Senandung kecil yang keluar dari bibir mungil Alena tampaknya menjadi melodi pengantar kegiatannya pagi ini. Kini, dua piring omelet telah tersaji, membuat gadis itu menatapnya berbinar.
“Kalau si macan masih nggak suka, bakalan gue potong-potong dia jadi campuran omelet,” gumam Alena dengan tatapan kesal. Ia masih dendam pada Ankara, tetapi tetap menjalankan tugasnya sesuai kontrak.
Alena beranjak meraih tasnya, kemudian mengambil dua piring omelet tersebut dan membawanya ke apartemen Ankara. Tak seperti semalam, pagi ini Ankara segera membuka pintu setelah Alena memencet bel sekali.
“Tumben nggak telat,” ucap Ankara sembari melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sedangkan Alena hanya tak acuh dan memilih langsung menuju ke dapur.
“Gue mandi dulu, jangan buat kesalahan lagi!” pesan Ankara sebelum beranjak ke kamarnya. Sedangkan Alena hanya mengindikkan bahunya, kemudian mulai membersihkan seluruh ruangan apartemen Ankara.
“Apa lagi, ya?” gumam Alena sembari meneliti tiap sudut ruangan. Setelah memastikan semuanya bersih, ia segera beranjak ke kamar Ankara. Sejujurnya ia gugup, tetapi jika tidak melakukan tugasnya, maka kemungkinan besar ia akan membangkitkan macan tidur lagi.
“Ayo, Alena, cuma siapin setelan kantor, terus lo bisa keluar.”
Alena meyakinkan dirinya, kemudian mulai membuka isi lemari Ankara yang lumayan rapi untuk ukuran seorang pria. Alena memutuskan untuk memilih kemeja kotak-kotak, dasi hitam, celana, jas, dan sepatu dengan warna senada.
“Lo ngapain?”
Alena tersentak kala suara maskulin Ankara terdengar dekat dengannya. Ia membalikkan badan dan melihat Ankara yang kini berdiri tepat di belakangnya. Alena sontak membalikkan tubuhnya lagi saat menyadari jika Ankara saat ini tidak mengenakan atasan dan hanya melilitkan handuk di pinggangnya.
“Setelan, g—gue siapin setelan. I—ini,” ucap Alena terbata sembari meletakkan pakaian tersebut di atas kasur. Tanpa menatap ke arah Ankara lagi, ia segera beranjak meninggalkan kamar, menuju ke dapur.
Alena menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya, melakukan itu berulang kali sembari memukul kepalanya. Bayangan Ankara dengan penampilan seperti itu benar-benar tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Jujur saja, Ankara adalah lelaki pertama yang berdiri di depan Alena dengan penampilan yang ... Alena tak mampu untuk mengatakannya.
“Omelet? Nggak ada sayurnya, ‘kan?” tanya Ankara setelah duduk di depan Alena, lengkap dengan tampilan sempurnanya.
“N—nggak.”
Ankara mengernyitkan alisnya, merasa bingung dengan sikap Alena, tetapi mencoba untuk tidak memikirkannya. Ia mulai menyendokkan omelet tersebut ke dalam mulutnya, tetapi gerak gelisah Alena dan kegugupan gadis itu membuatnya tak nyaman.
“Lo kenapa?” tanya Ankara, dibalas dengan gelengan Alena yang tetap fokus pada makanannya.
Ankara mengernyitkan dahi, kemudian mulai mengingat sejak kapan Alena bersikap seperti ini. Senyum miring Ankara terbit saat menyadari bahwa gadis itu gugup karena melihat body sixpack-nya sehabis mandi.
“Lo nggak pernah liat ABS cowok sebelumnya, ya?” tanya Ankara yang membuat Alena tersendat, hingga matanya memerah. Ia meraih gelas berisi air dan segera minumannya.
“Atau ... lo emang nggak pernah pacaran?” lanjut Ankara yang lagi-lagi membuat Alena tersendat. Hal tersebut membuat Ankara tertawa sampai matanya menyipit.
“Buruan makan, kalau nggak mau telat,” ucap Alena setelah berhasil meredakan perih di tenggorokannya. Ia melangkah ke ruang tamu, meninggalkan Ankara yang masih sibuk tertawa.
Seusai sarapan, Ankara menemui Alena di ruang tamu, kemudian duduk tepat di depan gadis itu. Sedangkan Alena yang melihat kedatangan Ankara, sontak beranjak.
“Gue baru duduk, loh.”
“Gue nggak mau disalahin kalau lo telat,” ucap Alena tanpa berbalik menatap Ankara. Ia terus berjalan menuju loby, membuat Ankara hanya bisa mengikut di belakangnya.
“Lo beneran belum pernah pacaran?” tanya Ankara lagi saat mereka berada di dalam lift, tetapi Alena tampak tak acuh dan memilih menulikan telinganya.
Perjalanan menuju kantor cukup berjalan lancar, meskipun Alena berulang kali harus menahan emosinya karena ulah Ankara yang terus menggodanya perihal ia yang tak pernah pacaran.
“Rendi, mulai sekarang kamu laporkan semua jadwal saya ke Alena, karena mulai hari ini dia akan menjadi sekretaris pribadi saya. Pastikan juga dia tidak melakukan kesalahan,” ucap Ankara pada Rendi saat bertemu dengan lelaki itu di depan ruangannya.
“Baik, Pak.”
“Satu lagi, tolong siapkan meja kerja untuk Alena di dalam ruangan saya!” lanjutnya yang dibalas anggukan patuh dari Rendi. Setelahnya, Ankara beralih menatap Alena yang berdiri di belakangnya, ia tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menyerahkan tas kantor pada gadis itu.
“Bawa ke dalam, gue ada urusan dulu.”
Alena menarik napas dalam, kemudian melangkah ke ruangan Ankara untuk meletakkan tas tersebut. Alena berdecak kagum saat menatap interior ruangan Ankara yang tampak elegan dengan perpaduan black-gold. Ini memang bukan pertama kalinya ia ke sana, tetapi baru kali ini Alena bisa menikmati pemandangan itu.
Bunyi pintu yang dikeruk membuat Alena berbalik ke arah pintu. Ia sempat terdiam saat retinanya bertemu dengan retina pria yang beberapa hari ini tak pernah ia lihat lagi.
“Alena, kamu ngapain di sini?”
“Mulai sekarang dia bekerja sebagai sekretaris pribadi saya, ada masalah, Pak Bram?”
Bukan Alena yang menjawab pertanyaan dari Bram, melainkan Ankara yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu. Ia melangkah masuk, kemudian berdiri tepat di samping Alena.
“T—idak, Pak. Saya bawa data-data calon karyawan administrasi,” ucap Bram gugup sembari menyodorkan laporan yang ia bawa. Pandangannya sempat terkunci pada retina Alena, sebelum akhirnya Ankara memintanya untuk segera keluar dari ruangan.
“Gue nggak suka orang yang nggak profesional, apalagi pacaran di ruangan gue,” ucap Ankara dengan pandangan tetap fokus pada berkas di hadapannya. Sedangkan Alena justru mendelik kesal saat menyadari ucapan lelaki itu.
“Emang yang pacaran siapa?” gumam Alena, tetapi masih bisa didengar dengan jelas oleh Ankara. Tak lama, Rendi datang bersama dua orang OB yang membawa meja dan peralatan kerja Alena.
“Sampai kapan lo mau berdiri di situ?” tanya Ankara setelah kini tinggal mereka berdua.
“G—gue, gue nggak tahu harus ngerjain apaan.”
Ankara melemparkan beberapa berkas ke arah Alena, kemudian beralih menatap gadis itu dengan pandangan dinginnya.
“Baca dan pahami! Di situ juga ada jadwal gue untuk minggu ini, tugas lo adalah hafal itu di luar kepala, paham?”
“Paham,” balas Alena disertai anggukan pelannya.
Mereka mulai sibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga tanpa sadar waktu makan siang telah tiba. Alena yang terlalu fokus pada pekerjaannya, sampai lupa untuk mengingatkan Ankara, hingga akhirnya kedatangan Rendi menyadarkan mereka.
“Pak, mau saya pesankan makanan?”
Ankara menggeleng menjawab pertanyaan Rendi, kemudian berkata, “Nggak usah! Mulai hari ini, untuk keperluan pribadi saya, termasuk makan siangnya diurus oleh Alena.”
“Mau makan apa? Di mana?” tanya Alena setelah Rendi pamit untuk pergi. Sedangkan Ankara tampak berpikir sejenak, kemudian meraih jasnya yang tergantung.
“Gue mau ketemu Devan, lo makan aja sendiri!” ucap Ankara sembari berlalu, meninggalkan Alena yang berdecak kesal.
“Dasar macan kota aneh! Tadi katanya jadi urusan gue, sekarang malah ninggalin,” keluh Alena sembari berlalu ke luar ruangan.
Alena melangkah sembari sesekali bersenandung, ruangan Ankara memang menjadi satu-satunya ruangan di lantai 24, sehingga keadaannya sedikit sepi, terlebih Rendi juga sudah turun lebih dahulu. Saat perjalanan menuju loby, pintu lift terbuka memperlihatkan Bram yang tersenyum sembari melangkah masuk.
“Jadi, ini pekerjaan baru kamu?” tanya Bram memecah keheningan yang tercipta. Suasananya memang sedikit canggung, mengingat hanya ada mereka berdua di dalam lift.
“Iya, Mas.”
“Mau makan bareng?” tawar Bram saat mereka sampai di loby. Alena tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk, menerima tawaran Bram. Mereka berjalan beriringan, menuju cafe Bram.
“Gimana keadaan adik kamu?” tanya Bram memulai pembicaraan, kini mereka tengah duduk berhadapan dengan makanan masing-masing di hadapan keduanya.
“Jadwal operasinya minggu depan.”
“Syukurlah sudah bisa dioperasi, maaf aku nggak bisa bantuin kamu,” sesal Bram yang membuat Alena menggeleng. Gadis itu tersenyum, mencoba meyakinkan bahwa ia baik-baik saja.
“Lupain aja, Mas. Lagi pula, aku udah dapat uangnya.”
“Dari Pak Ankara?” tanya Bram yang dibalas anggukan Alena, meskipun dengan sedikit keraguan di wajahnya. Bram meraih minumannya, tiba-tiba saja selera makannya hilang.
“Sepertinya Pak Ankara menyukaimu sampai bersedia meminjamkan uang sebanyak itu, bahkan menjadikan kamu sebagai sekretaris di perusahaan,” ucap Bram dengan pandangan ke lain arah, sedangkan Alena hanya bisa tersenyum masam. Andai Bram tahu, jika semua itu berdasar atas kontrak.
“Jadi begini kelakuan seorang sekretaris? Makan dengan enak, meninggalkan bosnya yang kelaparan.”
Alena dan Bram sontak beralih pada Ankara yang datang bersama Devan. Ankara melangkah semakin dekat ke arah Alena dengan tatapan datarnya, sedangkan Alena hanya bisa menatap sang empunya dengan pandangan bingung.
“Sekarang temenin gue makan!” tegas Ankara sembari menarik tangan Alena, setelah sebelumnya menyimpan beberapa lembar uang ratusan di atas meja.
Alena menatap Ankara yang sedari tadi hanya diam dengan pandangan bingung, bagaimana tidak? Lelaki itu sendiri yang meninggalkannya untuk makan bersama Devan, tetapi kini ia bertindak seolah Alena yang meninggalkannya untuk makan bersama Bram.
“Masakin!” pinta Ankara setelah mereka sampai di apartemen lelaki itu. Ia menyodorkan sebungkus pasta instan di depan Alena sembari meminta gadis itu untuk memasak untuknya.
“Cepat, Alena! Setelah ini gue masih ada meeting dan lo harus nemenin gue!” lanjutnya tegas, kemudian berlalu menuju ruang tamu, meninggalkan Alena yang hanya bisa menatapnya tak percaya.
“Habis kepentok kali, ya, si Macan Kota.”
“Buruan Alena! Gue laper!” pekik Ankara dari arah ruang tamu, membuat Alena terpaksa memasak untuknya, meskipun dengan perasaan dongkol.
Seusai makan siang di apartemen Ankara tadi, kini Alena dan Ankara melangkah beriringan ke sebuah cafe tempat meeting bersama klien. Alena berulang kali menghela napas panjang, ia benar-benar gugup mengingat ini adalah pengalaman pertamanya bertemu dengan klien perusahaan. Wajar saja, ia yang tidak punya pengalaman, kini harus bekerja di perusahaan besar dengan posisi tinggi, sekretaris CEO.“Santai aja! Dengan lo menghela napas berulang kali kayak gitu, justru kelihatan gugupnya,” ucap Ankara sembari melirik Alena dengan tatapan remehnya, membuat sang empunya mendelik tak suka.“Lo nggak tahu rasanya jadi gue!”“Iya, sih, lo bener. Gue emang nggak tahu rasanya gugup karena mau ketemu klien, gue emang ditakdirkan kompeten sejak lahir,” ucap Ankara dengan bangganya. Sedangkan Alena justru mendengkus kesal, ingin sekali rasanya ia menarik kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.“Selamat sore, Pak Sinatra.”
Bulu mata lebat itu tampak bergerak diiringi dengan kelopak mata yang mengerjap pelan. Ankara, si pemilik bulu mata lebat, mulai mengumpulkan kesadarannya. Ia memijat keningnya yang sedikit pening.“Ini bukan kamar gue,” gumam Ankara setelah menjelajahi ruangan dengan retinanya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang menyebabkan ia berada di tempat tersebut. Potongan-potongan tentang Alena yang datang menjemputnya hingga kejadian saat ia memuntahkan isi perutnya tepat di kasur gadis itu terlintas dalam ingatannya.Ankara membulatkan matanya, setelah itu segera beranjak keluar dari kamar. Ia mengernyitkan dahi saat tak menemukan Alena di ruang tamu, tetapi aroma masakan yang sangat harum mengundangnya melangkah ke dapur.“Sudah bangun? Gue masakin sup taoge, katanya ini bagus untuk menghilangkan pengar,” ucap Alena sembari menyajikan sup tersebut ke dalam mangkuk dan menyimpannya di meja.“Ayo duduk! Lo ada meeting jam 10, j
“Sempurna!”Ankara tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, seperti biasanya, ia selalu menawan dengan pakaian apapun. Terlebih malam ini, tuxedo hitam yang melapisi kemeja di dalamnya terlihat sangat pas di tubuh tegap Ankara. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke apartemen Alena, mengirimkan pesan pada gadis itu untuk segera ke luar.Pintu apartemen yang terbuka membuat Ankara terpaku. Di depannya, ada Alena yang tampak tak seperti biasanya. Gadis itu mengenakan gaun merah selutut dipadu dengan heels hitam, serta tatanan rambut yang dicurly membuat penampilannya sempurna.“Berangkat sekarang?”Ankara membasahi kerongkongannya yang beberapa detik lalu terasa kering, melemparkan pandangan ke lain arah agar Alena tak dapat membaca raut terpananya. Sebelum akhirnya, ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu.Sepanjang jalan, tak hentinya Ankara mencuri pandang ke arah Alena yang terlihat gugup di sampingnya.
Alena melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit, diikuti oleh Ankara yang berjalan di belakangnya. Mereka langsung masuk ke ruangan Dokter Karin setelah dipersilakan oleh sang empunya ruangan.“Jadi, ada apa, Dok?”“Saya punya kabar buruk dan kabar baik sekaligus. Kamu ingin mendengar yang mana?”Alena menarik napas dalam, dua pilihan yang berhasil membuat Ankara kini menatapnya penasaran, ia ingin tahu karakter Alena dari caranya mengambil keputusan.“Kabar buruk aja dulu, Dok.”Tanpa sadar, Ankara tersenyum mendengar jawaban gadis itu. Bisa ia simpulkan bahwa Alena adalah tipikal gadis yang menyukai akhir bahagia meski harus berproses dalam kesedihan.“Kabar buruknya, penyakit gagal ginjal kronis yang dialami pasien kini menimbulkan komplikasi.”“Komplikasi?” tanya Alena bingung.“Iya, setelah saya periksa, jantung pasien mengalami masalah. Terdapat gejala g
Suara dentuman musik yang memekakkan telinga, tarian erotis, serta aroma alkohol yang menyengat menjadi ciri khas tempat ini. Tempat di mana orang-orang akan bebas berekspresi, melupakan semua masalah, dan merasakan kebahagiaan sesaat. Sebuah club' yang berada di pusat Kota Metropolitan ini menjadi tempat nongkrong favorit bagi para eksekutif muda, termasuk Ankara Foniks. CEO dari Fonix Group yang merupakan perusahaan terbesar di Indonesia.“Bro, nggak chek in?”Ankara yang duduk di tengah beberapa wanita hanya menggeleng pelan. Ia sedang tidak niat untuk ‘bermain’ hari ini. Bahkan sedari tadi wanita-wanita yang mengelilinginya tampak ia abaikan. Hal tersebut membuat Devan, sahabat Ankara bingung.“Tumben banget seorang Ankara nolak cewek.”“Gue mau pulang, mumet gue di sini,” ucap Ankara sembari meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja. Ia melangkah ke luar tanpa memedulikan teriakan Devan, b
Bangunan putih yang identik dengan aroma obat-obatan sudah tak asing lagi bagi Alena. Sejak lima tahun belakangan, ia selalu mengunjungi tempat ini sepulang kerja. Pemandangan seorang pria yang tengah terbaring dengan beberapa alat medis menempel di tubuhnya, merupakan pemandangan yang selalu menyambut Alena saat memasuki ruang mawar.“Alex, kamu kapan bangun? Kakak kangen,” lirih Alena sembari menggenggam tangan Alex, adiknya. Ia mengusap air mata yang tiba-tiba saja jatuh di pipinya, perasaan rindu pada sosok humoris yang kini tak berdaya, tak bisa ia tahan.“Alena, kamu di sini?”“Iya, Dok,” jawab Alena pada Dokter Karin yang menangani Alex sejak awal.“Ada yang harus saya sampaikan, mari ikut saya ke ruangan!”Alena melangkah dengan lesu di belakang Dokter Karin. Segala pikiran buruk kini bersarang di kepalanya, tentang keadaan Alex yang tidak pernah menunjukkan perkembangan signifikan.&ld
Alena menghela napas untuk kesekian kalinya sejak menginjakkan kaki di depan bangunan yang terdiri dari 25 lantai tersebut. Bangunan dengan lambang burung Foniks yang tampak kokoh, tetapi menakutkan dalam pandangan Alena. Ia menggigit bibir bawahnya, bimbang harus mengambil langkah, karena jujur saja ini akan menjadi taruhan untuk masa depannya.“Ayo Alena, demi Alex,” gumam Alena meyakinkan diri. Bukan tanpa sebab ia beridiri di depan Foniks Group, semua karena ucapan Dokter Karin saat ia kembali menjenguk Alex kemarin usai kerja.“Alena, besok adalah kesempatan terakhir kamu untuk membayar biaya administrasi, karena jika tidak, maka kemungkinan Alex untuk sembuh akan sulit,” ucap Dokter Karin saat meminta Alena menemuinya kemarin.“Dok, bukannya untuk operasi itu harus menemukan ginjal yang cocok? Bukannya itu juga membutuhkan waktu lama? Ini berarti, kalaupun saya bisa lunasin biaya administrasi, belum tentu Alex bisa operasi sec
Pagi yang tadi cerah tiba-tiba saja mendung dan kini hujan deras mengguyur Ibu Kota, mungkin langit pun mengerti dengan perasaan Alena. Bahkan kini, kaca jendela mobil yang berembun, lebih menarik di mata Alena daripada harus menatap ke arah Ankara yang tengah menyetir.“Jika kamu menyesal, kita masih bisa berhenti sekarang, karena setelah sampai di rumah sakit, saya tidak akan melepaskan kamu,” ucap Ankara tanpa menatap Alena. Lelaki itu bisa merasakan bahwa gadis di sampingnya ini masih dalam perasaan kacau, terbukti dari seringnya ia mendengar helaan napas.“Nggak, Pak! Saya ... tetap sama keputusan tadi.”“Baiklah, itu pilihan kamu. Saya nggak mau dengar penyesalan di kemudian hari!” tegas Ankara yang dibalas dengan anggukan pelan Alena.Tak lama, mereka telah sampai di rumah sakit, melangkah beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Jika Alena langsung menuju ke ruangan Alex, maka lain halnya dengan Ankara yang berb
Alena melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit, diikuti oleh Ankara yang berjalan di belakangnya. Mereka langsung masuk ke ruangan Dokter Karin setelah dipersilakan oleh sang empunya ruangan.“Jadi, ada apa, Dok?”“Saya punya kabar buruk dan kabar baik sekaligus. Kamu ingin mendengar yang mana?”Alena menarik napas dalam, dua pilihan yang berhasil membuat Ankara kini menatapnya penasaran, ia ingin tahu karakter Alena dari caranya mengambil keputusan.“Kabar buruk aja dulu, Dok.”Tanpa sadar, Ankara tersenyum mendengar jawaban gadis itu. Bisa ia simpulkan bahwa Alena adalah tipikal gadis yang menyukai akhir bahagia meski harus berproses dalam kesedihan.“Kabar buruknya, penyakit gagal ginjal kronis yang dialami pasien kini menimbulkan komplikasi.”“Komplikasi?” tanya Alena bingung.“Iya, setelah saya periksa, jantung pasien mengalami masalah. Terdapat gejala g
“Sempurna!”Ankara tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, seperti biasanya, ia selalu menawan dengan pakaian apapun. Terlebih malam ini, tuxedo hitam yang melapisi kemeja di dalamnya terlihat sangat pas di tubuh tegap Ankara. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke apartemen Alena, mengirimkan pesan pada gadis itu untuk segera ke luar.Pintu apartemen yang terbuka membuat Ankara terpaku. Di depannya, ada Alena yang tampak tak seperti biasanya. Gadis itu mengenakan gaun merah selutut dipadu dengan heels hitam, serta tatanan rambut yang dicurly membuat penampilannya sempurna.“Berangkat sekarang?”Ankara membasahi kerongkongannya yang beberapa detik lalu terasa kering, melemparkan pandangan ke lain arah agar Alena tak dapat membaca raut terpananya. Sebelum akhirnya, ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu.Sepanjang jalan, tak hentinya Ankara mencuri pandang ke arah Alena yang terlihat gugup di sampingnya.
Bulu mata lebat itu tampak bergerak diiringi dengan kelopak mata yang mengerjap pelan. Ankara, si pemilik bulu mata lebat, mulai mengumpulkan kesadarannya. Ia memijat keningnya yang sedikit pening.“Ini bukan kamar gue,” gumam Ankara setelah menjelajahi ruangan dengan retinanya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang menyebabkan ia berada di tempat tersebut. Potongan-potongan tentang Alena yang datang menjemputnya hingga kejadian saat ia memuntahkan isi perutnya tepat di kasur gadis itu terlintas dalam ingatannya.Ankara membulatkan matanya, setelah itu segera beranjak keluar dari kamar. Ia mengernyitkan dahi saat tak menemukan Alena di ruang tamu, tetapi aroma masakan yang sangat harum mengundangnya melangkah ke dapur.“Sudah bangun? Gue masakin sup taoge, katanya ini bagus untuk menghilangkan pengar,” ucap Alena sembari menyajikan sup tersebut ke dalam mangkuk dan menyimpannya di meja.“Ayo duduk! Lo ada meeting jam 10, j
Seusai makan siang di apartemen Ankara tadi, kini Alena dan Ankara melangkah beriringan ke sebuah cafe tempat meeting bersama klien. Alena berulang kali menghela napas panjang, ia benar-benar gugup mengingat ini adalah pengalaman pertamanya bertemu dengan klien perusahaan. Wajar saja, ia yang tidak punya pengalaman, kini harus bekerja di perusahaan besar dengan posisi tinggi, sekretaris CEO.“Santai aja! Dengan lo menghela napas berulang kali kayak gitu, justru kelihatan gugupnya,” ucap Ankara sembari melirik Alena dengan tatapan remehnya, membuat sang empunya mendelik tak suka.“Lo nggak tahu rasanya jadi gue!”“Iya, sih, lo bener. Gue emang nggak tahu rasanya gugup karena mau ketemu klien, gue emang ditakdirkan kompeten sejak lahir,” ucap Ankara dengan bangganya. Sedangkan Alena justru mendengkus kesal, ingin sekali rasanya ia menarik kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.“Selamat sore, Pak Sinatra.”
Senandung kecil yang keluar dari bibir mungil Alena tampaknya menjadi melodi pengantar kegiatannya pagi ini. Kini, dua piring omelet telah tersaji, membuat gadis itu menatapnya berbinar.“Kalau si macan masih nggak suka, bakalan gue potong-potong dia jadi campuran omelet,” gumam Alena dengan tatapan kesal. Ia masih dendam pada Ankara, tetapi tetap menjalankan tugasnya sesuai kontrak.Alena beranjak meraih tasnya, kemudian mengambil dua piring omelet tersebut dan membawanya ke apartemen Ankara. Tak seperti semalam, pagi ini Ankara segera membuka pintu setelah Alena memencet bel sekali.“Tumben nggak telat,” ucap Ankara sembari melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sedangkan Alena hanya tak acuh dan memilih langsung menuju ke dapur.“Gue mandi dulu, jangan buat kesalahan lagi!” pesan Ankara sebelum beranjak ke kamarnya. Sedangkan Alena hanya mengindikkan bahunya, kemudian mulai membersihkan seluruh
Bunyi spatula beradu dengan penggorengan menjadi melodi yang memenuhi apartemen Alena. Sedari tadi ia tengah sibuk memasak berbagai jenis makanan untuk makan malam Ankara. Ia melakukan ini dengan harapan tidak membuat kesalahan lagi, sekaligus menebus kesalahannya tadi pagi.“Nasi, rendang, cumi lada garam, udang goreng tepung, sayur brokoli, tumis terong, terus penutupnya puding buah. Sip, udah lengkap,” ucap Alena mengabsen berbagai jenis makanan yang sudah ia siapkan, kemudian mulai memasukkannya ke dalam rantang.“Semangat hadapi macan kota, Alena!” lanjutnya menyemangati diri sendiri. Dengan langkah yakin, ia menuju apartemen Ankara yang berada di samping apartemennya. Ia memencet bel berulang kali, tetapi tak ada tanda-tanda pintu akan segera terbuka.“Ini macan kota ke mana, sih? Nggak tahu ini berat apa?” gerutu Alena sembari terus memencet bel, hingga beberapa saat kemudian pintu terbuka, menampilkan Ankara dengan han
Ankara berulang kali mengumpat ke arah komputer di hadapannya, sejak kepergian Alena tadi, pekerjaannya terasa kacau. Mulai dari komputer yang tiba-tiba tidak merespon hingga jemarinya yang sering typo. “Jadi, ini salah gue gitu? Berani banget dia nyalahin gue,” gumam Ankara. Ia memukul keyboard di depannya, kemudian mengambil jas yang tergantung. Ia harus menyelesaikan masalah ini, atau pekerjaannya tidak akan selesai.Ankara melangkah menyusuri kantor, mencari keberadaan Alena yang tidak ia temukan. Saat sampai di loby, pandangannya mengarah pada Bramasta Cafe yang berada di seberang jalan. Ankara menyipitkan matanya, perlahan senyumnya mengembang saat melihat Alena berada di sana. Tanpa membuang waktu, Ankara segera menghampiri gadis itu.“Khm ... saya bukan orang yang gampang memaafkan, tetapi berhubung ini hari pertama kamu bekerja, jadi kalau kamu minta maaf sekarang, saya akan pertimbangkan,” ucap Ankara setelah
Pagi yang tadi cerah tiba-tiba saja mendung dan kini hujan deras mengguyur Ibu Kota, mungkin langit pun mengerti dengan perasaan Alena. Bahkan kini, kaca jendela mobil yang berembun, lebih menarik di mata Alena daripada harus menatap ke arah Ankara yang tengah menyetir.“Jika kamu menyesal, kita masih bisa berhenti sekarang, karena setelah sampai di rumah sakit, saya tidak akan melepaskan kamu,” ucap Ankara tanpa menatap Alena. Lelaki itu bisa merasakan bahwa gadis di sampingnya ini masih dalam perasaan kacau, terbukti dari seringnya ia mendengar helaan napas.“Nggak, Pak! Saya ... tetap sama keputusan tadi.”“Baiklah, itu pilihan kamu. Saya nggak mau dengar penyesalan di kemudian hari!” tegas Ankara yang dibalas dengan anggukan pelan Alena.Tak lama, mereka telah sampai di rumah sakit, melangkah beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Jika Alena langsung menuju ke ruangan Alex, maka lain halnya dengan Ankara yang berb
Alena menghela napas untuk kesekian kalinya sejak menginjakkan kaki di depan bangunan yang terdiri dari 25 lantai tersebut. Bangunan dengan lambang burung Foniks yang tampak kokoh, tetapi menakutkan dalam pandangan Alena. Ia menggigit bibir bawahnya, bimbang harus mengambil langkah, karena jujur saja ini akan menjadi taruhan untuk masa depannya.“Ayo Alena, demi Alex,” gumam Alena meyakinkan diri. Bukan tanpa sebab ia beridiri di depan Foniks Group, semua karena ucapan Dokter Karin saat ia kembali menjenguk Alex kemarin usai kerja.“Alena, besok adalah kesempatan terakhir kamu untuk membayar biaya administrasi, karena jika tidak, maka kemungkinan Alex untuk sembuh akan sulit,” ucap Dokter Karin saat meminta Alena menemuinya kemarin.“Dok, bukannya untuk operasi itu harus menemukan ginjal yang cocok? Bukannya itu juga membutuhkan waktu lama? Ini berarti, kalaupun saya bisa lunasin biaya administrasi, belum tentu Alex bisa operasi sec