Suara dentuman musik yang memekakkan telinga, tarian erotis, serta aroma alkohol yang menyengat menjadi ciri khas tempat ini. Tempat di mana orang-orang akan bebas berekspresi, melupakan semua masalah, dan merasakan kebahagiaan sesaat. Sebuah club' yang berada di pusat Kota Metropolitan ini menjadi tempat nongkrong favorit bagi para eksekutif muda, termasuk Ankara Foniks. CEO dari Fonix Group yang merupakan perusahaan terbesar di Indonesia.
“Bro, nggak chek in?”
Ankara yang duduk di tengah beberapa wanita hanya menggeleng pelan. Ia sedang tidak niat untuk ‘bermain’ hari ini. Bahkan sedari tadi wanita-wanita yang mengelilinginya tampak ia abaikan. Hal tersebut membuat Devan, sahabat Ankara bingung.
“Tumben banget seorang Ankara nolak cewek.”
“Gue mau pulang, mumet gue di sini,” ucap Ankara sembari meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja. Ia melangkah ke luar tanpa memedulikan teriakan Devan, bahkan tatapan memuja dari banyaknya pasang mata tak membuatnya mengurungkan niat.
Ankara memijat keningnya yang sedikit pusing, ternyata beberapa gelas dari minuman yang tadi ia minum cukup berefek. Ia memilih menepikan mobilnya di sebuah mini market, membeli sebotol air dingin yang bisa mengurangi sakit di kepalanya.
Ankara memejamkan mata, merasakan dinginnya air yang masuk dalam kerongkongan. Bayangan tentang kejadian tadi pagi seakan tak mau hilang dalam pikirannya. Saat di mana mamanya merengek agar ia berkunjung ke rumah, dan hal yang tak pernah ia bayangkan terjadi begitu saja.
“Kapan mau kenalin pacar kamu sama Mama?” tanya mamanya pagi tadi saat ia mampir untuk sarapan.
“Ma, Ankara masih mau fokus sama kerjaan.”
“Mau fokus sama kerjaan, tapi tiap malam malah nongkrong di club’.”
Ankara menghentikan aksi makannya, kemudian beralih menatap sang mama yang juga melakukan hal yang sama. Ia tahu bahwa wanita yang telah melahirkannya itu pasti meminta seseorang untuk memata-matainya, tetapi mendengar langsung seperti ini terasa sedikit menjengkelkan.
“Ma, Ankara ke sana cuma buat refreshing, nggak lebih.”
“Sampai kapan kamu mau main-main sama wanita-wanita nggak jelas kayak gitu?”
Pertanyaan yang baru saja terlontar berasal dari papanya yang sejak tadi hanya menyimak. Beliau menatap Ankara dengan mata hitam legamnya yang dingin, persis seperti tatapan Ankara.
“Pa—”
“Stop! Mama nggak mau dengar apapun lagi. Umur kamu itu udah 25 tahun, masa pacar aja nggak punya? Pokoknya Minggu depan, kenalin pacar kamu atau Mama jodohin!”
“Ma—”
“Ankara Foniks, jangan membantah!”
Ankara membuka matanya, kalimat terakhir dari papanya tadi pagi menjadi akhir dari perbincangan mereka. Permintaan gila yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya membuat pikiran Ankara kacau. Dengan kepala yang masih terasa pening, Ankara menginjak gas untuk segera meninggalkan mini market.
“Aaa!”
Teriakan dari seorang wanita bersamaan dengan kaki Ankara yang menginjak rem. Ia mendengkus kesal, pikirannya sedang kacau dan sekarang ditambah dengan insiden hampir menabrak seseorang membuat Ankara kesal. Dengan perasaan dongkol, ia keluar dari mobil dan menghampiri wanita tersebut.
“Lo kalau jalan matanya dipakai!” ucap Ankara tegas sembari bersender di pintu mobilnya.
“Eh, Mas! Nggak salah? Bukannya minta maaf malah marah-marah. Harusnya gue yang marah karena hampir ketabrak, barang gue jadi hancur semua!”
Ankara melangkah mendekat ke arah gadis yang ia perkirakan masih berusia belasan tahun. Terlihat dari penampilannya, rambut panjang yang diikat asal, celana pendek sepaha, dan kaos putih yang dilapisi sweeter over size, style yang sangat kekanakan.
“Hampir doang, ‘kan? Belum ketabrak?”
“Wah, apa orang kaya emang seenaknya gini? Minta maaf, nggak!”
Ankara tertawa pelan, kemudian menundukkan wajahnya hingga sejajar dengan wajah gadis itu. Ia terkekeh pelan saat melihat tatapan kesal dari lawan bicaranya. Tatapan yang baru pertama kali ia dapatkan dari seorang wanita.
Ankara mengeluarkan dompetnya, kemudian mengambil beberapa lembar uang ratusan. Setelahnya, meraih tangan gadis itu dan menyimpannya di sana.
“Cukup, ‘kan?” tanya Ankara dengan senyum miringnya. Ia berbalik meninggalkan gadis itu yang sempat terpaku.
“Tunggu!” cegah gadis itu membuat Ankara berbalik. Uang yang tadi ia lemparkan, kini berserakan di tanah setelah sebelumnya menyapa wajah Ankara.
“Gue nggak butuh uang dari orang yang nggak bisa menghargai orang lain!”
Ankara mengepalkan tangan, menatap gadis itu yang menjauh setelah mengusik egonya. Untuk pertama kalinya, seseorang berani melakukan hal ini pada Ankara, terlebih seorang wanita.
“Gue harap kita nggak akan ketemu lagi, bocah!” geram Ankara, sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.
***
Pagi datang menyapa dan seperti biasa, Ankara sudah sibuk menata tampilannya di depan cermin panjang. Alasan utama ia menggunakan cermin itu adalah untuk memastikan bahwa penampilannya tak memiliki kekurangan sedikit pun.
Kemeja putih dilapisi dengan jas hitam dan celana berwarna senada, dasi bermotif kotak-kotak putih-hitam, sepatu hitam mengkilap, dan terakhir adalah jam bermerek yang menjadi pelengkap tampilannya.
“Sempurna!” gumam Ankara sembari tersenyum pada pantulannya di dalam cermin. Lalu, ia beralih meraih kunci mobil, dompet, serta tas kantor yang tak boleh tertinggal.
Jalanan yang cukup bersahabat membuat Ankara hanya membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai di kantor. Melangkah dengan tatapan dingin, tanpa membalas sapaan para karyawan wanita, sudah menjadi ciri khasnya. Namun, tidak seperti biasanya, pagi ini Ankara justru tidak langsung menuju ke ruangannya, melainkan ke ruangan Direktur yang ditempati oleh Devan.
“Gue harus gimana?” tanya Ankara setelah mendudukkan dirinya di sebuah sofa dalam ruangan Devan. Sedangkan sang empunya yang tadi sibuk dengan komputer, kini beralih duduk di depan Ankara.
“Lo datang bukannya salam, malah langsung nanya.”
“Bos di sini siapa?” tanya Ankara yang membuat Devan mendengkus.
“Iya, Bos. Jadi, ada apa CEO Ankara datang?”
“Nyokap minta gue buat kenalin pacar Minggu depan, dan kalau nggak ada malah mau dijodohin,” keluh Ankara dengan menyandar di sofa sembari memijat keningnya yang terasa pening.
“Terus apa masalahnya? Lo tinggal nunjuk salah satu cewek di tongkrongan atau karyawan di sini juga bakalan langsung dapat. Nggak akan ada yang nolak lo, Bos.”
Ankara menghela napas panjang, mendengar kalimat tak akan ada yang menolaknya, tiba-tiba membuat pikiran Ankara mengarah pada gadis yang semalam memaki di hadapannya. Namun, ia kembali menggeleng, mencoba melupakan bocah kurang ajar itu.
“Gue nggak mau ambil risiko, nanti ceweknya jatuh cinta sama gue. Lo tahu ‘kan kalau gue itu terlalu sempurna untuk dimiliki, apalagi sama cewek?”
Devan memutar bola matanya malas, ia tidak akan lupa bahwa bos sekaligus sahabatnya ini merupakan orang yang sangat percaya diri, definisi lover yourself yang sebenarnya.
“Saking sempurnanya, lo bahkan nggak pernah berhubungan serius sama cewek,” ejek Devan dihadiahi tatapan mengintimidasi Ankara.
“Lo udah bosen jadi direktur di sini?”
“Ya, elah, Bos. Gitu aja marah, bercanda,” ucap Devan gelagapan sembari memberikan cengiran khasnya.
“Nggak guna curhat sama lo.”
Setelah mengucapkan kalimat sarkastik itu, Ankara melangkah ke luar, menuju ruangannya. Selain terlalu mencintai diri sendiri, Ankara juga sosok yang sangat suka bekerja, tak heran di usia muda, ia berhasil menaikkan profit perusahaan papanya hingga memiliki banyak cabang dalam tiga tahun belakangan.
“Rendi, setelah makan siang apa jadwal saya?”
“Tidak ada, Pak. Makan malam bersama Arwana Corp dipindahkan jadi besok malam karena pesawat yang ditumpanginya mengalami delay.”
Ankara mengangguk mendengar ucapan asistennya. Ia sengaja memilih asisten lelaki karena tak ingin terganggu dengan tatapan memuja wanita saat ia sedang bekerja.
“Kalau begitu, saya langsung pulang.”
“Baik, Pak.”
Siang ini, Ankara berniat menjernihkan pikirannya di cafe yang tak jauh dari kantor. Cefe dengan ciri khas desain interior alam, sangat pas untuk menenangkan pikiran. Meskipun tak nyaman dengan tatapan wanita-wanita yang seakan ingin menelanjanginya, tetapi rasa khas dari kopi yang disajikan cukup membayarnya.
“Ini menunya, silakan mau pesan apa?”
Ankara meraih menu yang disodorkan, matanya membulat saat melihat pelayan yang tak lain adalah wanita yang melemparkan uang padanya semalam. Tak jauh berbeda dengan Ankara, wanita itu bahkan menunjuk Ankara dengan tatapan kagetnya.
“Lo ngapain di sini?” tanya wanita itu yang membuat Ankara tersenyum miring.
“Apa pantas seorang pelayan berkata yang tidak sopan pada pelanggan?”
“M—maaf, mau pesan apa, Pak?”
Ankara terlihat berpikir, kemudian melirik name tag wanita itu. Ia berdeham sesaat kemudian tersenyum miring saat sebuah ide balas dendam muncul di kepalanya.
“Gue pesen menu biasanya.”
“Maaf, Pak, menu biasanya itu bagaimana, ya?”
“Alena Mariolo, itu adalah pertanyaan tidak pantas untuk pelanggan tetap,” balas Ankara sembari menyebutkan nama wanita itu. Sedangkan sang empunya hanya membalas dengan senyum yang dipaksakan.
“Baik, ditunggu 5 menit.”
“Silakan, Pak!”
“Siapa bilang saya pesan vanilla latte?” tanya Ankara membuat Alena meminta maaf sembari meraih kembali gelas yang baru saja ia letakkan di depan Ankara. Sedangkan lelaki itu hanya memberikan senyum miringnya.
“Silakan, Pak!”
“Saya nggak pesan mocca latte,” ucap Ankara sembari mendorong gelas minuman hingga sedikit tumpah di meja. Alena yang mendapat perlakuan seperti itu hanya menarik napasnya dalam, kemudian mengambil gelas tersebut dengan senyum yang sangat dipaksakan.
Hal tersebut terus terjadi berulang, terhitung sudah gelas ketujuh yang mendapat penolakan Ankara. Kali ini, Alena menarik napas dalam sembari meletakkan gelas kedelapan di hadapan Ankara.
“Alena Mariolo, mau membunuh saya? Saya alergi coklat dan kamu menyiapkan hot chocolat untuk saya. Saya bisa tuntut kamu!” ucap Ankara sembari mendorong gelas tersebut hingga tumpah, mengenai tangan Alena.
Alena yang terlanjur kesal, membanting nampan yang ia pegang, kemudian menumpahkan sisa coklat dalam gelas pada baju Ankara.
“Lo kalau cuma mau balas dendam, nggak gini caranya! Lo itu cuma orang kaya yang suka seenaknya, jadiin pekerjaan orang sebagai permainan cuma buat kesenangan lo doang! Lo itu sampah!”
Ankara mengepalkan tangannya, rahangnya terlihat mengeras, terlebih saat seluruh pasang mata kini terfokus padanya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan dan menyimpannya di atas meja.
“Lo akan menyesal!” bisik Ankara penuh penekanan di depan wajah Alena, kemudian melangkah meninggalkan tempat tersebut.
Ankara mengepalkan tangannya, kemudian melayangkan pukulan pada stir mobil. Kalimat demi kalimat yang diucapkan Alena terus terngiang di kepalanya. Ia akan membuat gadis itu menyesal karena sudah membuat Ankara malu.
“Cari tahu semua hal tentang Alena Mariolo, seorang pelayan di Bramasta Cafe. Kirim di email saya nanti malam,” ucap Ankara pada seseorang di seberang telepon.
“Alena, lo udah salah pilih lawan!”
Bangunan putih yang identik dengan aroma obat-obatan sudah tak asing lagi bagi Alena. Sejak lima tahun belakangan, ia selalu mengunjungi tempat ini sepulang kerja. Pemandangan seorang pria yang tengah terbaring dengan beberapa alat medis menempel di tubuhnya, merupakan pemandangan yang selalu menyambut Alena saat memasuki ruang mawar.“Alex, kamu kapan bangun? Kakak kangen,” lirih Alena sembari menggenggam tangan Alex, adiknya. Ia mengusap air mata yang tiba-tiba saja jatuh di pipinya, perasaan rindu pada sosok humoris yang kini tak berdaya, tak bisa ia tahan.“Alena, kamu di sini?”“Iya, Dok,” jawab Alena pada Dokter Karin yang menangani Alex sejak awal.“Ada yang harus saya sampaikan, mari ikut saya ke ruangan!”Alena melangkah dengan lesu di belakang Dokter Karin. Segala pikiran buruk kini bersarang di kepalanya, tentang keadaan Alex yang tidak pernah menunjukkan perkembangan signifikan.&ld
Alena menghela napas untuk kesekian kalinya sejak menginjakkan kaki di depan bangunan yang terdiri dari 25 lantai tersebut. Bangunan dengan lambang burung Foniks yang tampak kokoh, tetapi menakutkan dalam pandangan Alena. Ia menggigit bibir bawahnya, bimbang harus mengambil langkah, karena jujur saja ini akan menjadi taruhan untuk masa depannya.“Ayo Alena, demi Alex,” gumam Alena meyakinkan diri. Bukan tanpa sebab ia beridiri di depan Foniks Group, semua karena ucapan Dokter Karin saat ia kembali menjenguk Alex kemarin usai kerja.“Alena, besok adalah kesempatan terakhir kamu untuk membayar biaya administrasi, karena jika tidak, maka kemungkinan Alex untuk sembuh akan sulit,” ucap Dokter Karin saat meminta Alena menemuinya kemarin.“Dok, bukannya untuk operasi itu harus menemukan ginjal yang cocok? Bukannya itu juga membutuhkan waktu lama? Ini berarti, kalaupun saya bisa lunasin biaya administrasi, belum tentu Alex bisa operasi sec
Pagi yang tadi cerah tiba-tiba saja mendung dan kini hujan deras mengguyur Ibu Kota, mungkin langit pun mengerti dengan perasaan Alena. Bahkan kini, kaca jendela mobil yang berembun, lebih menarik di mata Alena daripada harus menatap ke arah Ankara yang tengah menyetir.“Jika kamu menyesal, kita masih bisa berhenti sekarang, karena setelah sampai di rumah sakit, saya tidak akan melepaskan kamu,” ucap Ankara tanpa menatap Alena. Lelaki itu bisa merasakan bahwa gadis di sampingnya ini masih dalam perasaan kacau, terbukti dari seringnya ia mendengar helaan napas.“Nggak, Pak! Saya ... tetap sama keputusan tadi.”“Baiklah, itu pilihan kamu. Saya nggak mau dengar penyesalan di kemudian hari!” tegas Ankara yang dibalas dengan anggukan pelan Alena.Tak lama, mereka telah sampai di rumah sakit, melangkah beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Jika Alena langsung menuju ke ruangan Alex, maka lain halnya dengan Ankara yang berb
Ankara berulang kali mengumpat ke arah komputer di hadapannya, sejak kepergian Alena tadi, pekerjaannya terasa kacau. Mulai dari komputer yang tiba-tiba tidak merespon hingga jemarinya yang sering typo. “Jadi, ini salah gue gitu? Berani banget dia nyalahin gue,” gumam Ankara. Ia memukul keyboard di depannya, kemudian mengambil jas yang tergantung. Ia harus menyelesaikan masalah ini, atau pekerjaannya tidak akan selesai.Ankara melangkah menyusuri kantor, mencari keberadaan Alena yang tidak ia temukan. Saat sampai di loby, pandangannya mengarah pada Bramasta Cafe yang berada di seberang jalan. Ankara menyipitkan matanya, perlahan senyumnya mengembang saat melihat Alena berada di sana. Tanpa membuang waktu, Ankara segera menghampiri gadis itu.“Khm ... saya bukan orang yang gampang memaafkan, tetapi berhubung ini hari pertama kamu bekerja, jadi kalau kamu minta maaf sekarang, saya akan pertimbangkan,” ucap Ankara setelah
Bunyi spatula beradu dengan penggorengan menjadi melodi yang memenuhi apartemen Alena. Sedari tadi ia tengah sibuk memasak berbagai jenis makanan untuk makan malam Ankara. Ia melakukan ini dengan harapan tidak membuat kesalahan lagi, sekaligus menebus kesalahannya tadi pagi.“Nasi, rendang, cumi lada garam, udang goreng tepung, sayur brokoli, tumis terong, terus penutupnya puding buah. Sip, udah lengkap,” ucap Alena mengabsen berbagai jenis makanan yang sudah ia siapkan, kemudian mulai memasukkannya ke dalam rantang.“Semangat hadapi macan kota, Alena!” lanjutnya menyemangati diri sendiri. Dengan langkah yakin, ia menuju apartemen Ankara yang berada di samping apartemennya. Ia memencet bel berulang kali, tetapi tak ada tanda-tanda pintu akan segera terbuka.“Ini macan kota ke mana, sih? Nggak tahu ini berat apa?” gerutu Alena sembari terus memencet bel, hingga beberapa saat kemudian pintu terbuka, menampilkan Ankara dengan han
Senandung kecil yang keluar dari bibir mungil Alena tampaknya menjadi melodi pengantar kegiatannya pagi ini. Kini, dua piring omelet telah tersaji, membuat gadis itu menatapnya berbinar.“Kalau si macan masih nggak suka, bakalan gue potong-potong dia jadi campuran omelet,” gumam Alena dengan tatapan kesal. Ia masih dendam pada Ankara, tetapi tetap menjalankan tugasnya sesuai kontrak.Alena beranjak meraih tasnya, kemudian mengambil dua piring omelet tersebut dan membawanya ke apartemen Ankara. Tak seperti semalam, pagi ini Ankara segera membuka pintu setelah Alena memencet bel sekali.“Tumben nggak telat,” ucap Ankara sembari melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sedangkan Alena hanya tak acuh dan memilih langsung menuju ke dapur.“Gue mandi dulu, jangan buat kesalahan lagi!” pesan Ankara sebelum beranjak ke kamarnya. Sedangkan Alena hanya mengindikkan bahunya, kemudian mulai membersihkan seluruh
Seusai makan siang di apartemen Ankara tadi, kini Alena dan Ankara melangkah beriringan ke sebuah cafe tempat meeting bersama klien. Alena berulang kali menghela napas panjang, ia benar-benar gugup mengingat ini adalah pengalaman pertamanya bertemu dengan klien perusahaan. Wajar saja, ia yang tidak punya pengalaman, kini harus bekerja di perusahaan besar dengan posisi tinggi, sekretaris CEO.“Santai aja! Dengan lo menghela napas berulang kali kayak gitu, justru kelihatan gugupnya,” ucap Ankara sembari melirik Alena dengan tatapan remehnya, membuat sang empunya mendelik tak suka.“Lo nggak tahu rasanya jadi gue!”“Iya, sih, lo bener. Gue emang nggak tahu rasanya gugup karena mau ketemu klien, gue emang ditakdirkan kompeten sejak lahir,” ucap Ankara dengan bangganya. Sedangkan Alena justru mendengkus kesal, ingin sekali rasanya ia menarik kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.“Selamat sore, Pak Sinatra.”
Bulu mata lebat itu tampak bergerak diiringi dengan kelopak mata yang mengerjap pelan. Ankara, si pemilik bulu mata lebat, mulai mengumpulkan kesadarannya. Ia memijat keningnya yang sedikit pening.“Ini bukan kamar gue,” gumam Ankara setelah menjelajahi ruangan dengan retinanya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang menyebabkan ia berada di tempat tersebut. Potongan-potongan tentang Alena yang datang menjemputnya hingga kejadian saat ia memuntahkan isi perutnya tepat di kasur gadis itu terlintas dalam ingatannya.Ankara membulatkan matanya, setelah itu segera beranjak keluar dari kamar. Ia mengernyitkan dahi saat tak menemukan Alena di ruang tamu, tetapi aroma masakan yang sangat harum mengundangnya melangkah ke dapur.“Sudah bangun? Gue masakin sup taoge, katanya ini bagus untuk menghilangkan pengar,” ucap Alena sembari menyajikan sup tersebut ke dalam mangkuk dan menyimpannya di meja.“Ayo duduk! Lo ada meeting jam 10, j
Alena melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit, diikuti oleh Ankara yang berjalan di belakangnya. Mereka langsung masuk ke ruangan Dokter Karin setelah dipersilakan oleh sang empunya ruangan.“Jadi, ada apa, Dok?”“Saya punya kabar buruk dan kabar baik sekaligus. Kamu ingin mendengar yang mana?”Alena menarik napas dalam, dua pilihan yang berhasil membuat Ankara kini menatapnya penasaran, ia ingin tahu karakter Alena dari caranya mengambil keputusan.“Kabar buruk aja dulu, Dok.”Tanpa sadar, Ankara tersenyum mendengar jawaban gadis itu. Bisa ia simpulkan bahwa Alena adalah tipikal gadis yang menyukai akhir bahagia meski harus berproses dalam kesedihan.“Kabar buruknya, penyakit gagal ginjal kronis yang dialami pasien kini menimbulkan komplikasi.”“Komplikasi?” tanya Alena bingung.“Iya, setelah saya periksa, jantung pasien mengalami masalah. Terdapat gejala g
“Sempurna!”Ankara tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, seperti biasanya, ia selalu menawan dengan pakaian apapun. Terlebih malam ini, tuxedo hitam yang melapisi kemeja di dalamnya terlihat sangat pas di tubuh tegap Ankara. Dengan langkah pasti, ia berjalan ke apartemen Alena, mengirimkan pesan pada gadis itu untuk segera ke luar.Pintu apartemen yang terbuka membuat Ankara terpaku. Di depannya, ada Alena yang tampak tak seperti biasanya. Gadis itu mengenakan gaun merah selutut dipadu dengan heels hitam, serta tatanan rambut yang dicurly membuat penampilannya sempurna.“Berangkat sekarang?”Ankara membasahi kerongkongannya yang beberapa detik lalu terasa kering, melemparkan pandangan ke lain arah agar Alena tak dapat membaca raut terpananya. Sebelum akhirnya, ia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan gadis itu.Sepanjang jalan, tak hentinya Ankara mencuri pandang ke arah Alena yang terlihat gugup di sampingnya.
Bulu mata lebat itu tampak bergerak diiringi dengan kelopak mata yang mengerjap pelan. Ankara, si pemilik bulu mata lebat, mulai mengumpulkan kesadarannya. Ia memijat keningnya yang sedikit pening.“Ini bukan kamar gue,” gumam Ankara setelah menjelajahi ruangan dengan retinanya. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian yang menyebabkan ia berada di tempat tersebut. Potongan-potongan tentang Alena yang datang menjemputnya hingga kejadian saat ia memuntahkan isi perutnya tepat di kasur gadis itu terlintas dalam ingatannya.Ankara membulatkan matanya, setelah itu segera beranjak keluar dari kamar. Ia mengernyitkan dahi saat tak menemukan Alena di ruang tamu, tetapi aroma masakan yang sangat harum mengundangnya melangkah ke dapur.“Sudah bangun? Gue masakin sup taoge, katanya ini bagus untuk menghilangkan pengar,” ucap Alena sembari menyajikan sup tersebut ke dalam mangkuk dan menyimpannya di meja.“Ayo duduk! Lo ada meeting jam 10, j
Seusai makan siang di apartemen Ankara tadi, kini Alena dan Ankara melangkah beriringan ke sebuah cafe tempat meeting bersama klien. Alena berulang kali menghela napas panjang, ia benar-benar gugup mengingat ini adalah pengalaman pertamanya bertemu dengan klien perusahaan. Wajar saja, ia yang tidak punya pengalaman, kini harus bekerja di perusahaan besar dengan posisi tinggi, sekretaris CEO.“Santai aja! Dengan lo menghela napas berulang kali kayak gitu, justru kelihatan gugupnya,” ucap Ankara sembari melirik Alena dengan tatapan remehnya, membuat sang empunya mendelik tak suka.“Lo nggak tahu rasanya jadi gue!”“Iya, sih, lo bener. Gue emang nggak tahu rasanya gugup karena mau ketemu klien, gue emang ditakdirkan kompeten sejak lahir,” ucap Ankara dengan bangganya. Sedangkan Alena justru mendengkus kesal, ingin sekali rasanya ia menarik kalimat yang keluar dari mulutnya tadi.“Selamat sore, Pak Sinatra.”
Senandung kecil yang keluar dari bibir mungil Alena tampaknya menjadi melodi pengantar kegiatannya pagi ini. Kini, dua piring omelet telah tersaji, membuat gadis itu menatapnya berbinar.“Kalau si macan masih nggak suka, bakalan gue potong-potong dia jadi campuran omelet,” gumam Alena dengan tatapan kesal. Ia masih dendam pada Ankara, tetapi tetap menjalankan tugasnya sesuai kontrak.Alena beranjak meraih tasnya, kemudian mengambil dua piring omelet tersebut dan membawanya ke apartemen Ankara. Tak seperti semalam, pagi ini Ankara segera membuka pintu setelah Alena memencet bel sekali.“Tumben nggak telat,” ucap Ankara sembari melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sedangkan Alena hanya tak acuh dan memilih langsung menuju ke dapur.“Gue mandi dulu, jangan buat kesalahan lagi!” pesan Ankara sebelum beranjak ke kamarnya. Sedangkan Alena hanya mengindikkan bahunya, kemudian mulai membersihkan seluruh
Bunyi spatula beradu dengan penggorengan menjadi melodi yang memenuhi apartemen Alena. Sedari tadi ia tengah sibuk memasak berbagai jenis makanan untuk makan malam Ankara. Ia melakukan ini dengan harapan tidak membuat kesalahan lagi, sekaligus menebus kesalahannya tadi pagi.“Nasi, rendang, cumi lada garam, udang goreng tepung, sayur brokoli, tumis terong, terus penutupnya puding buah. Sip, udah lengkap,” ucap Alena mengabsen berbagai jenis makanan yang sudah ia siapkan, kemudian mulai memasukkannya ke dalam rantang.“Semangat hadapi macan kota, Alena!” lanjutnya menyemangati diri sendiri. Dengan langkah yakin, ia menuju apartemen Ankara yang berada di samping apartemennya. Ia memencet bel berulang kali, tetapi tak ada tanda-tanda pintu akan segera terbuka.“Ini macan kota ke mana, sih? Nggak tahu ini berat apa?” gerutu Alena sembari terus memencet bel, hingga beberapa saat kemudian pintu terbuka, menampilkan Ankara dengan han
Ankara berulang kali mengumpat ke arah komputer di hadapannya, sejak kepergian Alena tadi, pekerjaannya terasa kacau. Mulai dari komputer yang tiba-tiba tidak merespon hingga jemarinya yang sering typo. “Jadi, ini salah gue gitu? Berani banget dia nyalahin gue,” gumam Ankara. Ia memukul keyboard di depannya, kemudian mengambil jas yang tergantung. Ia harus menyelesaikan masalah ini, atau pekerjaannya tidak akan selesai.Ankara melangkah menyusuri kantor, mencari keberadaan Alena yang tidak ia temukan. Saat sampai di loby, pandangannya mengarah pada Bramasta Cafe yang berada di seberang jalan. Ankara menyipitkan matanya, perlahan senyumnya mengembang saat melihat Alena berada di sana. Tanpa membuang waktu, Ankara segera menghampiri gadis itu.“Khm ... saya bukan orang yang gampang memaafkan, tetapi berhubung ini hari pertama kamu bekerja, jadi kalau kamu minta maaf sekarang, saya akan pertimbangkan,” ucap Ankara setelah
Pagi yang tadi cerah tiba-tiba saja mendung dan kini hujan deras mengguyur Ibu Kota, mungkin langit pun mengerti dengan perasaan Alena. Bahkan kini, kaca jendela mobil yang berembun, lebih menarik di mata Alena daripada harus menatap ke arah Ankara yang tengah menyetir.“Jika kamu menyesal, kita masih bisa berhenti sekarang, karena setelah sampai di rumah sakit, saya tidak akan melepaskan kamu,” ucap Ankara tanpa menatap Alena. Lelaki itu bisa merasakan bahwa gadis di sampingnya ini masih dalam perasaan kacau, terbukti dari seringnya ia mendengar helaan napas.“Nggak, Pak! Saya ... tetap sama keputusan tadi.”“Baiklah, itu pilihan kamu. Saya nggak mau dengar penyesalan di kemudian hari!” tegas Ankara yang dibalas dengan anggukan pelan Alena.Tak lama, mereka telah sampai di rumah sakit, melangkah beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Jika Alena langsung menuju ke ruangan Alex, maka lain halnya dengan Ankara yang berb
Alena menghela napas untuk kesekian kalinya sejak menginjakkan kaki di depan bangunan yang terdiri dari 25 lantai tersebut. Bangunan dengan lambang burung Foniks yang tampak kokoh, tetapi menakutkan dalam pandangan Alena. Ia menggigit bibir bawahnya, bimbang harus mengambil langkah, karena jujur saja ini akan menjadi taruhan untuk masa depannya.“Ayo Alena, demi Alex,” gumam Alena meyakinkan diri. Bukan tanpa sebab ia beridiri di depan Foniks Group, semua karena ucapan Dokter Karin saat ia kembali menjenguk Alex kemarin usai kerja.“Alena, besok adalah kesempatan terakhir kamu untuk membayar biaya administrasi, karena jika tidak, maka kemungkinan Alex untuk sembuh akan sulit,” ucap Dokter Karin saat meminta Alena menemuinya kemarin.“Dok, bukannya untuk operasi itu harus menemukan ginjal yang cocok? Bukannya itu juga membutuhkan waktu lama? Ini berarti, kalaupun saya bisa lunasin biaya administrasi, belum tentu Alex bisa operasi sec