Bab 57
Rambutku dijambak oleh seseorang yang tiba-tiba muncul di rumahku. Saat aku menoleh, ternyata orang itu adalah Ayu."Dari mana Ayu tahu rumahku?" batinku. Sepertinya Ayu juga melihat saat aku diantar pulang oleh Mas Hendra. Aku tidak ingin berburuk sangka, tapi mungkin saja Ayu memang mengikutiku sejak tadi dan dia mengetahui kegiatanku bersama Mas Hendra."Kamu itu cuma orang asing! Aku yang harusnya jadi istri Mas Hendra! Aku udah pacaran sama Mas Hendra selama bertahun-tahun dan hampir nikah sama dia! Aku nggak akan biarin siapa pun nikah sama Mas Hendra, termasuk kamu!" Ayu berteriak histeris hingga membuatku merinding.Sebelumnya aku sudah pernah diancam dengan pisau oleh Mas Iqbal. Kalau melihat amarah Ayu, kemungkinan besar Ayu juga membawa senjata tajam untuk menyakitiku.Waktu itu aku beruntung bisa selamat dari serangan Mas Iqbal berkat bantuan Mas Hendra. Tapi kali ini, mungkin aku tidak akan mendapatkan keberuntungan lBab 58Aku langsung dibawa pulang setelah menginap selama satu malam di rumah sakit. Karena tidak mendapat luka yang parah, jadi aku bisa meninggalkan rumah sakit lebih cepat.Setelah insiden kecelakaan itu, Ayu tidak pernah muncul lagi di hadapanku. Dari informasi yang kudapatkan dari Mba Mira, Ayu juga sudah tidak bekerja lagi di hotel Alfarizi. Ayu mengalami cacat permanen, dia juga sudah bercerai dari suaminya.Usai beristirahat di rumah selama beberapa hari, aku pun kembali beraktivitas di kafe. Tidak hanya sibuk mengurus kafe, aku juga mulai mempersiapkan pernikahanku dengan Mas Hendra.Ya, setelah aku dan Mas Hendra memastikan Ayu tidak akan menggangguku lagi, kami berdua pun memutuskan untuk mempercepat pernikahan. Setelah acara lamaran sederhana selesai digelar, aku dan Mas Hendra mulai mempersiapkan acara resepsi yang hanya akan dihadiri oleh kerabat dan teman dekat."Mel, kirain kamu nggak ke kafe hari ini," sapa Mba Mira padak
Bab 59Satu minggu begitu cepat berlalu. Tak terasa, esok hari akan menjadi penentuan dari penantian panjangku.Hari ini aku benar-benar merasa gelisah. Aku tak fokus melakukan apa pun dan tak bisa beristirahat dengan tenang.Besok adalah hari pernikahanku dengan Mas Hendra. Setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya aku kembali berlabuh di pelabuhan cinta yang baru."Aku harus tidur lebih awal hari ini."Kupikir aku tidak akan gugup karena aku sudah pernah menikah sebelumnya. Tapi ternyata dugaanku salah. Sekarang aku bahkan jauh lebih gugup dibandingkan dengan pernikahan pertamaku dulu.Sekali lagi aku harus menjaga komitmenku dan membangun bahtera rumah tangga. Dan kali ini aku tidak boleh gagal lagi. Aku berharap pernikahan ini akan menjadi pernikahan terakhirku."Kenapa belum tidur, Mel?" tegur Mba Mira padaku.Mba Mira sudah menginap di rumahku selama beberapa hari terakhir ini. Dia sengaja menginap
Bab 60Aku berbincang sejenak dengan Mas Iqbal dan Bu Dahlia di pintu masuk pemakaman. Kami saling bertukar kabar dan menanyakan keadaan masing-masing setelah berpisah."Iya, Mas, aku udah nikah. Ini suamiku, Mas Hendra," jawabku.Mas Iqbal pasti masih ingat dengan wajah Mas Hendra. Dia juga sudah tahu kalau Mas Hendra adalah seorang polisi."Selamat ya. Kamu hebat bisa jadi istri polisi," cetus Mas Iqbal."Makasih, Mas. Udah lama kita nggak ketemu, gimana kabar kamu sama Ibu?""Seperti yang kamu lihat. Sekarang aku bukan Iqbal yang dulu lagi. Penampilan kita beda banget, ya? Kupikir, aku akan hidup makmur terus. Kupikir juga, kamu yang akan jadi penjual pempek terus," sahut Mas Iqbal. "Tapi ternyata aku salah. Keberuntunganku udah habis, sekarang aku udah nggak punya apa-apa lagi."Mas Hendra tidak memberikan banyak tanggapan. Dia hanya diam dan mendengarkan percakapanku dengan Mas Iqbal.Dilihat dari penampila
Bab 1Mataku membulat sempurna menatap ponsel yang ada di tanganku. Saat ini aku tengah melihat sebuah video yang dikirim oleh nomor tak dikenal. Dalam video itu tampak suamiku––Mas Iqbal dan teman-teman seprofesinya yang masih mengenakan seragam PNS sedang berada di sebuah kafe."Pak Iqbal mukanya kusut banget, kayak baju yang belum disetrika. Setiap kali mau pulang, pasti deh mukanya kelihatan bete. Emang kenapa sih, Pak?" tanya salah satu teman Mas Iqbal."Sebenarnya saya malas pulang, Pak. Nggak betah saya di rumah, soalnya yang di rumah itu makin lama makin kelihatan kucel, mana bau amis lagi."Deg!Aku sangat terkejut mendengar jawaban Mas Iqbal. Apa maksudnya dia bicara seperti itu?"Emangnya sebau apa sih istrinya, sampai Pak Iqbal ilfil begitu," sahut teman Mas Iqbal yang lain."Pokoknya bau banget, Pak. Kalian pasti nggak akan sanggup deh, dekat-dekat sama istri saya. Setiap hari dia 'kan pegang ikan dan telur terus. Baunya itu bikin mual, saya aja sampai mau muntah kalau de
Bab 2"Mel ...!Suara Mas Iqbal membuatku tersadar dari lamunan. Setelah melihat video rekaman tadi, aku duduk termenung di dalam kamar sampai Mas Iqbal pulang.Hari ini warung memang tutup lebih cepat, karena tadi ada yang memborong daganganku."Udah sore, ya?" gumamku segera melangkah keluar dari kamar dan menjumpai Mas Iqbal yang baru pulang."Bikinin kopi!" perintah Mas Iqbal padaku.Aku mengangguk tanpa mengucapkan banyak kata. "Setelah menghinaku habis-habisan dan menjadikan aku bahan olok-olok, ternyata hanya untuk membuat secangkir kopi saja masih butuh tenagaku," gerutuku dalam hati.Melihat wajah Mas Iqbal membuatku kembali meradang, tapi aku masih berusaha untuk menahan diri. Aku memang masih kesal dan kecewa, tapi aku lebih memilih untuk tidak membuat keributan. Mungkin untuk sementara waktu, aku akan berpura-pura tidak tahu mengenai kelakuan Mas Iqbal di belakangku. Aku ingin tahu, apa lagi yang akan dilakukan oleh Mas Iqbal tanpa sepengetahuanku. Aku yakin, ini bukan pe
Bab 3Suara azan subuh sudah seperti alarm alami yang selalu membangunkanku setiap pagi. Setelah menunaikan kewajiban dua rakaat, aku mulai berkutat di dapur.Biasanya sebelum membuat sarapan, aku akan menyiapkan adonan empek-empek untuk dagangan. Tapi pagi ini sedikit berbeda karena aku sudah memutuskan untuk berhenti berjualan untuk sementara waktu."Aduh Mel, kamu kenapa nggak bangunin aku sih? Ini udah jam berapa?" Mas Iqbal keluar dari dalam kamar sambil menggerutu, dengan tergesa-gesa dia berjalan ke arah kamar mandi yang menyatu dengan dapur."Aku kira Mas udah bangun," sahutku acuh.Tak sampai lima menit Mas Iqbal sudah selesai mandi, dengan cepat dia masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dan bersiap untuk berangkat kerja."Aku nggak sempat sarapan, udah kesiangan. Ya udah, aku berangkat ya." Setelah meminum teh manis hangat beberapa teguk, Mas Iqbal pun memakai sepatunya."Lho, Mel. Kamu kok tumben nggak jualan?" tanya Mas Iqbal heran. Mungkin karena terburu-buru takut
Bab 4Dengan tergesa-gesa aku berjalan hendak menghampiri Mas Iqbal dan perempuan itu, baru saja aku akan keluar dari restoran ketika tiba-tiba ...."Lho, Mel, di sini juga?" Seseorang yang baru masuk restoran menyebut namaku."Eh, Mba Mira. Iya Mba." Mau tak mau aku menghentikan langkah, padahal aku sedang terburu-buru takut kehilangan jejak suamiku."Pantesan aja tadi waktu Mba lewat warung kamu tutup, rupanya kamu lagi shopping. Kamu sama siapa? Sendirian?"Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini, tapi aku tidak enak dengan Mba Miranti. Pasalnya perempuan ini adalah pelanggan tetapku, bahkan Mba Mira ini adalah pelanggan lama dan paling royal. Seperti kemarin, dia langsung memborong semua daganganku, bahkan memberiku uang lebih alias tips yang cukup besar."Iya, Mba, aku sendirian. Hari ini warung tutup, kemungkinan masih lama buka lagi. Soal aku mau istirahat dulu," jawabku dengan resah. Sesekali aku menoleh ke luar re
Bab 5Saat Mas Iqbal makan malam, aku lebih memilih untuk mencuci pakaian. Kebetulan perutku belum terasa lapar, mungkin karena tadi sore aku sudah makan di mall.Tempat mencuci pakaian letaknya persis di samping kamar mandi, tidak terlalu jauh dari meja makan di mana Mas Iqbal kini sedang menikmati makan malamnya.Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Mas Iqbal menyuap makanannya.Eh, tunggu. Sejak kapan Mas Iqbal makan sambil main ponsel? Mungkin karena saking asyiknya chatting dengan seseorang, Mas Iqbal sampai tidak menyadari aku sedang memperhatikannya. Sesekali kulihat laki-laki yang masih bergelar suamiku itu tampak senyum-senyum seperti orang yang sedang kasmaran.Aku baru akan menegurnya, ketika Mas Iqbal bangun dari tempat duduknya pertanda dia sudah selesai makan. Akhirnya aku pun meneruskan aktivitasku, tapi pikiranku berkelana kemana-mana."Pasti Mas Iqbal lagi chattingan sama perempuan itu," batinku.Ya, aku merasa yakin suamiku sedang asyik bertukar pesan dengan perem