Pak Sunandar, Mbok." Raisa menakan nada suaranya."Lalu, untuk apa kalian mencari aku?"Raisa memandang ke arah Delon dan Hamaz."Begini, Mbok Yumna. Kami datang ke sini ada hubungannya dengan Bu Sapto."Perkataan Delon membuat wanita tua itu melotot. Lalu menyandarkan punggungnya di kepala kursi. Dan memijit kepalanya, seolah apa yang baru saja dikatakan oleh Delon. Membuat beban pikirannya bertambah."Dari mana kalian tahu?""Kami membaca buku catatan dari Bu Marsinah. Yang diberi sama suami Bu Hariyani, Mbok," ujar Delon menjelaskan."Jadi, kalian dari Malang?""Iya, Mbok. Tapi, Raisa ini rumahnya bersebelahan desa sama Bu Sapto. Dan kebetulan lagi Raisa ini pemandi jenazahnya.""Ohhh, jadi kamu tau rumahnya?"Raisa mengangguk."Terus s
"Lalu, apa Bu Marsinah meninggal karena ditusuk belati?" "Aku enggak bisa bilang iya. Juga enggak bisa bhilang enggak," ucapnya lirih. Jawaban wanita itu membuat mereka bertiga saling berpandangan. "Kalimat yang aneh," bisik Raisa. Ternyata apa yang diucapkan gadis itu, terdengar oleh Mbok Yumna. "Memang aneh. Karena kematian Ibu Marsinah menurut aku sampai sekarang, enggak bisa masuk dalam akal." "Maksudnya, Mbok? Kematian yang enggak wajar?" lanjut Raisa. Wanita tua itu hanya mengangguk. "Sangat enggak wajar, Nduk." Lalu pandangannya beralih pada Raisa. "Di buku yang kalian baca sampai mana Bu Marsinah menuliskannya?" "Sampai teriakan Bu Mariyati, Mbok. Yang meluk Bu Marsinah. Lalu dia bilang, Aku akan melindungi Ibu! Sampai berulang-ulang." Tangis Mbok Yumna semakin tak terbendung lagi. Dia terus mengusap air mata, yang membasahi pipi. Kulit wajah yang penuh oleh guratan usia. Yang termakan o
Tampak wajah tua itu, tengah menahan kesedihannya. Dia meremas kuat pinggiran baju itu dan mendekapnya."Hanya ada darah! Tapi enggak ada luka sama sekali di badannya Bu Marsinah. Menurut kalian, apa itu semua masuk akal?""Memang enggak masuk akal sih Mbok. Apalagi kalau sampai enggak ada luka. Terus Pak Mariman saat itu bagaimana Mbok sikapnya?"Kembali pandangan matanya menrawang jauh. Ingatannya seperti terbang melayang beberapa puluh tahun lalu. Ke rumah itu lagi._Rumah Mariman_Terdengar teriakan yang tersamarkan di balik derasanya hujan. Apalagi petir di saat malam itu terus menyambar."Aku akan lindungi Ibu!""Aku akan lingungi Ibu!""Aku akan lindungi Ibu!""Mariyati, ingat perkataan Ibu. Jangan lupakan Allah. Hanya dia sebaik-baiknya penolong. Dekatkan dirimu hanya pada penjagaanNya saja. Bukan pada makhluk. Apalagi pada Bapakmu dan cara-cara setan yang dia pakai!"Bersamaan dengan kalimat Marsinah bera
Lompatan itu sia-sia. Tak membuahkan hasil. Gadis itu tak bisa menangkap Mariman."Ke mana dia?"Yumna menunjuk ke arah cermin."D-dia masih ada. Dia masih ada, Mariyati. Coba kau lihat di cermin itu!"Saat gadis itu menoleh. Apa yang dilihat oleh Yumna ternyata benar. Sosok Mariman masih saja berjalan pelan menuju ibunya."Bapak! Apa yang mau kamu lakukan sama Ibu?!" teriak Mariyati mendengkus keras. Kembali dia berteriak,"Bapaaaak! Di mana pun Bapak berada, Mariyati enggak akan pernah memaafkan Bapak kalau sampai sesuatu terjadi pada Ibu!" teriak Mariyati menggelegar.Tiba-tiba ...."Aaaahhh! Sakiiit ... dada aku sakit sekali."Mendengar Marsinah yang kesakitan. Yumna langsung memeluknya. Dia mencaoba menghalangi apa saja yang mencoba untuk menyakiti wanita yang berada di sampingnya."Dia pasti membunuh aku, Yum. Tolong kamu jaga anakku. Dua-duanya kamu jaga. Sampaikan semua pada Mariana juga, Yum.""Pas
"Apa-apaan kamu Mariyati?""Bapak enggak pantas memegang jasad Ibu!""Apa maksud kamu, Mar?"Mariyati membentangkan tangannya lebar. Berniat menghalangi Mariman untuk menyentuh Marsinah."Sebaiknya Bapak pergi sana! Jangan menyentuh jasad Ibuku!""Kenapa kau terus berteriak seperti ini?""Bapak ini pura-pura enggak tau? Jawab aku, Pak! Jawaaab!!!"Plaaakkk!Mariman yang hilang kesabarannya menampar keras Mariyati yang langsung tersungkur. Dari kedua sudut bibirnya. Menetes darah segar."Ohhh, jadi Bapak juga ingin bunuh aku? Bunuh saja Pak! Bunuh!""Diaaaaaaaammmm!!!" teriak Mariman sudah tak tahan mendengar Mariyati yang terus berkoar-koar.Raut wajah Mariman menegang. Dia mulai kalang kabut. Saat menyadari tubuh sang istri yang pebuh darah."Kenapa kalian diam saja? Ini banyak darah. Kenapa kalian diam?!" sentak Mariman.Tanpa pedulikan lagi Mariyati. Dia langsung menggendong jasad Mar