"Apa semua lancar?" tanya Bunda. Malam ini, aku meminta tidur dengan beliau. Rasanya sudah sangat lama tak melakukan ini.
"Alhamdulillah, Bun. Malah Arin mendengar kalau Mas Delon mau menikah lagi."
"Apa? Menikah lagi?" ulang Bunda dengan wajah terkejut.
Aku mengangguk, memang siapapun pasti bakal terkejut. Pasanya, hanya dalam waktu beberapa bulan, Mas Delon sudah mau menikah tiga kali. Ini semua karena keserakahan, ingin memiliki istri dan menantu kaya agar mereka bisa naik derajat dan berleha-leha tanpa uang.
"Nanti kalau kita diundang, datang saja ya, Bun?"
"Sama Bunda?"
Aku mengangguk, kalu memeluk tubuh beliau. Rasanya sangat
Pov RaraNamaku Rara, anak dari seorang pembantu rumah tangga dan juga supir pribadi di sebuah rumah orang kaya. Dulu kupikir, aku ini memang benar anak kandung mereka. Namun lambat laun, aku menemukan keanehan dalam diriku. Tak ada satupun yang mirip antara aku dan orang tuaku. Hingga akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya, bahkan sedikit memaksa karena mereka tak kunjung membuka suara. "Kamu, sebenarnya anak adik Ibu. Orang tuamu sudah meninggal karena kecelakaan. Kamu yang saat itu masih dalam hitungan bulan, akhirnya Ibu angkat menjadi anak. Kebetulan, Ibu dan Bapak tak bisa memiliki anak." Aku tak merasakan kehancuran saat mendengar penjelasan itu dari Ibu, karena memang ini yang kumau. Jika aku bukan anak kandung mereka, maka aku tak harus menuruti omongan keduanya, kan? Hingga akhirnya, sejak saat itu aku benar-benar melalui batas. Dari yang dulunya selalu pulang tepat waktu, kini sepulang sekolah selalu mampir dulu untuk bermain. Dari dulu, selalu kujaga semua. Perasaan
Aku terduduk di trotoar taman, menangisi nasibku yang tak pernah baik ini. Sekarang, aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan? "Kenapa, Dek? Ini sudah mau malam, kok nggak pulang?"Aku mendongak, seorang lelaki atau yang bisa kusebut sebagai om itu tersenyum. Aku sendiri menggeleng, masih enggan untuk pulang. Meskipun tak akan ketahuan sekarang, tapi suatu hari nanti, pasti akan ketahuan kan? Seiring berjalannya waktu, akan terlihat juga. "Om anterin, ya?" "Nggak usah, Om." "Mau jalan-jalan? Barangkali kamu ada masalah, sehingga butuh teman untuk bercerita?"Tawaran dari Om itu membuatku kembali berpikir, lalu mengangguk. Ya, mungkin jalan-jalan bisa membuat pikiranku sedikit fresh. Aku mengikuti langkah orang yang bernama Om Hendra itu, lalu masuk ke dalam mobilnya. Sedikit canggung, lalu mobil pun melaju. Kami banyak bercerita. Om Hendra, bisa membuatku nyaman. Hingga akhirnya aku menceritakan soal kehamilanku. "Jadi, kamu mau menggugurkannya?" "Nggak Om, aku takut." "Ka
"Ma, apa benar ini berlian palsu?" tanyaku."Ya, ini berlian palsu. Tega-teganya kamu ya," jawab Mama.Aku tersenyum, ya emang itu palsu. Mau beli yang asli, sayang duit. Apalagi sekarang aku jarang bertemu dengan Daddy, otomatis uang jajanku pun berkurang."Ini Rara belinya di teman, Ma. Katanya butuh uang, jadi Rara beliin deh. Kasian, kan? Nanti kapan-kapan, Rara ajak Mama beli yang baru, ya? Gimana? Mau?""Beneran, Ra?""Iya, Ma."Wajah Mama langsung berubah semringah. Astaga, benar-benar keluarga matre. Andai saja aku tak butuh, sudah pasti aku pergi dari sini.Sikap Mas Delon padaku perlahan mulai membaik lagi, apalagi saat Mama bercerita akan kubawa untuk membeli baju. Wah, sudah pasti aku bagai ratu di rumah ini. Semua kemauanku mereka penuhi, asal ada uang yang keluar dari dompetku.
Untung lah, wanita di hadapanku ini tak melakukan apapun. Ia hanya bertanya sekedar, karena percakapan kami terpotong oleh kehadiran Mama dan Kak Caca. Mereka sudah selesai berbelanja rupanya.Ada satu hal yang tak kutahu, ternyata Mas Reza, suami Kak Caca, memiliki hutang senilai empat puluh juta pada Mbak Arin. Ini menjadikan sikap waspadaku bangkit, jangan sampai, aku menjadi korban selanjutnya.Entah apa yang dibisikkan oleh Mbak Arina, hingga Kak Caca begitu marah dengan wanita yang sudah menjadi mantan istri suamiku itu. Adegan jambak menjambak pun tak terelakkan, dan jujur, aku senang dengan itu semua.Sepulangnya Mbak Arin, aku berpura-pura peduli pada Kak Caca, padahal dalam hati aku bersyukur melihatnya begini. Ia terus meringis karena kepalanya terasa sakit, mungkin efek tarikan rambut yang kencang.Beberapa hari kemudian, datang lagi Mbak Arin. Kenapa wanita ini selalu had
Kupikir, setelah semua yang kuberi, Mas Delon dan keluarganya akan berperilaku baik padaku. Namun ternyata tidak, mereka justru semakin semena-semena padaku. Apakah sudah saatnya aku untuk mengaku hamil padanya?"Rara! Cepat bersihkan ini!" teriak Mama saat aku baru saja selesai membersihkan gudang.Dengan sisa kekuatan, aku segera berjalan ke dalam kamar Mama, di sana banyak baju yang seakan sengaja dikeluarkan oleh beliau."Cepat bereskan baju dan bersihin kolong ranjang."Aku mengangguk, lalu tanpa bantahan langsung melipat kembali baju yang dikeluarkan oleh Mama. Sungguh, rasanya badanku terasa begitu ringan hingga akhirnya...Gelap!--Aku mengernyit saat terbangun dan melihat lampu tepat di atas tubuhku. Kutoleh kepala ke kanan dan ke kiri, namun tak kutemui Mas Delon maupun Mama dan juga Kak Caca. Ke mana mereka?
"Jadi, selama ini, kamu sudah selingkuh di belakangku, Mas? Siapa? Siapa perempuan itu?" teriakku, meski perutku terasa sakit, namun harga diriku lebih sakit."Iya lah, kamu pikir, hanya kamu yang bisa main serong di belakangku? Jangankan dengan satu wanita, aku bahkan bisa menjalin dengan puluhan wanita di belakangmu, jika aku ingin. Dasar, wanita tak tahu diri!"Aku menangis tersedu. Apakah aku akan menjadi korban selanjutnya? Mas Delon, kamu memang penjahat wanita!Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Mas Delon sudah mengenalkan wanita yang akan menjadi adik maduku. Seorang janda kaya raya, seksi, dan juga cantik. Pantas Mas Delon menyukainya.Lelaki yang masih sah menjadi suamiku itu mengundang temannya untuk pesta di rumah. Tentu saja aku diperkenalkan sebagai asisten rumah tangganya. Apakah Mas Delon segitu malunya memiliki istri sepertiku?Hari itu juga, kami kedatan
Pov Delon"Apa? Rara meninggal?"Aku yang masih digelung selimut bersama Risti pun langsung terduduk begitu mendapat telepon dari Arina. Sudah seminggu ini, aku tak tidur dengan istriku itu. Males! Mending sama Risti."Ya, biarin saja, aku tak akan datang," ucapku pada Arina."G*la kamu! Istrimu meninggal loh, Mas! Bisa-bisanya kamu tega tak datang hanya karena pelakor itu?""Apa kamu lupa, kalau orang yang kamu bela saat ini dulunya juga pelakor?" tanyaku, barangkali dia lupa.Benar saja, dia terdiam. Jika memang Rara meninggal, ya sudah. Apa hubungannya denganku? Aku kini sudah memiliki Risti yang mempunyai segalanya. Tak memerlukan lagi istri durhaka yang ternyata malag hamil anak orang lain.Segera kututup telepon itu. Males karena pasti Arina akan menceramahiku. Seharusnya, jika sudah jadi mantan, harus saling menjauh, kan? Kenapa harus terus berurusan? Dasar suka ikuf campur urusan orang
Esok hari.Aku pergi bersiap untuk ke kantor. Jam sudah menunjukkan pukul setengah duadelapan. Karena kantor tak begitu jauh dari rumah, maka aku bisa bersantai seperti ini.Sampai kantor pukul delapan lebih lima belas menit, aku menyapa teman-teman lain, lalu mengobrol sebentar sebelum akhirnya naik ke lantai atas. Namun, betapa terkejutnya aku saat sampai ruangan, Pak Yosep, CEO kantorku ini, ada di ruanganku."Pak, ada apa, ya?" tanyaku sambil masuk ke dalam.Beberapa asisten yang selalu mengikutinya ke mana pun, berdiri di samping meja."Ke mana kamu kemarin seharian?" tanyanya dengan nada tegas, membuatku sedikit gugup."A-nu, Pak. Saya kemarin ambil cuti karena ada acara keluarga," jawabku."Acar keluarga apanya? Saya tahu kemarin kamu di rumah berpesta, kan?"Mataku membeliak, bagaimana Pak Yosep tahu semua itu? Siapa yang memberitahunya?"Lihat ini dan jelaska