Pusing masih mengintai erat di kepala seorang wanita berkulit tan, sensasi pada mata setiap kali coba berkedip menimbulkan kebingungan dalam benak. Lemas, rasa itulah yang pertama kali disadari saat hendak merenggangkan badan yang terasa kaku.Entah waktu yang sudah ia terlantarkan selama tidur, rasanya sudah sangat lama dalam posisi yang sama hingga kaku dan sakit sendi menyerang. Menolehkan kepalanya perlahan sambil melenguh, "ah!" serunya terkejut dengan mata yang spontan terbuka lebar.Rasa lemas di tubuh pun seolah bertambah kala menjumpai ketakutan yang mengejutkan, bergeser menjauh dengan pandangan yang tak terlepas dari sosok di dekatnya kini. Bukan posisi aman yang didapat saat bergeser, justru kecemasan yang ia temukan kala mendapati sosok di sisi lainnya.Sontak, wanita itu beranjak duduk dan meringsut mundur ke pojok ruang sambil terus mengedarkan pandangannya dalam ketakutan. Dia sendiri, hanya bersama dua pria yang terbaring tak sadar dengan darah di pelipis dan wajah mer
Langit sudah mulai gelap lagi, tidak cerah berawan seperti biasanya di tepi pantai. Justru diikuti dengan gemuruh dan sesekali kilat yang menerangi malam, rasanya seperti sedang di studio foto yang begitu ramai dengan kilat cahaya sesaat.Desry, seorang wanita dengan rambut yang kini sudah acak-acakan menatap kosong ke arah langit dari tepi pendopo. Sudah bosan ia rasa menunggu lima teman kelompoknya untuk bangun dari tidur panjang, sesekali ia letakkan jari di antara hidung dan mulut teman-temannya, masih ada napas dan masih ada tanda kehidupan. Tapi, kenapa mereka tidak juga bangun? Begitulah yang Desry pikirkan.Beranjak dia dari pendopo, hanya kegelapan pekat yang ia lihat sejauh mata memandang. Inginnya meraba-raba sekitar untuk kembali ke rumah dan mengambil senter, tapi ucapan terakhir kali Liona sebelum terlelap bahwa hanya tempat ini yang aman.Apa yang aman? Sebenarnya apa yang terjadi? Liona bilang akan ada polisi yang datang, nyatanya hari sudah gelap namun belum juga ada
[12 Jam Sebelumnya]"Eh ini mahasiswa belum pada datang, Rin?" tanya pria berambut hampir botak, menghampiri seorang wanita yang sedang mengaduk masakannya."Belum bangun kayaknya," jawab wanita itu acuh tak acuh dengan tangan pria yang menggerayang bebas di tubuhnya, memainkan buah dada dan mencubit-cubit perut secara acak."Ah ... reaksinya enggak bagus," keluh pria berbadan kurus itu sambil beranjak meninggalkan area belakang rumahnya yang dijadikan tempat memasak."Bosan sama Ririn, Gus?" sahut seorang pria berperut buncit dengan badan agak bongkok, pria yang tiba-tiba datang dan memasuki area belakang rumah itu."Iya lo bayangin saja, Pak. Dari umur 15 tahun gue sama dia, sekarang umur sudah 25 tahun begini masih juga sama dia. 10 tahun, normal dong gue kalau bosan sama dia?" racau pria hampir botak itu sambil menerima rokok dari pria buncit yang bersandar dekat tungku, memperhatikan ekspresi wanita yang begitu datar seolah tidak memiliki telinga untuk mendengar, tetap terfokus p
Beberapa waktu berlalu, kesibukan Erina merapikan dapur pun kembali teralihkan saat seorang pria desa berteriak mencari Danang. Dengan cepat, Erina ikut berlari dan menyelinap di setiap pohon, tiang pendopo, atau rumah untuk mencuri dengar mereka."Bapak kayu bakar diurus dulu, tadi gue suruh tunggu," ucap Danang ke salah satu pria desa yang didengarnya."Nanti saja ah, kalau dia pergi juga besok pasti datang lagi," sahut pria yang diperintahkan Danang, sahutan yang hanya mendapat decakan belaka tanpa tindakan lebih lanjut.Mendengar hal itu, Erina yang tahu bahwa mereka akan ke rumah kayu tempat para mahasiswa berada, berlari wanita itu kembali ke rumah dan mengambil semua uang milik Agus di setiap saku celana dan pakaian sang suami.Kembali wanita berdaster itu berlari ke dekat gerbang utama desa, "ini pak, ambil saja semuanya, saya enggak tahu ada berapa. Kalau lebih ya nanti pas datang lagi bapak bisa bawa kayu lebih banyak, kalau kurang nanti bapak bisa minta ke cowok-cowok desa
[Beberapa jam sebelumnya]Tepukan di paha yang mengejutkan telah membangunkan seorang wanita berkulit putih, rasa sakit masih setia hinggap di kepalanya dengan denyutan yang terasa kuat dan terjadi secara acak. Wanita itu meraba lantai untuk menumpukan berat badan di tangan dan perlahan duduk, di tatapnya wanita muda yang sudah duduk bersila di hadapannya.Jejak darah mengalir dari pelipisnya telah mengering, "sudah mau sore kayaknya, kamu jemput Desry dulu ya?" ucap wanita muda itu.Menutup lagi mata sambil tetap menumpu beban tubuh di kedua tangan, kepala yang perlahan tertunduk itu terlihat dipaksanya untuk kembali terangkat, "tapi sebenarnya ada apa sih, kak?" tanyanya menahan pusing yang amat membebani kepala."Kalian mau diperkosa, mereka juga mau coba-coba ke teman cowok kamu." Jawaban yang sebenarnya sangat mengejutkan cenderung menjijikkan, namun begitu lemas badan rasanya untuk memberi respon itu."Afrian, Angga, dan Erwin?" sahut wanita berkalung liontin sabit itu, respon a
Sendiri, satu kata yang sebagian orang sangat menginginkan itu dan sebagian lainnya sangat muak akan hal itu. Sendiri, satu kata bermakna luas dengan perasaan yang menguras pikiran dan tenaga dalam harapan.Vina telah memejamkan matanya dengan ketenangan yang terlihat damai, meski kegelisahan terus Desry tunjukkan dengan ketakutan yang ia rasa. Hanya dapat menunduk dan tidak ingin lagi melihat wajah Vina, kantung mata sang wakil ketua kelompok itu begitu gelap dan menakutkan dirasa."Hm," deham seseorang dari belakang Desry, dehaman yang membuatnya langsung mengangkat kepala dan tanpa ragu menoleh ke belakang.Kedua tangan Desry yang masih memegang erat bahu Vina kini teralihkan saat mengetahui panggilan itu dari Liona, perlahan Desry baringkan tubuh lemas Vina dan menghampiri temannya, "Li?" tukasnya setelah duduk di hadapan Liona, "lo enggak sakit, kan? Lo baik-baik saja, kan?""Des ... nanti kalau ada polisi ke sini buat tanya banyak hal, cari jawaban paling aman buat kita dan buat
Matahari telah menunjukkan eksistensinya dari ufuk timur, mengintip dengan malu meski cahayanya telah menyinari sebagian permukaan bumi. Cerahnya pagi tidak secerah suasana hati yang diselimuti kebingungan warga desa, tersadar dari tidur lelap cenderung tak wajar dengan rasa sakit di beberapa bagian tubuh.Belum banyak kata yang bisa warga desa ucapkan satu sama lain, hanya saling melihat dan menunjukkan hal yang ingin diberitahu, seperti jejak darah maupun luka memar. Masih pada tahap mengumpulkan kesadaran sambil mengingat keadaan, tiba-tiba dua pria berseragam mendatangi beberapa pria desa yang masih saja duduk termenung."Selamat pagi," sapa salah satu petugas pada kepala desa yang sudah ia ketahui sebelumnya, sedangkan seorang petugas lagi memeriksa enam mahasiswa yang masih terlelap di pendopo balik semak ini."Pagi," sambut Danang dengan suara lemasnya."Kami dari kepolisian, dengan bapak Danang?" ucap petugas itu sambil menunjukkan tanda pengenalnya."Iya, betul," jawab Danang
Remasan yang bisa dikatakan sangat kuat dengan segala amarah tertahan, belum ada dua puluh empat jam sejak emosi Erina diluapkan, tapi kini emosi itu kembali lagi bahkan lebih kuat. Kuku-kuku yang memutih karena remasan itu sama sekali tidak membuat Erina merasa baik, "Kak Erina," panggil seseorang mengetuk pintu kamar yang masih terbuka itu.Perlahan remasan pada ujung daster itu terlepas, diikuti dengan kepala yang terangkat dan menunjukkan wajah termasuk mata yang memerah, "Kak Erina nangis?" kata orang itu menghampiri dengan raut khawatir yang tidak bisa dibohongi."Enggak," jawab Erina singkat sambil mengulum senyum, "kamu baik-baik saja, Liona?"Wanita berambut ikal itu pula mengulum senyum dan mengangguk, "aku sudah dengar semua dari Vina," katanya mengubah posisi duduk, tak disangka ternyata ia membaringkan dirinya dan menyandarkan kepala di kedua kaki Erina yang bersila."Semuanya sudah bangun?" tanya wanita itu menunduk dan mengelus-elus rambut Liona, ada rasa senang yang te