Satu hari berlalu, sejak kematian Marsinah. Mariyati yang selalu ditemani oleh Yumna. Semakin membenci sang Bapak. Mariman sampai harus bersusah payah menjelaskan semua. Bahwa dia tak melakukan apa pun pada Marsinah.
"Enggak mungkin aku membunuh Ibu kamu!"
Namun, Marioyati mengabaikannya. Dia hanya terdiam dengan posisi duduk di atas kasur. Kedua kakinya ditekuk hingga menyentuh dada. Dan memeluk erat lututnya.
"Mana mungkin Bapak ini membunuh Ibu kamu, Mar?!"
"Bapak tanyakan pada nurani Bapak. Itu pun kalau masih ada," ucapnya lirih.
"Kamu benar-benar kurang ajar. Keterlaluan kamu sama Bapak."
Lalu Mariyati melepas kedua tangan yang sedang memeluk kedua lutut. Menatap tajam ke arah Mariman yang masih berdiri di ambang pintu.
"Aku dan Mbak Yumna, ngelihat sendiri Bapak berjalan bawa pisau kecil. Sambil diacungkan ke arah Ibu. Kami bertiga ngelihat sendiri Pak. Bahkan Ibu juga ngelihat Bapak. Dari cermin itu kami bisa melihat semuanya.
Mariyati yang ketakutan hanya bisa manggut-manggut."Mbak!"Yumna kembali menoleh padanya."Aku ... merasa seperti ada orang lain bersama kita," bisik Mariyati."Ma-maksud kamu?" Dengan terbata Yumna bertanya.Jantung mereka kian berdegup kencang. Hingga Yumna atau pun Mariyati merasa sulit untuk bernapas. Sedang aroma busuk itu semakin menebar dan menusuk rongga hidunga mereka berdua."Kita balik kamar sekarang Mariyati!""Ta-tapi, Mbak.""Apalagi?"Suara mereka masih terdengar saling berbisik."Seperti ada sesuatu di leher belakang aku," ucap Mariyati dengan mata yang membulat.Saat itu juga. Yumna tahu bahwa semua ini akan semakin buruk. Saat Mariyati mengatakan dengan tegang dan ketakutan. Wajah dan tubuh Yumna bagai tersapu angin dingin. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang tak wajar, terjadi detik ini."Mbaaak ...!" bisik Mariyati yang mengejutkan Yumna."Ayo, kita pergi sekarang!"
Dari raut wajah yang ditunjukkan Mariyati terlihat dia bingung dan resah. Lalu Yumna ikut duduk di sebelahnya. "Yang dilakoni sama Bapak ini ilmu hitam Mar. Semua itu bisa saja terjadi. Apalagi di rumah ini sering sekali terjadi kejadian aneh. Iya 'kan?" "Jadi kalau bukan Bapak pelakunya, dia?" Sebuah pertanyaan yang snagat sulit dijawab oleh Yumna saat itu. "Aku juga enggak tau, Mar. Aku cuman main dengan akal logika aku aja. Karena Bapak 'kan enggak terlihat. Kita hanya bisa melihat dari cermin. Betul enggak?" "Iya. Tapi, Mbak. Biar pun gitu, Bapak pasti tau hal ini terjadi. Enggak mungkin Bapak enggak tau. Wajah Bapak saat menikam Ibu itu, begitu menikmati Mbak. Hal ini enggak bakalan bisa aku lupakan seumur hidupku!" Mariyati masih bersikukuh, bila pembunuh sang ibu adalah Mariman. Baginya apa yang terlihat dalam pecahan kaca dalam genggaman tangannya. Adalah kebenaran. Tak ada yang bisa mengubah pemikiran Mariyati kala itu, termas
Suara ketukan itu, kembali berulang. Semakin lama semakin keras. Dan kini bukan lagi seperti sebuah ketukan. Akan tetapi seperti seseorang yang menggedor pintu.Dug dug dug!"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Mariyati sambil menangis."Merapatlah. Kita diam saja di sini Mar. Aku juga takut.""Mbaaaak!""Hussst!Hanya terdengar deru napas mereka yang memburu. Ditengah isak tangis keduanya. Saat semuanya hening dan sunyi.Tiba-tiba ...."Maaaar ... Mariyatiii!"Keduanya langsung terbelalak dan berpandangan."Seperti suara Ibu, Mbak?""I-iya, Mar. Tapi, ingat! Ibu sudah meninggal 'kan?"Mariyati mengangguk. Namun terlihat dia sangat ingin tahu. Suara siapa di balik pintu itu."Kamu jangan sampai kepikiran untuk membuka pintunya!" seru Yumna dengan raut wajah tegang dan serius."Iya, Mbak. Tapi, suara itu persis Ibu, Mbak.""Enggak mungkin Ibu hidup lagi Mariyati."Tok
"Aku harus bisa merebut kembali Mariyati. Kalau tidak aku pasti sangat bersalah pada Bu Marsinah."Kini dia berdiri tepat di depan pintu. Hanya berjarak sejengkal. Degup jantungnya semakin berdetak kencang. Peluh membasahi wajah dan tubuhnya yang kian bergetar hebat.Dia membuang semua rasa ketakutannya. Dalam hati Yumna saat ini. Dia harus bisa menolong Mariyati. Apa pun resiko yang akan dia hadapi.Tok tok tok!Yumna terus menahan napas. Dia sudah pasrah atas apa yang nanti akan menimpa dirinya. Dia memberanikan hatidan pikiran.Dia mengulang mengetuk pintu dengan lirih. Sekian detik berlalu, tak ada yang terjadi. Pintu kamar itu tetap tertutup."Maaar ... Mariyati. Apa kamu di dalam sana, Mar?"Hening dan sunyi. Tak terdengar suara apa pun juga. Yumna semakin ketakutan. Dia semakin kalut. Tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan."A-aku harus bilang pada tetangga. Aku harus minta bantuan mereka."Segera Yumna be
Langkahnya semakin bergerak maju, perlahan. Dia pun merasakan bila telapak kakinya menginjak kumpulan debu yang sangat tebal. Hingga dia mendengar suara yang aneh. Seperti suara yang bergesekan di lantai."Su-suara apa itu?"Dia masih terhenti di depan kamar yang terbuka. Pandangannya pun berpendar. Mencari tahu apa yang ada di sekitar ruangan ini.Semakin lama suara yang terdengar bergesekan dengan lantai terdengar nyata. Membuat Yumna waspada. Dia mundur dua langkah.Sesaat aroma anyir tercium di rongga hidungnya. Seiringan dengan suara aneh yang terdengar. Seperti sesuatu yang diseret pelan-pelan. Sampai suara yang dia kenal memanggilnya.“Mbaaaak Yumnaaa!”Sontak bulu kuduknya semakin tegak berdiri. Dia sudah tak bisa merasakan apa-apa lagi. Selain keinginan menemukan Mariyati.“Mariyati … kah?”“Kemarilah, Mbak Yumna!”Suaranya terdengar menden
Terdengar suara Mariyati yang terus memanggilnya. Dari arah luar kamar. Membuat Yumna terhenyak. "Mar ... tolong aku!" Suranyabya terdengar lemah. Yumna terduduk dengan kedua lutut yang dia tekuk. Lalu memeluk erat, hingga punggungnya menempel dinding. Yumna bisa melihat sorot mata yang merah menyala. Sosok itu bergerak mendekatinya. Dan tanpa dia sadari. Kedua ujung kakinya telah ditarik paksa oleh Mariman. Sontak Yumna berteriak kencang. Namun, sangat malang. Suaranya bagai tercekat di tenggorokan yang kering. Buuugh! Tubuh dan kepalanya menghantam lantai keramik. Membentur keras. Sampai Yumna berasa ingin muntah. Dia merasakan kegelapan di sekelilingnya saat ini. Langit kamar yang dia lihat tak tampak jelas. "Eeerghhh! Sakiiit," ucapnya lirih. Lalu, entah bagaimana. Dan siapa yang melakukannya. Tubuhnya kembali terlempar ke dinding kamar. "Aaaarghhh!" Yumna berteriak keras. Tubuhnya tersungkur kesakitan. Dara
Saat dia berdiri di depan pintu luar kamar. Mariyati berteriak kencang ke arahnya."Mbaaaak! Kenapa Mbak Yum seperti ini?"Belum sampai Yumna menjawab. Tubuhnya ambruk. Melihat hal itu, Mariyati berlari menghampirinya."Mbak Yum! Bangun, Mbak!"Mariyati semakin ketakutan. Dia tak tahu harus berbuat apa, terhadap Yumna. Gadis itu hanya bisa menangis dengan terus mengguncang tubuh Yumna.Antara sadar dan tidak. Yumna masih bisa mendengar isak tangis Mariyati."Pergiiii! Kamu harus pergi!" ucap Yumna berbisik tanpa bersuara."Aku maunya sama Mbak Yum!""Mar!!!"Tiba-tiba terdengar suara Mariman yang sudah berada di samping Mariyati. Membuat gadis itu tersentak. Dia sangat terkejut. Tak menyangka kalau sang bapak sudah berdiri di dekatnya."Mariyati, kamu ikut Bapak sekarang!""Mau ke mana Pak?""Enggak usah banyak tanya! Ayo ikut Bapak sekarang!"Mariyati terus menggeleng. Dia tak mau mengi
"Lalu, Mbok. Setelah Mariyati kembali. Apa yang terjadi?" Raisa terus mengejar wanita tua itu. Yang kembali terdiam sesaat."Dia terlihat aneh. Lebih pendiam, tak banyak omong. Kadang apa yang aku bicarakan, dia enggak nyambung sama sekali.""Mungkin dia trauma, Mbok?" sahut Delon.Mbok Yumna hanya menggeleng."Sampai sekarang aku enggak tau alasannya. Mungkin saja dia trauma dengan berbagai peristiwa. Cuman bagi aku dia aneh dan terlihat asing buatku.""Apa dia tidak menceritakan, apa yang terjadi selama dia menghilang dan tiba-tiba dia datang lagi?" tanya Hamaz."Sama sekali. Dia menjadi lebih tertutup. Walau begitu aku masih selalu menemani dan menjaga dia. Sesuai yang dikatakan Bu Marsinah. Aku mulai sembunyi-sembunyi pergi ke musholla dekat rumah. Pergiku menyelinap, tanpa siapa pun yang tau.""Termasuk Mariyati?""Iya. Karena pernah suatu hari aku mengajak dia. Dan mengingatkan kembali pesan Ibunya. Dia tetap saja menggel