"Ibu boleh memeriksanya sendiri."
Bu Kenanga langsung membuka map itu, seketika matanya membulat saat mengeluarkan poto yang ada di dalamnya. Ya, itu adalah foto Pak Hendra dengan Rara dengan kualitas foto bagus yang diberikan oleh Rio. Sementara foto yang kuambil sebagai bahan penyelidikan Rio kemarin ini hanyalah foto dari samping, sehingga tak jelas wajah keduanya.
"Papa?"
"Ya, itu adalah Pak Hendra, sementara wanita di sampingnya adalah Rara. Dia, wanita yang menghancurkan rumah tangga saya dan suami."
Memang betul, kan? Selain sifat sombong mertua, Rara adalah alasan nomor dua aku dan Mas Delon bercerai.
"Ini gak bohong, kan?"
Aku menggeser badan, lalu membiarkan Bu Kenanga yang tengah menyeret Pak Hendra untuk masuk ke dalam rumah. Rara yang melihat Pak Hendra dijewer sama istrinya, merasa kasihan dan keceplosan."Heh, siapa kamu jewer daddyku? Sayang, nggak papa, kan?"Aku terkejut melihat sikapnya. Apakah ia tak menyadari bahwa ia ada di rumah suaminya? Dan apa dia tak tahu jika di hadapannya ini adalah istri sah dari daddy-nya itu?"Apa? Sayang? Kamu panggil suamiku sayang? Dasar perempuan j*l*ng!"Bu Kenanga merangsek maju, melepaskan Pak Hendra dan menampar Rara. Suaranya begitu keras hingga aku pun meringis. Dari dalam, keluar Mama dan juga Kak Caca.
"Maaf, Mbak Arina, maaf menyela. Saya pamit pulang dulu. Karena sepertinya ini urusan keluarga Mbak Arin," ucap Bu Kenanga, tangan kanannya menjewer telinga Pak Hendra."Oh, baik, Bu. Silakan, hati-hati di jalan, ya!"Mereka pun mengangguk. Sebelum pergi, Bu Kenanga sempat meludahi Rara. Hal itu membuat ia berteriak, sementara aku mengulum senyum."Ra, ayo jawab! Itu nggak benar, kan?" tanya Mama sekali lagi, namun Rara sepertinya enggan menjawab, ia malah menoleh ke arah Mas Delon, sepertinya meminta bantuan pada lelaki itu.Yah, pasti dibelain. Aku jadi teringat kembali sewaktu acara pernikahan mereka. Membawa Mbok Rah ke sini, tak membuat Arina mengakui mereka, apalagi sekarang?&n
"Nggak, kalian kan pacaran aja tiga tahun, menikah sebulan, masa rasa itu bisa lenyap begitu saja?""Ya bisa. Perasaanku saat ini lebih dari benci untuknya. Aku tak sadar, selama ini telah menghamburkan banyak uang untuknya. Kupikir karena memang ia orang tak punya, tapi nyatanya memang aku saja yang buta. Buta oleh cinta.""Akhirnya, lu nyadar juga," ucap Rio.Aku menoleh, keningku berkerut sambil menatapnya."Gue udah memperhatikan dari lama, dia hanya morotin lu aja. Apalagi saat dia meminta ke elu buat dibeliin jam-""Tunggu, kok lu tau? Gue kan ga pernah cerita ke elu?"
Segera kutelan saliva. Bagaimana, ya? Rasa sakitku tidak akan sembuh hanya dengan kata maaf saja, semuanya harus menerima akibat dari perbuatannya sendiri. Sayangnya, orang tuaku terlalu baik sehingga kadang tak memikirkan perasaan anaknya."Nggak kok, Yah. Tadi hanya pergi dengan Rio."Ayah mengangguk, kemudian kami melanjutkan makan.--Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Akhirnya, statusku sudah resmi berubah menjadi janda. Tak apalah janda, asal janda terhormat. Aku sendiri sangat senang karena sudah bisa lepas darinya."Ri, antarkan aku ke rumah Mas Delon," ucapku pada Rio.
Mataku membeliak saat melihat Rara tengah berdiri dengan wajah datar. Ia menatapku kosong, aku tak yakin jika ia bahagia dengan pernikahan ini. Apalagi, Mas Delon sempat murka tentang pekerjaannya yang menjadi sugar baby. "Kenapa kamu tega, Mas? Seharusnya, kalau kamu memang tak mau dengannya, kamu bisa menceraikan Rara," ucapku. Entah mengapa, meskipun sempat disakiti oleh wanita yang tiga tahun lebih muda dariku itu, tapi melihatnya seperti ini sekarang, membuatku tak tega juga. "Dia sendiri yang tak mau pergi dari sini, Rin. Kamu jangan ikut campur urusan keluarga ini karena sekarang kita sudah berbeda," ucap Mas Delon. "Tapi-" "Yang
"Apa semua lancar?" tanya Bunda. Malam ini, aku meminta tidur dengan beliau. Rasanya sudah sangat lama tak melakukan ini. "Alhamdulillah, Bun. Malah Arin mendengar kalau Mas Delon mau menikah lagi." "Apa? Menikah lagi?" ulang Bunda dengan wajah terkejut. Aku mengangguk, memang siapapun pasti bakal terkejut. Pasanya, hanya dalam waktu beberapa bulan, Mas Delon sudah mau menikah tiga kali. Ini semua karena keserakahan, ingin memiliki istri dan menantu kaya agar mereka bisa naik derajat dan berleha-leha tanpa uang. "Nanti kalau kita diundang, datang saja ya, Bun?" "Sama Bunda?" Aku mengangguk, kalu memeluk tubuh beliau. Rasanya sangat
Pov RaraNamaku Rara, anak dari seorang pembantu rumah tangga dan juga supir pribadi di sebuah rumah orang kaya. Dulu kupikir, aku ini memang benar anak kandung mereka. Namun lambat laun, aku menemukan keanehan dalam diriku. Tak ada satupun yang mirip antara aku dan orang tuaku. Hingga akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, bahkan sedikit memaksa karena mereka tak kunjung membuka suara. "Kamu, sebenarnya anak adik Ibu. Orang tuamu sudah meninggal karena kecelakaan. Kamu yang saat itu masih dalam hitungan bulan, akhirnya Ibu angkat menjadi anak. Kebetulan, Ibu dan Bapak tak bisa memiliki anak." Aku tak merasakan kehancuran saat mendengar penjelasan itu dari Ibu, karena memang ini yang kumau. Jika aku bukan anak kandung mereka, maka aku tak harus menuruti omongan keduanya, kan? Hingga akhirnya, sejak saat itu aku benar-benar melalui batas. Dari yang dulunya selalu pulang tepat waktu, kini sepulang sekolah selalu mampir dulu untuk bermain. Dari dulu, selalu kujaga semua. Perasaan
Aku terduduk di trotoar taman, menangisi nasibku yang tak pernah baik ini. Sekarang, aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan? "Kenapa, Dek? Ini sudah mau malam, kok nggak pulang?"Aku mendongak, seorang lelaki atau yang bisa kusebut sebagai om itu tersenyum. Aku sendiri menggeleng, masih enggan untuk pulang. Meskipun tak akan ketahuan sekarang, tapi suatu hari nanti, pasti akan ketahuan kan? Seiring berjalannya waktu, akan terlihat juga. "Om anterin, ya?" "Nggak usah, Om." "Mau jalan-jalan? Barangkali kamu ada masalah, sehingga butuh teman untuk bercerita?"Tawaran dari Om itu membuatku kembali berpikir, lalu mengangguk. Ya, mungkin jalan-jalan bisa membuat pikiranku sedikit fresh. Aku mengikuti langkah orang yang bernama Om Hendra itu, lalu masuk ke dalam mobilnya. Sedikit canggung, lalu mobil pun melaju. Kami banyak bercerita. Om Hendra, bisa membuatku nyaman. Hingga akhirnya aku menceritakan soal kehamilanku. "Jadi, kamu mau menggugurkannya?" "Nggak Om, aku takut." "Ka
BAB 50---ENDING _______Aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Rio dan wanita itu. Hatiku sungguh terbakar. Apa maksudnya itu? "Bu, ini, ada makan siang yang dikirim oleh Pak Rio," ucap Amel seraya menyodorkan sebuah kotak makan padaku. "Buat kamu aja, Mel. Oh, ya, kalau misal dia cari saya, bilang saja nggak ada." "Tapi, Bu, apa nggak papa?" tanya Amel, mungkin dia takut Rio tersinggung. "Nggak papa, Mel. Saya habis ini mau pulang ya. Badan nggak enak." Amel mengangguk. Aku yakin, ia bisa menghandle semuanya. Saat baru turun dan keluar dari lift, aku bertemu dengan Rio yang tampak tengah tersenyum melihat layar ponselnya."Ehem," ucapku, membuat Rio mendongakkan kepalanya. Ia menyapaku dengan mengangkat tangannya. "Kamu mau ke mana, Rin? Kok bawa tas?" "Mau pulang, nggak enak badan." "Oh yaudah hati-hati, ya." Aku sempat tertegun sebentar saat melihat Rio yang pergi begitu saja. Ingin rasanya aku tertawa lebar saat melihatnya pergi. "Oh, jadi kamu mau menjauh dariku, Ri?
"Aku, boleh masuk, nggak?""Eh? Boleh aja. Ayo."Kami pun masuk ke dalam rumah. Ternyata Ayah, Bunda, Mas Bima, dan Kak Rosi sudah berkumpul di ruang keluarga. Sementara Mbak Inah sedang merapikan meja makan, sepertinya kedua orang tuaku baru saja selesai makan."Om, Tante, Kak."Rio menyalami mereka satu persatu. Tumben banget?"Jadi gimana, Rio?""Tunggu, gimana apanya, Yah?""Begini,Om, Tante. Kedatangan saya ke sini, mau melamar Arin, tapi belum secara resmi. Hanya meminta restu."Deg!Apa? Dia, melamarku? Tapi kenapa ga ngomongin terlebih dahulu tadi?"Bagaimana, Om, Tante?""Ehm, begini, Rio. Seperti yang Rio tau, Arina ini kan janda, dan juga baru bercerai. Apa tidak terburu-buru?" tanya Ayah."Iya, Bunda juga merasa begitu. Toh, kalian kan baru menjalin hubungan, kan?" tanya Bunda, yang kujawab dengan anggukan."Iya, Tante. Saya melakukan ini hanya untuk mengikat A
"Apa, Sayang?""Katanya, Vito ini pembawa sial, Ma. Gara-gara Vito, Mama di penjara dan Om Delon juga masuk ke penjara. Emangnya, penjara itu apa, Ma? Apa tempat menyeramkan, sehingga Nenek menyalahkan Vito?"Hatiku mencelos mendengar, apalagi saat Ani menganggukkan kepala tanda semuanya itu benar adanya. Setelah menghibur Vito, kusuruh ia untuk mandi karena sebentar lagi waktunya mengaji.Malam hari.Aku ngobrol dengan Mas Bima di teras balkon kamarku. Kuceritakan semua, termasuk tentang Mas Delon yang dipenjara."Itu lah, hukum tabur tuai lagi dirasakan oleh Delon. Sudah, biarkan saja. Besok, bilangin Ani untuk tak mengajaknya ke taman itu lagi. Bukan tidak mungkin kalau mantan mertuamu akan menyakiti Vito."Aku mengangguk. Apa yang dikatakan oleh Mas Bima memang ada benarnya. Aku tak mau, jika nanti Vito menyalahkan dirinya, meskipun ia masih kecil."Lagi pula, lucu aja kalau neneknya Vito menyalahkan bocah sekecil it
"Pak Adrian, Pak." "Oh, Pak Adrian lagi ke luar kota. Ibunya sakit, baru saja diantar pergi." Lah? Ngapain dia minta dikirimin barang, namun tak ada di rumah? "Kebetulan, saya ketua RT di sini. Kalau boleh tau, ada keperluan apa, ya?" "Saya mau mengantarkan ini, Pak." "Apa isinya, Pak?" tanya Pak RT tadi sambil menerima barang yang kuulurkan. "Kurang tahu, saya cuma disuruh antar saja." Pak RT nampak penasaran, dengan bimbang, tangannya hendak melepas seteples yang menjadi penutupnya. "Pak, jangan." "Kenapa, Pak?" "Nanti saya dimarahi oleh orang yang menyuruh saya ke sini." "Saya mantan polisi, Pak. Nah, saya curiga dengan barang yang dibawa oleh Bapak." Setelahnya, Pak RT seperti menelepon seseorang, yang ternyata adalah satpam yang baru saja men
"Kamu kenapa, Lon?" tanya Mama. "Aku habis kena tipu, Ma. Sepuluh juta uangku melayang," ucapku lemas. Puluhan kali kucoba menelepon Hari, namun tak kunjung tersambung. Kucari akun sosial medianya, menggunakan nama panjangnya. Ketemu. Namun, aku bertambah lemas saat melihat beberapa tulisan temannya yang meminta uang dikembalikan. Ini sih sudah fix, aku kena tipu. "Kamu ini, Lon. Sudah Mama biayai buat kuliah, kok masih aja bl**n! Masa iya kena tipu tapi nggak nyadar?" "Ya kalau nyadar, nggak bakal kena tipu lah, Ma." Aku pun masuk ke dalam kamar. Berbicara dengan Mama rasanya sia-sia saja. Kupandangi tas tempatku menyimpan uang. Kenapa terbuka? Segera kuambil, dan melihat isinya serta menghitungnya. Kenapa hanya tersisa tujuh juta? Ke mana yang tiga juta? "Ma! Mama!" "Apa, sih? Teriak-teriak dipikir Mama ini b*deg?" "Mama lihat uang Delon yang di tas?" tanyaku. "Ya, sama Mama dibawa ke pasar tadi buat belanja bahan makanan." "Belanja apa yang sampai tiga juta, Ma? Lagian,
"Ja-jangan, Delon. Maafkan Mama. Iya, Mama mau hidup susah sama kamu."Setelah mencari kontrakan hampir setengah hari, kami dapat juga. Rumah kecil, namun lumayan untuk saat ini, daripada harus tidur di dalam mobil.Setelah membayar untuk tiga bulan ke depan, aku mengajak Mama membeli perlengkapan rumah. Kasur lipat, tikar, dan juga peralatan masak dan makan."Kita harus memulai semuanya lagi dari awal, Lon," ucap Mama sambil terisak."Sudah lah, Ma. Nggak usah Mama nangis terus."Malam hari, Mama masak ayam goreng dan sambal. Aku makan dengan lahap, mengingat seharian belum makan."Besok, Mama mau jenguk Caca, Lon," ucap Mama."Iya, Delon anterin, Ma. Sekarang makan yang banyak."Mama mengangguk, malam itu kami makan dalam diam. Aneh, rasanya. Biasanya ada saja yang menjadi percakapan di meja makan. Kini, selain sepi, juga kami makannya di lantai beralaskan tikar."Tidur,
"A-apa maksudmu?" tanyaku sambil memalingkan wajah. Pasti saat ini wajahku sudah memerah saking malunya."Rin, kamu nggak mau?""Mau apa?""Kamu nggak mau nikah sama aku?""Kamu ini nawarin, apa gimana, sih? Di mana-mana, orang ngelamar itu nanyanya mau nggak? Bukan nggak mau!"Rio terkekeh setelah mendengar ucapanku. Aku langsung kehilangan mood, kusuruh ia untuk melajukan mobil lagi. Suasana tiba-tiba menjadi canggung, dan hawanya pun panas.Sepuluh menit kemudian, kami sampai di kantor. Amel langsung memberiku materi rapat nanti. Kubaca, lalu menyerahkan padanya lagi."Aku tunggu jawabanmu nanti sore."Aku menoleh ke arah Rio yang tersenyum, kemudian menghilang di balik pintu. Untuk sesaat aku tercenung, lalu mengambil minum saat menyadari hatiku sedang tak baik-baik saja.Debaran dalam dada yang selama ini tak pernah terasa, tiba-tiba memenuhi rongga. Namun, aku teringa
"Apa? G*la si Caca itu!" ucap Bunda saat kuceritakan semua.Bunda dan Kak Rosi datang menjenguk Vito, tapi anak itu tertidur setelah kuminumkan obat tadi."Iya lah, Bun, kalau waras juga gak bakal kaya gjtu. Aku sampai nggak habis pikir loh, Rin, kok bisa ada seorang ibu yang tega menyakiti anaknya hanya karena tak mencapai tujuan keinginannya? Duit mulu yang dipikirin," ucap Kak Rosi."Iya, dia stress kali, Kak. Suaminya kan nikah lagi, udah punya bayi pula.""Hah? Pantes. Iya lah, siapa juga yang tahan sama wanita iblis seperti dia," sungut Kak Rosi."Rosi," tegur Bunda."Hehe, maaf, Bun, terlalu menghayati." Aku terkekeh melihatnya.Aku menceritakan juga tentang siasatku, yang harus menjalin kerja sama dengan wanita malam. Bukan aku membenarkan, tapi memang siapa lagi yang bisa mengerjakan misi ini selain wanita seperti Risti?"Tapi kamu tetap salah, Nak. Bunda kan pernah bilan
Di sana, Rio tengah duduk berdua dengan Risti. Senyum terlihat di wajah lelaki yang sudah menemaniku selama lima tahun belakangan ini. Sementara Vito tengah melihat ikan di kolam yang terletak di tengah-tengah taman.Aku terdiam sesaat, memangnya, apa yang kurasakan saat ini? Salahkah jika mereka berdua saling jatuh cinta? Kenapa rasanya, menyakitkan? Apakah aku cemburu?Aku berbalik, tak jadi bergabung dengan mereka dan berjalan menuju kamar. Di dalam kamar aku termenung. Apa yang tengah kurasakan sekarang? Benarkah aku cemburu? Atau, hanya terkejut saja? Yah, pasti karena terkejut, kan? Apalagi selama ini tak pernah sekalipun kulihat Rio bersama wanita lain. Sikapnya yang dingin pada wanita, sempat membuatku berpikir kalau dia tak normal.Dret!Suara pintu dibuka. Aku mendongak, ternyata Rio, Risti dan juga Vito sudah kembali."Tante Arin!" panggilnya sambil berjalan memelukku.Kuusap pungg