08. Mengerjai Pelakor (Bagian B)
Bahkan, Mas Rengga sudah mengambil tempat duduk di tengah. Sedangkan Risa berada tepat di depanku. Kami sudah layaknya keluarga harmonis yang hidup akur berpoligami. Amit-amit jabang bayi! Aku hanya mengelus dada dengan pelan.
Aku mengambil satu apel dan dikupas menggunakan pisau kecil dengan ujungnya yang begitu lancip. Dengan kekuatan ekstra, aku membelah apel menjadi dua bagian.
"Mas, apa kamu nggak punya uang untuk memberikan ilmu table manner kepada istrimu? Aku rasa, dia lebih mirip menjadi istri tukang jagal daripada Jalasenastri!" ketus Risa seraya melirik ke arahku.
"Risa ... kau belum mengenalku. Ayahku memang berprofesi sebagai jagal. Ibuku, penjual daging sapi di pasar. Jadi, sudah menjadi keahlian ku untuk mencincang apa saja menjadi seperti ini!" Dengan cekatan dan cepat, aku memotong daging apel yang sudah dikupas kulitnya menjadi beberapa potongan kecil. Aku sudah seperti kerasukan jagal ahli yang mencincang daging dengan kasar. Hingga suara pisau yang beradu dengan meja berbahan marmer itu terdengar begitu kencang.
"Stop, stop, stop! Bisa gila aku lama-lama di sini!" ujar Risa dengan nafas memburu. Kepalanya menggeleng ke kanan dan ke kiri. Wajahnya sudah seputih kapas. Aku hanya tertawa.
Dan tiba-tiba saja, satu ide terlintas dalam benakku. Sepertinya, aku ingin mencoba bermain-main dengannya, sebentar saja.
"Ini, minum!" ujar Mas Rengga kini menyodorkan segelas air putih di hadapan Risa. Dengan cepat, gadis itu menenggaknya tanpa berkata apa-apa.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, aku langsung mengacungkan ujung pisau yang lancip ke arahnya. Sedetik kemudian, teriakan terdengar.
Pyar !!!
"Aw!" pekik Risa bersamaan dengan suara gelas yang pecah. Tangan wanita seksi di depanku itu terlihat gemetaran.
"Keysa! Apa yang kamu lakukan?!" tanya Mas Rengga seraya beranjak berdiri. Wajahnya memerah karena menahan emosi yang siap meledak.
"Mas, a—aku takut!" ujar Risa dengan mata berkaca-kaca. Reflek, kedua tangannya pun kini menutupi wajahnya yang full makeup.
"Ah, mental mu lemah sekali! Bahkan, aku belum berkata apa-apa, loh!" kataku dengan santai.
Bahkan, tanganku masih tetap di posisi yang sama. Yakni, mengacungkan ujung pisau di depan Risa. Kali ini, aku mencoba untuk menaik-turunkan benda mengerikan itu. Hanya ingin membuat syok terapi sedikit saja, pelajaran untuk Risa tentunya.
"Turunkan pisau nya! Kamu apa-apaan, sih!" ketus Mas Rengga setengah membentak.
Matanya melotot ke arahku, aku yakin jika saja bola mata itu terpasang menggunakan lem, tentu sudah meloncat dan menggelinding kian kemari.
"Loh, aku salah apa? Aku hanya ingin menawarkan, apa dia mau mencoba, cara memotong sepertiku? Memangnya apa yang aku lakukan, sih, Mas?" tanyaku seraya memasang wajah tanpa dosa.
"Sudah, lebih baik kamu kembali saja sekarang! Sebelum semuanya semakin buruk. Cepat! Aku janji, akan segera menyelesaikan ini semua! Aku akan memastikan semua baik-baik saja. Jangan khawatir! Sekarang, pulang lah!" kata Mas Rengga dengan nada lirih.
Terlihat sekali mungkin tangannya gatal ingin segera membawa wanita lemah itu ke dalam pelukannya. Hanya saja, dia masih memikirkan perasaanku sepertinya.
Risa pun beranjak berdiri, tanpa menoleh ke arahku, dia memandang wajah Mas Rengga dengan tatapan sayu. "Janji? Selesaikan semua dengan cepat dan baik, Mas. Aku tunggu kabar darimu secepatnya!"
"Key, aku izin mengantar Risa hingga sampai depan, ya? Untuk sekali ini saja, aku mohon!" pinta Mas Rengga dengan wajah memelas.
"Heum!" Aku hanya menggumam singkat.
Bisa kulihat, Risa berjalan lebih dulu. Dia pergi tanpa berpamitan atau mengucap salam. Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya. Aku pun tak peduli, lebih baik aku melanjutkan memakan salad buah yang baru saja ku siapkan.
Mas Rengga menyusul dari arah belakang, rupanya dia mencoba untuk mensejajarkan langkah dengan wanita jahanam itu. Entahlah, aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan pada gundik nya. Hanya saja, si wanita laknat itu hanya terlihat mengangguk singkat dan terus melangkah lebar keluar dari rumahku.
"Bahkan, aku belum selesai mengerjainya. Dia sudah pergi saja, nggak asyik!" rutuk ku sembari menikmati semangkuk salad buah dengan topping oat choco yang menjadi favorit ku.
Aku hanya bisa tersenyum. Setidaknya, untuk saat ini. Aku sudah berhasil menghibur diri atas sakit hati yang aku rasa.
Terdengar suara deru mobil yang begitu menjauh, aku rasa mungkin Risa sudah pergi bersama dengan antek-anteknya. Tapi, sepertinya ada sedikit suara gaduh dari arah luar.
Aku berusaha menajamkan pendengaran. Hingga beberapa detik kemudian, terdengar derap langkah kaki yang beriringan semakin mendekat. Kali ini disertai dengan suara lembut, namun terkesan tegas dari seorang wanita yang ... sepertinya aku kenal.
Hingga kemudian, sosok wanita itu benar-benar sudah terlihat muncul di depan mataku.
"Assalamualaikum!" ujarnya mengucapkan salam sembari tersenyum tipis ke arahku.
***
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKU10. Ningrum Sastrowijoyo (Bagian A)"Waalaikumsalam!" balasku seraya beranjak dari kursi. Salad yang baru saja aku santap setengah, terpaksa harus ku tinggalkan begitu saja. Demi orang tua.Rupanya, Ibu mertua bersama dengan Mas Rengga yang tadi terdengar sedikit gaduh. Ibu kandung Mas Rengga yang ku ketahui masih keturunan darah biru itu bernama Ningrum, dengan nama lengkap Ningrum Sastrowijoyo."Apa kabarmu, Key? Apik wae, toh? Sehat? Kok kurusan, Key?" tanya Ibu mertua dengan kening mengkerut. Seperti biasa, tatapan matanya akan menindak tubuhku dari atas ke bawah, kembali lagi dari bawah ke atas dengan pandangan yang ... entahlah. Karena sulit untuk ku artikan."Alhamdulillah, baik!" jawabku singkat. Sebelum ditanya dan dikomplain berbagai hal. Aku memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan."Datang kok nggak ngabarin, Bu?" tanyaku seraya menghampirinya. Ku raih punggung tangannya dan kucium dengan takzim."Loh, kenopo harus ngabarin, toh? Ibu
11. Ningrum Sastrowijoyo (Bagian B)"Oh, iya, Bu. Ayo! Ibu mau makan dulu. Atau istirahat? Tapi, tunggu sebentar, ya. Keysa siapkan dulu kamarnya untuk Ibu kalau mau beristirahat. Biar rapi!" ujarku dengan penuh kelembutan."Ibu tadi wes kenyang, makan mampir ndek rest area. Tapi, nggak papa. Ibu nggak butuh istirahat dulu. Ibu tak lihat kalian makan aja sambil kita ngobrol. Kalau tidur dan istirahat yo bisa di Jogja. Tujuan Ibu ke sini kan, pengen tahu kabar kalian dan mendengar cerita juga pengalaman tolenya si Ibu ini selama jadi raja laut!" kekeh Ibu mertua dengan mata berbinar."Nggeh pun, ayo, Bu! Kita ke meja makan!" ajakku seraya menuntunnya. Aku berusaha mengambil posisi di samping Bu Ningrum. Namun, dengan lembut dia melepaskan tangannya dari lenganku. Dan dengan tatapan tegas, Ibu mertuaku malah berjalan mendahului ku."Udah. Ibu ini nggak stroke atau diabet yang harus dituntun jalannya. Ini, loh. Bisa kan Ibu?" katanya seraya berjalan dengan arah satu garis lurus yang tert
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKU12. Spot Jantung! (Bagian A)"Loh, kok wajah Ibu jadi heran begitu?" tanyaku kini seraya menaikkan satu alis. Biar saja, aku memang sengaja memancing untuk membuat Ibu dan Mas Rengga merasa bahwa aku sedang mencurigakan dan pantas untuk ditelusuri. Padahal, aku hanya ingin bercanda dengan mereka."Ya, pertanyaan kamu itu aneh, loh, Key! Wajar kalau Ibu sampai bertanya. Aku sendiri pun begitu!" timpal Mas Rengga kini ikut memandangku dengan tajam. Apa maksudnya? Dia malah sok-sokan menatapku seperti itu! Nggak jelas banget!"Lah, kok jadi serius? Benar kan apa yang aku bilang? Akan lebih menakutkan lagi, kalau aku hamil pas kamu sedang bertugas di luar!" ulang ku dengan santai. Kenapa dua orang itu menatapku seakan menguliti? Aku rasa, tidak ada yang aneh dengan ucapan ku tadi. Ini aneh! Eh, aku yang aneh, atau mereka yang aneh karena tak tahu selera humor?"Jangan kurang ajar! Maksud kamu apa? Kamu berniat main belakang dari aku? Waktu aku tugas ke l
13. Spot Jantung! (Bagian B)"Keysa!" bentak Mas Rengga yang cukup terdengar memekakkan di telinga."Maksudnya apa, Key? Kamu dari tadi sukses loh, bikin Ibu ini spot jantung. Untung Ibu nggak punya riwayat asma atau kelainan jantung. Amit-amit jabang bayi lanang wedhok!" ujarnya seraya melotot tajam ke arahku."Ya ampun, segitunya kalian. Ya, tai lalat dong! Lihat tuh! Ibu punya lebih dari dua biji di wajah, ada di bawah mata, hidung, pipi sebelah kiri, atas alis, sebelah kanan sudut bibir dan di dagu. Sedangkan aku, juga ada beberapa biji di sekitar pipi dan bibir. Tiga biji mungkin. Benar toh, apa yang tak bilang? Aku dan Ibu wajah nya dipenuhi oleh tai, yaitu tai nya lalat!" ujarku seraya terkekeh.Mas Rengga hanya mengelus dada pelan, dia terlihat mengatur napasnya yang kurasa sedang memburu."Oalah dalah, Ibu pikir kenapa toh. Kamu ini, ya. Sanggup buat Ibu ini kaget dan ketar-ketir. Hampir saja Ibu kaget, jantung Ibu rasanya dag dig dug ser. Udah kayak speaker salon gede nya or
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKUBab 7Dia …."Key ....""Keysa ....""Gimana, dong, Bu. Ini Keysa kenapa, ya? Nggak biasanya dia pingsan-pingsan terus!" "Sabar. Kamu kok malah nanya Ibu, lah kamu jadi suami piye tindakannya kalau istri sakit!" Samar, aku bisa mendengar suara panik dari Mas Rengga dan juga Ibu."Key ...."Kali ini suara Ibu yang bisa ku dengar, diiringi dengan tepukan lembut di pipi sebelah kanan. Aku memutuskan untuk membuka mata, walaupun masih terasa sangat berat."Heum?""Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nduk!" ujar Ibu dengan wajah yang terlihat berbinar. Tersirat seulas senyum di bibirnya yang agak tebal."Key, kamu kenapa? Apa yang kamu rasakan? Mual, muntah, pusing?" tanya Mas Rengga dengan wajah panik. Kini, dia menggenggam tanganku dengan lembut."Aku ... hanya sedikit pusing. Rasanya lemas!" jawabku seraya mencoba melepaskan tangan ini dari genggamannya."Loh, Bu! Sekarang jam berapa?" tanyaku dengan wajah yang berubah panik. Aku baru ingat, nanti se
15. Dia …. (Bagian B)"Apa sih, Key? Berhenti untuk menebak-nebak. Aku tidak bertukar pesan dengannya. Siapa juga yang berhubungan dengannya!" ketus Mas Rengga, namun masih dengan suara yang nyaris berbisik."Aku nggak ada bilang kamu bertukar pesan dengannya. Kamu sendiri yang mengambil kesimpulan. Ayo, Mas! Kita lakukan!" bisikku seraya tersenyum tipis."Apa?" lirihnya tanpa memandang ku."Sekalian kita ke Rumah Sakit. Kamu bisa mengembalikan ginjal ku hari ini juga kalau kamu mau! Bagaimana?" tanyaku dengan kalimat penuh penekanan. Biar saja, biar Mas Rengga bisa lebih terbuka pikirannya."Nggak usah macem-macem, Key. Lagi pula, aku nggak aneh-aneh kok. Percayalah, udah ya. Jangan dibahas. Fokus sama anak kita!" ujarnya dengan percaya diri yang tinggi."Idih, apa kamu bilang? Anak ki–""Kalian ini ngapain? Lama sekali! Ayo!" kata Ibu seraya melotot ke arah kami. Aku pun hanya menanggapi dengan seulas senyum tipis."Tuh, kan. Ibu jadi marah!" ucapan Mas Rengga yang langsung membawa
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKU16. Rengga Cemburu! (Bagian A)"Eh, maaf. Benar kan ini Keysa?" ulang lelaki itu lagi.Aku pun beranjak berdiri. Menyudahi aksi drama kali ini, agar tak terlihat lebay seperti di telenovela kebanyakan."Iya, Mas. Ini aku Keysa! Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja!" sahutku dengan tenang. "Periksa klinik kandungan? Atau?" tanya lelaki yang tak asing di depanku ini."Iya, istriku diduga sedang hamil. Jadi, kami mau ke klinik kandungan. Kamu dokternya?" Suara itu, berasal dari Mas Rengga, yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku dengan wajah tak bersahabat."Hai, Rengga. Apa kabar?" tanyanya yang bahkan masih dengan gaya sopan dan ramahnya yang menjadi ciri khas sejak dulu kala. Dialah Mas Alif, mantan kekasihku semenjak duduk di bangku putih abu-abu dulu. Lelaki yang berada di kisah masa lalu."Alhamdulillah, baik. Kamu belum jawab pertanyaan ku loh, Lif. Kamu dokternya?" tanya Mas Rengga lagi."Eh, bukan. Kebetulan aku
17. Rengga Cemburu! (Bagian B)Sehingga waktu berkualitas kami menjadi berkurang dan membuatku lebih banyak di kampus dan rumah. Serta setumpuk kegiatan lainnya yang akhirnya sanggup tak memikirkan hal-hal yang kurang bermanfaat. Seperti, profesi Mas Alif sekarang ini. Aku juga tidak menyangka dia berprofesi menjadi dokter spesialis anak."Halah, buktinya sekarang itu melamun. Flashback terus!" katanya seraya mengibaskan tangan ke depan wajah."Mas, jangan gitu! Berhenti untuk bersikap kekanakan lah. Malu! Kalau nanti istrinya dengar atau curiga bagaimana? Padahal kita nggak ada hubungan apa pun!" sahutku dengan kesal. Jujur saja, aku sudah malas berdebat dengannya. Apalagi, ku tahu jika Liona, istri Mas Alif begitu mudah curiga dan tipe wanita pencemburu. Aku hanya tidak ingin, semua kesalahpahaman ini malah menjadi malapetaka untuk kehidupan rumah tangganya."Kalian ini meributkan apa toh? Dari tadi sahut-sahutan udah kayak rombongan soang!" ucap Ibu dengan suara yang cukup keras.