KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKU
07. Mengerjai Pelakor (Bagian A)
"Bagaimana? Masak hanya untuk memutuskan iya atau tidak nya saja kalian tidak bisa? Atau mungkin kau keberatan? Katanya cinta dengan Mas Rengga. Cintah sehidup sematih dan selamanyaaaaah hingga relahh merebutnyahh dari bini sahh!" ujarku dengan nada mendesah menirukan suara Risa yang dibuat-buat. "'Kan kalau cinta dan sayang, harusnya rela, dong ... apalagi, ini hanya ginjal, loh? Masak pengusaha sekelas Risa Andromeda yang dikenal sebagai Crazy Rich Pulau Kalimantan nggak bisa kasih kekasihnya sebuah ginjal? Bukannya kalau orang cinta itu, maka akan rela berkorban? Bahkan untuk bertaruh nyawa juga, kan, ya?" sambung ku dengan dada yang membusung.
"Nggak waras istrimu itu, Mas!" balas Risa sambil menggelengkan kepala.
Aku tahu, dari tadi leher wanita itu terlihat sekali naik turun, sehingga liontin dengan mata berlian itu ikut menari seakan mengejekku. Mungkin dia sedang kepayahan untuk menelan air liur dari bibir busuknya yang penuh dusta.
"Sudah, lebih baik kamu kembali dulu. Situasi sedang tidak aman!" ujar Mas Rengga seraya berbisik di telinga Risa, tapi ... masih bisa kudengar dengan jelas.
"Apanya yang tidak aman, Mas? Aku di sini baik-baik saja! Hatiku masih normal, jantungku juga masih berdetak sebagaimana mestinya. Apa kamu tidak lihat? Kepalaku ini masih bisa menyanggah dengan tegak, bahkan ... aku masih bisa bertumpu dengan kedua kakiku sendiri. Jadi, tidak ada yang tidak aman di sini. Mungkin jantungmu yang nyaris meledak, Mas!" kataku dengan senyum mengejek.
Sama sekali, aku tak merasakan sedih. Malah yang ada muak bercampur heran. Bisa-bisanya aku bertemu jalang dengan bad attitude seperti Risa, eh ... bukankah semua jalang memang bad attitude?
"Mas, kita bisa selesaikan semuanya di sini. Mumpung udah basah ini. Sekalian aja nyemplung!" kata Risa seraya melotot ke arahku.
Tak mau kalah, aku juga melebarkan mata ke arahnya. Tak tahu malu sekali dia, suka memaksakan kehendak. Aku rasa, dia tipe wanita ambisius yang apa saja diinginkan harus terpenuhi hanya dengan menjentikkan jari saja.
"Hahaha. Nyemplung? Ke dalam samudera yang ku lalui? Hati-hati, Shay! Yang ada kau bisa tenggelam terus ... mati, deh, Bestai! Canda Bestai, mirip mukamu yang kayak tai!" ucapku sembari tertawa. Dengan elegan, aku menutup mulutku dengan telapak tangan. "Ups, lupa. Pasti kamu bakal mengerahkan seratus ajudan untuk menolongmu kan, ya? Tapi, sayang. Seribu prajurit yang kau kerahkan pun tak akan sanggup menggetarkan baja sepertiku!" lanjut ku dengan pandangan meremehkan.
"Mas! Kamu lihat sendiri kan? Bagaimana dia merendahkan harga diriku! Aku nggak terima loh, Mas! Selama ini mereka semua menyanjungku, bahkan berlomba-lomba ingin dekat denganku. Tapi, istrimu ini memang beda kasta denganku. Dia terlalu kampungan! Matanya buta sehingga tidak melihat ku yang sedang bersinar!" racau Risa tak karuan. Dia merajuk di lengan suamiku. Idih, tingkat percaya dirinya rupanya menembus hingga langit ke tujuh.
Bisa ku lihat, Mas Rengga hendak menyentuh pipinya, tangannya sudah berjarak kurang dari sepuluh sentimeter dari wajah Risa. Namun, diurungkannya niat tersebut dan malah berbalik melirik ke arahku.
"Maaf, Key. Aku refleks!" sesalnya sambil menggigit bibir bawahnya.
"Nikmati saja waktu kebersamaan kalian, mumpung aku mengizinkan! Oh, ya, bagaimana kalau kita makan dulu? Kau pasti lapar kan, karena kehabisan tenaga untuk melawanku? Pura-pura bahagia itu ... butuh banyak tenaga! Yuk!" ajak ku dengan santai.
Risa menatap Mas Rengga seakan ingin memastikan, bisa kulihat lelaki yang masih bergelar sah sebagai suamiku itu hanya menggeleng dengan lemah. Aku tahu kode itu, pasti dia tidak mengizinkan Risa untuk makan semeja dengan kami.
"Kita makan di luar yuk, Mas!" rengek Risa yang sanggup membuatku menghela napas dengan kasar.
Kali ini, aku tak akan membiarkan mereka pergi. Enak saja, dia semakin semena-mena di istanaku. Sekelas pengusaha saja sudah berani membangunkan sisi liar ku rupanya.
"Jika kamu pergi bersamanya sekarang, maka aku akan menelepon pihak rumah sakit untuk memanggil ambulans, Mas. Biarkan tenaga medis yang mencongkel ginjalmu agar dikembalikan padaku saat ini juga. Kita sudah sepakat, bukan?" ujarku kini berjalan dengan santai melewati Mas Rengga yang terlihat pucat.
Sedangkan Risa, malah memerah wajahnya. Entahlah, mungkin mereka merasa ngeri atau heran dengan sikap yang tak pernah aku tunjukkan selama ini. Begitu kontrak dengan wajah teduh dan keibuan yang aku miliki.
Aku melangkah ke meja makan, menarik kursi dengan kasar sehingga menimbulkan bunyi yang cukup mengganggu. Ku hempas kan bokongku yang seksi ini di atasnya. Terdengar suara langkah kaki yang mendekat, bisa kulihat dari ekor mataku, sepasang durjana itu rupanya ikut menyusul ku ke meja makan.
08. Mengerjai Pelakor (Bagian B)Bahkan, Mas Rengga sudah mengambil tempat duduk di tengah. Sedangkan Risa berada tepat di depanku. Kami sudah layaknya keluarga harmonis yang hidup akur berpoligami. Amit-amit jabang bayi! Aku hanya mengelus dada dengan pelan.Aku mengambil satu apel dan dikupas menggunakan pisau kecil dengan ujungnya yang begitu lancip. Dengan kekuatan ekstra, aku membelah apel menjadi dua bagian. "Mas, apa kamu nggak punya uang untuk memberikan ilmu table manner kepada istrimu? Aku rasa, dia lebih mirip menjadi istri tukang jagal daripada Jalasenastri!" ketus Risa seraya melirik ke arahku."Risa ... kau belum mengenalku. Ayahku memang berprofesi sebagai jagal. Ibuku, penjual daging sapi di pasar. Jadi, sudah menjadi keahlian ku untuk mencincang apa saja menjadi seperti ini!" Dengan cekatan dan cepat, aku memotong daging apel yang sudah dikupas kulitnya menjadi beberapa potongan kecil. Aku sudah seperti kerasukan jagal ahli yang mencincang daging dengan kasar. Hingga
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKU10. Ningrum Sastrowijoyo (Bagian A)"Waalaikumsalam!" balasku seraya beranjak dari kursi. Salad yang baru saja aku santap setengah, terpaksa harus ku tinggalkan begitu saja. Demi orang tua.Rupanya, Ibu mertua bersama dengan Mas Rengga yang tadi terdengar sedikit gaduh. Ibu kandung Mas Rengga yang ku ketahui masih keturunan darah biru itu bernama Ningrum, dengan nama lengkap Ningrum Sastrowijoyo."Apa kabarmu, Key? Apik wae, toh? Sehat? Kok kurusan, Key?" tanya Ibu mertua dengan kening mengkerut. Seperti biasa, tatapan matanya akan menindak tubuhku dari atas ke bawah, kembali lagi dari bawah ke atas dengan pandangan yang ... entahlah. Karena sulit untuk ku artikan."Alhamdulillah, baik!" jawabku singkat. Sebelum ditanya dan dikomplain berbagai hal. Aku memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan."Datang kok nggak ngabarin, Bu?" tanyaku seraya menghampirinya. Ku raih punggung tangannya dan kucium dengan takzim."Loh, kenopo harus ngabarin, toh? Ibu
11. Ningrum Sastrowijoyo (Bagian B)"Oh, iya, Bu. Ayo! Ibu mau makan dulu. Atau istirahat? Tapi, tunggu sebentar, ya. Keysa siapkan dulu kamarnya untuk Ibu kalau mau beristirahat. Biar rapi!" ujarku dengan penuh kelembutan."Ibu tadi wes kenyang, makan mampir ndek rest area. Tapi, nggak papa. Ibu nggak butuh istirahat dulu. Ibu tak lihat kalian makan aja sambil kita ngobrol. Kalau tidur dan istirahat yo bisa di Jogja. Tujuan Ibu ke sini kan, pengen tahu kabar kalian dan mendengar cerita juga pengalaman tolenya si Ibu ini selama jadi raja laut!" kekeh Ibu mertua dengan mata berbinar."Nggeh pun, ayo, Bu! Kita ke meja makan!" ajakku seraya menuntunnya. Aku berusaha mengambil posisi di samping Bu Ningrum. Namun, dengan lembut dia melepaskan tangannya dari lenganku. Dan dengan tatapan tegas, Ibu mertuaku malah berjalan mendahului ku."Udah. Ibu ini nggak stroke atau diabet yang harus dituntun jalannya. Ini, loh. Bisa kan Ibu?" katanya seraya berjalan dengan arah satu garis lurus yang tert
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKU12. Spot Jantung! (Bagian A)"Loh, kok wajah Ibu jadi heran begitu?" tanyaku kini seraya menaikkan satu alis. Biar saja, aku memang sengaja memancing untuk membuat Ibu dan Mas Rengga merasa bahwa aku sedang mencurigakan dan pantas untuk ditelusuri. Padahal, aku hanya ingin bercanda dengan mereka."Ya, pertanyaan kamu itu aneh, loh, Key! Wajar kalau Ibu sampai bertanya. Aku sendiri pun begitu!" timpal Mas Rengga kini ikut memandangku dengan tajam. Apa maksudnya? Dia malah sok-sokan menatapku seperti itu! Nggak jelas banget!"Lah, kok jadi serius? Benar kan apa yang aku bilang? Akan lebih menakutkan lagi, kalau aku hamil pas kamu sedang bertugas di luar!" ulang ku dengan santai. Kenapa dua orang itu menatapku seakan menguliti? Aku rasa, tidak ada yang aneh dengan ucapan ku tadi. Ini aneh! Eh, aku yang aneh, atau mereka yang aneh karena tak tahu selera humor?"Jangan kurang ajar! Maksud kamu apa? Kamu berniat main belakang dari aku? Waktu aku tugas ke l
13. Spot Jantung! (Bagian B)"Keysa!" bentak Mas Rengga yang cukup terdengar memekakkan di telinga."Maksudnya apa, Key? Kamu dari tadi sukses loh, bikin Ibu ini spot jantung. Untung Ibu nggak punya riwayat asma atau kelainan jantung. Amit-amit jabang bayi lanang wedhok!" ujarnya seraya melotot tajam ke arahku."Ya ampun, segitunya kalian. Ya, tai lalat dong! Lihat tuh! Ibu punya lebih dari dua biji di wajah, ada di bawah mata, hidung, pipi sebelah kiri, atas alis, sebelah kanan sudut bibir dan di dagu. Sedangkan aku, juga ada beberapa biji di sekitar pipi dan bibir. Tiga biji mungkin. Benar toh, apa yang tak bilang? Aku dan Ibu wajah nya dipenuhi oleh tai, yaitu tai nya lalat!" ujarku seraya terkekeh.Mas Rengga hanya mengelus dada pelan, dia terlihat mengatur napasnya yang kurasa sedang memburu."Oalah dalah, Ibu pikir kenapa toh. Kamu ini, ya. Sanggup buat Ibu ini kaget dan ketar-ketir. Hampir saja Ibu kaget, jantung Ibu rasanya dag dig dug ser. Udah kayak speaker salon gede nya or
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKUBab 7Dia …."Key ....""Keysa ....""Gimana, dong, Bu. Ini Keysa kenapa, ya? Nggak biasanya dia pingsan-pingsan terus!" "Sabar. Kamu kok malah nanya Ibu, lah kamu jadi suami piye tindakannya kalau istri sakit!" Samar, aku bisa mendengar suara panik dari Mas Rengga dan juga Ibu."Key ...."Kali ini suara Ibu yang bisa ku dengar, diiringi dengan tepukan lembut di pipi sebelah kanan. Aku memutuskan untuk membuka mata, walaupun masih terasa sangat berat."Heum?""Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Nduk!" ujar Ibu dengan wajah yang terlihat berbinar. Tersirat seulas senyum di bibirnya yang agak tebal."Key, kamu kenapa? Apa yang kamu rasakan? Mual, muntah, pusing?" tanya Mas Rengga dengan wajah panik. Kini, dia menggenggam tanganku dengan lembut."Aku ... hanya sedikit pusing. Rasanya lemas!" jawabku seraya mencoba melepaskan tangan ini dari genggamannya."Loh, Bu! Sekarang jam berapa?" tanyaku dengan wajah yang berubah panik. Aku baru ingat, nanti se
15. Dia …. (Bagian B)"Apa sih, Key? Berhenti untuk menebak-nebak. Aku tidak bertukar pesan dengannya. Siapa juga yang berhubungan dengannya!" ketus Mas Rengga, namun masih dengan suara yang nyaris berbisik."Aku nggak ada bilang kamu bertukar pesan dengannya. Kamu sendiri yang mengambil kesimpulan. Ayo, Mas! Kita lakukan!" bisikku seraya tersenyum tipis."Apa?" lirihnya tanpa memandang ku."Sekalian kita ke Rumah Sakit. Kamu bisa mengembalikan ginjal ku hari ini juga kalau kamu mau! Bagaimana?" tanyaku dengan kalimat penuh penekanan. Biar saja, biar Mas Rengga bisa lebih terbuka pikirannya."Nggak usah macem-macem, Key. Lagi pula, aku nggak aneh-aneh kok. Percayalah, udah ya. Jangan dibahas. Fokus sama anak kita!" ujarnya dengan percaya diri yang tinggi."Idih, apa kamu bilang? Anak ki–""Kalian ini ngapain? Lama sekali! Ayo!" kata Ibu seraya melotot ke arah kami. Aku pun hanya menanggapi dengan seulas senyum tipis."Tuh, kan. Ibu jadi marah!" ucapan Mas Rengga yang langsung membawa
KUBELI KESOMBONGAN, GUNDIK SUAMIKU16. Rengga Cemburu! (Bagian A)"Eh, maaf. Benar kan ini Keysa?" ulang lelaki itu lagi.Aku pun beranjak berdiri. Menyudahi aksi drama kali ini, agar tak terlihat lebay seperti di telenovela kebanyakan."Iya, Mas. Ini aku Keysa! Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat. Aku baik-baik saja!" sahutku dengan tenang. "Periksa klinik kandungan? Atau?" tanya lelaki yang tak asing di depanku ini."Iya, istriku diduga sedang hamil. Jadi, kami mau ke klinik kandungan. Kamu dokternya?" Suara itu, berasal dari Mas Rengga, yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku dengan wajah tak bersahabat."Hai, Rengga. Apa kabar?" tanyanya yang bahkan masih dengan gaya sopan dan ramahnya yang menjadi ciri khas sejak dulu kala. Dialah Mas Alif, mantan kekasihku semenjak duduk di bangku putih abu-abu dulu. Lelaki yang berada di kisah masa lalu."Alhamdulillah, baik. Kamu belum jawab pertanyaan ku loh, Lif. Kamu dokternya?" tanya Mas Rengga lagi."Eh, bukan. Kebetulan aku