Bab 55
"Kamu harus tanggung jawab!"Aku terkesiap. Hendra dan Ayu juga ikut tercengang."Gara-gara kamu, anak saya jadi kena tembak dan hampir mati. Kamu tahu nggak!" omel perempuan itu yang ternyata adalah ibunya Hendra.Hendra hanya diam. Wajah marah ibu Hendra membuatku merinding."M-maaf, Bu, salah saya apa, ya?" tanyaku dengan penuh hati-hati."Masih nanya kamu? Kamu nggak sadar kesalahan kamu sama anak saya?"Aku menundukkan kepala dalam-dalam. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba aku diomeli oleh orang tua Hendra.Aku sempat melirik ke arah Hendra. Sepertinya Hendra sama sekali tidak berniat untuk membelaku. Sekilas kulihat Hendra justru tersenyum. Apa dia senang melihatku dimarahi seperti ini?"Maaf, Bu ...." Aku tidak tahu harus berkata apa, selain mengucapkan kata maaf."Anak saya nggak fokus selama tugas gara-gara kamu! Kamu udah bikin anak kesayangan saya nggak konsen!" omel pBab 56Aku benar-benar merasa lega karena sudah berhasil mengungkapkan perasaanku pada Mas Hendra. Mas Hendra juga sudah menyatakan isi hatinya langsung padaku. Kami berdua sudah saling terbuka satu sama lain, kami juga sudah siap untuk membangun hubungan baru setelah kami mengetahui isi hati masing-masing.Aku memang sudah mengakui perasaanku pada Mas Hendra, tapi bukan berarti aku akan langsung menerima ajakannya untuk menikah. Aku sudah memberi penjelasan pada Mas Hendra, dan dia mau memahami kondisiku saat ini yang masih berusaha move on dari kegagalan pernikahanku sebelumnya."Makasih ya, Mel. Aku kira kamu bakal menolakku lagi," ucap Mas Hendra."Aku bukannya menolak kamu, Mas. Aku cuma ragu sama diriku sendiri," sahutku."Kamu harus lebih percaya diri, Mel. Jangan merasa rendah diri karena status kamu yang sekarang. Aku udah memilih kamu dan aku yakin nggak akan menyesali keputusanku. Aku juga nggak akan buru-buru, aku akan menungg
Bab 57Rambutku dijambak oleh seseorang yang tiba-tiba muncul di rumahku. Saat aku menoleh, ternyata orang itu adalah Ayu."Dari mana Ayu tahu rumahku?" batinku. Sepertinya Ayu juga melihat saat aku diantar pulang oleh Mas Hendra. Aku tidak ingin berburuk sangka, tapi mungkin saja Ayu memang mengikutiku sejak tadi dan dia mengetahui kegiatanku bersama Mas Hendra."Kamu itu cuma orang asing! Aku yang harusnya jadi istri Mas Hendra! Aku udah pacaran sama Mas Hendra selama bertahun-tahun dan hampir nikah sama dia! Aku nggak akan biarin siapa pun nikah sama Mas Hendra, termasuk kamu!" Ayu berteriak histeris hingga membuatku merinding.Sebelumnya aku sudah pernah diancam dengan pisau oleh Mas Iqbal. Kalau melihat amarah Ayu, kemungkinan besar Ayu juga membawa senjata tajam untuk menyakitiku. Waktu itu aku beruntung bisa selamat dari serangan Mas Iqbal berkat bantuan Mas Hendra. Tapi kali ini, mungkin aku tidak akan mendapatkan keberuntungan l
Bab 58Aku langsung dibawa pulang setelah menginap selama satu malam di rumah sakit. Karena tidak mendapat luka yang parah, jadi aku bisa meninggalkan rumah sakit lebih cepat.Setelah insiden kecelakaan itu, Ayu tidak pernah muncul lagi di hadapanku. Dari informasi yang kudapatkan dari Mba Mira, Ayu juga sudah tidak bekerja lagi di hotel Alfarizi. Ayu mengalami cacat permanen, dia juga sudah bercerai dari suaminya.Usai beristirahat di rumah selama beberapa hari, aku pun kembali beraktivitas di kafe. Tidak hanya sibuk mengurus kafe, aku juga mulai mempersiapkan pernikahanku dengan Mas Hendra.Ya, setelah aku dan Mas Hendra memastikan Ayu tidak akan menggangguku lagi, kami berdua pun memutuskan untuk mempercepat pernikahan. Setelah acara lamaran sederhana selesai digelar, aku dan Mas Hendra mulai mempersiapkan acara resepsi yang hanya akan dihadiri oleh kerabat dan teman dekat."Mel, kirain kamu nggak ke kafe hari ini," sapa Mba Mira padak
Bab 59Satu minggu begitu cepat berlalu. Tak terasa, esok hari akan menjadi penentuan dari penantian panjangku.Hari ini aku benar-benar merasa gelisah. Aku tak fokus melakukan apa pun dan tak bisa beristirahat dengan tenang.Besok adalah hari pernikahanku dengan Mas Hendra. Setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya aku kembali berlabuh di pelabuhan cinta yang baru."Aku harus tidur lebih awal hari ini."Kupikir aku tidak akan gugup karena aku sudah pernah menikah sebelumnya. Tapi ternyata dugaanku salah. Sekarang aku bahkan jauh lebih gugup dibandingkan dengan pernikahan pertamaku dulu.Sekali lagi aku harus menjaga komitmenku dan membangun bahtera rumah tangga. Dan kali ini aku tidak boleh gagal lagi. Aku berharap pernikahan ini akan menjadi pernikahan terakhirku."Kenapa belum tidur, Mel?" tegur Mba Mira padaku.Mba Mira sudah menginap di rumahku selama beberapa hari terakhir ini. Dia sengaja menginap
Bab 60Aku berbincang sejenak dengan Mas Iqbal dan Bu Dahlia di pintu masuk pemakaman. Kami saling bertukar kabar dan menanyakan keadaan masing-masing setelah berpisah."Iya, Mas, aku udah nikah. Ini suamiku, Mas Hendra," jawabku.Mas Iqbal pasti masih ingat dengan wajah Mas Hendra. Dia juga sudah tahu kalau Mas Hendra adalah seorang polisi."Selamat ya. Kamu hebat bisa jadi istri polisi," cetus Mas Iqbal."Makasih, Mas. Udah lama kita nggak ketemu, gimana kabar kamu sama Ibu?""Seperti yang kamu lihat. Sekarang aku bukan Iqbal yang dulu lagi. Penampilan kita beda banget, ya? Kupikir, aku akan hidup makmur terus. Kupikir juga, kamu yang akan jadi penjual pempek terus," sahut Mas Iqbal. "Tapi ternyata aku salah. Keberuntunganku udah habis, sekarang aku udah nggak punya apa-apa lagi."Mas Hendra tidak memberikan banyak tanggapan. Dia hanya diam dan mendengarkan percakapanku dengan Mas Iqbal.Dilihat dari penampila
SEASON 2 Cerita ini merupakan lanjutan dari kisah sebelumnya ya. Tentu dengan tokoh baru dan alur yang berbeda. Namun, tetap ada beberapa tokoh lama yang akan melengkapi dan menyempurnakan cerita ini. Selamat membaca. 🌻🌻🌻 "Bima, kamu udah pulang?" Samar-samar kudengar suara ibu mertuaku menyambut kepulangan suamiku. Akhirnya Mas Bima pulang. Aku pun segera meninggalkan aktivitasku sejenak, kemudian bergegas menghampiri suamiku. "Mas?" Kudekati suamiku dan kucium punggung tangan laki-laki yang menjadi imamku itu. Wajah Mas Bima terlihat kusut. Mas Bima juga tampak tidak bersemangat. "Kenapa muka Mas Bima makin hari makin murung?" batinku penasaran. "Apa hasil perhitungan suaranya sudah ditetapkan? Apa Mas Bima benar-benar kalah?" "Kamu dari mana aja, Bim?" tegur ibu mertuaku pada putra kesayangannya. Mas Bima duduk di sofa ruang tamu dengan tubuh lesu. "Aku beneran kalah, Bu. Aku udah kalah!" ungkap Mas Bima dengan wajah frustasi. "Kamu yakin? Kamu udah periksa
Suasana tegang mulai menyelimuti ruang tamu. Mas Bima terus mengoceh sejak tadi, menyesalkan kekalahannya dalam pemilihan kepala daerah. Ibu mertuaku juga tak kalah pusing saat mendengar rengekan suamiku. Kami semua mulai kebingungan mencari cara untuk melunasi hutang pada rentenir."Kok kamu bisa kalah, Bim? Kemarin kamu udah nyebar banyak amplop 'kan? Kamu juga udah kasih bantuan ke banyak desa. Kenapa suara yang masuk nggak cukup untuk bikin kamu menang?" omel ibu mertuaku."Aku juga nggak tahu, Bu! Suara yang masuk untuk aku sedikit banget!" gerutu Mas Bima."Terus gimana, apa juragan Basri udah tahu kalau kamu kalah?"Tepat setelah ibu mertuaku melontarkan pertanyaan itu, terdengar suara pintu diketuk. Sepertinya ada seseorang yang datang bertamu ke rumah kami. Perhatian kami pun langsung teralihkan pada tamu tak diundang itu."Permisi!" Suara lantang seorang laki-laki membuatku terperanjat. Aku bertugas memb
Aku masih berdiri di depan kamar. Pikiranku mulai kacau setelah mendengar pembicaraan Mas Bima dan ibu mertuaku. Aku ingin segera pergi melarikan diri dari rumah ini, tapi aku tidak tahu harus pergi ke mana.Sepertinya aku harus membuat rencana terlebih dahulu. Tidak mungkin aku langsung meninggalkan rumah ini tanpa rencana yang matang. Setidaknya aku harus menentukan tempat tujuanku."Aku harus pergi ke mana sekarang? Tapi aku harus segera pergi dari rumah ini sebelum Mas Bima menyerahkan aku pada juragan hidung belang itu!" gumamku mulai panik.Aku tidak punya siapa-siapa di kota ini selain suami dan ibu mertuaku. Tempat tinggal orang tuaku sangat jauh. Aku berasal dari sebuah daerah yang berada di pedalaman Palembang.Aku hanya memiliki ibu, sedangkan ayahku sudah meninggal sejak aku masih SMP. Aku tidak memiliki saudara karena aku adalah anak tunggal, tapi aku mempunyai sepupu yang tinggal di kota lain.Jika a
Sudah kuduga, setelah istri Mas Bima tahu kebenaran tentang Yumna, Mas Bima pasti akan langsung menemuiku. Aku tidak tahu bagaimana Mas Bima bisa menemukanku. Aku sengaja tidak muncul di kedai cabang baru, karena aku takut Mas Bima akan mendatangiku ke sana. Namun, ternyata menghindari tempat itu tak bisa menjamin aku akan aman dari Mas Bima. Semakin aku menghindar dari Mas Bima, justru aku makin mudah dipertemukan dengan laki-laki itu."Aku udah nyari kamu kemana-mana," ucap Mas Bima padaku. "Ada banyak hal yang harus kita bicarakan."Aku menatap Mas Bima dengan penuh waspada. "Kamu mau tanya soal anakku lagi?""Anak kamu? Anak itu bukan cuma anak kamu 'kan, tapi anakku juga. Aku nggak impoten! Aku masih bisa punya anak!" seru Mas Bima.Aku segera menghubungi Mas Iqbal dan memberitahu tentang pertemuanku dengan Mas Bima. Aku bergegas mencari tempat yang ramai untuk berbicara dengan Mas Bima untuk mencegah Mas Bima melakukan ha
Kupikir, aku sudah berhasil lepas dari Mas Bima. Tapi entah kenapa, sampai saat ini bayang-bayang Mas Bima masih saja mengusikku.Aku datang ke kedai hanya untuk memberikan makan siang, tapi aku justru mendapat kejutan tak terduga. Begitu sampai di sana, aku langsung disambut oleh seorang wanita dengan wajah yang cukup familiar"Aku baru aja mau menghubungimu," ujar Mbak Ratih. "Kamu urus dulu tamu kamu."Aku mematung di pintu. Wanita yang menatapku saat ini tak lain ialah istri baru Mas Bima."Bisa kita bicara sebentar?""Ada perlu apa, ya?" tanyaku dengan wajah sedatar mungkin. Mana bisa aku menyambut tamu tak diundang itu dengan wajah ramah. Aku tidak mau berhubungan lagi dengan Mas Bima, tapi orang-orang di rumah Mas Bima justru terus mendatangiku."Ada hal penting yang ingin saya bahas."Mas Iqbal dan Ibu ikut duduk di dekatku. Istri baru Mas Bima itu tetap melanjutk
"Anak Mas Arul sakit apa? Sekarang keadaannya gimana?" Pertemuanku dan Mas Arul tak berhenti sampai di sini. Kami berbincang banyak, membahas tentang kondisi keluarga Mas Arul. Ternyata memang benar, kehidupan Mas Arul masih belum berubah. Bahkan, Mas Arul makin kesulitan mencari nafkah setelah memutuskan berhenti menjadi kaki tangan Juragan Basri. Sampai saat ini, Mas Arul dan Mbak Lia masih belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka bahkan kesusahan mengumpulkan keuntungan dari hasil berjualan di pelabuhan. "Jualan di pelabuhan sekarang susah, Mbak. Ada banyak pesaing, ditambah minat pembeli yang makin berkurang. Saya sampai nggak mampu bawa Roni ke dokter," ungkap Mas Arul dengan wajah sendu. Mendengar cerita Mas Arul membuatku iba dan tak tega. Setelah memberikan empek-empek, aku pun menawarkan diri untuk mengantar Mas Arul pulang. Aku ingin bertemu dengan keluarga Mas Arul,
"Jangan ngomong sembarangan ya, Mas! Anakku sama sekali nggak mirip sama kamu!"Aku makin panik. Aku tidak akan membiarkan Mas Bima tahu soal Yumna."Ini anak aku sama Mas Iqbal. Anak ini nggak ada hubungannya sama kamu!" tegasku."Berapa umur anak ini? Udah berapa lama kamu nikah sama Iqbal?" tanya Mas Bima.Aku segera pergi meninggalkan Mas Bima tanpa menjawab pertanyaan darinya. Kalau Mas Bima tahu aku baru menikah dengan Mas Iqbal beberapa bulan lalu, jelas Mas Bima akan langsung paham kalau Yumna bukanlah anak Mas Iqbal."Nayna, aku belum selesai bicara sama kamu!" seru Mas Iqbal."Aku sama kamu udah nggak punya urusan apa-apa lagi. Aku sama kamu udah punya kehidupan masing-masing, jadi tolong jangan ganggu ketenangan aku lagi!"Hari ini mungkin aku bisa melarikan diri dari Mas Bima. Namun, jika nanti aku sampai bertemu dengan Mas Bima lagi, mungkin aku tidak akan bisa kabur.
Mas Bima terus menatap ke arah putriku. Mungkinkah Mas Bima sudah mulai curiga? Tapi Mas Bima tidak mungkin bisa langsung tahu kalau Yumna adalah anaknya. Mas Bima tidak tahu bagaimana kabarku, jadi Mas Bima juga tidak akan tahu kalau aku mengandung anaknya setelah kami berpisah."Kamu kabur dari Juragan Basri, ya? Kamu lebih memilih suami miskin, makanya sekarang kamu kerja di kedai kecil kayak gini?" cibir Mas Bima padaku."Siapa yang kamu sebut suami miskin?" sentak Mas Iqbal, "sekarang kedai ini memang masih kecil, tapi aku akan membuat kedai ini menjadi besar sesegera mungkin.""Kedai ini punya suamiku, Mas," ungkapku, "memang suamiku belum jadi juragan, tapi aku akan menemani suamiku sampai bisa jadi seorang juragan."Mas Bima membelalakkan mata. Setelah mengejekku, Mas Bima pasti terkejut saat tahu kalau kedai empek-empek ini adalah milik suamiku."Bima, kamu ngobrol sama siapa?"Seseorang tib
Tawaranku mendapat sambutan baik dari Mbak Ratih. Mulai hari ini, Mbak Ratih akan menjadi pegawai di kedai empek-empek yang baru saja aku buka di Tangerang.Mas Iqbal mendukung penuh keputusanku, dan ikut membantu menyediakan tempat tinggal bagi Mbak Ratih untuk sementara waktu. Mbak Ratih akan menjadi orang kepercayaanku untuk mengurus cabang-cabang kedai yang ada di wilayah Tangerang."Bu, udah siap belum? Ayo, kita harus berangkat ke kedai sekarang," ajakku pada Ibu.Hari ini, aku dan Mas Iqbal akan pergi ke kedai empek-empek bersama dengan Ibu dan Yumna. Karena kedai yang kami buka di Tangerang masih sangat baru, jadi aku dan Mas Iqbal harus memberikan perhatian khusus sampai kedai kami memperoleh angka penjualan yang stabil. "Yumna, hari ini bantuin Mama jaga kedai, ya? Kita bantu Tante Ratih jualan empek-empek," ocehku pada putriku.Untuk menebus rasa bersalahku pada Yumna karena aku terus sibuk selama bebe
Jantungku terus berdegup kencang selama aku berada di wilayah kediaman Juragan Basri. Sesuai dengan informasi yang aku dapat, hari ini Juragan Basri pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya. Beberapa preman tampak sibuk mempersiapkan keberangkatan Juragan Basri, jadi aku bisa menyelinap masuk dengan mudah."Gimana, Mbak? Juragan Basri udah mau pergi, kan?" tanyaku pada Mbak Ratih begitu kami bertemu di dapur."Sebentar lagi dia berangkat," sahut Mbak Ratih."Kita mau pergi sekarang apa nanti?""Kita tunggu dulu sampai si Tua Bangka itu pergi."Mbak Ratih segera berganti pakaian sambil menunggu Juragan Basri berangkat bersama pengawalnya. Aku sudah menyiapkan pakaian khusus untuk Mbak Ratih menyamar.Meski aku tidak yakin baju yang dikenakan Mbak Ratih dapat mengelabui penjaga di rumah Juragan Basri, tapi setidaknya aku dan Mbak Ratih harus melakukan sesuatu agar kami tidak tertang
Aku bersyukur, Mbak Ratih masih ingat padaku. Mbak Ratih terlihat begitu senang saat bertemu lagi denganku. Meski kami tidak bisa bicara banyak, setidaknya aku sudah berhasil bertukar nomor dengan Mbak Ratih. Aku bisa memantau Mbak Ratih dan menyusun rencana untuk membawa Mbak Ratih keluar dari sana.[Aku berhutang banyak sama Mbak Ratih. Kalau bukan karena Mbak, aku nggak mungkin bisa nikah lagi, ngurus anak, sama bikin usaha bareng suami. Semua yang aku capai sekarang, berkat bantuan Mbak Ratih.]Aku mengirim pesan tersebut dengan manik mata berkaca-kaca. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku sudah hidup aman dan damai, tapi orang yang menolongku masih terperangkap dalam penderitaan.[Kamu nggak perlu berlebihan, Nayna. Aku ikut senang kalau kamu udah hidup bahagia sekarang.][Aku akan bantu Mbak keluar dari cengkraman Juragan Basri.][Kamu nggak perlu repot mikirin aku, Nay. Aku bisa cari cara sendiri.]
"Sah!"Aku tak bisa menahan tangis haru. Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari ini aku dan Mas Iqbal melangsungkan akad nikah. Meski acara ini tidak dihadiri oleh banyak orang, tapi ijab kabul yang kami laksanakan tetap terasa sakral dan khidmat.Di depan penghulu, Mas Iqbal mengucap ijab dengan lantang tanpa kesalahan. Hanya dalam hitungan menit, aku akhirnya resmi menjadi istri Mas Iqbal yang sah secara hukum dan agama.Kini, jari manisku kembali dihiasi dengan cincin. Bukan hanya cincin di jariku saja yang bertambah, tapi kehidupanku juga akan sepenuhnya berubah."Selamat, Nayna. Semoga kamu dan suami kamu bisa membangun rumah tangga yang sakinah dan penuh berkah," ucap Ibu padaku diiringi derai air mata.Aku menangis dalam pelukan Ibu. Kebahagiaan yang aku rasakan saat ini tak bisa aku deskripsikan dengan kata-kata. Kupikir, hidupku sudah berakhir setelah aku berpisah dari Mas Bima. Namun, siapa sang