Aku menggeser badan, lalu membiarkan Bu Kenanga yang tengah menyeret Pak Hendra untuk masuk ke dalam rumah. Rara yang melihat Pak Hendra dijewer sama istrinya, merasa kasihan dan keceplosan.
"Heh, siapa kamu jewer daddyku? Sayang, nggak papa, kan?"
Aku terkejut melihat sikapnya. Apakah ia tak menyadari bahwa ia ada di rumah suaminya? Dan apa dia tak tahu jika di hadapannya ini adalah istri sah dari daddy-nya itu?
"Apa? Sayang? Kamu panggil suamiku sayang? Dasar perempuan j*l*ng!"
Bu Kenanga merangsek maju, melepaskan Pak Hendra dan menampar Rara. Suaranya begitu keras hingga aku pun meringis. Dari dalam, keluar Mama dan juga Kak Caca.
"Maaf, Mbak Arina, maaf menyela. Saya pamit pulang dulu. Karena sepertinya ini urusan keluarga Mbak Arin," ucap Bu Kenanga, tangan kanannya menjewer telinga Pak Hendra."Oh, baik, Bu. Silakan, hati-hati di jalan, ya!"Mereka pun mengangguk. Sebelum pergi, Bu Kenanga sempat meludahi Rara. Hal itu membuat ia berteriak, sementara aku mengulum senyum."Ra, ayo jawab! Itu nggak benar, kan?" tanya Mama sekali lagi, namun Rara sepertinya enggan menjawab, ia malah menoleh ke arah Mas Delon, sepertinya meminta bantuan pada lelaki itu.Yah, pasti dibelain. Aku jadi teringat kembali sewaktu acara pernikahan mereka. Membawa Mbok Rah ke sini, tak membuat Arina mengakui mereka, apalagi sekarang?&n
"Nggak, kalian kan pacaran aja tiga tahun, menikah sebulan, masa rasa itu bisa lenyap begitu saja?""Ya bisa. Perasaanku saat ini lebih dari benci untuknya. Aku tak sadar, selama ini telah menghamburkan banyak uang untuknya. Kupikir karena memang ia orang tak punya, tapi nyatanya memang aku saja yang buta. Buta oleh cinta.""Akhirnya, lu nyadar juga," ucap Rio.Aku menoleh, keningku berkerut sambil menatapnya."Gue udah memperhatikan dari lama, dia hanya morotin lu aja. Apalagi saat dia meminta ke elu buat dibeliin jam-""Tunggu, kok lu tau? Gue kan ga pernah cerita ke elu?"
Segera kutelan saliva. Bagaimana, ya? Rasa sakitku tidak akan sembuh hanya dengan kata maaf saja, semuanya harus menerima akibat dari perbuatannya sendiri. Sayangnya, orang tuaku terlalu baik sehingga kadang tak memikirkan perasaan anaknya."Nggak kok, Yah. Tadi hanya pergi dengan Rio."Ayah mengangguk, kemudian kami melanjutkan makan.--Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Akhirnya, statusku sudah resmi berubah menjadi janda. Tak apalah janda, asal janda terhormat. Aku sendiri sangat senang karena sudah bisa lepas darinya."Ri, antarkan aku ke rumah Mas Delon," ucapku pada Rio.
Mataku membeliak saat melihat Rara tengah berdiri dengan wajah datar. Ia menatapku kosong, aku tak yakin jika ia bahagia dengan pernikahan ini. Apalagi, Mas Delon sempat murka tentang pekerjaannya yang menjadi sugar baby. "Kenapa kamu tega, Mas? Seharusnya, kalau kamu memang tak mau dengannya, kamu bisa menceraikan Rara," ucapku. Entah mengapa, meskipun sempat disakiti oleh wanita yang tiga tahun lebih muda dariku itu, tapi melihatnya seperti ini sekarang, membuatku tak tega juga. "Dia sendiri yang tak mau pergi dari sini, Rin. Kamu jangan ikut campur urusan keluarga ini karena sekarang kita sudah berbeda," ucap Mas Delon. "Tapi-" "Yang
"Apa semua lancar?" tanya Bunda. Malam ini, aku meminta tidur dengan beliau. Rasanya sudah sangat lama tak melakukan ini. "Alhamdulillah, Bun. Malah Arin mendengar kalau Mas Delon mau menikah lagi." "Apa? Menikah lagi?" ulang Bunda dengan wajah terkejut. Aku mengangguk, memang siapapun pasti bakal terkejut. Pasanya, hanya dalam waktu beberapa bulan, Mas Delon sudah mau menikah tiga kali. Ini semua karena keserakahan, ingin memiliki istri dan menantu kaya agar mereka bisa naik derajat dan berleha-leha tanpa uang. "Nanti kalau kita diundang, datang saja ya, Bun?" "Sama Bunda?" Aku mengangguk, kalu memeluk tubuh beliau. Rasanya sangat
Pov RaraNamaku Rara, anak dari seorang pembantu rumah tangga dan juga supir pribadi di sebuah rumah orang kaya. Dulu kupikir, aku ini memang benar anak kandung mereka. Namun lambat laun, aku menemukan keanehan dalam diriku. Tak ada satupun yang mirip antara aku dan orang tuaku. Hingga akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, bahkan sedikit memaksa karena mereka tak kunjung membuka suara. "Kamu, sebenarnya anak adik Ibu. Orang tuamu sudah meninggal karena kecelakaan. Kamu yang saat itu masih dalam hitungan bulan, akhirnya Ibu angkat menjadi anak. Kebetulan, Ibu dan Bapak tak bisa memiliki anak." Aku tak merasakan kehancuran saat mendengar penjelasan itu dari Ibu, karena memang ini yang kumau. Jika aku bukan anak kandung mereka, maka aku tak harus menuruti omongan keduanya, kan? Hingga akhirnya, sejak saat itu aku benar-benar melalui batas. Dari yang dulunya selalu pulang tepat waktu, kini sepulang sekolah selalu mampir dulu untuk bermain. Dari dulu, selalu kujaga semua. Perasaan
Aku terduduk di trotoar taman, menangisi nasibku yang tak pernah baik ini. Sekarang, aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan? "Kenapa, Dek? Ini sudah mau malam, kok nggak pulang?"Aku mendongak, seorang lelaki atau yang bisa kusebut sebagai om itu tersenyum. Aku sendiri menggeleng, masih enggan untuk pulang. Meskipun tak akan ketahuan sekarang, tapi suatu hari nanti, pasti akan ketahuan kan? Seiring berjalannya waktu, akan terlihat juga. "Om anterin, ya?" "Nggak usah, Om." "Mau jalan-jalan? Barangkali kamu ada masalah, sehingga butuh teman untuk bercerita?"Tawaran dari Om itu membuatku kembali berpikir, lalu mengangguk. Ya, mungkin jalan-jalan bisa membuat pikiranku sedikit fresh. Aku mengikuti langkah orang yang bernama Om Hendra itu, lalu masuk ke dalam mobilnya. Sedikit canggung, lalu mobil pun melaju. Kami banyak bercerita. Om Hendra, bisa membuatku nyaman. Hingga akhirnya aku menceritakan soal kehamilanku. "Jadi, kamu mau menggugurkannya?" "Nggak Om, aku takut." "Ka
"Ma, apa benar ini berlian palsu?" tanyaku."Ya, ini berlian palsu. Tega-teganya kamu ya," jawab Mama.Aku tersenyum, ya emang itu palsu. Mau beli yang asli, sayang duit. Apalagi sekarang aku jarang bertemu dengan Daddy, otomatis uang jajanku pun berkurang."Ini Rara belinya di teman, Ma. Katanya butuh uang, jadi Rara beliin deh. Kasian, kan? Nanti kapan-kapan, Rara ajak Mama beli yang baru, ya? Gimana? Mau?""Beneran, Ra?""Iya, Ma."Wajah Mama langsung berubah semringah. Astaga, benar-benar keluarga matre. Andai saja aku tak butuh, sudah pasti aku pergi dari sini.Sikap Mas Delon padaku perlahan mulai membaik lagi, apalagi saat Mama bercerita akan kubawa untuk membeli baju. Wah, sudah pasti aku bagai ratu di rumah ini. Semua kemauanku mereka penuhi, asal ada uang yang keluar dari dompetku.