"Jalannya bener-bener dah."
"Ihhh, cerewet kali kau Raisa," sahut Delon.
"Emang bener loh Mas. Apa kalian berdua enggak lapar?"
"Lapar juga, sih. Gimana Mas, apa cari makan dulu?"
"Langsung aja Mas Delon. Biar enggak terlalu sore kita balik dari sini."
Delon mengacungkan jempol. Tanda dia sepakat dengan pendapat Hamaz. Mobil melaju dengan kecepatan yang sedang.
"Mas Hamaz, apa ada kemungkinan makhluk yang lepas tadi akan kembali lagi ke rumah Pak Sunandar?"
"Insyaallah sudah enggak, Mbak Raisa. Asalkan satu. Ibadahnya jangan sampai lengah."
Raisa terlihat manggut-manggut. Hingga mobil berhenti di mulut sebuah gang yang cukup lebar. Kanan kirinya masih terbantang sawah dan pepohonan.
"Itu ada orang, Mas Delon," ujar Hamaz menunjuk ke arah tukang tambal ban.
"Biar aku yang tanya Mas!" Belum Delon mengiyakan gadis itu sudah turun dari mobil. baru beberapa langkah. Raisa kembali lagi.
"Mas, man
Sontak sorot mata yang tadinya terpancar lembut. Kini terlihat garang. Dia menatap mereka satu persatu."Siapanya Sunandar kalian?""Kami bukan siapa-siapa, Pak Sunandar, Mbok." Raisa menakan nada suaranya."Lalu, untuk apa kalian mencari aku?"Raisa memandang ke arah Delon dan Hamaz."Begini, Mbok Yumna. Kami datang ke sini ada hubungannya dengan Bu Sapto."Perkataan Delon membuat wanita tua itu melotot. Lalu menyandarkan punggungnya di kepala kursi. Dan memijit kepalanya, seolah apa yang baru saja dikatakan oleh Delon. Membuat beban pikirannya bertambah."Dari mana kalian tahu?""Kami membaca buku catatan dari Bu Marsinah. Yang diberi sama suami Bu Hariyani, Mbok," ujar Delon menjelaskan."Jadi, kalian dari Malang?""Iya, Mbok. Tapi, Raisa ini rumahnya bersebelahan desa sama Bu Sapto. Dan kebetulan lagi Raisa ini pemandi jenazahnya.""Ohhh, jadi kamu tau rumahnya?"Raisa mengangguk."Terus s
"Lalu, apa Bu Marsinah meninggal karena ditusuk belati?" "Aku enggak bisa bilang iya. Juga enggak bisa bhilang enggak," ucapnya lirih. Jawaban wanita itu membuat mereka bertiga saling berpandangan. "Kalimat yang aneh," bisik Raisa. Ternyata apa yang diucapkan gadis itu, terdengar oleh Mbok Yumna. "Memang aneh. Karena kematian Ibu Marsinah menurut aku sampai sekarang, enggak bisa masuk dalam akal." "Maksudnya, Mbok? Kematian yang enggak wajar?" lanjut Raisa. Wanita tua itu hanya mengangguk. "Sangat enggak wajar, Nduk." Lalu pandangannya beralih pada Raisa. "Di buku yang kalian baca sampai mana Bu Marsinah menuliskannya?" "Sampai teriakan Bu Mariyati, Mbok. Yang meluk Bu Marsinah. Lalu dia bilang, Aku akan melindungi Ibu! Sampai berulang-ulang." Tangis Mbok Yumna semakin tak terbendung lagi. Dia terus mengusap air mata, yang membasahi pipi. Kulit wajah yang penuh oleh guratan usia. Yang termakan o
Tampak wajah tua itu, tengah menahan kesedihannya. Dia meremas kuat pinggiran baju itu dan mendekapnya."Hanya ada darah! Tapi enggak ada luka sama sekali di badannya Bu Marsinah. Menurut kalian, apa itu semua masuk akal?""Memang enggak masuk akal sih Mbok. Apalagi kalau sampai enggak ada luka. Terus Pak Mariman saat itu bagaimana Mbok sikapnya?"Kembali pandangan matanya menrawang jauh. Ingatannya seperti terbang melayang beberapa puluh tahun lalu. Ke rumah itu lagi._Rumah Mariman_Terdengar teriakan yang tersamarkan di balik derasanya hujan. Apalagi petir di saat malam itu terus menyambar."Aku akan lindungi Ibu!""Aku akan lingungi Ibu!""Aku akan lindungi Ibu!""Mariyati, ingat perkataan Ibu. Jangan lupakan Allah. Hanya dia sebaik-baiknya penolong. Dekatkan dirimu hanya pada penjagaanNya saja. Bukan pada makhluk. Apalagi pada Bapakmu dan cara-cara setan yang dia pakai!"Bersamaan dengan kalimat Marsinah bera
Lompatan itu sia-sia. Tak membuahkan hasil. Gadis itu tak bisa menangkap Mariman."Ke mana dia?"Yumna menunjuk ke arah cermin."D-dia masih ada. Dia masih ada, Mariyati. Coba kau lihat di cermin itu!"Saat gadis itu menoleh. Apa yang dilihat oleh Yumna ternyata benar. Sosok Mariman masih saja berjalan pelan menuju ibunya."Bapak! Apa yang mau kamu lakukan sama Ibu?!" teriak Mariyati mendengkus keras. Kembali dia berteriak,"Bapaaaak! Di mana pun Bapak berada, Mariyati enggak akan pernah memaafkan Bapak kalau sampai sesuatu terjadi pada Ibu!" teriak Mariyati menggelegar.Tiba-tiba ...."Aaaahhh! Sakiiit ... dada aku sakit sekali."Mendengar Marsinah yang kesakitan. Yumna langsung memeluknya. Dia mencaoba menghalangi apa saja yang mencoba untuk menyakiti wanita yang berada di sampingnya."Dia pasti membunuh aku, Yum. Tolong kamu jaga anakku. Dua-duanya kamu jaga. Sampaikan semua pada Mariana juga, Yum.""Pas
"Apa-apaan kamu Mariyati?""Bapak enggak pantas memegang jasad Ibu!""Apa maksud kamu, Mar?"Mariyati membentangkan tangannya lebar. Berniat menghalangi Mariman untuk menyentuh Marsinah."Sebaiknya Bapak pergi sana! Jangan menyentuh jasad Ibuku!""Kenapa kau terus berteriak seperti ini?""Bapak ini pura-pura enggak tau? Jawab aku, Pak! Jawaaab!!!"Plaaakkk!Mariman yang hilang kesabarannya menampar keras Mariyati yang langsung tersungkur. Dari kedua sudut bibirnya. Menetes darah segar."Ohhh, jadi Bapak juga ingin bunuh aku? Bunuh saja Pak! Bunuh!""Diaaaaaaaammmm!!!" teriak Mariman sudah tak tahan mendengar Mariyati yang terus berkoar-koar.Raut wajah Mariman menegang. Dia mulai kalang kabut. Saat menyadari tubuh sang istri yang pebuh darah."Kenapa kalian diam saja? Ini banyak darah. Kenapa kalian diam?!" sentak Mariman.Tanpa pedulikan lagi Mariyati. Dia langsung menggendong jasad Mar
Satu hari berlalu, sejak kematian Marsinah. Mariyati yang selalu ditemani oleh Yumna. Semakin membenci sang Bapak. Mariman sampai harus bersusah payah menjelaskan semua. Bahwa dia tak melakukan apa pun pada Marsinah."Enggak mungkin aku membunuh Ibu kamu!"Namun, Marioyati mengabaikannya. Dia hanya terdiam dengan posisi duduk di atas kasur. Kedua kakinya ditekuk hingga menyentuh dada. Dan memeluk erat lututnya."Mana mungkin Bapak ini membunuh Ibu kamu, Mar?!""Bapak tanyakan pada nurani Bapak. Itu pun kalau masih ada," ucapnya lirih."Kamu benar-benar kurang ajar. Keterlaluan kamu sama Bapak."Lalu Mariyati melepas kedua tangan yang sedang memeluk kedua lutut. Menatap tajam ke arah Mariman yang masih berdiri di ambang pintu."Aku dan Mbak Yumna, ngelihat sendiri Bapak berjalan bawa pisau kecil. Sambil diacungkan ke arah Ibu. Kami bertiga ngelihat sendiri Pak. Bahkan Ibu juga ngelihat Bapak. Dari cermin itu kami bisa melihat semuanya.
Mariyati yang ketakutan hanya bisa manggut-manggut."Mbak!"Yumna kembali menoleh padanya."Aku ... merasa seperti ada orang lain bersama kita," bisik Mariyati."Ma-maksud kamu?" Dengan terbata Yumna bertanya.Jantung mereka kian berdegup kencang. Hingga Yumna atau pun Mariyati merasa sulit untuk bernapas. Sedang aroma busuk itu semakin menebar dan menusuk rongga hidunga mereka berdua."Kita balik kamar sekarang Mariyati!""Ta-tapi, Mbak.""Apalagi?"Suara mereka masih terdengar saling berbisik."Seperti ada sesuatu di leher belakang aku," ucap Mariyati dengan mata yang membulat.Saat itu juga. Yumna tahu bahwa semua ini akan semakin buruk. Saat Mariyati mengatakan dengan tegang dan ketakutan. Wajah dan tubuh Yumna bagai tersapu angin dingin. Dia tahu bahwa ada sesuatu yang tak wajar, terjadi detik ini."Mbaaak ...!" bisik Mariyati yang mengejutkan Yumna."Ayo, kita pergi sekarang!"
Dari raut wajah yang ditunjukkan Mariyati terlihat dia bingung dan resah. Lalu Yumna ikut duduk di sebelahnya. "Yang dilakoni sama Bapak ini ilmu hitam Mar. Semua itu bisa saja terjadi. Apalagi di rumah ini sering sekali terjadi kejadian aneh. Iya 'kan?" "Jadi kalau bukan Bapak pelakunya, dia?" Sebuah pertanyaan yang snagat sulit dijawab oleh Yumna saat itu. "Aku juga enggak tau, Mar. Aku cuman main dengan akal logika aku aja. Karena Bapak 'kan enggak terlihat. Kita hanya bisa melihat dari cermin. Betul enggak?" "Iya. Tapi, Mbak. Biar pun gitu, Bapak pasti tau hal ini terjadi. Enggak mungkin Bapak enggak tau. Wajah Bapak saat menikam Ibu itu, begitu menikmati Mbak. Hal ini enggak bakalan bisa aku lupakan seumur hidupku!" Mariyati masih bersikukuh, bila pembunuh sang ibu adalah Mariman. Baginya apa yang terlihat dalam pecahan kaca dalam genggaman tangannya. Adalah kebenaran. Tak ada yang bisa mengubah pemikiran Mariyati kala itu, termas