Bangunan putih yang identik dengan aroma obat-obatan sudah tak asing lagi bagi Alena. Sejak lima tahun belakangan, ia selalu mengunjungi tempat ini sepulang kerja. Pemandangan seorang pria yang tengah terbaring dengan beberapa alat medis menempel di tubuhnya, merupakan pemandangan yang selalu menyambut Alena saat memasuki ruang mawar.
“Alex, kamu kapan bangun? Kakak kangen,” lirih Alena sembari menggenggam tangan Alex, adiknya. Ia mengusap air mata yang tiba-tiba saja jatuh di pipinya, perasaan rindu pada sosok humoris yang kini tak berdaya, tak bisa ia tahan.
“Alena, kamu di sini?”
“Iya, Dok,” jawab Alena pada Dokter Karin yang menangani Alex sejak awal.
“Ada yang harus saya sampaikan, mari ikut saya ke ruangan!”
Alena melangkah dengan lesu di belakang Dokter Karin. Segala pikiran buruk kini bersarang di kepalanya, tentang keadaan Alex yang tidak pernah menunjukkan perkembangan signifikan.
“Alena, jujur saja. Kita tidak bisa hanya terus melakukan cuci darah untuk mempertahankan ginjal Alex. Kedua ginjalnya sudah tidak dapat berfungsi, kita harus segera melakukan operasi.”
Alena menutup wajahnya dengan tangan, cuci darah yang sudah berulang kali dilakukan Alex saja memakan banyak biaya. Lantas, jika melakukan operasi, mampukah ia membayarnya?
“Kira-kira, itu membutuhkan berapa banyak biaya, Dok?”
“Sepengetahuan saya, itu membutuhkan biaya yang tergolong tidak sedikit. Untuk biaya pastinya bisa kamu tanyakan di bagian administrasi,” jelas Dokter Karin.
“Kalau operasi itu nggak dilakukan?”
“Kalau operasi itu tidak dilakukan, besar kemungkinan kita akan kehilangan Alex.”
Alena menutup wajahnya, air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah juga. Alex adalah satu-satunya keluarga yang kini ia miliki, tak mungkin bisa mengikhlaskan Alex begitu saja.
“Kita harus segera melakukan operasi ini, kamu harus menyelesaikan biaya administrasinya paling tidak 50% agar kami bisa melakukan operasi.”
“Berapa lama waktu yang saya punya, Dok?”
“Tiga hari, karena setelah membayar administrasi, kami masih harus mengatur jadwal operasinya. Jadi, jika dalam tiga hari kamu bisa membayarnya, kemungkinan Minggu depan Alex bisa dioperasi.”
“Makasih, Dok. Permisi,” pamit Alena. Ia melangkah menuju tempat administrasi, untuk mengetahui seberapa banyak biaya yang dibutuhkan untuk operasi adiknya.
Alena terduduk lesu di depan kamar rawat Alex sembari menatap catatan administrasi untuk operasi Alex yang baru saja ia dapatkan. Ia menenggelamkan wajahnya di antara lutut yang terlipat, menangis dengan suara lirih. Siapapun yang mendengarnya akan ikut merasakan kesedihan Alena.
“Ma, Pa, Alena nggak tahu harus apa, tetapi Alena harus kuat demi Alex,” lirih Alena sembari terus menangis. Setelah kepergian orangtuanya, ia sudah tidak punya apapun lagi, kecuali Alex.
Dengan perasaan kalut, Alena meninggalkan rumah sakit menuju rumahnya. Satu-satunya peninggalan orang tua yang masih ia miliki, tetapi tulisan segera di sita pada pintu masuk, semakin menambah kekalutan Alena.
Ia menatap sekeliling rumahnya yang selalu sepi. Ia tidak akan lupa saat terakhir kehangatan itu tercipta, saat di mana ia merasa menjadi manusia paling beruntung di dunia, sebelum akhirnya hujan datang dan membuat hidupnya beku.
“Gue rasanya nggak mau bangun lagi,” gumam Alena sembari memejamkan matanya dan tak butuh waktu lama, ia sudah hanyut dalam mimpi, dengan jejak air mata yang masih tersisa di pipinya.
***
Ankara melangkah dengan cepat ke dalam ruangannya, bahkan sapaan Devan saat berpapasan di lift, tak ia hiraukan. Tangannya menggenggam flashdisk dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya.
“Baiklah Alena, mari kita saling mengenal,” gumam Ankara sembari membuka file yang telah ia copy dari email-nya semalam. Sebuah file berisi semua informasi tentang Alena yang ia minta dari orang kepercayaannya.
“Alena Mariolo, gadis 23 tahun, putri sulung dari Dinarta Mariolo dan Anggita Saputri. Yatim piatu sejak kecelakaan yang menimpa orang tuanya lima tahun lalu dan kini tinggal sendiri karena adik satu-satunya, Alex Mariolo tengah koma di rumah sakit.”
Ankara mengerutkan keningnya saat membaca beberapa informasi mengenai Alena. Ia merasakan sesuatu yang tak asing, tetapi tak tahu dengan pasti. Ankara melanjutkan bacaannya, perlahan senyum miring tercetak di wajah tampannya.
“Jadi, lo lagi butuh banyak uang,” gumam Ankara dengan senyum penuh kemenangan. Ia meriah selembar foto Alena yang menjadi pelengkap data pribadinya, kemudian mengusapnya dengan pelan.
“Ternyata lo bukan bocah, ini akan lebih menyenangkan.”
Getaran yang berasal dari ponselnya, membuat lamunan Ankara tentang Alena buyar. Di sana, tertera nama mamanya. Ankara menghela napas panjang, sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.
“Iya, Ma.”
Ankara sedikit menjauhkan ponsel dari telinganya saat ocehan mamanya mulai terdengar. Apa lagi jika bukan masalah pacar, lagi pula ia masih punya waktu empat hari untuk mewujudkan keinginan sang mama, tetapi Beliau sepertinya tak bosan terus mengganggu Ankara.
“Iya, Ma. Ankara akan bawa pacar malam Minggu nanti,” putus Ankara sembari memutuskan panggilan sepihak. Ia tidak tahu dari mana janji itu berasal, tetapi sepertinya ia sudah menemukan jalan keluar untuk masalah itu.
Waktu tampaknya bergulir dengan cepat, pagi yang sejuk kini digantikan dengan senja yang menyingsing. Untuk melancarkan rencananya, kini Ankara telah berada di Bramasta Cafe. Sedari tadi, ia terus mencari keberadaan seseorang, tetapi tidak menemukannya.
“Apa Alena tidak masuk kerja?” tanya Ankara pada salah seorang pelayan.
“Dia ada di ruangan Pak Bram, Pak. Ada yang perlu di sampaikan?”
Ankara menggeleng, kemudian melangkah ke arah ruangan yang ia yakini adalah tempat Bram, pemilik cafe tersebut.
“Maaf, Pak, ada perlu apa?” tanya seorang lelaki yang Ankara yakini sebagai manager di cafe tersebut. Ia berdeham sesaat, kemudian meminta sang empunya memanggil Bram dengan mengatakan seorang Ankara Foniks ingin bertemu dengannya.
Tak butuh waktu lama, pintu ruangan terbuka, memperlihatkan Bram dengan senyum penuh kehormatan.
“Silakan masuk, Pak Ankara. Maaf, saya tidak tahu kalau Bapak ada di luar,” ucap Bram sopan. Sedangkan Ankara melangkah masuk dan langsung duduk di salah satu sofa yang juga terdapat Alena di sana.
“Konsep cafe kamu bagus.”
“Makasih, Pak,” ujar Bram kikuk, dengan pandangan penuh tanya.
“Sebenarnya saya nggak suka basa-basi. Saya hanya ingin memperjelas, kamu merupakan manajer bagian HRD di perusahaan saya, ‘kan?” tanya Ankara dengan pandangan lurus ke arah Bram.
“Iya, Pak.”
“Saya cuma mau menyampaikan, kalau sebaiknya kamu mengajari sopan santun pada setiap pelayan cafe ini, jangan sampai ada yang berniat meracuni pengunjung,” ucap Ankara dengan melirik Alena saat mengatakan kalimat terakhir yang penuh penekanan.
“Baik, Pak. Saya akan mengingat itu. Maaf, jika ada kejadian yang tidak mengenakkan.”
Ankara mengangguk, kemudian menatap Alena dengan senyum miring di wajahnya. Setelah itu, ia melangkah ke luar, meninggalkan sejuta pertanyaan dalam benak Bram dan membuat Alena tampak kesal.
“Jadi, tadi ada apa, Alena?” tanya Bram, mengalihkan pandangan Alena dari pintu yang baru saja ditutup Ankara.
“Aku mau pinjam uang untuk operasi Alex, Mas.”
“Berapa yang kamu butuhin?”
“Hem ... 1M, Mas,” cicit Alena membuat Bram membulatkan matanya, kaget.
“Biaya operasi semahal itu?”
Alena menggeleng menjawab pertanyaan Bram. Ia menggigit bibir bawah, sembari memilin tangannya. Alena berdeham sesaat, kemudian menatap Bram dengan yakin.
“Untuk operasi dan pengobatan Alex sekitar 350 juta, sisanya untuk bayar retenir dan menebus rumah peninggalan orang tua saya, Mas. Semuanya jatuh tempo besok.”
“Cafe memang lumayan ramai, tetapi modal aku aja nggak sampai segitu. Di perusahaan juga sebagai manager, tabungan aku nggak sebanyak itu. Kalau 150 juta aja gimana?” ucap Bram yang diakhiri penawaran. Alena menggeleng pelan, untuk 50% pembayaran Alex saja tidak cukup dengan uang itu.
“Alena, maafin aku,” ucap Bram lagi sembari meraih tangan Alena. Ia menatap gadis itu dengan penuh penyesalan, sedangkan Alena perlahan menarik tangannya. Ia mencoba tersenyum, meyakinkan Bram bahwa semuanya baik-baik saja.
“Kalau gitu, aku kerja dulu,” pamit Alena sembari melangkah ke luar.
“Saya bisa bantu kamu.”
Alena terkesiap saat suara maskulin baru saja menyapa telinganya saat ia menutup pintu ruangan Bram. Ia mengerutkan keningnya saat melihat bahwa suara itu berasal dari lelaki sombong yang tidak tahu cara menghargai orang lain.
“1M, kamu butuh itu dalam 2 hari ini, 'kan?”
Alena menatap Ankara dengan pandangan bingung, dalam pikirannya saat ini adalah, apakah lelaki itu menguping percakapannya?
“Saya bisa bantu kamu, saat ini juga, tetapi dengan suatu syarat.”
“Syarat?” tanya Alena yang dibalas anggukan Ankara.
“Bagaimana kalau kita duduk dulu?” tawar Ankara yang dibalas anggukan Alena. Gadis itu seakan terhipnotis sejak mendengar penawaran Ankara.
“Apa syaratnya?” tanya Alena tak sabar, dibalas dengan senyum miring Ankra.
“Syaratnya gampang, kamu harus memenuhi semua kebutuhan saya, dengan kata lain, menjadi asisten pribadi sekaligus....” ucap Ankara menggantungkan kalimatnya. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Alena.
“Jadi pacar saya,” lanjutnya yang membuat Alena membelalak kaget.
“Nggak! Saya nggak mau!” tolak Alena nyaring sembari bangkit.
Ankara melirik beberapa orang yang kini menjadikan mereka pusat perhatian karena penolakan nyaring Alena. Ia membenarkan jasnya, kemudian menatap Alena dengan pandangan remeh.
“Kamu menolak? Benar-benar tak tahu sopan santun, 1M bahkan terlalu mahal untuk membeli harga diri ka—“
Belum sempat Ankara menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan dari Alena mendarat di pipinya. Gadis itu kini menatap Ankara dengan pandangan berkaca-kaca.
“Gue emang bukan orang kaya, tetapi gue masih punya harga diri!”
Ankara memegang pipinya yang terasa panas, mengembuskan napas panjang untuk meredakan emosinya. Ia membuka dompet, kemudian meraih kartu namanya dan meletakkan di meja.
Ia ikut berdiri di depan Alena, kemudian mendekat ke arahnya yang membuat gadis itu melangkah mundur. Ankara tertawa pelan dengan pandangan dinginnya.
“Saya tinggalkan kartu nama di sini, karena 100% saya yakin. Kamu yang katanya punya harga diri, akan datang dan berlutut di depan saya untuk memohon pertolongan. Saya pastikan itu!” ucap Ankara pelan, tetapi penuh penekanan, meninggalkan Alena yang menatapnya penuh kebencian.
Alena menghela napas untuk kesekian kalinya sejak menginjakkan kaki di depan bangunan yang terdiri dari 25 lantai tersebut. Bangunan dengan lambang burung Foniks yang tampak kokoh, tetapi menakutkan dalam pandangan Alena. Ia menggigit bibir bawahnya, bimbang harus mengambil langkah, karena jujur saja ini akan menjadi taruhan untuk masa depannya.“Ayo Alena, demi Alex,” gumam Alena meyakinkan diri. Bukan tanpa sebab ia beridiri di depan Foniks Group, semua karena ucapan Dokter Karin saat ia kembali menjenguk Alex kemarin usai kerja.“Alena, besok adalah kesempatan terakhir kamu untuk membayar biaya administrasi, karena jika tidak, maka kemungkinan Alex untuk sembuh akan sulit,” ucap Dokter Karin saat meminta Alena menemuinya kemarin.“Dok, bukannya untuk operasi itu harus menemukan ginjal yang cocok? Bukannya itu juga membutuhkan waktu lama? Ini berarti, kalaupun saya bisa lunasin biaya administrasi, belum tentu Alex bisa operasi sec
Pagi yang tadi cerah tiba-tiba saja mendung dan kini hujan deras mengguyur Ibu Kota, mungkin langit pun mengerti dengan perasaan Alena. Bahkan kini, kaca jendela mobil yang berembun, lebih menarik di mata Alena daripada harus menatap ke arah Ankara yang tengah menyetir.“Jika kamu menyesal, kita masih bisa berhenti sekarang, karena setelah sampai di rumah sakit, saya tidak akan melepaskan kamu,” ucap Ankara tanpa menatap Alena. Lelaki itu bisa merasakan bahwa gadis di sampingnya ini masih dalam perasaan kacau, terbukti dari seringnya ia mendengar helaan napas.“Nggak, Pak! Saya ... tetap sama keputusan tadi.”“Baiklah, itu pilihan kamu. Saya nggak mau dengar penyesalan di kemudian hari!” tegas Ankara yang dibalas dengan anggukan pelan Alena.Tak lama, mereka telah sampai di rumah sakit, melangkah beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Jika Alena langsung menuju ke ruangan Alex, maka lain halnya dengan Ankara yang berb
Ankara berulang kali mengumpat ke arah komputer di hadapannya, sejak kepergian Alena tadi, pekerjaannya terasa kacau. Mulai dari komputer yang tiba-tiba tidak merespon hingga jemarinya yang sering typo. “Jadi, ini salah gue gitu? Berani banget dia nyalahin gue,” gumam Ankara. Ia memukul keyboard di depannya, kemudian mengambil jas yang tergantung. Ia harus menyelesaikan masalah ini, atau pekerjaannya tidak akan selesai.Ankara melangkah menyusuri kantor, mencari keberadaan Alena yang tidak ia temukan. Saat sampai di loby, pandangannya mengarah pada Bramasta Cafe yang berada di seberang jalan. Ankara menyipitkan matanya, perlahan senyumnya mengembang saat melihat Alena berada di sana. Tanpa membuang waktu, Ankara segera menghampiri gadis itu.“Khm ... saya bukan orang yang gampang memaafkan, tetapi berhubung ini hari pertama kamu bekerja, jadi kalau kamu minta maaf sekarang, saya akan pertimbangkan,” ucap Ankara setelah
Bunyi spatula beradu dengan penggorengan menjadi melodi yang memenuhi apartemen Alena. Sedari tadi ia tengah sibuk memasak berbagai jenis makanan untuk makan malam Ankara. Ia melakukan ini dengan harapan tidak membuat kesalahan lagi, sekaligus menebus kesalahannya tadi pagi.“Nasi, rendang, cumi lada garam, udang goreng tepung, sayur brokoli, tumis terong, terus penutupnya puding buah. Sip, udah lengkap,” ucap Alena mengabsen berbagai jenis makanan yang sudah ia siapkan, kemudian mulai memasukkannya ke dalam rantang.“Semangat hadapi macan kota, Alena!” lanjutnya menyemangati diri sendiri. Dengan langkah yakin, ia menuju apartemen Ankara yang berada di samping apartemennya. Ia memencet bel berulang kali, tetapi tak ada tanda-tanda pintu akan segera terbuka.“Ini macan kota ke mana, sih? Nggak tahu ini berat apa?” gerutu Alena sembari terus memencet bel, hingga beberapa saat kemudian pintu terbuka, menampilkan Ankara dengan han
Senandung kecil yang keluar dari bibir mungil Alena tampaknya menjadi melodi pengantar kegiatannya pagi ini. Kini, dua piring omelet telah tersaji, membuat gadis itu menatapnya berbinar.“Kalau si macan masih nggak suka, bakalan gue potong-potong dia jadi campuran omelet,” gumam Alena dengan tatapan kesal. Ia masih dendam pada Ankara, tetapi tetap menjalankan tugasnya sesuai kontrak.Alena beranjak meraih tasnya, kemudian mengambil dua piring omelet tersebut dan membawanya ke apartemen Ankara. Tak seperti semalam, pagi ini Ankara segera membuka pintu setelah Alena memencet bel sekali.“Tumben nggak telat,” ucap Ankara sembari melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sedangkan Alena hanya tak acuh dan memilih langsung menuju ke dapur.“Gue mandi dulu, jangan buat kesalahan lagi!” pesan Ankara sebelum beranjak ke kamarnya. Sedangkan Alena hanya mengindikkan bahunya, kemudian mulai membersihkan seluruh
Seusai makan siang di apartemen Ankara tadi, kini Alena dan Ankara melangkah beriringan ke sebuah cafe tempat meeting bersama klien. Alena berulang kali menghela napas panjang, ia benar-benar gugup mengingat ini adalah pengalaman pertamanya bertemu dengan klien perusahaan. Wajar saja, ia yang tidak punya pengalaman, kini harus bekerja di perusahaan besar dengan posisi tinggi, sekretaris CEO.“Santai aja! Dengan lo menghela napas berulang kali kayak gitu, justru kelihatan gugupnya,” ucap Ankara sembari melirik Alena dengan tatapan remehnya, membuat sang empunya mendelik tak suka.“Lo nggak tahu rasanya jadi gue!”“Iya, sih, lo bener. Gue emang nggak tahu rasanya gugup karena mau ketemu klien, gue emang ditakdirkan kompeten sejak lahir,” ucap Ankara dengan bangganya. Sedangkan Alena justru mendengkus kesal, ingin sekali rasanya ia menarik kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.“Selamat sore, Pak Sinatra.”
Bulu mata lebat itu tampak bergerak diiringi dengan kelopak mata yang mengerjap pelan. Ankara, si pemilik bulu mata lebat, mulai mengumpulkan kesadarannya. Ia memijat keningnya yang sedikit pening.“Ini bukan kamar gue,” gumam Ankara setelah menjelajahi ruangan dengan retinanya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang menyebabkan ia berada di tempat tersebut. Potongan-potongan tentang Alena yang datang menjemputnya hingga kejadian saat ia memuntahkan isi perutnya tepat di kasur gadis itu terlintas dalam ingatannya.Ankara membulatkan matanya, setelah itu segera beranjak keluar dari kamar. Ia mengernyitkan dahi saat tak menemukan Alena di ruang tamu, tetapi aroma masakan yang sangat harum mengundangnya melangkah ke dapur.“Sudah bangun? Gue masakin sup taoge, katanya ini bagus untuk menghilangkan pengar,” ucap Alena sembari menyajikan sup tersebut ke dalam mangkuk dan menyimpannya di meja.“Ayo duduk! Lo ada meeting jam 10, j
“Sempurna!”Ankara tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, seperti biasanya, ia selalu menawan dengan pakaian apapun. Terlebih malam ini, tuxedo hitam yang melapisi kemeja di dalamnya terlihat sangat pas di tubuh tegap Ankara. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke apartemen Alena, mengirimkan pesan pada gadis itu untuk segera ke luar.Pintu apartemen yang terbuka membuat Ankara terpaku. Di depannya, ada Alena yang tampak tak seperti biasanya. Gadis itu mengenakan gaun merah selutut dipadu dengan heels hitam, serta tatanan rambut yang dicurly membuat penampilannya sempurna.“Berangkat sekarang?”Ankara membasahi kerongkongannya yang beberapa detik lalu terasa kering, melemparkan pandangan ke lain arah agar Alena tak dapat membaca raut terpananya. Sebelum akhirnya, ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu.Sepanjang jalan, tak hentinya Ankara mencuri pandang ke arah Alena yang terlihat gugup di sampingnya.
Alena melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit, diikuti oleh Ankara yang berjalan di belakangnya. Mereka langsung masuk ke ruangan Dokter Karin setelah dipersilakan oleh sang empunya ruangan.“Jadi, ada apa, Dok?”“Saya punya kabar buruk dan kabar baik sekaligus. Kamu ingin mendengar yang mana?”Alena menarik napas dalam, dua pilihan yang berhasil membuat Ankara kini menatapnya penasaran, ia ingin tahu karakter Alena dari caranya mengambil keputusan.“Kabar buruk aja dulu, Dok.”Tanpa sadar, Ankara tersenyum mendengar jawaban gadis itu. Bisa ia simpulkan bahwa Alena adalah tipikal gadis yang menyukai akhir bahagia meski harus berproses dalam kesedihan.“Kabar buruknya, penyakit gagal ginjal kronis yang dialami pasien kini menimbulkan komplikasi.”“Komplikasi?” tanya Alena bingung.“Iya, setelah saya periksa, jantung pasien mengalami masalah. Terdapat gejala g
“Sempurna!”Ankara tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, seperti biasanya, ia selalu menawan dengan pakaian apapun. Terlebih malam ini, tuxedo hitam yang melapisi kemeja di dalamnya terlihat sangat pas di tubuh tegap Ankara. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke apartemen Alena, mengirimkan pesan pada gadis itu untuk segera ke luar.Pintu apartemen yang terbuka membuat Ankara terpaku. Di depannya, ada Alena yang tampak tak seperti biasanya. Gadis itu mengenakan gaun merah selutut dipadu dengan heels hitam, serta tatanan rambut yang dicurly membuat penampilannya sempurna.“Berangkat sekarang?”Ankara membasahi kerongkongannya yang beberapa detik lalu terasa kering, melemparkan pandangan ke lain arah agar Alena tak dapat membaca raut terpananya. Sebelum akhirnya, ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu.Sepanjang jalan, tak hentinya Ankara mencuri pandang ke arah Alena yang terlihat gugup di sampingnya.
Bulu mata lebat itu tampak bergerak diiringi dengan kelopak mata yang mengerjap pelan. Ankara, si pemilik bulu mata lebat, mulai mengumpulkan kesadarannya. Ia memijat keningnya yang sedikit pening.“Ini bukan kamar gue,” gumam Ankara setelah menjelajahi ruangan dengan retinanya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang menyebabkan ia berada di tempat tersebut. Potongan-potongan tentang Alena yang datang menjemputnya hingga kejadian saat ia memuntahkan isi perutnya tepat di kasur gadis itu terlintas dalam ingatannya.Ankara membulatkan matanya, setelah itu segera beranjak keluar dari kamar. Ia mengernyitkan dahi saat tak menemukan Alena di ruang tamu, tetapi aroma masakan yang sangat harum mengundangnya melangkah ke dapur.“Sudah bangun? Gue masakin sup taoge, katanya ini bagus untuk menghilangkan pengar,” ucap Alena sembari menyajikan sup tersebut ke dalam mangkuk dan menyimpannya di meja.“Ayo duduk! Lo ada meeting jam 10, j
Seusai makan siang di apartemen Ankara tadi, kini Alena dan Ankara melangkah beriringan ke sebuah cafe tempat meeting bersama klien. Alena berulang kali menghela napas panjang, ia benar-benar gugup mengingat ini adalah pengalaman pertamanya bertemu dengan klien perusahaan. Wajar saja, ia yang tidak punya pengalaman, kini harus bekerja di perusahaan besar dengan posisi tinggi, sekretaris CEO.“Santai aja! Dengan lo menghela napas berulang kali kayak gitu, justru kelihatan gugupnya,” ucap Ankara sembari melirik Alena dengan tatapan remehnya, membuat sang empunya mendelik tak suka.“Lo nggak tahu rasanya jadi gue!”“Iya, sih, lo bener. Gue emang nggak tahu rasanya gugup karena mau ketemu klien, gue emang ditakdirkan kompeten sejak lahir,” ucap Ankara dengan bangganya. Sedangkan Alena justru mendengkus kesal, ingin sekali rasanya ia menarik kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.“Selamat sore, Pak Sinatra.”
Senandung kecil yang keluar dari bibir mungil Alena tampaknya menjadi melodi pengantar kegiatannya pagi ini. Kini, dua piring omelet telah tersaji, membuat gadis itu menatapnya berbinar.“Kalau si macan masih nggak suka, bakalan gue potong-potong dia jadi campuran omelet,” gumam Alena dengan tatapan kesal. Ia masih dendam pada Ankara, tetapi tetap menjalankan tugasnya sesuai kontrak.Alena beranjak meraih tasnya, kemudian mengambil dua piring omelet tersebut dan membawanya ke apartemen Ankara. Tak seperti semalam, pagi ini Ankara segera membuka pintu setelah Alena memencet bel sekali.“Tumben nggak telat,” ucap Ankara sembari melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sedangkan Alena hanya tak acuh dan memilih langsung menuju ke dapur.“Gue mandi dulu, jangan buat kesalahan lagi!” pesan Ankara sebelum beranjak ke kamarnya. Sedangkan Alena hanya mengindikkan bahunya, kemudian mulai membersihkan seluruh
Bunyi spatula beradu dengan penggorengan menjadi melodi yang memenuhi apartemen Alena. Sedari tadi ia tengah sibuk memasak berbagai jenis makanan untuk makan malam Ankara. Ia melakukan ini dengan harapan tidak membuat kesalahan lagi, sekaligus menebus kesalahannya tadi pagi.“Nasi, rendang, cumi lada garam, udang goreng tepung, sayur brokoli, tumis terong, terus penutupnya puding buah. Sip, udah lengkap,” ucap Alena mengabsen berbagai jenis makanan yang sudah ia siapkan, kemudian mulai memasukkannya ke dalam rantang.“Semangat hadapi macan kota, Alena!” lanjutnya menyemangati diri sendiri. Dengan langkah yakin, ia menuju apartemen Ankara yang berada di samping apartemennya. Ia memencet bel berulang kali, tetapi tak ada tanda-tanda pintu akan segera terbuka.“Ini macan kota ke mana, sih? Nggak tahu ini berat apa?” gerutu Alena sembari terus memencet bel, hingga beberapa saat kemudian pintu terbuka, menampilkan Ankara dengan han
Ankara berulang kali mengumpat ke arah komputer di hadapannya, sejak kepergian Alena tadi, pekerjaannya terasa kacau. Mulai dari komputer yang tiba-tiba tidak merespon hingga jemarinya yang sering typo. “Jadi, ini salah gue gitu? Berani banget dia nyalahin gue,” gumam Ankara. Ia memukul keyboard di depannya, kemudian mengambil jas yang tergantung. Ia harus menyelesaikan masalah ini, atau pekerjaannya tidak akan selesai.Ankara melangkah menyusuri kantor, mencari keberadaan Alena yang tidak ia temukan. Saat sampai di loby, pandangannya mengarah pada Bramasta Cafe yang berada di seberang jalan. Ankara menyipitkan matanya, perlahan senyumnya mengembang saat melihat Alena berada di sana. Tanpa membuang waktu, Ankara segera menghampiri gadis itu.“Khm ... saya bukan orang yang gampang memaafkan, tetapi berhubung ini hari pertama kamu bekerja, jadi kalau kamu minta maaf sekarang, saya akan pertimbangkan,” ucap Ankara setelah
Pagi yang tadi cerah tiba-tiba saja mendung dan kini hujan deras mengguyur Ibu Kota, mungkin langit pun mengerti dengan perasaan Alena. Bahkan kini, kaca jendela mobil yang berembun, lebih menarik di mata Alena daripada harus menatap ke arah Ankara yang tengah menyetir.“Jika kamu menyesal, kita masih bisa berhenti sekarang, karena setelah sampai di rumah sakit, saya tidak akan melepaskan kamu,” ucap Ankara tanpa menatap Alena. Lelaki itu bisa merasakan bahwa gadis di sampingnya ini masih dalam perasaan kacau, terbukti dari seringnya ia mendengar helaan napas.“Nggak, Pak! Saya ... tetap sama keputusan tadi.”“Baiklah, itu pilihan kamu. Saya nggak mau dengar penyesalan di kemudian hari!” tegas Ankara yang dibalas dengan anggukan pelan Alena.Tak lama, mereka telah sampai di rumah sakit, melangkah beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Jika Alena langsung menuju ke ruangan Alex, maka lain halnya dengan Ankara yang berb
Alena menghela napas untuk kesekian kalinya sejak menginjakkan kaki di depan bangunan yang terdiri dari 25 lantai tersebut. Bangunan dengan lambang burung Foniks yang tampak kokoh, tetapi menakutkan dalam pandangan Alena. Ia menggigit bibir bawahnya, bimbang harus mengambil langkah, karena jujur saja ini akan menjadi taruhan untuk masa depannya.“Ayo Alena, demi Alex,” gumam Alena meyakinkan diri. Bukan tanpa sebab ia beridiri di depan Foniks Group, semua karena ucapan Dokter Karin saat ia kembali menjenguk Alex kemarin usai kerja.“Alena, besok adalah kesempatan terakhir kamu untuk membayar biaya administrasi, karena jika tidak, maka kemungkinan Alex untuk sembuh akan sulit,” ucap Dokter Karin saat meminta Alena menemuinya kemarin.“Dok, bukannya untuk operasi itu harus menemukan ginjal yang cocok? Bukannya itu juga membutuhkan waktu lama? Ini berarti, kalaupun saya bisa lunasin biaya administrasi, belum tentu Alex bisa operasi sec