"Lalu, apa Bu Marsinah meninggal karena ditusuk belati?"
"Aku enggak bisa bilang iya. Juga enggak bisa bhilang enggak," ucapnya lirih.
Jawaban wanita itu membuat mereka bertiga saling berpandangan.
"Kalimat yang aneh," bisik Raisa.
Ternyata apa yang diucapkan gadis itu, terdengar oleh Mbok Yumna.
"Memang aneh. Karena kematian Ibu Marsinah menurut aku sampai sekarang, enggak bisa masuk dalam akal."
"Maksudnya, Mbok? Kematian yang enggak wajar?" lanjut Raisa.
Wanita tua itu hanya mengangguk.
"Sangat enggak wajar, Nduk." Lalu pandangannya beralih pada Raisa. "Di buku yang kalian baca sampai mana Bu Marsinah menuliskannya?"
"Sampai teriakan Bu Mariyati, Mbok. Yang meluk Bu Marsinah. Lalu dia bilang, Aku akan melindungi Ibu! Sampai berulang-ulang."
Tangis Mbok Yumna semakin tak terbendung lagi. Dia terus mengusap air mata, yang membasahi pipi. Kulit wajah yang penuh oleh guratan usia. Yang termakan o
Tampak wajah tua itu, tengah menahan kesedihannya. Dia meremas kuat pinggiran baju itu dan mendekapnya."Hanya ada darah! Tapi enggak ada luka sama sekali di badannya Bu Marsinah. Menurut kalian, apa itu semua masuk akal?""Memang enggak masuk akal sih Mbok. Apalagi kalau sampai enggak ada luka. Terus Pak Mariman saat itu bagaimana Mbok sikapnya?"Kembali pandangan matanya menrawang jauh. Ingatannya seperti terbang melayang beberapa puluh tahun lalu. Ke rumah itu lagi._Rumah Mariman_Terdengar teriakan yang tersamarkan di balik derasanya hujan. Apalagi petir di saat malam itu terus menyambar."Aku akan lindungi Ibu!""Aku akan lingungi Ibu!""Aku akan lindungi Ibu!""Mariyati, ingat perkataan Ibu. Jangan lupakan Allah. Hanya dia sebaik-baiknya penolong. Dekatkan dirimu hanya pada penjagaanNya saja. Bukan pada makhluk. Apalagi pada Bapakmu dan cara-cara setan yang dia pakai!"Bersamaan dengan kalimat Marsinah bera
Lompatan itu sia-sia. Tak membuahkan hasil. Gadis itu tak bisa menangkap Mariman."Ke mana dia?"Yumna menunjuk ke arah cermin."D-dia masih ada. Dia masih ada, Mariyati. Coba kau lihat di cermin itu!"Saat gadis itu menoleh. Apa yang dilihat oleh Yumna ternyata benar. Sosok Mariman masih saja berjalan pelan menuju ibunya."Bapak! Apa yang mau kamu lakukan sama Ibu?!" teriak Mariyati mendengkus keras. Kembali dia berteriak,"Bapaaaak! Di mana pun Bapak berada, Mariyati enggak akan pernah memaafkan Bapak kalau sampai sesuatu terjadi pada Ibu!" teriak Mariyati menggelegar.Tiba-tiba ...."Aaaahhh! Sakiiit ... dada aku sakit sekali."Mendengar Marsinah yang kesakitan. Yumna langsung memeluknya. Dia mencaoba menghalangi apa saja yang mencoba untuk menyakiti wanita yang berada di sampingnya."Dia pasti membunuh aku, Yum. Tolong kamu jaga anakku. Dua-duanya kamu jaga. Sampaikan semua pada Mariana juga, Yum.""Pas
"Apa-apaan kamu Mariyati?""Bapak enggak pantas memegang jasad Ibu!""Apa maksud kamu, Mar?"Mariyati membentangkan tangannya lebar. Berniat menghalangi Mariman untuk menyentuh Marsinah."Sebaiknya Bapak pergi sana! Jangan menyentuh jasad Ibuku!""Kenapa kau terus berteriak seperti ini?""Bapak ini pura-pura enggak tau? Jawab aku, Pak! Jawaaab!!!"Plaaakkk!Mariman yang hilang kesabarannya menampar keras Mariyati yang langsung tersungkur. Dari kedua sudut bibirnya. Menetes darah segar."Ohhh, jadi Bapak juga ingin bunuh aku? Bunuh saja Pak! Bunuh!""Diaaaaaaaammmm!!!" teriak Mariman sudah tak tahan mendengar Mariyati yang terus berkoar-koar.Raut wajah Mariman menegang. Dia mulai kalang kabut. Saat menyadari tubuh sang istri yang pebuh darah."Kenapa kalian diam saja? Ini banyak darah. Kenapa kalian diam?!" sentak Mariman.Tanpa pedulikan lagi Mariyati. Dia langsung menggendong jasad Mar
Satu hari berlalu, sejak kematian Marsinah. Mariyati yang selalu ditemani oleh Yumna. Semakin membenci sang Bapak. Mariman sampai harus bersusah payah menjelaskan semua. Bahwa dia tak melakukan apa pun pada Marsinah."Enggak mungkin aku membunuh Ibu kamu!"Namun, Marioyati mengabaikannya. Dia hanya terdiam dengan posisi duduk di atas kasur. Kedua kakinya ditekuk hingga menyentuh dada. Dan memeluk erat lututnya."Mana mungkin Bapak ini membunuh Ibu kamu, Mar?!""Bapak tanyakan pada nurani Bapak. Itu pun kalau masih ada," ucapnya lirih."Kamu benar-benar kurang ajar. Keterlaluan kamu sama Bapak."Lalu Mariyati melepas kedua tangan yang sedang memeluk kedua lutut. Menatap tajam ke arah Mariman yang masih berdiri di ambang pintu."Aku dan Mbak Yumna, ngelihat sendiri Bapak berjalan bawa pisau kecil. Sambil diacungkan ke arah Ibu. Kami bertiga ngelihat sendiri Pak. Bahkan Ibu juga ngelihat Bapak. Dari cermin itu kami bisa melihat semuanya.
Mariyati yang ketakutan hanya bisa manggut-manggut."Mbak!"Yumna kembali menoleh padanya."Aku ... merasa seperti ada orang lain bersama kita," bisik Mariyati."Ma-maksud kamu?" Dengan terbata Yumna bertanya.Jantung mereka kian berdegup kencang. Hingga Yumna atau pun Mariyati merasa sulit untuk bernapas. Sedang aroma busuk itu semakin menebar dan menusuk rongga hidunga mereka berdua."Kita balik kamar sekarang Mariyati!""Ta-tapi, Mbak.""Apalagi?"Suara mereka masih terdengar saling berbisik."Seperti ada sesuatu di leher belakang aku," ucap Mariyati dengan mata yang membulat.Saat itu juga. Yumna tahu bahwa semua ini akan semakin buruk. Saat Mariyati mengatakan dengan tegang dan ketakutan. Wajah dan tubuh Yumna bagai tersapu angin dingin. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang tak wajar, terjadi detik ini."Mbaaak ...!" bisik Mariyati yang mengejutkan Yumna."Ayo, kita pergi sekarang!"
Dari raut wajah yang ditunjukkan Mariyati terlihat dia bingung dan resah. Lalu Yumna ikut duduk di sebelahnya. "Yang dilakoni sama Bapak ini ilmu hitam Mar. Semua itu bisa saja terjadi. Apalagi di rumah ini sering sekali terjadi kejadian aneh. Iya 'kan?" "Jadi kalau bukan Bapak pelakunya, dia?" Sebuah pertanyaan yang snagat sulit dijawab oleh Yumna saat itu. "Aku juga enggak tau, Mar. Aku cuman main dengan akal logika aku aja. Karena Bapak 'kan enggak terlihat. Kita hanya bisa melihat dari cermin. Betul enggak?" "Iya. Tapi, Mbak. Biar pun gitu, Bapak pasti tau hal ini terjadi. Enggak mungkin Bapak enggak tau. Wajah Bapak saat menikam Ibu itu, begitu menikmati Mbak. Hal ini enggak bakalan bisa aku lupakan seumur hidupku!" Mariyati masih bersikukuh, bila pembunuh sang ibu adalah Mariman. Baginya apa yang terlihat dalam pecahan kaca dalam genggaman tangannya. Adalah kebenaran. Tak ada yang bisa mengubah pemikiran Mariyati kala itu, termas
Suara ketukan itu, kembali berulang. Semakin lama semakin keras. Dan kini bukan lagi seperti sebuah ketukan. Akan tetapi seperti seseorang yang menggedor pintu.Dug dug dug!"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Mariyati sambil menangis."Merapatlah. Kita diam saja di sini Mar. Aku juga takut.""Mbaaaak!""Hussst!Hanya terdengar deru napas mereka yang memburu. Ditengah isak tangis keduanya. Saat semuanya hening dan sunyi.Tiba-tiba ...."Maaaar ... Mariyatiii!"Keduanya langsung terbelalak dan berpandangan."Seperti suara Ibu, Mbak?""I-iya, Mar. Tapi, ingat! Ibu sudah meninggal 'kan?"Mariyati mengangguk. Namun terlihat dia sangat ingin tahu. Suara siapa di balik pintu itu."Kamu jangan sampai kepikiran untuk membuka pintunya!" seru Yumna dengan raut wajah tegang dan serius."Iya, Mbak. Tapi, suara itu persis Ibu, Mbak.""Enggak mungkin Ibu hidup lagi Mariyati."Tok
"Aku harus bisa merebut kembali Mariyati. Kalau tidak aku pasti sangat bersalah pada Bu Marsinah."Kini dia berdiri tepat di depan pintu. Hanya berjarak sejengkal. Degup jantungnya semakin berdetak kencang. Peluh membasahi wajah dan tubuhnya yang kian bergetar hebat.Dia membuang semua rasa ketakutannya. Dalam hati Yumna saat ini. Dia harus bisa menolong Mariyati. Apa pun resiko yang akan dia hadapi.Tok tok tok!Yumna terus menahan napas. Dia sudah pasrah atas apa yang nanti akan menimpa dirinya. Dia memberanikan hatidan pikiran.Dia mengulang mengetuk pintu dengan lirih. Sekian detik berlalu, tak ada yang terjadi. Pintu kamar itu tetap tertutup."Maaar ... Mariyati. Apa kamu di dalam sana, Mar?"Hening dan sunyi. Tak terdengar suara apa pun juga. Yumna semakin ketakutan. Dia semakin kalut. Tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan."A-aku harus bilang pada tetangga. Aku harus minta bantuan mereka."Segera Yumna be
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga