06. Kunjungan Risa! (Bagian B)
"Tumben, pesan makanan segini banyak nya? Kamu ada acara, Key?" tanya Mas Rengga saat melihatku menata aneka masakan di atas meja.
Hari ini kebetulan aku sedang tidak sibuk. Tidak ada jadwal mata kuliah yang aku isi hari ini. Hanya ada satu podcast sebagai narasumber pukul dua siang nanti selama satu jam. Masih bisalah bersantai sejenak.
"Ada teman perempuanku mau datang ke sini nanti, lebih baik kamu bersiaplah, Mas!" jawabku seraya memastikan kembali tidak ada yang kurang di atas meja dengan alas berbahan import khas brand dengan lambang LV.
Biar saja, aku rela merogoh kocek cukup dalam untuk memesan alas meja dengan brand terkenal. Dan tunggu saja, apa yang akan aku lakukan nanti padanya!
"Oh, gitu. Oke, acara santai kan? Bukan pertemuan formal? Apa dia membawa suaminya turut serta?" tanya Mas Rengga untuk memastikan.
"Entahlah, mungkin iya. Pakai saja pakaian terbaikmu, Mas. Yang terkesan santai, namun tetap terlihat sopan!" sahutku tanpa berniat memalingkan pandangan darinya.
"Oke!" timpal Mas Rengga.
Lelaki bertubuh atletis dengan beberapa otot yang menyembul indah itu pun langsung mengganti pakaiannya. Baru kali ini aku merasakan kejadian aneh. Di mana sang istri sah menyambut kedatangan gundik nya dengan persiapan 'mewah'.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara deru mobil dari arah luar. Dengan cekatan, aku berinisiatif untuk mengeceknya. Sebuah mobil sedan yang cukup mewah dengan warna merah yang begitu berhenti tepat di depan gerbang rumahku.
Aku pun menyambut kedatangan sang tamu dengan senyum ramah. Kebetulan, Mas Rengga masih asyik mengganti pakaian di dalam kamar.
Saat aku membuka pintu, benar saja. Risa tengah berdiri di depan gerbang, diapit oleh dua lelaki berpakaian serba hitam, yang menurutku tampak seperti security dalam Mall. Di belakangnya, berdiri wanita yang berusia tak jauh darinya sedang memegang payung untuk tempat Risa berteduh.
"Oh, rupanya tuan putri sudah datang!" lirihku dengan cepat membukakan pintu dan gerbang untuk mereka.
"Lama banget, sih! Apa Mas Rengga nggak sanggup bayar Security dan asisten lain untuk mengurus rumah sebesar ini?" tanya Risa seraya melepas kaca mata berwarna coklat muda dengan lambang YSL. Langkahnya yang gemulai begitu cepat dia ayun agar bisa masuk ke dalam rumahku.
Penampilannya hari ini cukup berani, dia mengenakan gaun ketat berwarna emas sebatas paha, stiletto berwarna hitam pekat begitu kontras dengan kaki jenjangnya yang putih mulus. Rambutnya dia sanggul ke atas dengan jepitan berwarna emas pula.
Sehingga memamerkan leher dan tengkuknya yang dihias kalung berlian. Aku hanya memandangnya dengan sekilas.
"Mas ... Mas Rengga! Ayo, keluar! Tamu ku sudah datang!" panggilku ketika kami masuk ke dalam rumah.
"Iya, Key!" Terdengar suara Mas Rengga bertepatan dengan suara pintu yang ditutup dari luar.
"Sudah datang ya, ta—"
"Ka—kamu?" tanya Mas Rengga dengan wajah pucat pasi.
"Hai, Mas!" sapa Risa seraya berjalan dan melangkah maju ke depan. Dengan tak tahu malunya, dia bergelayut mesra di lengan Mas Rengga.
"Eh, i—ini, a—pa? Apa-apaan, sih, kamu? Ini siapa?" tanya Mas Rengga dengan wajah yang dibuat ketus, tampaknya dia cukup risih saat Risa malah memeluknya dengan suara yang dibuat manja.
"Sudah, santai saja! Aku sudah tau semuanya!" ujarku seraya bertepuk tangan. Lalu kemudian, aku menyilangkan tangan di depan dada.
"Mas, udah nggak usahh dramahh. Diah sudah tahu hubungan kitah!" kata Risa dengan suara yang dibuat mendesah-desah. Membuatku ingin muntah seketika. Apa mungkin itu yang membuat suamiku terlena?
"Apa-apaan sih, kamu! Hubungan apa? Lepas!" kata Mas Rengga bersusah payah menarik lengannya dari Risa.
"Sudah, Mas. Ceraikan saja dia! Hidup denganku saja yang lebih mewah, karena aku sudah pasti lebih dari dia. Dalam hal segala-galahnyaaah!" ujarnya makin menjadi-jadi malah membuatku bergidik ngeri.
"Keysa, jangan dengarkan dia! Aku bisa jelasin!" kata Mas Rengga yang kini mulai beranjak maju untuk meraih tanganku, namun dengan cepat Risa menggamitnya kembali. Sehingga membuat Mas Rengga meneguk ludah dengan susah payah.
"Terserah, kalau Mas mau ceraikan aku. Aku juga tidak bisa apa-apa! Karena hakikatnya adalah ... lelaki yang memegang kendali penuh akan bahtera rumah tangga. Sebagai nakhoda, Mas bebas untuk menaik-turunkan siapapun ke dalam bahtera ini. Tapi, ingat satu hal. Aku terlalu mahal untuk bersaingan dengan seorang jalang murahan seperti dia!" tunjuk ku dengan tegas ke arah Risa yang kini masih menempelkan kepalanya di lengan suamiku. "ceraikan aku, dan aku akan melepaskanmu dengan kepala tegak! Pantang untuk Keysa menangisi lelaki durjana yang suka apem remahan!"
Mas Rengga pun terlihat menggelengkan kepalanya dengan lemah. Mungkin dia sedang berpikir, memang lah dia tidak akan pernah bisa menggenggam kami berdua.
Aku paham, dia juga mungkin masih cinta dengan ku, di luar kesepakatan kami. Tapi, di sisi lainnya, dia juga sudah jatuh cinta pada pesona Risa. Aku bisa dengan jelas meraba perasaan itu.
"Dan ingat lah, Mas. Tentu saja, jika kamu menceraikan ku, maka aku akan mengambil kembali apa yang menjadi milikku!" ucapku dengan santai. Aku ingin melihat, bagaimana mimik wajah suamiku yang dulu sangat kucintai.
"Apa yang menjadi miliknya? Kembalikan, Mas! Jika ini soal harta, maka aku akan memberikan apapun yang kau butuhkan, Mas!" sahut Risa cepat. Dia seakan bangga bisa membeli rumah tangga kami dengan gelimangan harta yang dia punya.
Hanya saja, dia belum tahu yang sesungguhnya!
"Kalau begitu, baguslah! Berikan aku sebelah ginjal yang dipakai oleh selingkuhan mu itu, sekarang juga aku tunggu! Karena lelaki yang masih sah bergelar sebagai suamiku di sebelah mu itu, tengah memakai sebelah ginjal ku untuk kehidupannya hingga sekarang! Apa kau mampu menggantinya?" tanyaku dengan seringai kecil, yang mungkin saja akan terlihat sangat menakutkan di mata Risa dan juga ... Mas Rengga.
Hingga sepersekian detik, tak ada jawaban dari mereka, selain keheningan. Dan aku? Masih tetap menunggu jawaban lelaki pengecut beserta dengan gundik sombongnya itu!
~Aksara Ocean~
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKU07. Mengerjai Pelakor (Bagian A)"Bagaimana? Masak hanya untuk memutuskan iya atau tidak nya saja kalian tidak bisa? Atau mungkin kau keberatan? Katanya cinta dengan Mas Rengga. Cintah sehidup sematih dan selamanyaaaaah hingga relahh merebutnyahh dari bini sahh!" ujarku dengan nada mendesah menirukan suara Risa yang dibuat-buat. "'Kan kalau cinta dan sayang, harusnya rela, dong ... apalagi, ini hanya ginjal, loh? Masak pengusaha sekelas Risa Andromeda yang dikenal sebagai Crazy Rich Pulau Kalimantan nggak bisa kasih kekasihnya sebuah ginjal? Bukannya kalau orang cinta itu, maka akan rela berkorban? Bahkan untuk bertaruh nyawa juga, kan, ya?" sambung ku dengan dada yang membusung."Nggak waras istrimu itu, Mas!" balas Risa sambil menggelengkan kepala. Aku tahu, dari tadi leher wanita itu terlihat sekali naik turun, sehingga liontin dengan mata berlian itu ikut menari seakan mengejekku. Mungkin dia sedang kepayahan untuk menelan air liur dari bibir bu
08. Mengerjai Pelakor (Bagian B)Bahkan, Mas Rengga sudah mengambil tempat duduk di tengah. Sedangkan Risa berada tepat di depanku. Kami sudah layaknya keluarga harmonis yang hidup akur berpoligami. Amit-amit jabang bayi! Aku hanya mengelus dada dengan pelan.Aku mengambil satu apel dan dikupas menggunakan pisau kecil dengan ujungnya yang begitu lancip. Dengan kekuatan ekstra, aku membelah apel menjadi dua bagian. "Mas, apa kamu nggak punya uang untuk memberikan ilmu table manner kepada istrimu? Aku rasa, dia lebih mirip menjadi istri tukang jagal daripada Jalasenastri!" ketus Risa seraya melirik ke arahku."Risa ... kau belum mengenalku. Ayahku memang berprofesi sebagai jagal. Ibuku, penjual daging sapi di pasar. Jadi, sudah menjadi keahlian ku untuk mencincang apa saja menjadi seperti ini!" Dengan cekatan dan cepat, aku memotong daging apel yang sudah dikupas kulitnya menjadi beberapa potongan kecil. Aku sudah seperti kerasukan jagal ahli yang mencincang daging dengan kasar. Hingga
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKU10. Ningrum Sastrowijoyo (Bagian A)"Waalaikumsalam!" balasku seraya beranjak dari kursi. Salad yang baru saja aku santap setengah, terpaksa harus ku tinggalkan begitu saja. Demi orang tua.Rupanya, Ibu mertua bersama dengan Mas Rengga yang tadi terdengar sedikit gaduh. Ibu kandung Mas Rengga yang ku ketahui masih keturunan darah biru itu bernama Ningrum, dengan nama lengkap Ningrum Sastrowijoyo."Apa kabarmu, Key? Apik wae, toh? Sehat? Kok kurusan, Key?" tanya Ibu mertua dengan kening mengkerut. Seperti biasa, tatapan matanya akan menindak tubuhku dari atas ke bawah, kembali lagi dari bawah ke atas dengan pandangan yang ... entahlah. Karena sulit untuk ku artikan."Alhamdulillah, baik!" jawabku singkat. Sebelum ditanya dan dikomplain berbagai hal. Aku memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan."Datang kok nggak ngabarin, Bu?" tanyaku seraya menghampirinya. Ku raih punggung tangannya dan kucium dengan takzim."Loh, kenopo harus ngabarin, toh? Ibu
11. Ningrum Sastrowijoyo (Bagian B)"Oh, iya, Bu. Ayo! Ibu mau makan dulu. Atau istirahat? Tapi, tunggu sebentar, ya. Keysa siapkan dulu kamarnya untuk Ibu kalau mau beristirahat. Biar rapi!" ujarku dengan penuh kelembutan."Ibu tadi wes kenyang, makan mampir ndek rest area. Tapi, nggak papa. Ibu nggak butuh istirahat dulu. Ibu tak lihat kalian makan aja sambil kita ngobrol. Kalau tidur dan istirahat yo bisa di Jogja. Tujuan Ibu ke sini kan, pengen tahu kabar kalian dan mendengar cerita juga pengalaman tolenya si Ibu ini selama jadi raja laut!" kekeh Ibu mertua dengan mata berbinar."Nggeh pun, ayo, Bu! Kita ke meja makan!" ajakku seraya menuntunnya. Aku berusaha mengambil posisi di samping Bu Ningrum. Namun, dengan lembut dia melepaskan tangannya dari lenganku. Dan dengan tatapan tegas, Ibu mertuaku malah berjalan mendahului ku."Udah. Ibu ini nggak stroke atau diabet yang harus dituntun jalannya. Ini, loh. Bisa kan Ibu?" katanya seraya berjalan dengan arah satu garis lurus yang tert
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKU12. Spot Jantung! (Bagian A)"Loh, kok wajah Ibu jadi heran begitu?" tanyaku kini seraya menaikkan satu alis. Biar saja, aku memang sengaja memancing untuk membuat Ibu dan Mas Rengga merasa bahwa aku sedang mencurigakan dan pantas untuk ditelusuri. Padahal, aku hanya ingin bercanda dengan mereka."Ya, pertanyaan kamu itu aneh, loh, Key! Wajar kalau Ibu sampai bertanya. Aku sendiri pun begitu!" timpal Mas Rengga kini ikut memandangku dengan tajam. Apa maksudnya? Dia malah sok-sokan menatapku seperti itu! Nggak jelas banget!"Lah, kok jadi serius? Benar kan apa yang aku bilang? Akan lebih menakutkan lagi, kalau aku hamil pas kamu sedang bertugas di luar!" ulang ku dengan santai. Kenapa dua orang itu menatapku seakan menguliti? Aku rasa, tidak ada yang aneh dengan ucapan ku tadi. Ini aneh! Eh, aku yang aneh, atau mereka yang aneh karena tak tahu selera humor?"Jangan kurang ajar! Maksud kamu apa? Kamu berniat main belakang dari aku? Waktu aku tugas ke l
13. Spot Jantung! (Bagian B)"Keysa!" bentak Mas Rengga yang cukup terdengar memekakkan di telinga."Maksudnya apa, Key? Kamu dari tadi sukses loh, bikin Ibu ini spot jantung. Untung Ibu nggak punya riwayat asma atau kelainan jantung. Amit-amit jabang bayi lanang wedhok!" ujarnya seraya melotot tajam ke arahku."Ya ampun, segitunya kalian. Ya, tai lalat dong! Lihat tuh! Ibu punya lebih dari dua biji di wajah, ada di bawah mata, hidung, pipi sebelah kiri, atas alis, sebelah kanan sudut bibir dan di dagu. Sedangkan aku, juga ada beberapa biji di sekitar pipi dan bibir. Tiga biji mungkin. Benar toh, apa yang tak bilang? Aku dan Ibu wajah nya dipenuhi oleh tai, yaitu tai nya lalat!" ujarku seraya terkekeh.Mas Rengga hanya mengelus dada pelan, dia terlihat mengatur napasnya yang kurasa sedang memburu."Oalah dalah, Ibu pikir kenapa toh. Kamu ini, ya. Sanggup buat Ibu ini kaget dan ketar-ketir. Hampir saja Ibu kaget, jantung Ibu rasanya dag dig dug ser. Udah kayak speaker salon gede nya or
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKUBab 7Dia …."Key ....""Keysa ....""Gimana, dong, Bu. Ini Keysa kenapa, ya? Nggak biasanya dia pingsan-pingsan terus!" "Sabar. Kamu kok malah nanya Ibu, lah kamu jadi suami piye tindakannya kalau istri sakit!" Samar, aku bisa mendengar suara panik dari Mas Rengga dan juga Ibu."Key ...."Kali ini suara Ibu yang bisa ku dengar, diiringi dengan tepukan lembut di pipi sebelah kanan. Aku memutuskan untuk membuka mata, walaupun masih terasa sangat berat."Heum?""Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nduk!" ujar Ibu dengan wajah yang terlihat berbinar. Tersirat seulas senyum di bibirnya yang agak tebal."Key, kamu kenapa? Apa yang kamu rasakan? Mual, muntah, pusing?" tanya Mas Rengga dengan wajah panik. Kini, dia menggenggam tanganku dengan lembut."Aku ... hanya sedikit pusing. Rasanya lemas!" jawabku seraya mencoba melepaskan tangan ini dari genggamannya."Loh, Bu! Sekarang jam berapa?" tanyaku dengan wajah yang berubah panik. Aku baru ingat, nanti se
15. Dia …. (Bagian B)"Apa sih, Key? Berhenti untuk menebak-nebak. Aku tidak bertukar pesan dengannya. Siapa juga yang berhubungan dengannya!" ketus Mas Rengga, namun masih dengan suara yang nyaris berbisik."Aku nggak ada bilang kamu bertukar pesan dengannya. Kamu sendiri yang mengambil kesimpulan. Ayo, Mas! Kita lakukan!" bisikku seraya tersenyum tipis."Apa?" lirihnya tanpa memandang ku."Sekalian kita ke Rumah Sakit. Kamu bisa mengembalikan ginjal ku hari ini juga kalau kamu mau! Bagaimana?" tanyaku dengan kalimat penuh penekanan. Biar saja, biar Mas Rengga bisa lebih terbuka pikirannya."Nggak usah macem-macem, Key. Lagi pula, aku nggak aneh-aneh kok. Percayalah, udah ya. Jangan dibahas. Fokus sama anak kita!" ujarnya dengan percaya diri yang tinggi."Idih, apa kamu bilang? Anak ki–""Kalian ini ngapain? Lama sekali! Ayo!" kata Ibu seraya melotot ke arah kami. Aku pun hanya menanggapi dengan seulas senyum tipis."Tuh, kan. Ibu jadi marah!" ucapan Mas Rengga yang langsung membawa