Galian di tengah desa dekat pintu masuk utama menuju desa sudah terlihat, "satu meter cukup kali ya, Af?" tanya seorang pria berambut kribo."Hm, satu setengah meter sih kalau bisa. Kan nanti masih mau kita tambah bata setiap sisinya biar air laut tidak tercemar langsung," jawab pria dengan celana panjang dan kaus polos, pria yang sedari tadi berdiri dekat galian sambil sesekali mencatat hal yang diperlukan, "tapi nanti kalau ada tanda air laut genangan, kita timbun lagi terus langsung tambah tanah biar tiap sisinya bisa dikasih bata," lanjutnya yang diacungi ibu jari oleh pria kribo itu.Galian untuk pembuatan saluran pembuangan akhir sudah dimulai sejak dua hari lalu, galian yang akan menjadi pusat dari setiap rumah dan bangunan yang ada di desa. Akan ada banyak penggalian yang dilakukan dengan berbagai perhitungan, keahlian dasar mahasiswa yang tidak pada tempatnya itu sangat diandalkan agar rumah kayu yang telah didirikan juga tidak terganggu."Afrian," panggil salah seorang pria
Bincang dan tawa ringan saling bersahutan, kunjungan dosen setelah satu pekan melaksanakan kuliah kerja nyata adalah wujud bimbingan sebenarnya. Waktu antara pemangku adat, pengasuh mahasiswa selama di desa, dan kepala desa bersama dosen cukup memakan beberapa momen selama pengerjaan program."Baiklah kalau begitu. Saya boleh izin ke tempat mahasiswa saya tinggal selama di sini? Sekalian buat dengar cerita mereka selama di desa Metanoia," ujar pria berperawakan cukup gemuk itu, ujaran yang tertuju pada Danang, Erina, dan Ujang namun terdengar oleh Afrian.Memang, sedari awal kedatangan dosen bersama Erwin yang baru pulang membeli perlengkapan program, Afrian sudah mendampingi dan mendengar semua obrolan mereka. Dan seperti biasa pula, Erina lebih banyak diam dan mengukir senyum."Oh iya iya, silakan Pak. Keliling desa kami juga bisa, seperti yang tadi saya bilang ada banyak kontribusi mahasiswa selama di sini," tutur Danang mengizinkan dosen untuk berkeliling desa dan bertamu ke rumah
Perbincangan ringan di sore menjelang malam sembari menikmati kopi manis dilakukan para laki-laki desa bersama mahasiswa, usai memadatkan lubang dalam galian agar keesokan hari siap untuk dipasang bata pada sekeliling sisinya. Ada begitu banyak cerita sepanjang hari yang ditukarkan satu sama lain, cerita lucu dari pria yang berangkat melaut hingga pria yang menggali."Masakannya sudah matang, ayo makan!" ajak Erna alias ibu dari Erina pada para pria, seruan gembira setelah menunggu makanan terdengar bebas.Langkah wanita paruh baya itu membawanya menjauh dari tempat perkumpulan, melihat langkah Erna menjauh, dengan cepat laki-laki desa hendak memakai sandal dan bergegas ke tempat makan. Namun Danang berdeham keras yang membuat seruan itu langsung terhenti, dehaman yang membuat semua mata tertuju padanya."Malam ini bakal ada listrik jam 8 nanti, kita main kartu seperti biasa, gimana? Mahasiswa juga ikut," ucap Danang yang tertuju pada seluruh warga laki-laki lalu teralih ke tiga mahas
Kekhawatiran terpancar jelas dari sorot mata dua wanita yang masih duduk di hadapan keperluan memasak, matanya saling berkomunikasi satu sama lain meski seorang wanita lain berusaha menyalakan api. Perlahan air mengalir bebas membasahi pipi dari salah satu wanita berkulit putih, "serba salah gue," ucap wanita itu kemudian menyembunyikan wajahnya di kedua tangan terlipat di atas lutut.Sedangkan wanita berambut ikal yang sedari tadi bertukar tatap hanya bersandar dan menghela napas panjang, begitu berat walau harus dipikul bersama. Layaknya buah simalakama, bila obat ini dikasih ke Desry maka temannya akan menjadi korban perilaku para pria yang mereka tahu maniak seks, tapi jika obat itu tidak dikasih ke Desry maka mereka yang akan jadi korban perilaku menjijikkan."Aku harus gimana, Li? Aku harus gimana?" tangis pecah begitu saja, napas terseguk dapat didengar jelas, "kita sudah lihat tulisan itu dari siang, tapi kita enggak antisipasi. Dan sekarang mau gimana lagi coba?" ceracau Vina
Aroma masakan telah berhembus dengan uap yang melambung tinggi menyerang indra penciuman dengan harumnya, seruan senang dari banyak orang terdengar bebas memasuki telinga, "tara!" teriak Vina berseru sambil membawa satu mangkuk besar berisikan sup kentang."Hore!" seru warga desa bertepuk tangan menyambut masakan terakhir yang dibawa keluar, wajah senang tidak dapat disembunyikan dengan mudahnya.Saling bergantian mengambil nasi, sayur, dan lauk dengan hiruk-pikuk suara bincang berebut masuk ke indra pendengaran dan menabrak gendang telinga tanpa peraturan. Tak jarang memekakan telinga akibat kehebohan yang terjadi, seolah ada rencana besar ditunggu dalam kebahagiaan seluruh desa."Selamat makan," ucap Vina cukup kencang setelah memastikan seluruh warga telah mendapat porsi dan bagiannya sendiri, senyum lebar terukir di wajah setiap insan.Suap demi suap disantap dengan nikmatnya, berbagai perbincangan kecil pula dilakukan seperti saat makan bersama pada umumnya. Tidak ada kecanggunga
Malam, langit gelap menyelimuti sebagian penjuru bumi dengan seberkas sinar rembulan. Malam, langit gelap yang menjadi waktu dan saksi bisu atas terlaksananya rencana para mahasiswa untuk melindungi harga diri.Seorang wanita berkalungkan liontin melepas rangkulan wanita berambut ikal, terkekeh dia sambil berjalan masuk ke kamar, "ah ... pengen banget gue ketawa," ucapnya sambil merebahkan diri dan tersenyum puas.Disusul oleh datangnya seorang pria berambut cepak yang dituntun wanita berkulit tan, dan diikuti oleh pria berambut kribo yang didampingi teman prianya juga. Ke-empatnya beranjak masuk kamar dan merebahkan diri bersama dua wanita sebelumnya, "gue enggak sangka kalau ini bisa terlaksana," kata pria berambut kribo itu sambil memijat tengkuknya sendiri, "tekan perut dan mainin anak lidah biar muntah itu bikin pusing, loh. Lo pada enggak mau kasih gue penghargaan gitu?" singgungnya lagi."Ogah," jawab lima mahasiswa lain, "kan sudah gue kasih opsi buat makan makanan itu kayak A
Aneka makanan tersaji dengan aroma yang menggoda, tampilan yang sebenarnya tidak begitu menarik ternyata dapat menggugah selera bagi yang merasa lapar. Tiga pria dan tiga wanita sudah duduk berkumpul di depan nampan yang terdapat sayur dan lauk, "padahal ini baru jam tujuh pagi tapi makanan sudah diantar saja ya, berasa di hotel," celetuk Erwin sambil mengusap-usap kedua tangannya ke paha, matanya tak henti mengamati tangan Vina yang sedang menyiapkan porsi makan setiap orang agar sesuai dan cukup satu sama lain, tidak kebanyakan dan tidak kekurangan."Selapar itu lo?" sahut Liona menerima piring dari Vina yang sudah berisikan nasi, sayur, dan lauk."Iya dong, gue semalam enggak makan dan malah drama sakit," jawab Erwin yang langsung terdiam saat Vina menyodorkan piring berisikan porsi makan.Semua saling mendapat porsi yang sesuai, kecerdasan Vina dalam mengamati aktivitas sosial ternyata juga berguna. Hanya dalam satu pekan terakhir dia mengamati porsi dan cara makan teman-temannya,
Pusing masih mengintai erat di kepala seorang wanita berkulit tan, sensasi pada mata setiap kali coba berkedip menimbulkan kebingungan dalam benak. Lemas, rasa itulah yang pertama kali disadari saat hendak merenggangkan badan yang terasa kaku.Entah waktu yang sudah ia terlantarkan selama tidur, rasanya sudah sangat lama dalam posisi yang sama hingga kaku dan sakit sendi menyerang. Menolehkan kepalanya perlahan sambil melenguh, "ah!" serunya terkejut dengan mata yang spontan terbuka lebar.Rasa lemas di tubuh pun seolah bertambah kala menjumpai ketakutan yang mengejutkan, bergeser menjauh dengan pandangan yang tak terlepas dari sosok di dekatnya kini. Bukan posisi aman yang didapat saat bergeser, justru kecemasan yang ia temukan kala mendapati sosok di sisi lainnya.Sontak, wanita itu beranjak duduk dan meringsut mundur ke pojok ruang sambil terus mengedarkan pandangannya dalam ketakutan. Dia sendiri, hanya bersama dua pria yang terbaring tak sadar dengan darah di pelipis dan wajah mer
Bergegas tiga wanita itu memasuki area gedung sekolah, menerima jalan di antara banyaknya orang dalam satu tempat, agar mereka cepat berada pada posisinya yaitu di barisan terdepan, terutama Erina yang harus berada di tengah. Hitungan mundur dari sepuluh terdengar dari balik tirai, entah sosok yang berhitung. Namun hanya satu hal yang Erina tahu kini, bahwa dirinya telah memulai jalan hidup baru dengan pandangan yang menarik terhadap sosial.Tirai besar yang sengaja disewakan Dika untuk semakin meriahkan acara peresmian dan pembukaan sekolah gratis, terbuka lebar bersamaan dengan musik khas kebebasan dan konfeti ditembakan dari sisi kanan dan kiri. Melangkah maju orang-orang itu perlahan sampai pada garis yang telah ditentukan, sambutan kehangatan dan kemeriahan acara dengan puluhan anak-anak jalanan yang akan menjadi siswa, sangat menggambarkan betapa antusiasnya Dika mendukung jalan hidup yang Erina inginkan.Sampai pada momen Erina akan menyampaikan isi pikirannya, wanita itu melan
Antusias masyarakat pada iklan yang hampir ada di setiap penjuru jalan kota dengan spanduk maupun baliho, imbauan untuk hadir yang banyak berseru di berbagai media sosial influenser dan artis, dan ajakan bergabung menjadi tenaga kepedulian dari berbagai komunitas kemanusiaan seolah menjadi penghias hidup masyarakat sebulan terakhir. Terutama sejak salah satu perusahaan besar pusat kota mengumumkan ikut andil dengan keberadaan sekolah gratis, dan pemerintah pada bidang pendidikan pun turut bersuara akan hal itu.'Ini berita lanjutan dari Erina yang pernah di penjara karena bantai satu desa, kan?''Dia aslinya orang baik dong kalau begitu?''Berarti benar dugaanku, orang-orang yang laporkan dia waktu itu cuma mau panjat sosial sama kejadiannya enam mahasiswa.''Kalau begini caranya sih, dia segera bebas dari status tahanan kota juga enggak masalah.''Bisa saja enggak sih ini cuma akal-akalan keluarganya, biar nama Erina jadi baik di mata masyarakat? Secara kan banyak saham perusahaan ya
Berjalan cepat lima insan muda itu memasuki gedung, sedikit mengurangi kecepatan langkahnya demi ketenangan dalam area rumah sakit. Dari pada menggunakan lif, lebih memilih menggunakan anak tangga yang dirasa lebih menyenangkan.Hingga satu undakan anak tangga terakhir membuat mereka kini sudah berada di lantai empat, pemandangan pada lorong panjang dengan berbagai ruang rawat yang tertutup pintunya, dan sebuah meja besar setengah lingkaran menyambut di depan lif. Posisi anak tangga yang memang berada di samping meja resepsionis, dan fungsi lain untuk latihan berjalan bukan untuk kondisi darurat, membuat mereka merasa canggung saat berjumpa tatap dengan seorang perawat yang baru keluar lif."Kenapa enggak pakai lif saja?" tanyanya terdengar berbasa-basi."Iseng, hehe," jawab Erina cepat lalu terkekeh konyol, disambut kekehan ringan pula oleh tenaga kesehatan itu sebelum beranjak pergi."Sudah gue duga kalian pakai tangga," ucap seorang pria bersandar di dinding lorong, terlihat pintu
"Aku mau urus bagianku, aku juga mau buat jalanku," ucap Erina tegas, menatap Dika dengan keyakinan yang terlihat jelas dari matanya."Yakin?" jawab Dika bertanya lagi terkait keputusan putrinya."Yakin," sambut Erina cepat, "kalau ayah kasih izin, aku mau buat banyak sekolah pinggir jalan. Aku mau semua orang jangan jadi kayak aku yang dulu, kalau bisa juga kita buka jasa pengecekan darah harga murah buat orang yang lagi cari keluarganya," lanjutnya membuat Dika sontak mengatup rapat bibir."Sekolah pinggir jalan itu kayak gimana maksudnya?" tanya Desry mengernyit bingung."Selama di kota, dari sebelum aku masuk penjara itu aku sering lihat anak-anak kayak Galih di pinggir jalan. Muka sama rambutnya acak-acakan, aku kira mereka enggak kepikiran buat belajar, jadi aku mau ajak mereka belajar," jawab Erina menuturkan alasan dan rencana keinginan dalam harapan."Kamu enggak mau buat jalan yang lain? Semua yang kamu sebutkan tadi, kemungkinan besar nanti bersifat gratis atau berbiaya mur
Putusan baru telah ditetapkan, tiga ketukan palu pun terdengar dengan kerasnya di ruang yang sunyi, hukuman sepuluh tahun yang sudah dijalankan lebih dari setengahnya mendapat keringanan secara resmi. Melewati lima tahun lebih di balik jeruji, di dalam satu bangunan yang sama, tanpa merasakan dan melihat perkembangan dunia secara langsung."Pakai ini, Kak," ucap seorang wanita berambut ikal menyodorkan topi dan masker hitam ke seorang wanita berbadan mungil, "sini biar aku bantu," katanya lagi memakaikan masker dan topi ke wanita di hadapannya kini.Erina Handayani, pelaku pembantaian di Desa Metanoia yang telah melaksanakan setengah dari tuntutan hukum, mendapat keringanan atas perilaku baik, denda nominal, dan jaminan sosial. Menyandang status sebagai tahanan kota, sekaligus putri pertama dari keluarga konglomerat, membuatnya sangat membutuhkan adaptasi.Bergegas cepat keluarga konglomerat dan beberapa insan yang pernah berstatus sebagai mahasiswa, tiga mobil hitam yang berada tepat
Bruk!Bruk!"Hwaaaaa ...." Tangan terangkat ke atas dengan bebas, merenggangkan badan sembari berjingkat dan menguap lebar, "wah, akhir pekan yang mantap setelah lima tahun," lanjutnya mengalihkan pandangan ke dua wanita lain yang baru menutup pintu mobil.Area parkir mobil di rumah tahanan jelas dikelilingi pagar duri, sebelum tembok tinggi menjulang dengan pecahan kaca berukuran sedang di atasnya, "memang selama lima tahun, tiap akhir pekan lo ngapain?""Tidur," jawab wanita berkulit tan itu dengan santainya, "ayo ah, entar kakak gue kelamaan tunggu kalian," lanjutnya bergegas mendahului lima insan yang hendak menjenguk sosok di balik jeruji.Setelah satu hari penuh sebelumnya digunakan untuk bernostalgia, untuk mengenang segala perjuangan pahit, untuk mengingat kembali segala hal mengerikan yang telah dilewati di lokasi KKN dulu, Desa Metanoia. Lokasi yang sebelumnya desa terpencil hampir terlupakan, kini beralih jadi pusat wisata air di pinggir kota dengan segala kelengkapan fasili
[Tepat hari pengantaran Erina ke rumah tahanan]"Vina sudah sembuh?" tanya wanita bersetelan serba biru dengan nomor di dada kiri dan punggungnya, setelan yang diberikan pihak berwenang sebagai identitas selama menjalani masa hukuman."Sudah," jawab wanita muda yang jadi bagian dari mahasiswa KKN di Metanoia, "kenapa memangnya? Kok aku enggak ditanya?""Dia kelihatan lebih kasihan pas lihat mayatnya Pak Ujang," ucap wanita desa bernama Erina Handayani, wanita yang berusaha keras selama belasan tahun untuk keluar dari desa, tapi berakhir di balik jeruji besi, "kamu juga kelihatan baik kok, buat apa aku tanya?" lanjutnya terkekeh ringan.Meski kini dirinya sudah terima kenyataan, bahwa semua yang dilakukan pasti memiliki konsekuensi. Tapi dalam benak seorang Erina tetap tersisa pertanyaan yang tidak bisa diungkapkan, lantas kenapa Danang mati begitu saja dengan segala kejahatannya? Haruskah Erina semakin membenci Agus yang juga sudah mati di tangannya, karena Agus membunuh Danang?Namun
Jauh di pelosok dari pinggir kota, sebuah mobil berjalan lambat di jalan yang dilihatnya sudah lebih lebar sejak terakhir dilewati untuk pembukaan tempat wisata. Semak belukar liar di pinggir jalan kini sudah bersih, jalan rusak berbatu pun kini sudah berganti jadi beton, dan sepanjang jalan yang tiap malam mengalami kegelapan kini sudah dilengkapi lampu jalan setiap tiga meter.Usai kejadian menggemparkan yang membuat semua pihak terlibat dan merasa gelisah, perkembangan untuk setiap lokasi dilakukan dengan berbagai cara dan mengorbankan banyak materi. Mengadakan lampu jalan, memperbaiki jalan rusak, memperbaiki lampu jalan yang rusak, memberi akses listrik dan internet pada semua lokasi secara terbuka hingga dapat diakses semua orang, dan mengadakan jadwal rutin untuk pemeriksaan lokasi juga warga."Eh ... itu mau jadi perumahan ya?" tunjuk wanita hamil yang duduk tepat di samping kemudi."Mana?" tanya pria di balik kemudi yang menepikan kendaraan, "kelihatannya begitu," lanjutnya m
Tok ... tok ... tok.Napas lega yang bersahut dengan seruan tidak terima terdengar jelas, bersatu tidak padu dalam sidang keputusan perkara pembunuhan berencana. Senyum simpul diulum tipis oleh pemilik banyak cabang pusat sarana olahraga, senyum yang ditujukan pada kuasa hukum muda dari firma ternama di negeri.Setelah hampir satu tahun berlalu sejak mahasiswa berhasil keluar dari desa, setelah lima bulan sejak sidang perdana dimulai, setelah empat bulan sejak mahasiswa dinyatakan stabil secara psikologi, dan setelah dua bulan sejak Erina mengetahui keluarga kandungnya. Putusan perkara telah ditetapkan tanpa melewati aju banding, penetapan hukuman dengan berbagai pertimbangan atas masa lalu dan segala bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di Metanoia, sepuluh tahun adalah angka untuk hukuman wanita cantik dari desa di pelosok pinggir kota."Pasti hakimnya dibayar sih ini, secara pelakunya kan anak orang kaya yang sudah lama hilang.""Hukum dibeli itu biasa, tapi ini soal nyawa. Tega ba