Perbincangan ringan di sore menjelang malam sembari menikmati kopi manis dilakukan para laki-laki desa bersama mahasiswa, usai memadatkan lubang dalam galian agar keesokan hari siap untuk dipasang bata pada sekeliling sisinya. Ada begitu banyak cerita sepanjang hari yang ditukarkan satu sama lain, cerita lucu dari pria yang berangkat melaut hingga pria yang menggali."Masakannya sudah matang, ayo makan!" ajak Erna alias ibu dari Erina pada para pria, seruan gembira setelah menunggu makanan terdengar bebas.Langkah wanita paruh baya itu membawanya menjauh dari tempat perkumpulan, melihat langkah Erna menjauh, dengan cepat laki-laki desa hendak memakai sandal dan bergegas ke tempat makan. Namun Danang berdeham keras yang membuat seruan itu langsung terhenti, dehaman yang membuat semua mata tertuju padanya."Malam ini bakal ada listrik jam 8 nanti, kita main kartu seperti biasa, gimana? Mahasiswa juga ikut," ucap Danang yang tertuju pada seluruh warga laki-laki lalu teralih ke tiga mahas
Kekhawatiran terpancar jelas dari sorot mata dua wanita yang masih duduk di hadapan keperluan memasak, matanya saling berkomunikasi satu sama lain meski seorang wanita lain berusaha menyalakan api. Perlahan air mengalir bebas membasahi pipi dari salah satu wanita berkulit putih, "serba salah gue," ucap wanita itu kemudian menyembunyikan wajahnya di kedua tangan terlipat di atas lutut.Sedangkan wanita berambut ikal yang sedari tadi bertukar tatap hanya bersandar dan menghela napas panjang, begitu berat walau harus dipikul bersama. Layaknya buah simalakama, bila obat ini dikasih ke Desry maka temannya akan menjadi korban perilaku para pria yang mereka tahu maniak seks, tapi jika obat itu tidak dikasih ke Desry maka mereka yang akan jadi korban perilaku menjijikkan."Aku harus gimana, Li? Aku harus gimana?" tangis pecah begitu saja, napas terseguk dapat didengar jelas, "kita sudah lihat tulisan itu dari siang, tapi kita enggak antisipasi. Dan sekarang mau gimana lagi coba?" ceracau Vina
Aroma masakan telah berhembus dengan uap yang melambung tinggi menyerang indra penciuman dengan harumnya, seruan senang dari banyak orang terdengar bebas memasuki telinga, "tara!" teriak Vina berseru sambil membawa satu mangkuk besar berisikan sup kentang."Hore!" seru warga desa bertepuk tangan menyambut masakan terakhir yang dibawa keluar, wajah senang tidak dapat disembunyikan dengan mudahnya.Saling bergantian mengambil nasi, sayur, dan lauk dengan hiruk-pikuk suara bincang berebut masuk ke indra pendengaran dan menabrak gendang telinga tanpa peraturan. Tak jarang memekakan telinga akibat kehebohan yang terjadi, seolah ada rencana besar ditunggu dalam kebahagiaan seluruh desa."Selamat makan," ucap Vina cukup kencang setelah memastikan seluruh warga telah mendapat porsi dan bagiannya sendiri, senyum lebar terukir di wajah setiap insan.Suap demi suap disantap dengan nikmatnya, berbagai perbincangan kecil pula dilakukan seperti saat makan bersama pada umumnya. Tidak ada kecanggunga
Malam, langit gelap menyelimuti sebagian penjuru bumi dengan seberkas sinar rembulan. Malam, langit gelap yang menjadi waktu dan saksi bisu atas terlaksananya rencana para mahasiswa untuk melindungi harga diri.Seorang wanita berkalungkan liontin melepas rangkulan wanita berambut ikal, terkekeh dia sambil berjalan masuk ke kamar, "ah ... pengen banget gue ketawa," ucapnya sambil merebahkan diri dan tersenyum puas.Disusul oleh datangnya seorang pria berambut cepak yang dituntun wanita berkulit tan, dan diikuti oleh pria berambut kribo yang didampingi teman prianya juga. Ke-empatnya beranjak masuk kamar dan merebahkan diri bersama dua wanita sebelumnya, "gue enggak sangka kalau ini bisa terlaksana," kata pria berambut kribo itu sambil memijat tengkuknya sendiri, "tekan perut dan mainin anak lidah biar muntah itu bikin pusing, loh. Lo pada enggak mau kasih gue penghargaan gitu?" singgungnya lagi."Ogah," jawab lima mahasiswa lain, "kan sudah gue kasih opsi buat makan makanan itu kayak A
Aneka makanan tersaji dengan aroma yang menggoda, tampilan yang sebenarnya tidak begitu menarik ternyata dapat menggugah selera bagi yang merasa lapar. Tiga pria dan tiga wanita sudah duduk berkumpul di depan nampan yang terdapat sayur dan lauk, "padahal ini baru jam tujuh pagi tapi makanan sudah diantar saja ya, berasa di hotel," celetuk Erwin sambil mengusap-usap kedua tangannya ke paha, matanya tak henti mengamati tangan Vina yang sedang menyiapkan porsi makan setiap orang agar sesuai dan cukup satu sama lain, tidak kebanyakan dan tidak kekurangan."Selapar itu lo?" sahut Liona menerima piring dari Vina yang sudah berisikan nasi, sayur, dan lauk."Iya dong, gue semalam enggak makan dan malah drama sakit," jawab Erwin yang langsung terdiam saat Vina menyodorkan piring berisikan porsi makan.Semua saling mendapat porsi yang sesuai, kecerdasan Vina dalam mengamati aktivitas sosial ternyata juga berguna. Hanya dalam satu pekan terakhir dia mengamati porsi dan cara makan teman-temannya,
Pusing masih mengintai erat di kepala seorang wanita berkulit tan, sensasi pada mata setiap kali coba berkedip menimbulkan kebingungan dalam benak. Lemas, rasa itulah yang pertama kali disadari saat hendak merenggangkan badan yang terasa kaku.Entah waktu yang sudah ia terlantarkan selama tidur, rasanya sudah sangat lama dalam posisi yang sama hingga kaku dan sakit sendi menyerang. Menolehkan kepalanya perlahan sambil melenguh, "ah!" serunya terkejut dengan mata yang spontan terbuka lebar.Rasa lemas di tubuh pun seolah bertambah kala menjumpai ketakutan yang mengejutkan, bergeser menjauh dengan pandangan yang tak terlepas dari sosok di dekatnya kini. Bukan posisi aman yang didapat saat bergeser, justru kecemasan yang ia temukan kala mendapati sosok di sisi lainnya.Sontak, wanita itu beranjak duduk dan meringsut mundur ke pojok ruang sambil terus mengedarkan pandangannya dalam ketakutan. Dia sendiri, hanya bersama dua pria yang terbaring tak sadar dengan darah di pelipis dan wajah mer
Langit sudah mulai gelap lagi, tidak cerah berawan seperti biasanya di tepi pantai. Justru diikuti dengan gemuruh dan sesekali kilat yang menerangi malam, rasanya seperti sedang di studio foto yang begitu ramai dengan kilat cahaya sesaat.Desry, seorang wanita dengan rambut yang kini sudah acak-acakan menatap kosong ke arah langit dari tepi pendopo. Sudah bosan ia rasa menunggu lima teman kelompoknya untuk bangun dari tidur panjang, sesekali ia letakkan jari di antara hidung dan mulut teman-temannya, masih ada napas dan masih ada tanda kehidupan. Tapi, kenapa mereka tidak juga bangun? Begitulah yang Desry pikirkan.Beranjak dia dari pendopo, hanya kegelapan pekat yang ia lihat sejauh mata memandang. Inginnya meraba-raba sekitar untuk kembali ke rumah dan mengambil senter, tapi ucapan terakhir kali Liona sebelum terlelap bahwa hanya tempat ini yang aman.Apa yang aman? Sebenarnya apa yang terjadi? Liona bilang akan ada polisi yang datang, nyatanya hari sudah gelap namun belum juga ada
[12 Jam Sebelumnya]"Eh ini mahasiswa belum pada datang, Rin?" tanya pria berambut hampir botak, menghampiri seorang wanita yang sedang mengaduk masakannya."Belum bangun kayaknya," jawab wanita itu acuh tak acuh dengan tangan pria yang menggerayang bebas di tubuhnya, memainkan buah dada dan mencubit-cubit perut secara acak."Ah ... reaksinya enggak bagus," keluh pria berbadan kurus itu sambil beranjak meninggalkan area belakang rumahnya yang dijadikan tempat memasak."Bosan sama Ririn, Gus?" sahut seorang pria berperut buncit dengan badan agak bongkok, pria yang tiba-tiba datang dan memasuki area belakang rumah itu."Iya lo bayangin saja, Pak. Dari umur 15 tahun gue sama dia, sekarang umur sudah 25 tahun begini masih juga sama dia. 10 tahun, normal dong gue kalau bosan sama dia?" racau pria hampir botak itu sambil menerima rokok dari pria buncit yang bersandar dekat tungku, memperhatikan ekspresi wanita yang begitu datar seolah tidak memiliki telinga untuk mendengar, tetap terfokus p