Bunyi spatula beradu dengan penggorengan menjadi melodi yang memenuhi apartemen Alena. Sedari tadi ia tengah sibuk memasak berbagai jenis makanan untuk makan malam Ankara. Ia melakukan ini dengan harapan tidak membuat kesalahan lagi, sekaligus menebus kesalahannya tadi pagi.
“Nasi, rendang, cumi lada garam, udang goreng tepung, sayur brokoli, tumis terong, terus penutupnya puding buah. Sip, udah lengkap,” ucap Alena mengabsen berbagai jenis makanan yang sudah ia siapkan, kemudian mulai memasukkannya ke dalam rantang.
“Semangat hadapi macan kota, Alena!” lanjutnya menyemangati diri sendiri. Dengan langkah yakin, ia menuju apartemen Ankara yang berada di samping apartemennya. Ia memencet bel berulang kali, tetapi tak ada tanda-tanda pintu akan segera terbuka.
“Ini macan kota ke mana, sih? Nggak tahu ini berat apa?” gerutu Alena sembari terus memencet bel, hingga beberapa saat kemudian pintu terbuka, menampilkan Ankara dengan handuk yang melilit di pinggang, disertai tetesan air yang menetes di dada bidangnya yang tidak terbungkus apapun.
Alena terpaku dengan pandangan yang fokus ke arah Ankara, bahkan saat lelaki itu beranjak masuk setelah membuka pintu untuknya.
“Lo mau sampai kapan berdiri di depan pintu?”
Pertanyaan yang dilontarkan Ankara membuat Alena tersadar dari lamunannya. Ia menggeleng pelan, menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak seharusnya hanya karena melihat Ankara tanpa atasan. Ia mengembuskan napas panjang, kemudian melangkah masuk menuju dapur, tanpa menatap Ankara lagi.
Sedangkan Ankara hanya mengindikkan bahunya, tak peduli dengan sikap Alena yang memang selalu aneh di matanya. Ia beranjak ke kamar, kemudian kembali lagi menemui Alena setelah mengenakan bajunya.
“S—silakan!”
Ankara menatap Alena dengan alis terangkat, kemudian terkekeh pelan saat menyadari kegugupan gadis itu. Ia bangkit dan melangkah ke arah Alena yang sontak mundur hingga sampai menempel di dinding. Ankara mendekatkan wajahnya dan semakin dekat.
“Kontrak!” pekik Alena dengan mata tertutup. Tak ada hal yang melintas dalam pikirannya, kecuali poin dari isi kontrak yang ia ajukan.
Ankara tertawa menyaksikan mimik wajah Alena yang sangat lucu. Ia memundurkan langkah hingga duduk kembali ke tempatnya semula dengan masih tertawa.
“Dasar gadis aneh dengan pikiran mesum, apa yang dipikirkan otak kotormu itu, hm?” tanya Ankara di sela-sela tawa nyaringnya.
Alena yang menyadari situasi, membuka mata, wajahnya memerah karena malu dengan pikirannya sendiri. Ia memukul kepala pelan, merutuki kebodohannya.
“Duduk! Temani saya makan!” pinta Ankara setelah berhasil meredakan tawanya. Bagai dihipnotis, Alena menarik kursi dan duduk di hadapan lelaki itu. Sedangkan Ankara mulai meraih sendok dan menatap satu persatu makanan yang tersaji di hadapannya.
Seakan memiliki dua kepribadian, Ankara yang tadi tertawa, kini memasang wajah dinginnya ke arah Alena. Hal tersebut membuat Alena menatapnya cemas, menunggu Ankara mengatakan hal yang membuatnya kesal.
Dalam hitungan detik, piring yang berisi sayuran dilempar ke lantai oleh Ankara. Ia juga melakukan hal yang sama pada udang dan cumi. Sedangkan Alena membelalak kaget, dengan jari yang langsung menutup mulutnya.
“Kamu dendam? Mau bunuh saya? Saya itu alergi seafood dan saya nggak suka makan sayur!”
Alena memejamkan matanya, tak berani menatap Ankara. Ia pikir, lelaki itu hanya alergi dengan coklat, tetapi ternyata dia juga alergi dengan makanan laut.
“Maaf,” cicit Alena.
“Sebenarnya, fungsi otak dalam kepala kamu itu apa?” tanya Ankara sarkastik, kemudian beranjak meninggalkan Alena.
Alena menatap makanan yang sudah ia buat susah payah dengan pandangan nanar, kemudian beralih untuk membersihkannya. Hingga pecahan dari piring menggores tangan Alena yang membuat gadis itu menangis. Ia menelungkupkan wajahnya di antara tangan yang ia lipat di atas lutut.
“Ck, dasar gadis aneh!” gumam Ankara yang ternyata menatap Alena dari jauh. Ia menggeleng pelan, kemudian masuk ke kamarnya dan mengabaikan Alena yang masih terus menangis.
Sedangkan Alena, sejujurnya menangis bukan karena goresan kecil di jarinya, melainkan merasa kasihan pada makanan yang sudah ia buat dengan sekuat tenaga itu. Dengan masih menangis, Alena membersihkan kekacauan yang disebabkan oleh Ankara, kemudian kembali ke apartemennya.
Saat sampai di kamarnya, Alena kembali meneruskan tangisnya. Ia tidak bisa menghentikan air mata yang sedari tadi mengalir.
“Dasar macan nggak punya hati nurani! Emang makanan itu salah apa? Padahal bisa ngomong baik-baik, nggak usah dibanting gitu juga,” gerutu Alena. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur, memejamkan mata dan tanpa sadar ia tertidur.
Alena membuka mata saat merasakan perih di perutnya. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.00 WIB, sudah lewat tengah malam dan ia lupa untuk mengisi perutnya.
Dengan langkah gontai, Alena menuju dapur, mencari makanan yang bisa menghentikan konser caci-cacing di perutnya. Namun, ia tidak menemukan makanan apapun.
“Bego banget, Alena! Semua makanan lo kasih ke macan.”
Alena merutuki kebodohannya, tak habis pikir dengan sikap ceroboh yang tak hilang darinya. Efek terlalu semangat memasak dan niat ingin menebus kesalahan tadi pagi, membuat Alena lupa menyisihkan makanan untuk dirinya sendiri.
“Ya udahlah, terpaksa makan mie lagi. Nggak apa-apa, Alena, mie juga makanan,” gumam Alena sembari mengusap air mata dan menggantinya dengan senyuman.
***
Sejak tadi Ankara terus gelisah di tempat tidur, mencoba memejamkan matanya, tetapi tak bisa. Suara tangis Alena terus terngiang di kepalanya, membuat Ankara terserang insomnia. Ia melirik jam di ponselnya, sudah dini hari dan ia harus bertahan dengan keadaan gelisah ini.
“Mana perut gue bunyi dari tadi,” gumam Ankara sembari mengusap perutnya. Tak kuasa terus menahan lapar, akhirnya Ankara memutuskan untuk mencari makanan di dapur. Sesampainya di sana, ia hanya melihat nasi serta rendang yang dibawa Alena tadi.
“Ya, udah dingin,” ucap Ankara saat mencoba sedikit rendang yang ada di sana, berpikir sejenak hingga sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya. Ia memasukkan kembali rendang dan nasi itu ke dalam rantang dan membawanya ke luar.
Ankara memencet bel apartemen Alena dengan perasaan tak sabaran, sesekali melirik sekitar yang sangat sepi. Ankara mencobanya sekali lagi dan berhasil, kini di depannya sudah ada Alena yang membawa ... panci?
“Ngapain?” tanya Alena yang tak dihiraukan oleh Ankara, lelaki itu menerobos masuk, langsung menuju ke dapur.
“Astaga! Ankara, nggak sopan banget,” kesal Alena sembari menyusul Ankara yang sudah duduk manis di meja makan. Ia menatap Alena dan menatapnya dengan tatapan menyuruh gadis itu untuk segera duduk di depannya.
“Gue lapar, tapi nggak suka makanan dingin.”
Alena memutar bola matanya malas, ingin sekali ia mengatakan pada lelaki itu untuk mati saja karena terlalu pemilih makanan, tetapi tak mungkin, mengingat ia masih terikat kontrak.
“Tinggal lo panasin apa susahnya, sih?” tanya Alena ketus yang membuat Ankara menggeleng tegas.
“Uang 1M gue akan sia-sia kalau tetap melakukan semuanya sendiri,” balas Ankara sembari menyodorkan rantang yang ia bawa. Sedangkan Alena hanya bisa mendengkus sembari menggerutu di dalam hati, meskipun tetap menjalankan keinginan Ankara. Entah ke mana dialog baku mereka, karena tanpa sadar mereka berucap dengan panggilan lo-gue, seperti dua orang teman akrab.
Sembari menunggu Alena memanaskan makanan untuknya, Ankara terfokus pada mie dengan asap mengepul di dalam mangkok. Mie yang tampak menggugah selera itu membuat Ankara menelan salivanya susah payah, hingga tanpa meminta izin pada pemiliknya, ia meraih mie tersebut dan memakannya.
“In— mie gue!” pekik Alena setelah selesai memanaskan makanan dan menemui Ankara yang sedang memakan mie-nya.
“Lo....”
Alena menghentikan ucapannya, menarik napas dalam untuk meredakan emosinya. Dengan sedikit kasar ia menarik mangkok mie yang tengah dinikmati Ankara, membuat lelaki itu nyaris tersendat.
“Gue lagi makan, Alena!”
“Ini mie gue!”
“Terus apa masalahnya? Balikin!” tegas Ankara sembari menarik kembali mie-nya, tetapi Alena tak tinggal diam dan ikut menariknya. Aksi tarik menarik pun tak terelakkan, hingga membuat mie tersebut tumpah.
“Tuh, ‘kan jadi tumpah! Nggak mau tahu, sekarang keluar!” pekik Alena dengan tatapan tajamnya. Hal tersebut membuat Ankara menggaruk tengkuknya yang tak gatal, kemudian meraih rendang yang sudah dipanasi Alena.
“Nggak usah kayak orang susah! Besok gue beliin sekardus,” ucap Ankara sembari melangkah menuju apartemennya, menyisakan Alena dengan emosi yang tampak jelas di wajah gadis itu.
“Dasar macan kota nggak tahu diri!”
Senandung kecil yang keluar dari bibir mungil Alena tampaknya menjadi melodi pengantar kegiatannya pagi ini. Kini, dua piring omelet telah tersaji, membuat gadis itu menatapnya berbinar.“Kalau si macan masih nggak suka, bakalan gue potong-potong dia jadi campuran omelet,” gumam Alena dengan tatapan kesal. Ia masih dendam pada Ankara, tetapi tetap menjalankan tugasnya sesuai kontrak.Alena beranjak meraih tasnya, kemudian mengambil dua piring omelet tersebut dan membawanya ke apartemen Ankara. Tak seperti semalam, pagi ini Ankara segera membuka pintu setelah Alena memencet bel sekali.“Tumben nggak telat,” ucap Ankara sembari melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sedangkan Alena hanya tak acuh dan memilih langsung menuju ke dapur.“Gue mandi dulu, jangan buat kesalahan lagi!” pesan Ankara sebelum beranjak ke kamarnya. Sedangkan Alena hanya mengindikkan bahunya, kemudian mulai membersihkan seluruh
Seusai makan siang di apartemen Ankara tadi, kini Alena dan Ankara melangkah beriringan ke sebuah cafe tempat meeting bersama klien. Alena berulang kali menghela napas panjang, ia benar-benar gugup mengingat ini adalah pengalaman pertamanya bertemu dengan klien perusahaan. Wajar saja, ia yang tidak punya pengalaman, kini harus bekerja di perusahaan besar dengan posisi tinggi, sekretaris CEO.“Santai aja! Dengan lo menghela napas berulang kali kayak gitu, justru kelihatan gugupnya,” ucap Ankara sembari melirik Alena dengan tatapan remehnya, membuat sang empunya mendelik tak suka.“Lo nggak tahu rasanya jadi gue!”“Iya, sih, lo bener. Gue emang nggak tahu rasanya gugup karena mau ketemu klien, gue emang ditakdirkan kompeten sejak lahir,” ucap Ankara dengan bangganya. Sedangkan Alena justru mendengkus kesal, ingin sekali rasanya ia menarik kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.“Selamat sore, Pak Sinatra.”
Bulu mata lebat itu tampak bergerak diiringi dengan kelopak mata yang mengerjap pelan. Ankara, si pemilik bulu mata lebat, mulai mengumpulkan kesadarannya. Ia memijat keningnya yang sedikit pening.“Ini bukan kamar gue,” gumam Ankara setelah menjelajahi ruangan dengan retinanya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang menyebabkan ia berada di tempat tersebut. Potongan-potongan tentang Alena yang datang menjemputnya hingga kejadian saat ia memuntahkan isi perutnya tepat di kasur gadis itu terlintas dalam ingatannya.Ankara membulatkan matanya, setelah itu segera beranjak keluar dari kamar. Ia mengernyitkan dahi saat tak menemukan Alena di ruang tamu, tetapi aroma masakan yang sangat harum mengundangnya melangkah ke dapur.“Sudah bangun? Gue masakin sup taoge, katanya ini bagus untuk menghilangkan pengar,” ucap Alena sembari menyajikan sup tersebut ke dalam mangkuk dan menyimpannya di meja.“Ayo duduk! Lo ada meeting jam 10, j
“Sempurna!”Ankara tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, seperti biasanya, ia selalu menawan dengan pakaian apapun. Terlebih malam ini, tuxedo hitam yang melapisi kemeja di dalamnya terlihat sangat pas di tubuh tegap Ankara. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke apartemen Alena, mengirimkan pesan pada gadis itu untuk segera ke luar.Pintu apartemen yang terbuka membuat Ankara terpaku. Di depannya, ada Alena yang tampak tak seperti biasanya. Gadis itu mengenakan gaun merah selutut dipadu dengan heels hitam, serta tatanan rambut yang dicurly membuat penampilannya sempurna.“Berangkat sekarang?”Ankara membasahi kerongkongannya yang beberapa detik lalu terasa kering, melemparkan pandangan ke lain arah agar Alena tak dapat membaca raut terpananya. Sebelum akhirnya, ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu.Sepanjang jalan, tak hentinya Ankara mencuri pandang ke arah Alena yang terlihat gugup di sampingnya.
Alena melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit, diikuti oleh Ankara yang berjalan di belakangnya. Mereka langsung masuk ke ruangan Dokter Karin setelah dipersilakan oleh sang empunya ruangan.“Jadi, ada apa, Dok?”“Saya punya kabar buruk dan kabar baik sekaligus. Kamu ingin mendengar yang mana?”Alena menarik napas dalam, dua pilihan yang berhasil membuat Ankara kini menatapnya penasaran, ia ingin tahu karakter Alena dari caranya mengambil keputusan.“Kabar buruk aja dulu, Dok.”Tanpa sadar, Ankara tersenyum mendengar jawaban gadis itu. Bisa ia simpulkan bahwa Alena adalah tipikal gadis yang menyukai akhir bahagia meski harus berproses dalam kesedihan.“Kabar buruknya, penyakit gagal ginjal kronis yang dialami pasien kini menimbulkan komplikasi.”“Komplikasi?” tanya Alena bingung.“Iya, setelah saya periksa, jantung pasien mengalami masalah. Terdapat gejala g
Suara dentuman musik yang memekakkan telinga, tarian erotis, serta aroma alkohol yang menyengat menjadi ciri khas tempat ini. Tempat di mana orang-orang akan bebas berekspresi, melupakan semua masalah, dan merasakan kebahagiaan sesaat. Sebuah club' yang berada di pusat Kota Metropolitan ini menjadi tempat nongkrong favorit bagi para eksekutif muda, termasuk Ankara Foniks. CEO dari Fonix Group yang merupakan perusahaan terbesar di Indonesia.“Bro, nggak chek in?”Ankara yang duduk di tengah beberapa wanita hanya menggeleng pelan. Ia sedang tidak niat untuk ‘bermain’ hari ini. Bahkan sedari tadi wanita-wanita yang mengelilinginya tampak ia abaikan. Hal tersebut membuat Devan, sahabat Ankara bingung.“Tumben banget seorang Ankara nolak cewek.”“Gue mau pulang, mumet gue di sini,” ucap Ankara sembari meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja. Ia melangkah ke luar tanpa memedulikan teriakan Devan, b
Bangunan putih yang identik dengan aroma obat-obatan sudah tak asing lagi bagi Alena. Sejak lima tahun belakangan, ia selalu mengunjungi tempat ini sepulang kerja. Pemandangan seorang pria yang tengah terbaring dengan beberapa alat medis menempel di tubuhnya, merupakan pemandangan yang selalu menyambut Alena saat memasuki ruang mawar.“Alex, kamu kapan bangun? Kakak kangen,” lirih Alena sembari menggenggam tangan Alex, adiknya. Ia mengusap air mata yang tiba-tiba saja jatuh di pipinya, perasaan rindu pada sosok humoris yang kini tak berdaya, tak bisa ia tahan.“Alena, kamu di sini?”“Iya, Dok,” jawab Alena pada Dokter Karin yang menangani Alex sejak awal.“Ada yang harus saya sampaikan, mari ikut saya ke ruangan!”Alena melangkah dengan lesu di belakang Dokter Karin. Segala pikiran buruk kini bersarang di kepalanya, tentang keadaan Alex yang tidak pernah menunjukkan perkembangan signifikan.&ld
Alena menghela napas untuk kesekian kalinya sejak menginjakkan kaki di depan bangunan yang terdiri dari 25 lantai tersebut. Bangunan dengan lambang burung Foniks yang tampak kokoh, tetapi menakutkan dalam pandangan Alena. Ia menggigit bibir bawahnya, bimbang harus mengambil langkah, karena jujur saja ini akan menjadi taruhan untuk masa depannya.“Ayo Alena, demi Alex,” gumam Alena meyakinkan diri. Bukan tanpa sebab ia beridiri di depan Foniks Group, semua karena ucapan Dokter Karin saat ia kembali menjenguk Alex kemarin usai kerja.“Alena, besok adalah kesempatan terakhir kamu untuk membayar biaya administrasi, karena jika tidak, maka kemungkinan Alex untuk sembuh akan sulit,” ucap Dokter Karin saat meminta Alena menemuinya kemarin.“Dok, bukannya untuk operasi itu harus menemukan ginjal yang cocok? Bukannya itu juga membutuhkan waktu lama? Ini berarti, kalaupun saya bisa lunasin biaya administrasi, belum tentu Alex bisa operasi sec
Alena melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit, diikuti oleh Ankara yang berjalan di belakangnya. Mereka langsung masuk ke ruangan Dokter Karin setelah dipersilakan oleh sang empunya ruangan.“Jadi, ada apa, Dok?”“Saya punya kabar buruk dan kabar baik sekaligus. Kamu ingin mendengar yang mana?”Alena menarik napas dalam, dua pilihan yang berhasil membuat Ankara kini menatapnya penasaran, ia ingin tahu karakter Alena dari caranya mengambil keputusan.“Kabar buruk aja dulu, Dok.”Tanpa sadar, Ankara tersenyum mendengar jawaban gadis itu. Bisa ia simpulkan bahwa Alena adalah tipikal gadis yang menyukai akhir bahagia meski harus berproses dalam kesedihan.“Kabar buruknya, penyakit gagal ginjal kronis yang dialami pasien kini menimbulkan komplikasi.”“Komplikasi?” tanya Alena bingung.“Iya, setelah saya periksa, jantung pasien mengalami masalah. Terdapat gejala g
“Sempurna!”Ankara tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, seperti biasanya, ia selalu menawan dengan pakaian apapun. Terlebih malam ini, tuxedo hitam yang melapisi kemeja di dalamnya terlihat sangat pas di tubuh tegap Ankara. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke apartemen Alena, mengirimkan pesan pada gadis itu untuk segera ke luar.Pintu apartemen yang terbuka membuat Ankara terpaku. Di depannya, ada Alena yang tampak tak seperti biasanya. Gadis itu mengenakan gaun merah selutut dipadu dengan heels hitam, serta tatanan rambut yang dicurly membuat penampilannya sempurna.“Berangkat sekarang?”Ankara membasahi kerongkongannya yang beberapa detik lalu terasa kering, melemparkan pandangan ke lain arah agar Alena tak dapat membaca raut terpananya. Sebelum akhirnya, ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu.Sepanjang jalan, tak hentinya Ankara mencuri pandang ke arah Alena yang terlihat gugup di sampingnya.
Bulu mata lebat itu tampak bergerak diiringi dengan kelopak mata yang mengerjap pelan. Ankara, si pemilik bulu mata lebat, mulai mengumpulkan kesadarannya. Ia memijat keningnya yang sedikit pening.“Ini bukan kamar gue,” gumam Ankara setelah menjelajahi ruangan dengan retinanya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang menyebabkan ia berada di tempat tersebut. Potongan-potongan tentang Alena yang datang menjemputnya hingga kejadian saat ia memuntahkan isi perutnya tepat di kasur gadis itu terlintas dalam ingatannya.Ankara membulatkan matanya, setelah itu segera beranjak keluar dari kamar. Ia mengernyitkan dahi saat tak menemukan Alena di ruang tamu, tetapi aroma masakan yang sangat harum mengundangnya melangkah ke dapur.“Sudah bangun? Gue masakin sup taoge, katanya ini bagus untuk menghilangkan pengar,” ucap Alena sembari menyajikan sup tersebut ke dalam mangkuk dan menyimpannya di meja.“Ayo duduk! Lo ada meeting jam 10, j
Seusai makan siang di apartemen Ankara tadi, kini Alena dan Ankara melangkah beriringan ke sebuah cafe tempat meeting bersama klien. Alena berulang kali menghela napas panjang, ia benar-benar gugup mengingat ini adalah pengalaman pertamanya bertemu dengan klien perusahaan. Wajar saja, ia yang tidak punya pengalaman, kini harus bekerja di perusahaan besar dengan posisi tinggi, sekretaris CEO.“Santai aja! Dengan lo menghela napas berulang kali kayak gitu, justru kelihatan gugupnya,” ucap Ankara sembari melirik Alena dengan tatapan remehnya, membuat sang empunya mendelik tak suka.“Lo nggak tahu rasanya jadi gue!”“Iya, sih, lo bener. Gue emang nggak tahu rasanya gugup karena mau ketemu klien, gue emang ditakdirkan kompeten sejak lahir,” ucap Ankara dengan bangganya. Sedangkan Alena justru mendengkus kesal, ingin sekali rasanya ia menarik kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.“Selamat sore, Pak Sinatra.”
Senandung kecil yang keluar dari bibir mungil Alena tampaknya menjadi melodi pengantar kegiatannya pagi ini. Kini, dua piring omelet telah tersaji, membuat gadis itu menatapnya berbinar.“Kalau si macan masih nggak suka, bakalan gue potong-potong dia jadi campuran omelet,” gumam Alena dengan tatapan kesal. Ia masih dendam pada Ankara, tetapi tetap menjalankan tugasnya sesuai kontrak.Alena beranjak meraih tasnya, kemudian mengambil dua piring omelet tersebut dan membawanya ke apartemen Ankara. Tak seperti semalam, pagi ini Ankara segera membuka pintu setelah Alena memencet bel sekali.“Tumben nggak telat,” ucap Ankara sembari melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sedangkan Alena hanya tak acuh dan memilih langsung menuju ke dapur.“Gue mandi dulu, jangan buat kesalahan lagi!” pesan Ankara sebelum beranjak ke kamarnya. Sedangkan Alena hanya mengindikkan bahunya, kemudian mulai membersihkan seluruh
Bunyi spatula beradu dengan penggorengan menjadi melodi yang memenuhi apartemen Alena. Sedari tadi ia tengah sibuk memasak berbagai jenis makanan untuk makan malam Ankara. Ia melakukan ini dengan harapan tidak membuat kesalahan lagi, sekaligus menebus kesalahannya tadi pagi.“Nasi, rendang, cumi lada garam, udang goreng tepung, sayur brokoli, tumis terong, terus penutupnya puding buah. Sip, udah lengkap,” ucap Alena mengabsen berbagai jenis makanan yang sudah ia siapkan, kemudian mulai memasukkannya ke dalam rantang.“Semangat hadapi macan kota, Alena!” lanjutnya menyemangati diri sendiri. Dengan langkah yakin, ia menuju apartemen Ankara yang berada di samping apartemennya. Ia memencet bel berulang kali, tetapi tak ada tanda-tanda pintu akan segera terbuka.“Ini macan kota ke mana, sih? Nggak tahu ini berat apa?” gerutu Alena sembari terus memencet bel, hingga beberapa saat kemudian pintu terbuka, menampilkan Ankara dengan han
Ankara berulang kali mengumpat ke arah komputer di hadapannya, sejak kepergian Alena tadi, pekerjaannya terasa kacau. Mulai dari komputer yang tiba-tiba tidak merespon hingga jemarinya yang sering typo. “Jadi, ini salah gue gitu? Berani banget dia nyalahin gue,” gumam Ankara. Ia memukul keyboard di depannya, kemudian mengambil jas yang tergantung. Ia harus menyelesaikan masalah ini, atau pekerjaannya tidak akan selesai.Ankara melangkah menyusuri kantor, mencari keberadaan Alena yang tidak ia temukan. Saat sampai di loby, pandangannya mengarah pada Bramasta Cafe yang berada di seberang jalan. Ankara menyipitkan matanya, perlahan senyumnya mengembang saat melihat Alena berada di sana. Tanpa membuang waktu, Ankara segera menghampiri gadis itu.“Khm ... saya bukan orang yang gampang memaafkan, tetapi berhubung ini hari pertama kamu bekerja, jadi kalau kamu minta maaf sekarang, saya akan pertimbangkan,” ucap Ankara setelah
Pagi yang tadi cerah tiba-tiba saja mendung dan kini hujan deras mengguyur Ibu Kota, mungkin langit pun mengerti dengan perasaan Alena. Bahkan kini, kaca jendela mobil yang berembun, lebih menarik di mata Alena daripada harus menatap ke arah Ankara yang tengah menyetir.“Jika kamu menyesal, kita masih bisa berhenti sekarang, karena setelah sampai di rumah sakit, saya tidak akan melepaskan kamu,” ucap Ankara tanpa menatap Alena. Lelaki itu bisa merasakan bahwa gadis di sampingnya ini masih dalam perasaan kacau, terbukti dari seringnya ia mendengar helaan napas.“Nggak, Pak! Saya ... tetap sama keputusan tadi.”“Baiklah, itu pilihan kamu. Saya nggak mau dengar penyesalan di kemudian hari!” tegas Ankara yang dibalas dengan anggukan pelan Alena.Tak lama, mereka telah sampai di rumah sakit, melangkah beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Jika Alena langsung menuju ke ruangan Alex, maka lain halnya dengan Ankara yang berb
Alena menghela napas untuk kesekian kalinya sejak menginjakkan kaki di depan bangunan yang terdiri dari 25 lantai tersebut. Bangunan dengan lambang burung Foniks yang tampak kokoh, tetapi menakutkan dalam pandangan Alena. Ia menggigit bibir bawahnya, bimbang harus mengambil langkah, karena jujur saja ini akan menjadi taruhan untuk masa depannya.“Ayo Alena, demi Alex,” gumam Alena meyakinkan diri. Bukan tanpa sebab ia beridiri di depan Foniks Group, semua karena ucapan Dokter Karin saat ia kembali menjenguk Alex kemarin usai kerja.“Alena, besok adalah kesempatan terakhir kamu untuk membayar biaya administrasi, karena jika tidak, maka kemungkinan Alex untuk sembuh akan sulit,” ucap Dokter Karin saat meminta Alena menemuinya kemarin.“Dok, bukannya untuk operasi itu harus menemukan ginjal yang cocok? Bukannya itu juga membutuhkan waktu lama? Ini berarti, kalaupun saya bisa lunasin biaya administrasi, belum tentu Alex bisa operasi sec