Suara ketukan itu, kembali berulang. Semakin lama semakin keras. Dan kini bukan lagi seperti sebuah ketukan. Akan tetapi seperti seseorang yang menggedor pintu.
Dug dug dug!
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Mariyati sambil menangis.
"Merapatlah. Kita diam saja di sini Mar. Aku juga takut."
"Mbaaaak!"
"Hussst!
Hanya terdengar deru napas mereka yang memburu. Ditengah isak tangis keduanya. Saat semuanya hening dan sunyi.
Tiba-tiba ....
"Maaaar ... Mariyatiii!"
Keduanya langsung terbelalak dan berpandangan.
"Seperti suara Ibu, Mbak?"
"I-iya, Mar. Tapi, ingat! Ibu sudah meninggal 'kan?"
Mariyati mengangguk. Namun terlihat dia sangat ingin tahu. Suara siapa di balik pintu itu.
"Kamu jangan sampai kepikiran untuk membuka pintunya!" seru Yumna dengan raut wajah tegang dan serius.
"Iya, Mbak. Tapi, suara itu persis Ibu, Mbak."
"Enggak mungkin Ibu hidup lagi Mariyati."
Tok
"Aku harus bisa merebut kembali Mariyati. Kalau tidak aku pasti sangat bersalah pada Bu Marsinah."Kini dia berdiri tepat di depan pintu. Hanya berjarak sejengkal. Degup jantungnya semakin berdetak kencang. Peluh membasahi wajah dan tubuhnya yang kian bergetar hebat.Dia membuang semua rasa ketakutannya. Dalam hati Yumna saat ini. Dia harus bisa menolong Mariyati. Apa pun resiko yang akan dia hadapi.Tok tok tok!Yumna terus menahan napas. Dia sudah pasrah atas apa yang nanti akan menimpa dirinya. Dia memberanikan hatidan pikiran.Dia mengulang mengetuk pintu dengan lirih. Sekian detik berlalu, tak ada yang terjadi. Pintu kamar itu tetap tertutup."Maaar ... Mariyati. Apa kamu di dalam sana, Mar?"Hening dan sunyi. Tak terdengar suara apa pun juga. Yumna semakin ketakutan. Dia semakin kalut. Tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan."A-aku harus bilang pada tetangga. Aku harus minta bantuan mereka."Segera Yumna be
Langkahnya semakin bergerak maju, perlahan. Dia pun merasakan bila telapak kakinya menginjak kumpulan debu yang sangat tebal. Hingga dia mendengar suara yang aneh. Seperti suara yang bergesekan di lantai."Su-suara apa itu?"Dia masih terhenti di depan kamar yang terbuka. Pandangannya pun berpendar. Mencari tahu apa yang ada di sekitar ruangan ini.Semakin lama suara yang terdengar bergesekan dengan lantai terdengar nyata. Membuat Yumna waspada. Dia mundur dua langkah.Sesaat aroma anyir tercium di rongga hidungnya. Seiringan dengan suara aneh yang terdengar. Seperti sesuatu yang diseret pelan-pelan. Sampai suara yang dia kenal memanggilnya.“Mbaaaak Yumnaaa!”Sontak bulu kuduknya semakin tegak berdiri. Dia sudah tak bisa merasakan apa-apa lagi. Selain keinginan menemukan Mariyati.“Mariyati … kah?”“Kemarilah, Mbak Yumna!”Suaranya terdengar menden
Terdengar suara Mariyati yang terus memanggilnya. Dari arah luar kamar. Membuat Yumna terhenyak. "Mar ... tolong aku!" Suranyabya terdengar lemah. Yumna terduduk dengan kedua lutut yang dia tekuk. Lalu memeluk erat, hingga punggungnya menempel dinding. Yumna bisa melihat sorot mata yang merah menyala. Sosok itu bergerak mendekatinya. Dan tanpa dia sadari. Kedua ujung kakinya telah ditarik paksa oleh Mariman. Sontak Yumna berteriak kencang. Namun, sangat malang. Suaranya bagai tercekat di tenggorokan yang kering. Buuugh! Tubuh dan kepalanya menghantam lantai keramik. Membentur keras. Sampai Yumna berasa ingin muntah. Dia merasakan kegelapan di sekelilingnya saat ini. Langit kamar yang dia lihat tak tampak jelas. "Eeerghhh! Sakiiit," ucapnya lirih. Lalu, entah bagaimana. Dan siapa yang melakukannya. Tubuhnya kembali terlempar ke dinding kamar. "Aaaarghhh!" Yumna berteriak keras. Tubuhnya tersungkur kesakitan. Dara
Saat dia berdiri di depan pintu luar kamar. Mariyati berteriak kencang ke arahnya."Mbaaaak! Kenapa Mbak Yum seperti ini?"Belum sampai Yumna menjawab. Tubuhnya ambruk. Melihat hal itu, Mariyati berlari menghampirinya."Mbak Yum! Bangun, Mbak!"Mariyati semakin ketakutan. Dia tak tahu harus berbuat apa, terhadap Yumna. Gadis itu hanya bisa menangis dengan terus mengguncang tubuh Yumna.Antara sadar dan tidak. Yumna masih bisa mendengar isak tangis Mariyati."Pergiiii! Kamu harus pergi!" ucap Yumna berbisik tanpa bersuara."Aku maunya sama Mbak Yum!""Mar!!!"Tiba-tiba terdengar suara Mariman yang sudah berada di samping Mariyati. Membuat gadis itu tersentak. Dia sangat terkejut. Tak menyangka kalau sang bapak sudah berdiri di dekatnya."Mariyati, kamu ikut Bapak sekarang!""Mau ke mana Pak?""Enggak usah banyak tanya! Ayo ikut Bapak sekarang!"Mariyati terus menggeleng. Dia tak mau mengi
"Lalu, Mbok. Setelah Mariyati kembali. Apa yang terjadi?" Raisa terus mengejar wanita tua itu. Yang kembali terdiam sesaat."Dia terlihat aneh. Lebih pendiam, tak banyak omong. Kadang apa yang aku bicarakan, dia enggak nyambung sama sekali.""Mungkin dia trauma, Mbok?" sahut Delon.Mbok Yumna hanya menggeleng."Sampai sekarang aku enggak tau alasannya. Mungkin saja dia trauma dengan berbagai peristiwa. Cuman bagi aku dia aneh dan terlihat asing buatku.""Apa dia tidak menceritakan, apa yang terjadi selama dia menghilang dan tiba-tiba dia datang lagi?" tanya Hamaz."Sama sekali. Dia menjadi lebih tertutup. Walau begitu aku masih selalu menemani dan menjaga dia. Sesuai yang dikatakan Bu Marsinah. Aku mulai sembunyi-sembunyi pergi ke musholla dekat rumah. Pergiku menyelinap, tanpa siapa pun yang tau.""Termasuk Mariyati?""Iya. Karena pernah suatu hari aku mengajak dia. Dan mengingatkan kembali pesan Ibunya. Dia tetap saja menggel
"Katakan, Mar! Ceritakan sama Mbak. Apa yang kamu alami saat kamu pergi dari rumah ini?!" desak Yumna.Namun, gadis itu kembali menggeleng."Ini sebuah rahasia, Mbak. Mungkin bila saat itu tiba, Mbak Yum akan mengerti."Kali ini, Yumna benar-benar dibuat terbelalak dan terbengong. Baru saja dia mendengar perkataan Mariyati yang penuh teka teki dan rahasia."Kenapa menjadi sebuah Rahasia, Mar? Ini aku Yumna. Orang yang bisa kamu percaya!" tegas Yumna masih berbisik.Kemudian Yumna mengambil sesuatu dari balik bajunya. Sehelai pita berwarna biru. Dia bentangkan di hadapan gadis itu."Kamu tahu arti pita ini untukku?"Mariyati menggeleng."Ibumu yang memberikan, jauh sebelum beliau sakit. Pita ini, perlambang kalau Ibu mempercayakan kamu sama aku. Tak ada rahasia di antara aku, kamu atau mendiang Ibu. Bu Marsinah memberikan pita kamu di waktu kecil ini. Sebagai janji aku melakukan amanah yang diberikannya, Mar. Tapi, kenapa
Ingin hati bersikeras. Namun Yumna tak kuasa melarang Mariyati, yang semakin bersikeras. Akhirnya dia membiarkan gadis itu membuka pintu.Kriiiieeet!Pintu berderit, seiring dengan Mariyati menarik handle pintu. Yang kini mulai terbuka perlahan."Bapak ...!""Ikuti Bapak, Mar!""Ke-kemana, Pak?""Enggak usah banyak tanya kamu!"Sekilas Mariyati melirik ke arah Yumna. Yang ikut terpaku saat mendengar ajakan Mariman pada anak gadisnya.'Mau diajak ke mana dia?' batin Yumna."Ayok, Mar!" tegas Mariman.Sorot matanya terlihat tajam bagai elang yang siap menyambar mangsa. Saat Yumna bangkit dan hendak beranjak dari ranjang."Berhenti kamu!" bentak Mariman.Seketika Yumna terpaku dalam diam. Dia hanya berdiri di samping ranjang."Jangan pernah sekali-kali kau ikut campur!"Yumna tak berani bicara atau hanya bergarak. Diam adalah pilihan terbaik saat ini, bagi Yumna. Hanya panda
"Diam kamu!" bentak Mariman. "Mulai kapan kamu berani memberontak sama Bapak?! Jawab, Mariyati!!!" "Mar, bukannya berontak sama Bapak. Tapi, tolong hentikan semua ini Pak. Jangan lakukan pada aku mau pun Mariana!" "Diaaaam!!!" Suasana langsung hening seketika. Yumna hanya bisa menggigit bibir dan meremas kedua tangannya sendiri. Air mata menetes tanpa tau apa yang telah terjadi pada Mariyati. Dia hanya bisa mendengar isak tangis Mariyati yang kian lama semakin kencang. "Diam kamu!" sentak Mariman kasar pada anaknya. "Katanya Bapak sayang sama keluarga. Mana???!" teriak Mariyati lemah. "Ikti perintah Bapak!" "Jangan, Pak! Aku eggak mau. Tolong, Pak." Yumna yang penasaran. Memberanikan diri membuka daun jendela lebih lebar. Dia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pelan-pelan dia berusaha agar jemarinya tak sampai menimbulkan bunyi yang keras. Kini daun jendela mulai terbuka lebih lebar dari sebelumnya.
"Minumlah dulu kalian! Biar tenang."Perkataan lelaki itu membuat Raisa mengerutkan dahi."Apa Abah tahu yang menimpa perjalanan kita pulang?"Lelaki itu hanya terkekeh. Lalu dia mengangguk pelan."Kenapa mereka masih mengganggu kita lagi, Bah?""Minumlah dulu. Biar nanti saya cerita."Mereka pun akhirnya minum teh dan kopi yang sudah disediakan. Raisa berulang kali mengembuskan napasnya. Air teh yang diminum serasa mampu membuat tubuhnya yang tadi dingin."Habiskan! Biar kalian lebih tenang. Karena mobil kalian sedang membawa sesuatu yang enggak lombo." (Lombo = tidak wajar)Terutama Raisa dan Delon terperanjat saat mendengar perkataan Abah Harun."Enggak lombo?" ulang Raisa."Iya, Mbak. Kalian ikutlah kemari!"Mereka bertiga mengikuti langkah Abah Harun keluar rumah. Menuju mobil Delon yang ringsek bagian depan."Tolong buka bagian belakangnya Mas Delon!""Baik, Bah."Setelah membuka
"Perlu kita periksa lagi Mas Hamaz?""Udah ahhh, enggak usah! Perasaan aku enggak enak banget!" cetus Raisa melarang mereka turun lagi. "Kita jalan aja!"Pada akhirnya Hamaz dan Delon sepakat. Meneruskan perjalanan pulang yang penuh hambatan. Jalanan pun tampak lengang. Tak ada satu kendaraan yang terlihat. Hingga hidung Raisa terlihat bergerak-gerak. Seperti sedang mengendus sesuatu. Begitu juga Delon."Kalian bau enggak?" tanya Delon."Udah jalan aja Mas Hamaz!" pinta Raisa.Dalam waktu bersamaan. Tiba-tiba mesin mobil mati lagi."Loh, Mas Hamaz. Kok berhenti?" teriak Raisa."Enggak tau juga nih, Mbak.""Biar aku ganti yang nyetir. Mas capek mungkin," sahut Delon. Keduanya bertukar posisi. Delon pun mencoba untuk menyalakan mobil lagi. Lalu menggeleng mengarah pada Raisa dan Hamaz."Tetep enggak bisa nyala," sahut Delon kesal.Tampak dia mencoba untuk terus menyalakan mobil.
Tak lama dari kabar Pak Karjo. HP Raisa berdenting. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Raisa."Tumben suami Bu Hariyani SMS ya, Mas?""Coba kamu baca, Sa!""Iya, bentar!"Seketika tangan Raisa bergetar hebat. Saat membaca pesan itu.{Assalamualaikum, Mbak Raisa. Kami kabarkan berita duka, bahwa adik kami yang bernama Sunandar telah meninggal dunia. Mohon dimaafkan bila Almarhum mempunyai kesalahan}Raisa hanya bisa terbelalak dan terperangah."Ja-jadi ...?"Ketiganya pun tak menyangka. Bila Sunandarlah yang selama ini telah membunuh Mariana. Dan telah dijadikan Naning sebagai penggantinya."Itulah sebabnya Mbok Yumna mendatanginya. Untuk memperingatkan. Dan dia juga pernah mendatangi gunung ini 'kan?" Raisa mulai mengingat kembali rangkaian cerita yang mereka dapatkan dari sang istri kala itu."Dan dia menjadi sakit. Karena menolak apa yang diperintahkan oleh Naning. Ada kemungkinan memang dia ingin mengak
"Jangan mengganggu! Kami hanya mengantarkan apa yang seharusnya pulang." Suara Hamaz sangat tegas. Terdengar suara tawa yang melengking. Kini, seperti berada di atas kepala mereka. Berputar-putar, membentuk sebuah bayangan kehitaman yang besar. Hamaz bergerak cepat. Dia menyiapkan butiran tasbih yanga masih berada dalam genggaman. "Ikuti langkah saya! Jangan emlihat ke mana-mana!" tegas Hamaz. Langkah Hamaz sedikit aneh. Dia berjalan berbelok-belok. Sesekali meloncat ke kiri dan ke kanan. "Kenapa harus meloncat-loncat dan berbelok-belok?" protes Raisa. Hingga gadis itu tak bisa mengendalikan tubuhnya hingga terjatuh. Bruuukkk! Tubuh Raisa berguling-guling ke bawah, melewati Delon yang terpaku melihatnya. "Aaaaaarghhh!" Saat Delon tersadar. Dia langsung melompat tinggi dan mulai mengejar Raisa. "Raisaaa!" teriak keduanya spontan. Hamaz dan Delon bergerak cepat, mengejar t
"Sekali lagi maafkan kami. Bagaimana dengan benda lain?"Belum sampai ada jawaban. Hamaz sudah mengeluarkan beberapa butiran tasbih yang berada di telapak tangannya. Lalu menunjukkan pada sosok ular itu."Pergilah kalian! Aku tidak ingin benda itu menyentuh sosokku!"Aroma lebus dan anyir semakin kuat melesak rongga hidung mereka bertiga."Bolehkah kami lewat, Nyai?""Baiklah. Pergilah kalian! Andai ini bulan kawin, aku ingin kamu menjadi suami aku, Kang!" ujar wanita siluman itu.Sosok sang ular, terus melihat arah Delon, yang terus menundukkan kepalanya."Jangan, Nyai. Dia sudah tak perjaka lagi. Milik seorang dedemit juga."Kemudian, terdengar suara tawa yang mendesis serta melengking."Baiklah, Kang. Aku lepaskan dia! Walau aku tau dari baunya, dia masih perjaka," ucap siluman ular dengan meliukkan tubuh. Dan akhirnya pergi menghilang."Terima kasih, Nyai!"Seketika Delon bergidik keras. Kedua matanya m
Suasana semakin bertambah gelap. Kanan kiri jalan kecil, yang mereka lewati, hanya pepohonan lebat. Untunglah penerangan tiga ponsel sangat membantu mereka. Napas ketiganya mulai terengah-engah, menyusuri jalan setapak. Yang sepertinya jarang dilewati. "Mas, berhenti sebentar. Kelihatannya dekat, tapi aku capek banget," ujar Raisa. Mereka pun ikut berhenti dan beristirahat sebenatr. Dalam tas yang dibawa Raisa, dia mengeluarkan sebotol teh yang ternyata yang masih hangat. "Apa itu, Sa?" "Tadi dikasih Bu RT. Ya aku bawa saja 'kan? Lagian perut aku lapar." Hamaz dan Delon mengikuti Raisa yang duduk di bebatuan. Dengan lahap ketiganya makan pisang goreng. Tak ada suara lain, keculai kunyahan mereka. Dan suara binatang malam yang mengiringi malam ini. "Yuk! Kita lanjut!" ajak Hamaz. "Jalan ini betul-betul enggak ada penerangan sama sekali," celetuk Delon. "HPku dah lobat nih." "Kayaknya dikit lagi kok Ma
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menuju gunung K. Tampak Hamaz mengambil alih kemudi. Dia melihat Delon yang amsih sering meringis karena kesaitan. begitu juga dengan Raisa yang tampak kelelahan."Sebenarnya apa yang terjadi di dalam tadi?""Kita hampir mati dibunuh sosok makhluk itu, Mas.""Bagaimana ceritanya?""Tiba-tiba di hadapan kami itu banyak mayat yang bergelantungan. Tepat di atas kita Mas. Akhirnya kita ya lari ke kamar itu.""Kamar belakang?""Iya, Mas Hamaz.""Terus?"Raisa berhenti sebentar. Terkadang dia masih merasakan lehernya yang sakit."Sepertinya lukisan itu, gambar si sosok makhluk wanita iblis itu, Mas Hamaz.""Jadi dia yang menyuguhkan pesugihan pada Bapak Mariman?""Benar, Mas. Kalau penampakan saat normal, emang sangat cantik Mas. Tapi, sebenarnya wajah dia sangat mengerikan. Wajahnya hancur dan rusak. Baunya juga enggak enak lagi.""Menurut Raisa dan Mas Hamaz nih ya.
Secepat kilat. Abah Harun kembali menyerang, dengan menyambar tubuh Wilujeng dan melemparkannya hingga terpental sangat jauh. Seketika membuat raut wajah wanita itu berubah mengerikan.Bibir yang sobek dari ujung ke ujung, hingga di bawah telinga. Belum lagi aroma busuk yang menguar begitu kuat."Hei!"Sosok itu memutar lehernya hingga menghadap ke arah lelaki itu. Kesempatan baik, tak disia-siakan. Abah Harun langsung melempar tasbih yang tersisa dua di tangannya."Nih, ambil!"Dengan gerakan sangat cepat dan penuh keyakinan. Wilujeng langsung terbang meluncur ke arah Abah Harun. Dengan menyiapkan hantaman maut miliknya."Allahu Akbar!"Terdengar alunan ayat-ayat doa dari bibir Abah Harun yang masih berdiri tenang. Membuat raut wajah Wilujeng mulai memerah, bagai terbakar bara api. Tubuhnya semakin tertekan oleh cengkeraman sinar butiran tasbih yang berada dalam genggaman tangan lelaki itu.Tubuh Wilujeng perlahan mulai
"Kau tak akan bisa menang melawan aku, Manusia. Ini duniaku. Singgasanaku. Kau mau berbuat apa? Aku pastikan kau akan kalah!!!" seru Nyai Wilujeng dengan keras.Terlihat dari raut wajahnya yang selalu berubah-ubah. Dia sedang dalam keadaan murka.Kilatan cahaya seperti medan arus listrik, tergambar jelas diangkasa. Kian menyambar perbukitan yang ada di sekitar tempat ini."Petir itu akan terus berjalan mengejarmu lelaki tua? Dan, akan menuju arah sini!" ucap wanita itu, senang.Sekilas Abah Harun memeprhatikan gelegar dari petir yang menyambar. Sampai membuat terbakar beberapa titik. Saat Abah Harun berbalik, sosok wanita itu telah menghilang."Hemmm, aku harus mencarinya!"Lelaki paruh baya itu, langsung berlari walau tak mudah di tempat ini. Ilalang yang tingginya, seukuran manusia dewasa. Terasa bagai pagar yang menghalangi langkahnya berlari.Sejenak Abah Harun memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk melesat sebaga